IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin

HASIL DAN PEMBAHASAN

III METODE PENELITIAN

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Gelombang

ANALISA PENGINDERAAN JARAK JAUH UNTUK MENGINDENTIFIKASI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI PANTAI TIMUR SURABAYA. Di susun Oleh : Oktovianus Y.S.

Puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah gelombang disebut pasang rendah.

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Penyebab Perubahan Garis Pantai

ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA

PENGANTAR OCEANOGRAFI. Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H

Terbentuknya Batuan Sedimen

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2.1 Peta batimetri Labuan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo

PRISMA FISIKA, Vol. V, No. 3 (2014), Hal ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

ANALISIS KARAKTERISTIK SEDIMEN DI MUARA SUNGAI INDRAGIRI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Angin adalah massa udara yang bergerak. Angin dapat bergerak secara horizontal

III-11. Gambar III.13 Pengukuran arus transek pada kondisi menuju surut

BAB II STUDI PUSTAKA

MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI DI SEKITAR DELTA SUNGAI JENEBERANG, MAKASSAR, SULAWESI SELATAN S A K K A

BAB III DATA DAN ANALISA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

Jurnal Fusi ISSN: Vol.7 No.2 STUDI KARAKTERISTIK PANTAI TANJUNG ALAM KOTA MAKASSAR

Pengertian Pasang Surut

MEKANISME ABRASI PESISIR DI KAWASAN PANTAI DEPOK, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1

KARAKTERISTIK SEDIMEN DASAR PERAIRAN KAMPUNG BUGIS KELURAHAN KAMPUNG BUGIS KOTA TANJUNGPINANG

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI

STUDI TRANSPOR SEDIMEN LITHOGENEUS DI PERAIRAN MUARA SUNGAI DUMAI PROVINSI RIAU. Oleh

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 4 ANALISA HIDRO-OSEANOGRAFI

II. TINJAUAN PUSTAKA WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk

BAB II TEORI TERKAIT

KONDISI GELOMBANG DI WILAYAH PERAIRAN PANTAI LABUHAN HAJI The Wave Conditions in Labuhan Haji Beach Coastal Territory

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

ANALISIS PASANG SURUT PERAIRAN MUARA SUNGAI MESJID DUMAI ABSTRACT. Keywords: Tidal range, harmonic analyze, Formzahl constant

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

TINJAUAN PUSTAKA Gelombang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Untuk mengkaji perilaku sedimentasi di lokasi studi, maka dilakukanlah pemodelan

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

EROSI MARIN SEBAGAI PENYEBAB KERUSAKAN LAHAN KEBUN DI KELURAHAN TAKOFI KOTA TERNATE

Perencanaan Bangunan Pemecah Gelombang di Teluk Sumbreng, Kabupaten Trenggalek

GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 2

KAJIAN PENGARUH GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN PANTAI MATANG DANAU KABUPATEN SAMBAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3 Kondisi Fisik Lokasi Studi

BAB IV ANALISIS DATA

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

MODEL PREDIKSI GELOMBANG TERBANGKIT ANGIN DI PERAIRAN SEBELAH BARAT KOTA TARAKAN BERDASARKAN DATA VEKTOR ANGIN. Muhamad Roem, Ibrahim, Nur Alamsyah

(a). Vektor kecepatan arus pada saat pasang, time-step 95.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

II TINJAUAN PUSTAKA Pas Pa ang Surut Teor 1 Te Pembentukan Pasut a. Teor i Kesetimbangan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sebaran Fraksi Sedimen Dasar Permukaan di Perairan Pantai Pulau Topang Provinsi Riau

Identifikasi Sebaran Sedimentasi dan Perubahan Garis Pantai Di Pesisir Muara Perancak-Bali Menggunakan Data Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Dan SPOT-4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang langsung bertemu dengan laut, sedangkan estuari adalah bagian dari sungai

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA PROFIL VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

Sebaran Fraksi Sedimen Dasar Permukaan di Perairan Pantai Pulau Topang Provinsi Riau

Studi Perubahan Fisik Kawasan Pesisir Surabaya dan Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu Menggunakan Citra Satelit

PENUNTUN PRAKTIKUM OSEANOGRAFI FISIKA

1. Student of Fisheries and Marine Sciences Faculty, University of Riau 2. Lecturer at the Fisheries and Marine Sciences Faculty, University of Riau

SEDIMENT STRATIGRAPHY IN DUMAI WATERS RIAU PROVINCE. Ramot S Hutasoit 1), Rifardi 2) and Musrifin Ghalib 2)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA Letak geografis, administratif dan luas wilayah

MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI DENGAN METODE ONE-LINE MODEL (STUDI KASUS : PANTAI MANGARABOMBANG GALESONG SELATAN, KABUPATEN TAKALAR)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN LAJU TRANSPOR SEDIMEN DI PANTAI AKKARENA

KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIKA PANTAI PANDAN TAPANULI TENGAH SUMATERA UTARA. By Sakkeus Harahap 1), Mubarak 2), Musrifin Galib 2) ABSTRACT

STUDI PENENTUAN DRAFT DAN LEBAR IDEAL KAPAL TERHADAP ALUR PELAYARAN (Studi Kasus: Alur Pelayaran Barat Surabaya)

Posisi dengan kemiringan tersebut, kecepatan partikel di puncak gelombang sama dengan kecepatan rambat gelombang. Kemiringan yang lebih tajam dari

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

III HASIL DAN DISKUSI

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI

BAB III METODOLOGI 3.1 PERSIAPAN PENDAHULUAN

Transkripsi:

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kecepatan Dan Arah Angin Untuk mengetahui perubahan garis pantai diperlukan data gelombang dan angkutan sedimen dalam periode yang panjang. Data pengukuran lapangan tinggi gelombang dan angkutan sedimen dalam jangka waktu panjang sangat sulit diperoleh sehingga dalam penelitian ini data tinggi dan periode gelombang di laut lepas (20 m) diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan data kecepatan angin. Data kecepatan dan arah angin harian selama 19 tahun (tahun 1990-2008) diperoleh dari Stasiun Badan Meteorologi Maritim Makassar. Data tersebut kemudian ditabulasi dalam bentuk frekuensi dan presentase angin, seperti pada Tabel 4, dibuat dalam bentuk diagram mawar angin (windrose) seperti pada Gambar 16 dan Lampiran 7. Tabel 4 Persentase kecepatan dan arah angin harian selama tahun 1990-2008 Arah Angin Kecepatan Angin harian (m/det) 0.5-2.1 2.2-3.6 3.7-5.7 5.8-8.8 8.9-11.1 >=11.1 Total 337.5-22.5 (Utara) 0.06 0.33 3.72 2.45 0.50 0.45 7.51 22.5-67.5 (Timur Laut) 0.04 0.19 2.12 2.10 0.33 0.16 4.94 67.5-112.5 (Timur) 0.07 0.56 3.04 1.30 0.39 0.35 5.71 112.5-157.5 (Tenggara) 0.09 0.32 3.20 1.53 0.12 0.06 5.30 157.5-202.5 (Selatan) 0.00 0.13 1.43 0.68 0.12 0.03 2.38 202.5-247.5 (Barat Daya) 0.09 0.49 10.42 8.07 0.98 0.42 20.46 247.5-292.5 (Barat) 0.14 1.33 19.38 7.87 1.31 2.22 32.25 292.5-337.5 (Barat Laut) 0.12 1.05 9.44 6.23 1.86 2.77 21.46 Sub Total 0.61 4.39 52.74 30.22 5.61 6.44 100 Berdasarkan data angin di atas, maka diperoleh bahwa selama 19 tahun arah angin dominan dari arah barat (32.25%), barat laut (21.46%) dan barat daya (20.46%) seperti diperlihatkan pada Gambar 14. Kecepatan angin harian sebagian besar berkisar antara 3.6-5.7 m/s (52.74%), dan antara 5.7-8.8 m/detik (30.22%) seperti pada Gambar 17. Hasil ini sesuai dengan data angin reanalisis yang diunduh dari http://ecmwf.int, seperti diperlihatkan pada Lampiran 8.

52 Gambar 16 Mawar angin (wind rose) pada tahun 1990-2008. 60 50 52.7 % 40 30 30.2 20 10 0 4.4 5.6 6.4 0.6 0,5-2,1 2.1-3.6 3.6-5.7 5.7-8.8 8.8-11.1 >= 11.1 Kelas Kecepatan Angin (m/s) Gambar 17 Diagram batang distribusi kecepatan angin tahun 1990-2008.

53 Pada bulan Desember sampai Februari (musim barat) arah angin harian dominan berasal dari arah barat laut (39.48%) dan dari arah barat (28.05%), sedangkan kecepatan angin harian dominan berkisar antara 3.6-5.7 m/s (32.65%) dan antara 5.7-8.8 m/detik (31.49%). Pada bulan Juni sampai Agustus (musim timur) arah angin harian dominan berasal dari arah barat (39.30%) dan dari arah barat (22.42%), sedangkan kecepatan angin harian dominan berkisar antara 3.6-5.7 m/s (68.76%) dan antara 5.7-8.8 m/detik (23.68%) seperti diperlihatkan pada Gambar 18. Secara umum baik pada musim barat maupun musim timur arah angin harian dominan berasal dari arah Barat, Barat Laut dan Barat Daya. Kec. Angin (m/s) (a) (b) Gambar 18 Mawar angin (wind rose) (a) musim barat, (b) musim timur. 4.2 Bentuk Profil Pantai Dari data kedalaman dasar laut diperoleh bahwa pada pantai Barombong (lokasi A, B dan C) lebih dangkal dibandingkan dengan pantai Tanjung Merdeka (lokasi D dan E) dan pantai Tanjung Bunga (lokasi F dan G). Gambar 19 memperlihatkan bahwa pada pantai Barombong kedalaman laut 20 m berada pada jarak sekitar 3.5 km dari garis pantai, sedangkan pada pantai Tanjung Merdeka dan Tanjung bunga kedalaman laut 20 m berada pada jarak sekitar sekitar 2.5 km dari garis pantai.

54 Gambar 19 Hasil pengukuran kedalaman dasar laut. Untuk keperluan dalam melakukan koreksi terhadap garis pantai yang diperoleh dari citra maka dibuat 7 (tujuh) profil lereng pantai pada jarak 0 sampai 1 km ke lepas pantai, seperti ditunjukkan pada Gambar 20. Pada gambar tersebut diperoleh bahwa dari selatan ke utara (dari pantai Barombong sampai Tanjung bunga) lereng pantai cenderung semakin membesar. Lereng pantai di perairan Barombong berkisar antara 0.9-1.3%, di perairan Tanjung merdeka berkisar antara 0.8-1.2% dan di perairan Tanjung bunga berkisar antara 1.0-1.3%, seperti diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5 Data kemiringan pantai pada pada jarak 0 sampai 1 km ke lepas pantai Barombong Tanjung Merdeka Tanjung Bunga Lokasi A B C D E F G Kelerengan (%) 0.9 1.3 0.9 0.8 1.2 1.3 1.0

55 Kedalaman (m) 0-2 -4-6 -8-10 -12-14 -16 Jarak tegak lurus pantai (m) 0 500 1000 Lokasi A Lokasi B Lokasi C (a) (b) (c) Gambar 20 Hasil pengukuran kelerengan pantai (a) Tanjung Bunga, (b) Tanjung Merdeka, dan (c) Barombong.

56 4.3 Gelombang 4.3.1 Karakteristikgelombanglaut lepas Perhitungan tinggi dan periode gelombang di laut lepas (Lampiran 9 dan 10) dilakukan dengan menggunakan data panjang fetch dan kecepatan angin. Karena pantai lokasi penelitian merupakan pantai barat, maka dalam perhitungan tinggi gelombang digunakan panjang fetch dari arah barat laut (63.000 m), barat (100.000 m) dan barat daya (79.000 m). Tinggi dan periode gelombang pada kedalaman 20 m selama tahun 1990-2008 diperlihatkan pada Gambar 21 dan 22. Hasil perhitungan tersebut diringkaskan seperti diperlihatkan pada Tabel 6 dan Gambar 23. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa tinggi gelombang yang terjadi selama tahun 1990-2008 berkisar antara 0.26-2.78 m, sedangkan periode gelombang berkisar antara 3.06-7.26 detik. Tinggi dan periode gelombang yang terjadi di lokasi penelitian selama 19 tahun sangat bervariasi. Tinggi gelombang dominan berada pada kisaran 0.40-0.59 m (46.05%) dan kemudian pada kisaran 0.60-0.79 m (32.37%). Sedangkan arah gelombang dominan dari arah barat (43.48%), barat laut (28.93%) dan barat daya (27.59%), seperti diperlihatkan pada Tabel 6. Tinggi gelombang rata-rata bulanan yang terjadi umumnya lebih besar pada bulan Desember sampai Februari (musim barat) dibandingkan pada bulan Juni sampai Agustus (musim timur), kecuali pada tahun 2007 tinggi gelombang rata-rata bulanan terbesar pada bulan Juni separti diperlihatkan pada Gambar 23. Tinggi gelombang yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi angin musiman di Selat Makassar. Kecepatan dan arah angin di Selat Makassar dipengaruhi oleh sistim angin muson yang selalu berubah tergantung pada musim. Perubahan sistim angin muson di sebabkan oleh posisi matahari yang melintasi equator dua kali setiap tahun (Wrytki 1961). Berdasarkan letak geografis daerah penelitian yang menghadap ke barat, pantai di daerah tersebut dapat diterjang oleh hempasan gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang berhembus dari Selat Makassar, terutama pada saat angin dari arah barat daya, barat dan barat laut. Di sekitar daerah penelitain terdapat beberapa pulau yang umumnya terletak di sebelah barat laut lokasi penelitian. Keberadaan pulau tersebut dapat berfungsi sebagai penghalang

57 gelombang sehingga gelombang yang dibangkitkan oleh angin dan bergerak menuju ke pantai dapat tertahan oleh pulau-pulau tersebut. Karena letak pulaupulau tersebut berada di sebelah barat laut, gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang bersal dari arah barat laut umumnya lebih kecil dari pada gelombang yang berasal dari barat dan barat daya. Gambar 21 Tinggi gelombang harian selama tahun 1990-2008. Gambar 22 Periode gelombang harian selama tahun 1990-2008.

58 Tabel 6 Presentase tinggi dan arah gelombang laut pada kedalaman 20 m selama tahun 1990-2008 Arah Gelombang Tinggi Gelombang (m) (dari) 0-0,19 0.20-0.39 0.40-0.59 0.60-0.79 0.80-0.99 >= 1.00 Total Barat Laut 0.02 2.62 13.89 6.00 3.69 2.70 28.93 Barat 0.10 1.38 18.77 15.68 4.37 3.19 43.48 Barat Daya 0.00 0.91 13.39 10.69 1.96 0.64 27.59 Total 0.12 4.92 46.05 32.37 10.03 6.53 100 (a) (b) Gambar 23 Tinggi dan periode gelombang bulanan (a) tahun 1990-1999, (b) tahun 2000-2008.

59 4.3.2 Transformasigelombang Berdasarkan bentuk pantai dan arah angin yang dapat membangkitkan gelombang pada lokasi penelitian, maka perhitungan transformasi gelombang dilakukan dalam tiga arah yaitu arah barat daya, barat dan barat laut. Pada saat gelombang merambat dari arah barat daya, terlihat adanya perubahan garis ortogonal gelombang yaitu arah perambatan gelombang yang membelok ke kiri dan cenderung untuk tegak lurus dengan garis pantai (Gambar 24a), pada saat gelombang berasal dari arah barat, arah perambatan gelombang pada umumnya lurus menuju ke pantai (Gambar 24b) kecuali pada pantai Tanjung Bunga (lokasi F dan G), dan di sekitar muara bagian selatan (lokasi C dan D) arah gelombang cenderung mengumpul (Gambar 24d). Pada saat gelombang berasal dari arah barat daya arah perambatan gelombang membelok ke kanan dan cenderung untuk tegak lurus dengan garis pantai (Gambar 24c). Perubahan arah gelombang terutama terjadi pada saat gelombang sudah dekat dengan pantai. Perubahan arah gelombang disebabkan oleh pengaruh refraksi karena adanya perbedaan kecepatan rambat gelombang. Perbedaan kecepatan gelombang terjadi di sepanjang garis muka gelombang yang bergerak membentuk sudut terhadap garis pantai. Gelombang yang berada pada laut yang lebih dalam bergerak lebih cepat dari pada gelombang yang berada pada laut yang lebih dangkal (USACE 2003a). Perubahan arah gelombang menyebabkan terjadinya pengumpulan garis arah gelombang (konvergensi) pada garis pantai yang menjorok ke laut dan terjadi penyebaran (divergensi) pada garis pantai yang menjorok ke darat. Konvergensi gelombang terjadi pada lokasi C, D, E dan F. Pantai yang mempunyai kelerengan lebih curam (pantai Tanjung Merdeka dan Tanjung Bunga) tinggi gelombang yang terjadi lebih besar dari pada pantai yang mempunyai kelerengan landai (pantai Barombong).

60 25 23 20 10 5 G F E D C B A (a) 25 23 20 10 5 G F E 25 23 20 10 5 G F E D C B A (b) D 1.04 1.02 1 0.98 0.96 0.94 0.92 0.9 0.88 0.86 0.84 0.82 0.8 D C B C A (c) (d) Gambar 24 Proses refraksi gelombang yang menuju pantai (a) arah gelomabng dari barat laut, (b) dari barat, (c) dari barat daya dan (d) dari barat yang diperbesar pada lokasi C dan D. Pada saat gelombang merambat dari laut lepas menuju ke pantai, tinggi gelombang tersebut mula-mula mengalami penurunan di perairan transisi dan di perairan yang sangat dangkal tinggi gelombang membesar secara perlahan hingga mencapai tinggi maksimum saat gelombang pecah. Penurunan tinggi gelombang mulai terjadi pada kedalaman 10 m kemudian pada kedalaman 5 m tinggi gelombang mulai membesar sampai pecah, dan tinggi gelombang berkurang secara drastis hingga bernilai nol pada garis pantai seperti diperlihatkan pada Gambar 25. Perubahan tinggi gelombang yang terjadi selama menjalar dari laut lepas ke pantai disebabkan oleh pengaruh shoaling dan refraksi karena adanya perubahan kedalaman laut (USACE 2003a). Hasil ini menunjukkan adanya kemiripan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balas dan Inan (2002) di pantai Turki

61 yaitu pada saat gelombang tiba di pantai, tinggi gelombang mengalami peningkatan sampai gelombang pecah. Perbedaan model ini dengan model yang dibuat oleh Balas dan Inan (2002) adalah model ini menggunakan persamaan CEM yang dibangun oleh US Army Corps of Engineers sedangkan dalam model Balas dan Inan (2002) menggunakan persamaan Mild Slopes. (a) (b) (c) Gambar 25 Perubahan tinggi gelombang dari laut lepas sampai pada saat gelombang pecah, (a) i = 250, (c) i = 630 dan (c) i = 940.

62 Gelombang yang bergerak dari laut lepas menuju ke pantai akan mengalami perubahan tinggi dan arah karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Di laut lepas bentuk gelombang adalah sinusoidal, pada saat gelombang memasuki perairan dangkal puncak gelombang menjadi semakin tajam sementara lembah gelombang menjadi semakin landai. Pada suatu kedalaman tertentu puncak gelombang semakin tajam sehingga tidak stabil dan pecah. Setelah pecah gelombang terus menjalar ke pantai, dan semakin dekat dengan pantai tinggi gelombang semakin berkurang. Pada saat gelombang mengalami proses transformasi, selain terjadi perubahan tinggi gelombang juga terjadi perubahan arah gelombang. Tinggi dan arah gelombang di daerah pantai sangat penting dalam menentukan laju angkutan sedimen di daerah pantai dan perubahan garis pantai (Ashton & Murray 2006 ). Hasil perhitungan tinggi gelombang pecah yang diperlihatkan pada Gambar 26 dilakukan dengan menggunakan tinggi gelombang laut lepas: H 0 = 0.69, H 0 = 0.98 dan H 0 = 1.56 m. Hasil perhitungan diperoleh bahwa untuk input H 0 = 0.69 m, tinggi gelombang pecah yang diperoleh berkisar antara 0.77-0.79 m, untuk input H 0 = 0.98 m tinggi gelombang pecah yang terjadi berkisar antara 1.18-1.21 m, untuk input H 0 = 1.56 m tinggi gelombang pecah yang terjadi berkisar antara 1.86-1.94 m. Gambar 26 Tinggi gelombang pecah sepanjang pantai dengan tinggi gelombang laut lepas (H 0 ) yang berbeda.

63 Hasil perhitungan tinggi gelombang pecah, secara umum menunjukkan kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdallah et al. (2006) yang mengamati transformasi gelombang di Tanjung Rosetta, Teluk Abu-Qir. Tinggi gelombang pecah pada kedua sisi Tanjung Rosetta hampir sama. Untuk tiggi gelombang laut lepas 1 m, gelombang pecah terjadi pada kedalaman air sekitar 1.7 m dengan tinggi gelombang pecah 1.5 m. Dalam penelitian ini model transformasi gelombang menggunakan persamaan CEM (USACE 2003a) dan kriteria gelombang pecah menggunakan persamaan Horikawa (1988), sedangkan pada model Abdallah et al. (2006) menggunakan program ACES. Jarak gelombang pecah ke garis pantai (surf zone) tergantung pada tinggi gelombang yang datang dan kelerengan pantai. Semakin tinggi gelombang yang datang, semakin lebar surf zone dan semakin kecil kelerengan pantai, semakin lebar surf zone. Jarak gelombang pecah ke garis pantai diperlihatkan pada Gambar 27. Lokasi gelombang pecah terhadap garis pantai bervariasi sebagai fungsi dari posisi. Gelombang yang lebih besar bergerak menuju pantai cenderung pecah lebih jauh dari garis pantai dibandingkan dengan gelombang yang kecil (Thornton & Guza 1983). Hal ini mungkin disebabkan karena semakin besar gelombang laut lepas yang bergerak menuju pantai semakin besar pula gelombang pecah dan semakin besar kedalaman laut dimana gelombang tersebut pecah. Lebar surf zone untuk tinggi gelombang H 0 = 1.56 m lebih besar dari pada H 0 = 0.69 dan H 0 = 0.98 m. Untuk tinggi gelombang laut lepas H 0 = 0.69 m, lebar surf zone berkisar antara 170-790 m, untuk tinggi gelombang laut lepas Ho = 0.98 m, lebar surf zone berkisar antara 245-840 m dan untuk H 0 = 1.56 m, berkisar antara 275-880 m. Pada Gambar 25 terlihat bahwa lebar surf zone pada lokasi C, D dan E lebih besar dari pada lokasi A, B, F dan G. Hal ini disebabkan karena kelerengan pantai pada lokasi C, D dan E lebih landai dibandingkan pada lokasi A, B, F dan G.

64 Lokasi gelombang pecah A B C D E F G Gambar 27 Jarak gelombang pecah dari garis pantai dengan tinggi gelombang laut lepas (H 0 ) yang berbeda. 4.4 Pasang surut Data pasang surut (Gambar 28) yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan diolah untuk memperoleh konstanta harmonik pasang surut dengan metode Admiralty Hasil perhitungan konstanta harmonik pasang surut di diperlihatkan pada Tabel 7. Dari nilai konstanta harmonik pasang surut, diperoleh bilangan Formzahl (F) sebesar 2.4. Berdasarkan kriteria courtier range, nilai tersebut termasuk dalam tipe pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal). Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Posisi muka air (cm) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 12 Jam Gambar 28 Grafik data pasang surut di lokasi penelitian.

65 Tabel 7 Hasil perhitungan konstanta harmonik pasang surut Kota Makassar So M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4 Amplitudo (cm) 90 10 19 5 4 38 33 13 1 1 Fase (der) 118 159 66 159 54 299 54 156 242 Perhitungan tunggang pasang surut untuk pasang surut harian tunggal dilakukan dengan menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Beer (1997) seperti diperlihatkan pada Tabel 8. Tunggang pasang surut didasarkan pada tinggi muka air laut rata-rata (MSL) artinya ketinggian MSL adalah nol. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa tunggang pasang surut pada saat pasang purnama (spring tide)sebesar 81 cm, sedangkan pada saat pasang perbani (neap tide) tunggang pasang surut sebesar 61 cm. Tabel 8 Hasil perhitungan tunggang air pasang surut pada referensi MSL (Beer 1997) Karakteristik Pasang Surut Persamaan Posisi (cm) Tunggang Pasang (cm) MHWS S 0 + (M 2 + K 1 + O 1 )/2 40.5 MHWN S 0 + (K 1 + O 1 -M 2 )/2 30.5 MSL 0 MLWN S 0 -(K 1 + O 1 -M 2 )/2-30.5 MLWS S 0 -(M 2 + K 1 + O 1 )/2-40.5 Neap tide Spring tide 4.5 Sedimen Pantai 4.5.1 Karakteristi sedimen pantai Penentuan karakteristik sedimen pantai dilakukan pada 7 lokasi yang bertujuan mengetahui massa jenis dan tekstur sedimen di sepanjang pantai lokasi penelitian. Hasil perhitungan massa jenis dan persentase butiran sedimen diperlihatkan pada Tabel 9. Nilai persentase sedimen digunakan untuk menentukan nilai statistik (mean, skewness, sorting dan kurtosis) butiran sedimen, seperti diperlihatkan pada Tabel 10.

66 Tabel 9 Hasil perhitungan persentase diameter butiran sedimen Lokasi Nilai Ø 5 16 25 50 75 84 90 95 A 0.070 0.327 0.537 1.237 2.353 2.719 2.879 3.203 B 0.140 0.243 0.432 0.956 1.952 2.388 2.685 2.938 C -0.123 0.191 0.358 0.823 1.847 2.374 2.726 2.956 D -0.204 0.161 0.311 0.726 1.141 2.088 2.537 2.898 E -0.424 0.124 0.277 0.702 1.445 1.983 2.557 2.892 F -0.308 0.139 0.281 0.677 1.261 1.771 2.163 2.580 G -0.408 0.133 0.293 0.734 1.522 1.993 2.450 2.813 Berdasarkan hasil analisis data sedimen diperoleh bahwa secara umum nilai rata-rata massa jenis sediman berkisar antara 2582-2614 kg/m 3, sedangkan diameter dari 50% butiran sedimen (d 50 ) berkisar antara 0.45-0.65 mm. Nilai pemilahan sedimen (sorting) berkisar antara 0.85-1.07 phi unit yang didominasi oleh Moderately Sorted, nilai kepencongan (skewness) berkisar 0.25-0.41 phi unit yang didominasi oleh Very Fine Skewed, sedangkan nilai kurtosis lebih bervariasi yaitu berkisar 0.71-1.53 phi unit yang didominasi oleh Platykurtic, seperti diperlihatkan pada Tabel 10. Tabel 10 Massa jenis dan statistik butiran sedimen di sepanjang patai lokasi penelitian Massa jenis d 50 Lokasi (kg/m 3 ) (mm) Mean Skewness Sorting Kurtosis A 2596 0.45 Medium sand Fine Skewed Poorly Sorted Platykurtic B 2598 0.49 Medium sand Very Fine Skewed Moderately Sorted Platykurtic C 2614 0.58 Coarse sand Very Fine Skewed Poorly Sorted Platykurtic D 2582 0.6 Coarse sand Very Fine Skewed Moderately Sorted Very leptokurtic E 2593 0.61 Coarse sand Very Fine Skewed Moderately Sorted Leptokurtic F 2584 0.65 Coarse sand Very Fine Skewed Moderately Sorted Leptokurtic G 2587 0.62 Coarse sand Very Fine Skewed Moderately Sorted Mesokurtic

67 Pada pantai bagian selatan (Pantai Barombong; lokasi A, B dan C) memiliki karakterisitik sedimen dasar dalam bentuk pasir sangat halus sampai pasir sangat kasar yang didominasi oleh pasir kasar (43-48%), pasir sedang (22-24%) dan pasir halus (20-28%) seperti diperlihatkan pada Gambar 29. Nilai diameter sedimen rata-rata di pantai Barombong lebih kecil dari pada lokasi lainnya yaitu berkisar 0.45-0.49 mm. Pantai Barombong memiliki nilai kondisi pemilahan sedimen berkisar antara 0.96-1.07 phi unit, yang termasuk dalam kelompok moderately sorted dan Poorly Sorted, nilai kepencongan berkisar 0.25-0.38 phi unit, yang termasuk dalam kelompok fine skewed dan very fine skewed, sedangkan nilai kurtosis berkisar 0.71-0.76 phi unit, yang termasuk dalam kelompok Platykurtic. Gambar 29 Persentase jenis sedimen di sepanjang patai Barombong. Pantai Tanjung Merdeka (lokasi D dan E) juga memiliki karakterisitik sedimen dasar dalam bentuk pasir sangat halus sampai pasir sangat kasar yang didominasi oleh pasir kasar (54-60%) dan pasir sedang (16-18%) seperti diperlihatkan pada Gambar 30. Nilai diameter sedimen rata-rata di pantai Tanjung Merdeka berkisar antara 0.58-0.61 mm. Nilai kondisi pemilahan sedimen berkisar antara 0.95-1.01 phi unit, yang termasuk dalam kelompok moderately sorted dan Poorly Sorted, nilai kepencongan berkisar 0.35-0.41 phi unit, yang termasuk dalam kelompok very fine skewed, sedangkan nilai kurtosis berkisar 0.85-1.53 phi unit, yang termasuk dalam kelompok Platykurtic, Leptokurtic dan Very leptokurtic.

68 Gambar 30 Persentase jenis sedimen di sepanjang patai Tanjung Merdeka. Pada pantai Tanjung bunga terdapat dua lokasi pengamatan karakteristik sedimen, yaitu pada lokasi F dan G. Kedua lokasi pengamatan tersebut memiliki karakterisitik sedimen dasar dalam bentuk pasir sangat halus sampai pasir sangat kasar, yang didominasi oleh pasir kasar (57-63%) dan pasir sedang (17-19%) seperti diperlihatkan pada Gambar 31. Nilai diameter sedimen rata-rata di pantai Tanjung Bunga berkisar 0.62-0.65 mm. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan pantai Tanjung Merdeka dan Barombong. Hal ini dapat terjadi karena di pantai Tanjung Bunga memiliki tinggi gelombang pecah lebih besar dari pada pantai Barombong dan Tanjung Merdeka. Gelombang yang tinggi mempunyai energi gelombang yang besar sehingga dapat menggerakkan partikel sedimen di pantai dan butiran pasir yang lebih halus terangkut ke tempat lain. Nilai kondisi pemilahan sedimen di pantai Tanjung Bunga berkisar 0.85-0.95 phi unit, yang termasuk dalam kelompok moderately sorted, nilai kepencongan berkisar 0.32-0.33 phi unit, yang termasuk dalam kelompok very fine skewed, sedangkan nilai kurtosis berkisar 1.07-1.21 phi unit, yang termasuk dalam kelompok mesokurtic dan Leptokurtic.

69 Gambar 31 Persentase jenis sedimen di sepanjang patai Tanjung Bunga. 4.5.2 Angkutan sedimen sejajar pantai Hasil perhitungan angkutan sedimen di sepanjang pantai menunjukkan bahwa pada saat gelombang datang dari arah barat daya dan barat, laju angkutan sedimen sejajar pantai dominan ke arah utara, sedangkan pada saat gelombang datang dari arah barat laut angkutan sedimen sejajar pantai dominan ke arah selatan seperti diperlihatkan pada Gambar 32. Pada saat gelombang datang dari arah barat daya (terutama terjadi pada bulan Desember-Maret) besar angkutan sedimen berkisar antara 0.9-282.5 m 3 /hari dengan rata-rata 20.6 m 3 /hari ke arah utara dan 0.8-11.2 m 3 /hari dengan rata-rata 2.7 m 3 /hari ke arah selatan. Netto angkutan sedimen pada saat gelombang dari arah barat daya adalah 17.9 m 3 /hari ke arah utara. Pada saat gelombang datang dari arah barat besar angkutan sedimen berkisar antara 0.1-265 m 3 /hari dengan rata-rata 19.9 m 3 /hari ke arah utara dan 7.8-49.7 m 3 /hari dengan rata-rata 11.9 m 3 /hari ke arah selatan. Netto angkutan sedimen pada saat gelombang dari arah barat adalah 8.0 m 3 /hari ke arah utara. Ketika gelombang dari barat, arah angkutan sedimen pada beberapa lokasi bergerak ke utara dan sebagian lokasi ke selatan, hal ini disebabkan karena orientasi pantai yang tidak lurus (berkelok). Pada saat gelombang datang dari arah barat laut besar angkutan sedimen di sepanjang pantai berkisar antara 0.5-10.1 m 3 /hari dengan rata-rata 2.6 m 3 /hari ke

70 arah utara dan 0.1-280.5 m 3 /hari dengan rata-rata 19.7 m 3 /hari ke arah selatan. Netto angkutan sedimen pada saat gelombang dari arah barat laut adalah 17.1 m 3 /hari ke arah selatan. Hasil perhitungan netto angkutan sedimen sejajar pantai ke utara dan ke selatan menunjukan bahwa angkutan sedimen di lokasi penelitian dominan ke arah utara. Angkutan sedimen sejajar pantai (m 3 /hari) 25 20 15 10 5 0-5 -10-15 -20-25 Gelombang dari Barat Daya Gelombang dari Barat Ke Utara Ke Selatan Netto Gelombang dari Barat Laut Ke utara Ke selatan Gambar 32 Besar angkutan sedimen di sepanjang pantai dengan arah datang gelombang dari barat daya, barat dan barat laut Hasil perhitungan angkutan sedimen di setiap lokasi diperlihatkan pada Gambar 33. Ketika gelombang datang dari arah barat daya angkutan sedimen semuanya menuju ke arah utara di lokasi A yaitu sekitar 37.4 m 3 /hari, sedangkan pada saat gelombang datang dari arah barat laut angkutan sedimen semuanya ke arah selatan sekitar 19.4 m 3 /hari. Pada saat gelombang datang dari arah barat angkutan sedimen ke arah utara sekitar 23.0 m 3 /hari. Besar angkutan sedimen rata-rata di lokasi ketika gelombang datang dari arah barat daya adalah 25.1 m 3 /hari ke arah utara. Pada saat gelombang datang dari arah barat laut sekitar 24.4 m 3 /hari ke arah utara, dan 21.6 m 3 /hari ke arah selatan, sedangkan pada saat gelombang datang dari arah barat sekitar 9.2 m 3 /hari ke arah utara, dan 2.6 m 3 /hari ke arah selatan. Ketika gelombang datang dari arah barat daya besar angkutan sedimen ratarata di lokasi C sekitar 8.0 m 3 /hari ke arah utara, dan 11.1 m 3 /hari ke arah selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat laut sekitar 38 m 3 /hari ke arah utara,

71 dan pada saat gelombang datang dari arah barat sekitar 23.6 m 3 /hari ke arah selatan. Pada lokasi D ketika gelombang datang dari arah barat daya angkutan sedimen semuanya menuju ke arah utara dengan rata-rata 35.2 m 3 /hari, sedangkan pada saat gelombang datang dari arah barat laut angkutan sedimen ke arah utara sekitar 29.2 m 3 /hari dan sekitar 31.2 ke selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat besar angkutan sedimen ke arah utara adalah 38.4 m 3 /hari, sedangkan ke arah selatan sebesar 33.7 m 3 /hari. Angkutan sedimen pada lokasi E semua menuju ke arah utara ketika gelombang datang dari arah barat daya sebesar 23.2 m 3 /hari, sedangkan pada saat gelombang datang dari arah barat laut sekitar 26.1 m 3 /hari utara dan sekitar 19.8 m 3 /hari ke arah selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat angkutan sedimen ke arah utara sebesar 16.5 m 3 /hari dan sekitar 5.5 m 3 /hari ke selatan. Lokasi F, ketika gelombang datang dari arah barat daya semua angkutan sedimen menuju ke arah utara sebesar 94.6 m 3 /hari. Pada saat gelombang datang dari arah barat laut angkutan sedimen ke arah utara sekitar 26.6 m 3 /hari dan 36.3 m 3 /hari ke selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat sekitar 35.6 m 3 /hari ke arah utara dan sekitar 7.4 m 3 /hari ke arah selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat daya, angkutan sedimen yang terjadi pada lokasi G semua menuju ke arah utara yaitu 165.2 m 3 /hari, sedangkan pada saat gelombang datang dari arah barat laut semua angkutan sedimen ke arah selatan sebesar 222.6 m 3 /hari. Pada saat gelombang datang dari arah barat angkutan sedimen ke arah utara sebesar 294.2 m 3 /hari. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa angkutan sedimen di pantai Tanjung Bunga lebih besar dari pada pantai lainnya. Terjadinya variasi angkutan sedimen antar lokasi terutama disebabkan karena adanya perbedaan sudut gelombang pecah. Angkutan sedimen pada pantai Tanjung Bunga disebabkan karena pantai Tanjung Bunga mempunyai orientasi garis pantai yang cenderung menghadap ke barat laut sehingga pada saat gelombang berasal dari barat dan barat daya sudut gelombang pecah lebih besardari pada pantai barombong dan Tanjung Merdeka angkutan sedimen pada pantai Tanjung Bunga lebih besar dari pada pantai lainnya.

72 Angkutan sedimen (m 3 /hari) 400 300 200 100 0-100 Gelombang dari barat daya Gelombang dari barat Gelombang dari barat laut A B C D E F G Utara -200-300 Lokasi Selatan Gambar 33 Besar angkutan sedimen pada setiap lokasi daerah penelitian. 4.6 Perubahan Garis Pantai a. Hasil citra satelit Perubahan garis pantai diteliti dengan menggunakan citra landsat tahun 1990, 1999, 2003 dan 2008. Garis pantai tahun 1990 digunakan sebagai garis pantai awal untuk melihat besar perubahan garis pantai yang terjadi selama tahun 1990-2008. Hasil digitasi garis pantai diperlihatkan pada Gambar 34, yang merupakan hasil tumpang tindih (overlay) citra tahun 1990, 1999, 2003 dan 2008. Secara umum terlihat bahwa selama tahun 1990-2008 telah terjadi abrasi di satu sisi dan mengalami sedimentasi di sisi yang lain (Tabel 11). Hasil yang diperoleh menunjukkan kemiripan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti Purba dan Jaya (2004) yang melakukan penelitian tentang perubahan garis pantai dan penutupan lahan di pesisir lampung timur dengan menggunakan citra landsat-tm tahun 1991, 1999, 2001 dan 2003. Pantai Barombong, pada tahun 1999 mengalami proses abrasi terutama terjadi di lokasi C yaitu garis pantai mundur sampai 47.8 m (lokasi C bagian selatan) dan pada lokasi C bagian utara telah terjadi sedimentasi yaitu garis pantai telah maju sejauh 67.5 m ke arah laut, pada tahun 2008 proses abrasi menurun menjadi 20.8 m, sedangkan proses sedimentasi menjadi 13.6 m.

73 G B D Tanjung Merdeka F Tanjung Bunga Tanjung Bunga Barombong S. Jeneberang # A C Barombong E Tanjung Merdeka 0 764500 765000 765500 766000 Gambar 34 Perubahan garis pantai hasil citra tahun 1990-2008 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah).

74 Tabel 11 Jarak maksimum perubahan garis pantai hasil citra tahun 1990-2008, citra tahun 1990 digunakan sebagai titik awal perubahan Jarak Maksimum Perubahan Garis Pantai (m) Lokasi Tahun 1999 2003 2008 Abrasi Sedimentasi Abrasi Sedimentasi Abrasi Sedimentasi A 5.5-4.0 4.9 2.0 6.2 B 4.3 25.9 4.0 16.3-28.2 C 47.8 67.5-19.9 20.8 13.6 D - 120.7 3.2 70.6 11.4 59.4 E 38.5 32.2 33.0 29.6 64.2 29.1 F - 76.1-23.0 66.9 - G 32.8 33.3 98.6 5.1 190.3 - Pantai Tanjung Merdeka, pada tahun 1999 mengalami proses abrasi terutama di lokasi E sebesar 38.5 m, sedangkan proses sedimentasi terutama terjadi pada lokasi D yaitu garis pantai telah maju sejauh 120.7 m dengan laju akresi sekitar 13.4 m/tahun. Pada tahun 2003 pantai Tanjung Merdeka telah mulai mengalami abrasi dan pada tahun 2008 proses abrasi semakin meningkat menjadi 64.2 m di lokai E dengan laju abrasi sekitar 7.1 m/tahun, sedangkan proses sedimentasi pada lokasi Dturun menjadi 59.4 m (Gambar 35). Pantai Tanjung Bunga, telah terjadi proses abrasi sepanjang tahun yaitu pada tahun 2008 lokasi F mengalami abrasi sejauh 66.9 m, dan pada lokasi G mengalami abrasi terbesar yaitu sejauh 190.3 m. Selama tahun 1990-2008 laju abrasi di pantai Tanjung Bunga berkisar 3.5 m/tahun di lokasi G, sedangkan di lokasi F berkisar 10.0 m/tahun. Proses abrasi dan akresi yang terjadi terutama disebabkan oleh orientasi pantai lokasi penelitian yang berkelok-kelok. Pada pantai yang menjorok ke laut mengalami abrasi, sedangkan pantai yang menjorok ke darat mengalami akresi. Selain itu juga dipengaruhi oleh penutupan muara Sungai Jeneberang dan pembangunan bendungan karet dan Bendungan Serbaguna Bilibilisehingga suplai sedimen ke pantai semakin berkurang sedangkan hempasan gelombang mengangkut sedimen yang berada di pantai.

75 Jarak Tegak Lurus Pantai (m) Laut Darat Laut 200 150 100 50 0-50 -100-150 -200 200 Tahun 1999 A B C D E F G 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 5500 6000 6500 7000 7500 8000 8500 9000 9500 Jarak Sejajar Pantai (m) (a) Tahun 2003 Jarak Tegak Lurus Pantai (m) 150 100 50 0-50 -100-150 -200 A B C D E F G Jarak Tegak Lurus Pantai (m) Darat Laut Darat 200 150 100 50 0-50 -100-150 -200 0 0 500 500 1000 1000 1500 1500 2000 2000 2500 2500 3000 3000 3500 3500 4000 (c) Gambar 35 Jarak perubahan garis pantai hasil citra (a) tahun 1999, (b) 2003 dan (c) 2008 terhadap hasil citra tahun 1990. 4500 5000 (b) 5500 6000 6500 Jarak Sejajar Pantai (m) 4000 Tahun 2008 A B C D E 4500 5000 5500 6000 Jarak Sejajar Pantai (m) 6500 7000 7000 7500 7500 8000 8000 8500 F 8500 9000 9000 G 9500 9500

76 b. Hasil model Untuk mengetahui berapa besar perbedaan perubahan garis pantai antara hasil prediksi model dan hasil citra, dilakukan tumpang tindih garis pantai awal (tahun 1990), garis pantai citra pada tahun 1999 dan garis pantai hasil prediksi model tahun 1999 seperti diperlihatkan pada Gambar 36. Tumpang tindih garis pantai citra pada tahun 2003 dan garis pantai hasil prediksi model tahun 2003 diperlihatkan pada Gambar 37 dan untuk tahun 2008 diperlihatkan pada Gambar 38. Berdasarkan hasil tumpang tindih garis pantai hasil citra dan model menunjukkan adanya kemiripan pola garis pantai. Perubahan garis pantai hasil model dan citra keduanya menunjukkan lokasi yang sama dimana proses abrasi dan akresi terjadi relatif terhadap garis pantai awal. Dari hasil tumpang tindih garis pantai 1999, diperoleh selisih anatara garis pantai hasil model dengan garis pantai hasil citra seperti diperlihatkan pada Tabel 12. Pada tahun 1999 secara keseluruhan selisih antara hasil model dengan hasil citra pada semua lokasi berkisar 0.01-28.20 m, perbedaan ini terutama terjadi pada lokasi D. Pada tahun 2003 selisih antara garis pantai hasil model dan citra terbesar terjadi pada lokasi E berkisara 0.01-11.90 m. Pada tahun 2008 selisih antara garis pantai hasil model dan hasil citra terbesar terjadi pada lokasi C berkisar 0.04-17.10 m yang terjadi pada lokasi C. Garis pantai hasil model ini diperoleh setelah dilakukan proses coba ulang (trial and error) yaitu dengan cara mengubah-ubah nilai Cn (persentase kejadian gelombang). Nilai Cn yang digunakan dalam model ini adalah 0.01, sedangkan Komar (1983) menggunakan niali Cn = 0.05. Selain itu pada model perhitungan angkutan sedimen dilakukan penyesuaian terhadap persamaan yang digunakan pada titik grid 878-978. Perhitungan besar angkutan sedimen pada lokasi tersebut dikalikan dengan suatu besaran yang ditentukan melalui persamaan : Q i = Q t * (1,13022383 + 0,020561414*x + 0.0037802537*x 2-0,000035347897*x 3 + 0,00000014975966*x 4 )

77 G B D Tanjung Merdeka F Tanjung Bunga Barombong S. Jeneberang A C Barombong E Tanjung Merdeka Gambar 36 Perubahan garis pantai hasil citra dan hasil model tahun 1999 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah).

78 G B Barombong D Tanjung Merdeka S. Jeneberang F Tanjung Bunga A C Barombong E Tanjung Merdeka Gambar 37 Perubahan garis pantai hasil citra dan hasil model tahun 2003 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah).

79 G B D Tanjung Merdeka F Tanjung Bunga Barombong S. Jeneberang A C Barombong E Tanjung Merdeka Gambar 38 Perubahan garis pantai hasil citra dan hasil model tahun 2008 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah). Dari hasil tumpang tindih garis pantai hasil model dan hasil citra diperoleh bahwa persentase kesalahan hasil model terhadap citra berkisar antara 4.9-51.2% (Tabel 12). Pada penelitian ini perubahan garis pantai dari citra satelit diperoleh dari citralandsat yang mempunyai resolusi spasial 30 x 30 meter, dimana 50%

80 dari resolusi satelit yang digunakan adalah kemungkinan penyebab error terhadap perhitungan garis pantai. Tabel 12 Selisih perubahan garis pantai antara hasil citra pada tahun yang samadan hasil model relatif terhadap garis pantai awaltahun 1990 Selisih Perubahan Garis Pantai Tahun Lokasi 1999 2003 2008 Jarak Jarak Error Jarak Jarak Error Jarak Jarak Error Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata Rata-rata (m) (m) (%) (m) (m) (%) (m) (m) (%) A 0.01-8.7 1.7 41.8 0.01-2.4 1.0 39.1 0.01-8.2 1.9 44.9 B 0.01-9.4 2.5 28.1 0.15-6.3 2.6 46.2 0.02-6.7 3.0 31.0 C 0.12-23.7 7.8 18.3 0.08-7.8 3.1 27.3 0.04-17.1 4.6 51.2 D 0.01-28.2 4.8 7.3 0.07-10.6 6.6 19.2 0.13-10.2 3.1 13.5 E 0.03-18.6 5.9 9.1 0.01-11.9 5.0 22.1 0.54-15.3 3.2 16.9 F 0.25-4.9 3.6 6.2 0.09-1.7 1.0 23.6 4.42-9.9 7.7 15.3 G 0.01-8.1 3.1 23.9 0.03-9.5 5.2 12.2 0.02-10.5 5.7 4.9 Morfologi garis pantai di sepanjang lokasi penelitian berkelok-kelok, seperti pantai Barombong bagian selatan (lokasi A) dan pantai Barombong bagian tengah (lokasi B) mempunyai bentuk garis pantai yang menjorok ke darat, sedangkan pantai Barombong bagian utara (lokasi C) menjorok ke laut. Garis pantai Tanjung Merdeka bagian selatan berbentuk tonjolan sedangkan barombong bagian utara berbentuk lurus. Garis pantai Tanjung Bunga (lokasi F dan G) menjorok ke laut. Hasil prediksi model (Gambar 39) juga memperlihatkan bahwa selama tahun 1990-2008 sepanjang garis pantai telah terjadi proses abrasi di satu sisi dan mengalami sedimentasi di sisi yang lain. Proses abrasi terutama terjadi di pantai Tanjung Bunga (lokasi F dan G) dan pantai Tanjung Merdeka bagian utara (lokasi E). Proses abrasi pada pantai Tanjung Bunga terjadi karena sudut gelombang pecah yang terjadi cukup besar sehingga anggkutan sedimen juga besar sedangkan suplai sedimen dari Sungai Jeneberang berkurang. Proses akresi terutama terjadi di pantai Tanjung Merdeka bagian selatan (lokasi D) dan pantai Barombong bagian tengah. Proses akresi terjadi karena perubahan garis pantai di sekitar muara sungai sangat dipengaruhi oleh suplai

81 sedimen dari sungai (Ashton & Murray 2006) dimana pantai Tanjung Merdeka bagian selatan dan Barombong tetap mendapat suplai sedimen dari Sungai Jeneberang yang lebih besar dari pada angkutan sedimen akibat gelombang. 0 63500 6 000 6 500 G B D Tanjung Merdeka F Tanjung Bunga Barombong S. Jeneberang A C Barombong E Tanjung Merdeka Gambar 39 Perubahan garis pantai hasil model tahun 1990-2008 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah).

82 Selama tahun 1990-2008 gelombang yang berasal dari arah barat dan barat daya lebih dominan pengaruhnya dari pada barat laut. Gelombang yang berasal dari arah barat dan barat daya menyebabkan angkutan sedimen ke utara, sedangkan yang berasal dari arah barat laut akan menyebabkan angkutan sedimen ke arah selatan. Karena angkutan sedimen dominan ke arah utara, maka pertumbuhan daratan cenderung ke arah utara. Hasil penelitian yang sama juga didapatkan oleh Departemen PU. (1989) dan Suriamihardja (2005) bahwa angkutan sedimen di sepanjang pantai delta Sungai Jeneberang dominan ke utara. Hasil prediksi model memperlihatkan bahwa pada tahun 1990-1999 pantai Tanjung Merdeka mengalami akresi sejauh 126.3 m dengan laju akresi sekitar 14.0 m/tahun. Pada tahun 2003 pantai Tanjung Bunga telah mengalami abrasi sejauh 91.9 m dan semakin meningkat pada tahun 2008 menjadi 181.1 m. Laju abrasi di pantai Tanjung Bunga selama tahun 1990-2008 sebesar 9.5 m/tahun (Tabel 13). Tabel 13 Jarak maksimumperubahan garis pantai hasil model tahun 1990-2008 Jarak Maksimum Perubahan Garis Pantai (m) Lokasi Tahun 1999 2003 2008 Abrasi Sedimentasi Abrasi Sedimentasi Abrasi Sedimentasi A 11.0-5.7 6.3 6.0 7.9 B 4.7 18.9 8.2 9.9 0.2 26.2 C 31.3 69.3-23.9 16.5 28.9 D - 126.3 5.6 62.3 12.2 59.8 E 38.1 32.6 27.0 29.5 60.4 32.6 F - 77.2-22.6 58.0 - G 28.3 36.7 91.9 5.2 181.1 - Berdasarkan pada Gambar 39, maka teridentifikasi pantai yang mengalami abrasi dan akresi seperti diperlihatkan pada Gambar 40. Hasil prediksi model menunjukan bahwa luas lahan yang mengalami abrasi di sepanjang pantai pada tahun 1990-2008 sekitar 24.5ha, sedangkan yang mengalami akresi sekitar 6.2 ha. Berdasarkan luas lahan yang mengalami abrasi, maka diperkirakan jumlah sedimen yang terangkut selama tahun 1990-2008 sekitar 201116.5m 3 atau 10585.1m 3 /tahun, sedangkan yang tersedimentasi sekitar 17107.6 m 3 atau 900.4 m 3 /tahun.

83 Hasil digitasi citra menunjukan bahwa luas lahan yang mengalami abrasi di sepanjang pantai pada tahun 1990-2008 sekitar 26.2 ha, sedangkan yang mengalami akresi sekitar 6.4 ha. Berdasarkan luas lahan yang mengalami abrasi, maka diperkirakan bahwa jumlah sedimen yang terangkut sekitar 214 584.4 m3 atau 11 293.9 m3/tahun, sedangkan jumlah sedimen yang terendapkan sekitar 18 777.6 m3 atau 988.3 m3/tahun (Tabel 14). Gambar 40 Lokasi pantai yang mengalami abrasi dan akresi. Tabel 14 Luas lahan yang mengalami abrasi dan akreasi serta jumlah sedimen yang terangkut dan terendapkan dari hasil model dan hasil citra Hasil Model Hasil Citra Luas (ha2) Q (m3/19 th) Q (m3/ th) Luas (ha2) Q (m3/19 th) Q (m3/ th) Abrasi 24.5 201116.5 10585.1 26.2 214584.4 11293.9 Akresi 6.2 17107.6 900.4 6.4 18777.6 988.3

84 Sungai Jeneberang yang bermuara di Kota Makassar mempunyai dua muara yaitu muara bagian selatan (di antara pantai Barombong bagian utara dan Tanjung Merdeka bagian selatan) dan muara bagian utara (di antara pantai Tanjung Merdeka bagian utara dan Tanjung Bunga bagian selatan). Sedimen yang berasal dari Sungai Jeneberang sebagian besar tersedimentasi di sekitar muara sungai, kemudian terangkut oleh arus dan gelombang ke sepanjang pantai. Arah angkutan sedimen yang dominan ke utara menyebabkan pantai Tanjung Merdeka memperoleh sedimen terutama dari muara sungai bagian selatan, sedangkan pantai Tanjung Bunga memperoleh sedimen dari muara sungai bagian utara. Pada tahun 1993 muara Sungai Jeneberang bagian utara ditutup sehingga sedimen yang berasal dari Sungai Jeneberang semuanya mengalir ke muara bagian selatan. Hal ini menyebabkan pantai Tanjung Bunga tidak mendapat lagi suplai sedimen dari sungai bagian utara sedangkan hempasan gelombang yang terjadi setiap saat cukup besar sehingga pantai Tanjung Bunga telah mengalami abrasi. Perubahan garis pantai di sepanjang pantai lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh pembangunan Dam Bilibili yang mulai beroperasi pada tahun 1997. Sebelum pembangunan Dam Bilibili suplai sedimen Sungai Jeneberang ke pantai sangat besar sekitar 90 m 3 /hari, tetapi setelah Dam Bilibili beroperasi maka sedimen yang berasal dari DAS Sungai Jeneberang tertahan oleh Dam sehingga input sedimen sungai ke perairan pantai menjadi nol. Selain itu beberapa bendungan karet telah dibangun untuk mencegah erosi pada dasar sungai yang juga mengurangi suplai sedimen ke perairan pantai. Akibat berkurangnya suplai sedimen dari Sungai Jeneberang ke perairan pantai yaitu 90 m 3 /hari dan adanya hempasan gelombang yang terjadi setiap saat yang mengangkut sedimen diperairan pantai sekitar 20.6 m 3 /hari maka pantai Tanjung merdeka bagian utara mengalami abrasi sejau 60.4 m dan pantai Tanjung Bunga sekitar 181.1 m pada tahun 2008 (Gambar 41).

85 (a) (b) (c) Gambar 41 Jarak perubahan garis pantai hasil model (a) tahun 1999, (b) 2003 dan (c) 2008.