DINAMIKA PETAHANA DAN PENCALONANNYA DALAM PILKADA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 04 Mei 2016; disetujui: 26 Mei 2016

dokumen-dokumen yang mirip
RechtsVinding Online

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016

POTENSI CALON PERSEORANGAN DALAM PERUBAHAN KEDUA UU NO. 1 TAHUN 2015 Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 23 Maret 2016; disetujui: 4 April 2016

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016

PUTUSAN MK NO. 54/PUU-XIV/2016 DAN IMPLIKASI DI DALAM PILKADA Oleh Achmadudin Rajab* Naskah Diterima: 24 Juni 2017, Disetujui: 11 Juli 2017

URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

RechtsVinding Online

BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PUTUSAN Nomor 68/PUU-XIV/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 140/PUU-XIII/2015 Hak Konstitusional Untuk Dipilih Dalam Hal Pasangan Calon Berhalangan Tetap

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

Urgensi Pemimpin Daerah Yang Bersih Guna Mewujudkan Good Governance Oleh: Achmadudin Rajab *

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

2 inkonsistensi dan menyisakan sejumlah kendala apabila dilaksanakan, sehingga perlu disempurnakan. Beberapa penyempurnaan tersebut, antara lain: a. P

ADVOKASI HUKUM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN IDA BUDHIATI ANGGOTA KPU RI

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

Naskah diterima: 29 Desember 2015; disetujui: 11 Januari 2015

PASANGAN CALON TUNGGAL DALAM PILKADA, PERLUKAH DIATUR DALAM PERPPU? Oleh: Zaqiu Rahman *

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 2/PUU-XV/2017 Syarat Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela Bagi Calon Kepala Daerah

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 79/PUU-XIII/2015 Ketentuan Tidak Memiliki Konflik Kepentingan Dengan Petahana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RechtsVinding Online. RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. bersikap untuk tidak ikut ambil bagian. dalam voting tersebut.

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 68/PUU-XIV/2016

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

SINERGI PEMERINTAH DALAM RANGKA MENDUKUNG IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PILKADA SERENTAK TAHUN 2015

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 64/PUU-XV/2017 Keharusan Anggota DPR dan DPRD Mengundurkan Diri saat Menjadi Calon Kepala Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 115/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilukada Serentak Akibat Calon Tunggal

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Calon Tunggal)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 87/PUU-XIII/2015 Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam Bidang Ketenagalistrikan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 37/PUU-XIV/2016 Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta

KUASA HUKUM Fathul Hadie Ustman berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 20 Oktober 2014.

RechtsVinding Online. kemudian disikapi KPU RI dengan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XII/2014 Pemilihan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 37/PUU-XIII/2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 24/PUU-XV/2017 Penyelesaian Perselisihan Kepengurusan Partai Politik

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KENDAL. SALINAN KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KENDAL NOMOR: 11/Kpts/KPU-Kab-012.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

BAB III PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DENGAN SATU PASANGAN CALON DI KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015

RAPERDA PERUBAHAN PILKADES

PENGKODIFIKASIAN UNDANG-UNDANG PEMILU

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

I. PARA PEMOHON Deden Rukman Rumaji; Eni Rif ati; Iyong Yatlan Hidayat untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pembatalan Perda Oleh Gubernur dan Menteri

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 87/PUU-XIII/2015 Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam Bidang Ketenagalistrikan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XIII/2015 Persyaratan Menjadi Calon Kepala Daerah Melalui Jalur Independen

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-X/2012 Tentang Persyaratan Partai Politik Peserta Pemilu

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

PUTUSAN Nomor 46/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RechtsVinding Online

2 Dengan memperhatikan keberlangsungan penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah, mekanisme pengunduran diri Kepala Daerah dan Wa

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 29/PUU-XII/2014 Hak Politik Bagi Mantan Terpidana Politik

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 80/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Penjara 5 (lima) Tahun atau Lebih Bagi Calon Kepala Daerah

2013, No.41 2 Mengingat haknya untuk ikut serta dalam kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perw

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD dan DPRD Pemilihan Pimpinan MPR

Transkripsi:

DINAMIKA PETAHANA DAN PENCALONANNYA DALAM PILKADA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 04 Mei 2016; disetujui: 26 Mei 2016 Pengaturan mengenai syarat bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berkeinginan untuk mencalonkan diri dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota (Pilkada) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang- Undang (UU No. 1 Tahun 2015) jo Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 (UU No. 8 Tahun 2015), merupakan pengaturan yang seringkali mengalami judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Secara keseluruhan untuk semua pasal-pasal yang ada semenjak UU No. 8 Tahun 2015 diundangkan pada tanggal 18 Maret 2015 sampai terlaksananya Pilkada serentak untuk pertama kalinya pada tanggal 9 Desember 2015, telah terjadi 25 (dua puluh lima) gugatan untuk UU No. 8 Tahun 2015 ke Mahkamah Konstitusi dimana terdapat 7 (tujuh) perkara diantaranya dikabulkan. Lebh lanjut lagi, dari 7 (tujuh) perkara yang dikabulkan tersebut terdapat 3 (tiga) perkara yang dikabulkan yang khusus terkait dengan Pasal 7, yakni Perkara MK No. 33/PUU- XIII/2015, Perkara MK No. 46/PUU- XIII/2015, dan Perkara MK No. 42/PUU- XIII/2015. Banyaknya pengujian terkait dengan Pasal 7 inipun disebabkan karena Pasal 7 ini mengatur mengenai persyaratan bagi WNI yang ingin mencalonkan diri dalam Pilkada dan juga bersentuhan langsung dengan hak konstitusional yang dimiliki WNI sebagaimana diatur salah satunya dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. 1

Norma Terkait dengan Petahana Dalam UU No. 8 Tahun 2015 Ketentuan Pasal 7 UU No. 8 Tahun 2015 terkait dengan Petahana yang ingin maju mencalonkan diri pada Pilkada diatur beberapa ketentuan yakni Pasal 7 huruf n yang menyatakan belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota, Pasal 7 huruf o yang menyatakan belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota, dan Pasal 7 huruf p yang menyatakan berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon. Ketentuan di UU No. 8 Tahun 2015 dalam Pasal 7 huruf n memiliki maksud untuk menutup kemungkinan Petahana menduduki jabatan lebih dari 2 (dua) kali masa jabatan, Pasal 7 huruf o mengatur mengenai Petahana untuk tidak bisa turun jabatan dari yang sebelumnya menjabat kepala daerah menjadi wakil kepala daerah, dan Pasal 7 huruf p mengatur mengenai Petahana harus berhenti semenjak ditetapkan sebagai calon jika mau maju di daerah lain. Pasal 7 huruf n, huruf o, dan huruf p tersebut memiliki semangat yang sama yakni untuk membatasi lamanya seseorang menduduki jabatan pemerintahan karena sesuai dengan hukum besi kekuasaan yakni setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton bahwa Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Pembatasan ini memiliki maksud yang baik, justru jika tidak dibatasi maka akan menimbulkan iklim kinerja yang tidak sehat dalam pemerintahan daerah. Konflik Norma Terkait Petahana Harus Mundur Dengan Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Pasal 7 huruf p mengatur mengenai Petahana harus berhenti semenjak ditetapkan sebagai calon hanya jika mau maju di daerah lain, sedangkan jika Petahana maju kembali di daerah sendiri diatur dalam 2

Pasal 70 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2015 yang menyatakan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, dalam melaksanakan kampanye harus memenuhi ketentuan: a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, b. menjalani cuti di luar tanggungan Negara, dan c. pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika pengaturan terkait Petahana dalam UU No. 8 Tahun 2015 jika mencalonkan diri di daerah lain harus berhenti semenjak ditetapkan sebagai calon sedangkan ketika maju kembali di daerah sendiri cukup cuti. Norma terkait dengan Petahana dalam Pasal 7 huruf p ini menjadi dilematis bilamana dibandingkan dengan Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 dimana dalam putusan tersebut telah mengubah norma bagi DPR, DPD, maupun DPRD dari yang semula cukup memberitahukan kepada pimpinan lembaganya masingmasing menjadi harus mundur pasca ditetapkan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 pada pokoknya berpegang teguh pada prinsip kesetaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sehingga menyamaratakan pengaturan baik itu bagi elected official dan appointed afficial. UU No. 8 Tahun 2015 pada pokoknya memang membedakan antara pengaturan bagi DPR, DPD, maupun DPRD ketika ingin maju menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dibandingkan dengan PNS, TNI/Polri, dan Pejabat BUMN/BUMD bilamana juga mencalonkan dalam Pilkada. Perbedaan tersebut didasarkan atas dasar jabatan pada PNS, TNI/Polri, dan Pejabat BUMN/BUMD merupakan jabatan appointed afficial (jabatan karir) sedangkan jabatan pada DPR, DPD, maupun DPRD merupakan jabatan elected official (jabatan politis/yang diperoleh berdasarkan pemilihan). Hal inilah yang kemudian menjadi dilematis bilamana dibandingkan dengan pengaturan bagi Petahana yang tidak hanya diatur harus berhenti jikalau mencalonkan diri di daerah lain dan cukup cuti jika di daerah sendiri, karena dalam aplikasinya justru Petahana yang maju di daerah sendirilah yang memiliki 3

kecenderungan untuk masih bisa menggunakan pengaruh dan kekuasaannya ketika maju dalam Pilkada. Bagaimana tidak, Petahana yang sebenarnya juga merupakan elected official dan bukan appointed official hanya cukup cuti ketika kampanye, dan selebihnya masih dapat menggunakan kekuasaannya sebagai Petahana dalam Pilkada. Konflik Norma Terkait Petahana Harus Mundur Dengan Putusan MK NO. 17/PUU-VI/2008 Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pernah ada norma bagi petahana yang ingin maju di daerahnya sendiri? Jawabannya adalah ada, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 12 Tahun 2008) ternyata pernah mengatur mengenai pengunduran diri bagi Petahana yang ingin maju di daerahnya sendiri. Hal tersebut diatur dalam Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 yang menyatakan mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya. Lebih lanjut lagi, Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 ini memiliki penjelasan yang menyatakan Pengunduran diri dari jabatannya berlaku bagi: a. kepala daerah yang akan mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala daerah di daerah sendiri atau di daerah lain; b. wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala daerah di daerah sendiri atau di daerah lain; c. wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi wakil kepala daerah di daerah sendiri atau di daerah lain; d. bupati atau walikota yang akan mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi gubernur atau wakil gubernur; dan e. wakil bupati atau wakil walikota yang akan mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi gubernur atau wakil gubernur.... Adapun pada 4 Agustus 2008 terbit putusan MK nomor 17/PUU-VI/2008 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga norma yang terkandung baik di batang tubuh, Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 begitu pula dengan penjelasannya telah dibatalkan 4

keberlakuannya karena dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Hal ini menjadi dilematis kemudian jika dalam Pasal 7 huruf p UU No. 8 Tahun 2015 diatur bahwa Petahana jika mencalonkan diri dalam di daerah lain harus berhenti semenjak ditetapkan sebagai calon sedangkan ketika maju kembali di daerah sendiri cukup cuti. Sebagaimana diketahui bahwa UU No. 8 Tahun 2015 merupakan undangundang perubahan yang materi pokoknya bersumber dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu No. 1 Tahun 2014). Lebih lanjut lagi, materi inti pada Pasal 7 huruf p pun merupakan materi asli dari Perppu No. 1 Tahun 2014. Perbedaannya hanya pada frase yang semula Gubernur, Bupati, dan Walikota dalam Pasal 7 huruf p Perppu No. 1 Tahun 2014 diubah menjadi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota. Perubahan ini dimaksudkan karena pada UU No. 8 Tahun 2015, pemilihan dilakukan untuk memilih pasangan calon (berpasangan yakni kepala daerah dan wakil kepala daerah) sedangkan pada Perppu No. 1 Tahun 2014 pemilihan dilakukan hanya memilih kepala daerah saja. Perbaikan Norma Dalam Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 Berdasarkan hal-hal sebagaimana dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui bahwa sebenarnya pengaturan bagi Petahana yang maju kembali dalam Pilkada baik di daerah sendiri maupun di daaerah lain sebenarnya pernah ada dalam Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008, namun telah dibatalkan oleh putusan MK nomor 17/PUU-VI/2008. Pada Perppu No. 1 Tahun 2014 norma terkait bagi Petahana yang maju kembali dalam Pilkada dihidupkan kembali dalam Pasal 7 huruf p, namun dihidupkannya hanya sebagian yakni norma harus mundur bagi Petahana hanya maju di daerah lain saja, sedangkan di daerah sendiri cukup cuti. Konflik norma muncul ketika Petahana yang umumnya dapat menggunakan pengaruh dan kekuasaannya dalam Pilkada dan merupakan elected official diatur berbeda dengan DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana tindak lanjut atas Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015. Sehingga dalam rangka perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 5

tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 (UU No. 1 Tahun 2015), seharusnya dilakukan penyesuaian pula bagi norma bagi Petahan dalam Pasal 7 huruf p sebagaimana sesuai prinsip penyetaraan yang digunakan MK dalam memutus kewajiban mundur bagi DPR, DPD, dan DPRD dalam Putusan MK No. 33/PUU- XIII/2015. Hal ini juga merupakan wujud konsistensi atas norma yang telah dibatalkan oleh MK dalam Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 dan dihidupkan kembali dalam Pasal 7 huruf p Perppu No. 1 Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dalam Pasal 7 huruf p UU No. 8 Tahun 2015, namun hanya untuk sebagian saja yakni hanya untuk Petahana yang maju di daerah lain saja. * Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang dengan pembidangan Politik, Hukum, dan HAM di Pusat Perancangan Undang-Undang pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 6