II TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Produksi dan Ekspor CPO (Crude palm Oil) Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data

VI ANALISIS EKSPOR KEPITING INDONESIA

ANALISIS POTENSI EKSPOR CRUDE PALM OIL (CPO) EMPAT NEGARA MITRA DAGANG UTAMA DENGAN PENDEKATAN GRAVITY MODEL

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

V HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan WTO terhadap Perdagangan CPO Indonesia dan Empat Mitra Dagang Utama

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

III KERANGKA PEMIKIRAN

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Aspek utama dari perubahan yang fundamental ini adalah stimulasi terhadap investasi, produksi dan perdagangan produk pertanian melalui: (i) akses pasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

: Determinan Intra-Industry Trade Komoditi Kosmetik Indonesia dengan Mitra Dagang Negara ASEAN-5 : I Putu Kurniawan

BAB 3 METODE PENELITIAN

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

II. TINJAUAN PUSTAKA

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Metode Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

IV. METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv

Indonesia dengan pendekatan Gravity Model. Penelitian tersebut bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. nasional adalah melalui perdagangan internasional. Menurut Mankiw. (2003), pendapatan nasional yang dikategorikan dalam PDB (Produk

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Liberalisasi perdagangan mulai berkembang dari pemikiran Adam Smith

Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947

UU 7/1994, PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA)

PENINGKATAN EKSPOR CPO DAN KAKAO DI BAWAH PENGARUH LIBERALISASI PERDAGANGAN (SUATU PENDEKATAN MODEL GRAVITASI) OLEH MARIA SITORUS H

PENINGKATAN EKSPOR CPO DAN KAKAO DI BAWAH PENGARUH LIBERALISASI PERDAGANGAN (SUATU PENDEKATAN MODEL GRAVITASI) OLEH MARIA SITORUS H

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

I. PENDAHULUAN. 1 Sambutan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad Dimyati pada acara ulang tahun

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

2015, No Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komoditas penting yang diperdagangkan secara luas di dunia. Selama

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI

III. METODE PENELITIAN. Thailand, India, Vietnam, Malaysia, China, Philipines, Netherlands, USA, dan Australia 9 2 Kentang (HS )

III. METODE PENELITIAN

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi.

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WTO (World Trade Organization) tahun 2007

HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN SKRIPSI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok,

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

V. HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IDENTITAS MATA KULIAH

ANALISIS DAMPAK TRADE FACILITATION TERHADAP PERDAGANGAN BILATERAL INTRA-ASEAN OLEH INDAH JAYANGSARI H

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan aspek yang sangat penting dalam. perekonomian setiap Negara di dunia. Tanpa adanya perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Strategi yang pertama sering dikatakan sebagai strategi inward looking,

BAB III METODE PENELITIAN. yang mempengaruhi aliran ekspor Surakarta ke Negara tujuan utama ekspor.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

Oleh: Dabukke Muhammad. Frans Betsi M. Iqbal Eddy S. Yusuf

Dr Erwidodo Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian. Workshop Pra-Konferensi PERHEPI Bogor, 27 Agustus 2014

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN DAMPAKNYA

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

BABI PENDAHULUAN mendasar, mudahnya perpindahan arus barangfjasa, faktor produksi dan modal

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

Transkripsi:

II TINJAUAN PUSTAKA 2.2. Perkembangan Produksi dan Ekspor CPO (Crude palm Oil) Indonesia Indonesia sebagai salah satu negara eksportir CPO terbesar di dunia telah mengekspor CPO sejak pelita I sampai pelita II (1969-1978) dengan peningkatan produksi maupun volume ekspor mencapai 72-99 persen dari total produksi yang dihasilkan 3. Peningkatan volume ekspor tersebut secara langsung dipengaruhi oleh tingginya konsumsi CPO dunia sebagai salah satu minyak nabati dengan pertumbuhan sebesar 14,21 persen per tahun melampaui volume perdagangan jenis minyak nabati lainnya 4. Adapun perkembangan konsumsi CPO dunia dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan Konsumsi CPO (crude Palm Oil) Dunia Tahun 2000-2010 Tahun Volume Impor (kg) Pertumbuhan (%/thn) 2000 2,658,906,814-2001 3,692,292,957 27.99 2002 4,385,857,289 15.81 2003 4,721,227,888 7.10 2004 5,789,846,856 18.46 2005 6,923,447,160 16.37 2006 8,392,092,987 17.50 2007 8,862,800,135 5.31 2008 11,538,504,748 23.19 2009 13,110,899,342 11.99 2010 12,901,496,146-1.62 Rata-rata pert/thn 14,21 % 14.21% Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah) Berdasarkan Tebel 4, dapat disimpulkan bahwa konsumsi CPO dunia mengalami peningkatan volume ekspor dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 14,21 persen per tahun pada tahun 2000-2011. Menurut Sitorus (2009), dalam perkembangannya konsumsi CPO dunia secara umum digunakan sebagai bahan 3 4 Abidin Z. 2008. Analisis Ekspor Minyak Kelapa Sawit (CPO) Indonesia. Jurnal Aplikasi Manajemen 6: 139-144 Loc.cit 12

pangan dan non pangan serta sebagai sumber energi alternatif (bio fuel). Tingginya konsumsi CPO dunia dalam memenuhi kebutuhan nabati dan energi tersebut memberikan andil dalam peningkatan ekspor CPO Indonesia. Hal ini digambarkan secara jelas dalam peningkatan volume dan nilai ekspor CPO Indonesia tahun 2000-2010 seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor CPO (Crude Palm Oil) Indonesia Tahun 2001-2010 Tahun Nilai Ekspor (US $) Volume Ekspor (Kg) 2000 476,438,245 1,817,664,367 2001 406,409,025 1,849,142,144 2002 891,998,644 2,804,792,251 2003 1,062,214,890 2,892,130,288 2004 1,444,421,828 3,819,926,626 2005 1,593,295,437 4,565,624,657 2006 1,993,666,661 5,199,286,871 2007 3,738,651,552 5,701,286,129 2008 6,561,330,490 7,904,178,630 2009 5,702,126,189 9,566,746,050 2010 7,649,965,932 9,444,170,400 Pert/thn 14.44% 20.92% Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah) Berdasarkan Tabel 5, dapat disimpulkan bahwa terjadi pertumbuhan ekspor CPO Indonesia periode tahun 2000-2010 baik dilihat dari nilai ekspor maupun volume ekspor dengan pertumbuhan volume ekspor sebesar 20,92 persen dan nilai ekspor sebesar 14,44 persen. Tabel 5 juga menyajikan informasi mengenai perbandingan perkembangan volume ekspor dan nilai ekspor CPO yang digunakan untuk melihat pengaruh harga CPO dalam perkembangan ekspor CPO Indonesia. Pada periode tahun 2008-2009 terjadi peningkatan volume ekspor CPO sebesar 7.904.178.630 kg pada tahun 2008 menjadi 9.566.746.050 kg pada tahun 2009. Pada periode yang sama, terjadi penurunan dalam nilai ekspor CPO sebesar 6.561.330.490 US $ pada tahun 2008 menjadi 5.702.126.189 US $ pada tahun 2009. Begitupula ditunjukkan oleh perkembangan ekspor CPO pada periode 2009-2010. Hal tersebut membawa pemahaman bahwa peningkatan volume 13

ekspor tidak selalu berbanding positif dengan peningkatan nilai ekspor akibat terjadinya fluktuasi harga CPO. Perkembangan harga CPO di tingkat BKDI dan di tingkat dunia tahun 2000-2010 dapat dilihat pada Gambar 6. US $ / Kg 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 BKDI 0.26 0.22 0.32 0.37 0.38 0.35 0.38 0.66 0.83 0.6 0.81 Dunia 0.32 0.26 0.35 0.41 0.42 0.36 0.4 0.65 0.84 0.61 0.81 Gambar 6. Perkembangan harga CPO di Tingkat BKDI dan Dunia Tahun 2000-2010 Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah) Berdasarkan informasi dari Gambar 6, perkembangan harga CPO baik di tingkat BKDI (Bursa Komoditi Derivatif Indonesia) maupun di tingkat dunia menunjukkan trend yang meningkat selama 10 tahun terakhir. Pada gambar 6 dapat diketahui pula bahwa harga CPO di tingkat BKDI cenderung mengikuti pola sebaran harga di tingkat dunia dengan gap tertinggi pada tahun 2000 sebesar 0,06 US $/kg. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat harga CPO di BKDI merupakan salah satu acuan dalam penetapan harga CPO dunia. Peningkatan harga CPO di tingkat dunia berdampak langsung terhadap peningkatan produksi CPO Indonesia. Menurut Sitorus (2009), sejalan dengan konsep penawaran, maka produksi CPO Indonesia akan meningkat seiiring dengan peningkatan harga CPO dunia. Adapun perkembangan produksi CPO Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6. 14

Tabel 6. Perkembangan Produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia Tahun 2000-2000 Tahun Bentuk Usaha (Ton) PR PBN PBS Total 2000 1,905,653 1,460,954 3,633,901 7,000,508 2001 2,798,032 1,519,289 4,079,151 8,396,472 2002 3,426,740 1,607,734 4,587,871 9,622,345 2003 3,517,324 1,750,651 5,172,859 10,440,834 2004 3,847,157 1,617,706 5,365,526 10,830,389 2005 4,500,769 1,449,254 5,911,592 11,861,615 2006 5,783,088 2,313,729 9,254,031 17,350,848 2007 6,358,389 2,117,035 9,189,301 17,664,725 2008 6,923,042 1,938,134 8,678,612 17,539,788 2009 7,247,979 1,961,813 9,431,089 18,640,881 2010* 7,774,036 2,089,908 9,980,957 19,844,901 Pert/thn 12.65% 2.38% 8.92% 9.42% Keterangan : *) angka sementara Sumber : Direktoran Jenderal Perkebunan, 2011 Perkembangan produksi CPO Indonesia tahun 2000-2010 pada Tabel 6 dihitung berdasarkan bentuk pengusahaan yang terdiri dari Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Nasional (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) dengan persentase pertumbuhan produksi sebesar 12,65 persen (PR), 2,38 persen (PBN) dan 8,92 persen (PBS). PR merupakan bentuk pengusahaan CPO yang mengalami pertumbuhan produksi tertinggi yaitu sebesar 12,65 persen per tahun meskipun jumlah produksi totalnya masih di bawah PBS. Adapun jumlah produksi masing-masing pengusahaan adalah 36,25 persen, 13,29 persen dan 50,46 persen terhadap total produksi tahun 2000-2010. 5 Hal tersebut disebabkan oleh tingginya produktivitas CPO pada pengusahaan CPO di Indonesia 6. Saat ini Indonesia adalah penghasil CPO terbesar di dunia mengungguli Malaysia sejak tahun 2006 7 5 6 7 Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011 (diolah) Abidin Z. 2008. Op.cit. Hlm 12 Loc.cit 15

2.3. Tinjauan Umum World Trade Organization (WTO) World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negaranegara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya (Sitorus 2009). Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995, tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tarifs and Trade (GATT) atau Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi. Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional. Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan plurilateral (disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tarif (Sitorus 2009). 16

Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan nama Putaran Perdagangan (trade round), sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional. Adapun beberapa putaran perdagangan sebagai cikal bakal terbentuknya WTO dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Putaran Perdagangan (Trade Round) Menuju Terbentuknya WTO Tahun Tempat (Nama) Pokok Cakupan Jml. Negara 1947 Geneva Tariffs 23 1949 Annecy Tariffs 13 1951 Torquay Tariffs 38 1956 Geneva Tariffs 26 1960-1961 Geneva (Dillon Round) Tariffs 26 1964-1967 1973-1979 1986-1994 Geneva (Kennedy Round) Geneva (Tokyo Round) Geneva (Uruguay Round) Tariffs and anti-dumping measures Tariffs, non-tariff measures, framework agreements Tariffs, non-tariff measures, rules, services, intellectual property, dispute settlement, textiles, agriculture, creation of WTO, etc Sumber : World Trade Organization (2006) diacu dalam Widayanto (2007) 62 102 123 Persetujuan-persetujuan WTO mencakup bidang pertanian, tekstil dan pakaian, jasa keuangan, telekomunikasi, standardisasi industri, peraturan Sanitary and Phytosanitary, hak atas kekayaan intelektual dan lain-lain. Walaupun terdapat banyak persetujuan dalam WTO, beberapa prinsip dasar di bawah ini terkandung dalam persetujuan-persetujuan tersebut (Widayanto 2007). a. Perlakuan sama terhadap semua mitra dagang (Most Favored Nation-MFN) Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasi mitra-mitra dagangnya. Keringanan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya. Meskipun demikian terdapat pengecualian yang diperbolehkan. Salah satu contohnya adalah negara-negara 17

anggota yang membentuk persetujuan perdagangan bebas diperbolehkan untuk tidak memberikan preferensi yang sama untuk negara di luar kelompok ini atas komitmen penurunan tarif barang. Pada bidang jasa, sebuah negara diperbolehkan melakukan diskriminasi dalam batas dan kondisi tertentu. b. Perlakuan Nasional (National Treatment) Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang impor dan lokal, paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik. Perlakuan nasional yang meliputi bidang barang, jasa dan hak atas kekayaan intelektual tersebut diterapkan pada saat suatu produk memasuki pasar domestik. Prinsip National Treatment tercantum dalam tiga persetujuan utama WTO (pasal 3 GATT, pasal 17 GATS dan pasal 3 TRIPs). Masing-masing persetujuan tersebut mempunyai perbedaan dalam implementasi prinsip dimaksud. Namun demikian, pengenaan bea masuk terhadap barang impor bukan merupakan pelanggaran terhadap perlakuan nasional, bahkan jika produk-produk lokal tidak dikenakan pajak yang setara. c. Transparansi (Transparency) Negara anggota wajib bersikap terbuka/transparan mengenai berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan. Untuk mendukung prinsip ini, negara anggota wajib menotifikasi segala kebijakannya yang terkait dengan perdagangan dan dilengkapi dengan mekanisme tinjauan kebijakan perdagangan dari masing-masing anggota WTO secara periodik. Persetujuan Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture) atau AoA sebagai salah satu persutujuan hasil putaran Uruguay yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995 bertujuan untuk melakukan reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi tersebut berisi komitmenkomitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin GATT yang kuat dan efektif. Persetujuan tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan 18

berbeda (special and differential treatment) bagi negara-negara berkembang, termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk pertanian bagi negara-negara tersebut. Persetujuan Bidang Pertanian menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan tindakan-tindakan perdagangan di bidang pertanian, terutama yang menyangkut akses pasar, subsidi domestik dan subsidi ekspor. a. Akses Pasar Dilihat dari sisi akses pasar, Putaran Uruguay telah menghasilkan perubahan sistemik yang sangat signifikan. Perubahan dari situasi dimana sebelumnya ketentuan-ketentuan non-tarif yang menghambat arus perdagangan produk pertanian menjadi suatu rezim proteksi pasar berdasarkan pengikatan tarif beserta komitmen-komitmen pengurangan subsidinya. Aspek utama dari perubahan yang fundamental ini adalah stimulasi terhadap investasi, produksi dan perdagangan produk pertanian melalui : (i) akses pasar produk pertanian yang transparan, prediktabel dan kompetitif, (ii) peningkatan hubungan antara pasar produk pertanian nasional dengan pasar internasional, dan (iii) penekanan pada mekanisme pasar yang mengarahkan penggunaan yang paling produktif terhadap sumber daya yang terbatas, baik di sektor pertanian maupun perekonomian secara luas. Umumnya tarif merupakan satu-satunya bentuk proteksi produk pertanian sebelum Putaran Uruguay. Pada Putaran Uruguay, yang disepakati adalah diikatnya tarif pada tingkat maksimum. Namun bagi sejumlah produk tertentu, pembatasan akses pasar juga melibatkan hambatan-hambatan non-tarif. Putaran Uruguay bertujuan untuk menghapuskan hambatan-hambatan tersebut. Untuk itu disepakati suatu paket tarifikasi yang diantaranya mengganti kebijakan-kebijakan non-tarif produk pertanian menjadi kebijakan tarif yang memberikan tingkat proteksi yang sama. Negara anggota dari kelompok negara maju sepakat untuk mengurangi tarif mereka sebesar rata-rata 36% pada seluruh produk pertanian, dengan pengurangan minimum 15% untuk setiap produk, dalam periode enam tahun sejak tahun 1995. Bagi negara berkembang, pengurangannya adalah 24% dan minimum 19

10% untuk setiap produk. Negara terbelakang diminta untuk mengikat seluruh tarif pertaniannya namun tidak diharuskan untuk melakukan pengurangan tarif. b. Subsidi Domestik Subsidi domestik dibagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah subsidi domestik yang tidak terpengaruh atau kalaupun ada sangat kecil pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan (green box) sehingga tidak perlu dikurangi. Kategori kedua adalah subsidi domestik yang mendistorsi perdagangan (amber box) sehingga harus dikurangi sesuai komitmen. Berkaitan dengan kebijakan yang diatur dalam green box terdapat tiga jenis subsidi lainnya yang dikecualikan dari komitmen penurunan subsidi yaitu kebijakan pembangunan tertentu di negara berkembang, pembayaran langsung pada program pembatasan produksi (blue box), dan tingkat subsidi yang disebut de minimis. c. Subsidi Ekspor Hak untuk memberlakukan subsidi ekspor pada saat ini dibatasi pada: (i) subsidi untuk produk-produk tertentu yang masuk dalam komitmen untuk dikurangi dan masih dalam batas yang ditentukan oleh skedul komitmen tersebut; (ii) kelebihan pengeluaran anggaran untuk subsidi ekspor ataupun volume ekspor yang telah disubsidi yang melebihi batas yang ditentukan oleh skedul komitmen tetapi diatur oleh ketentuan fleksibilitas hilir (downstream flexibility); (iii) subsidi ekspor yang sesuai dengan ketentuan S&D bagi negara-negara berkembang; dan (iv) Subsidi ekspor di luar skedul komitmen tetapi masih sesuai dengan ketentuan anti-circumvention. Segala jenis subsidi ekspor di luar hal-hal di atas adalah dilarang. 2.4. Penelitian Terdahulu Yuniarti (2007) meneliti tentang determinan perdagangan bilateral Indonesia dengan pendekatan Gravity Model. Penelitian tersebut bertujuan untuk melakukan estimasi terhadap determinan perdagangan Billateral Indonesia. Adapun determinan yang dimasukan kedalam model meliputi pendapatan nasional 20

(GDP), jarak, populasi, kesamaan ukuran perekonomian, perbedaan relatif faktor endowment, dan keanggotaan dalam area perdagangan bebas. Berdasarkan hasil estimasi penelitian tersebut diperoleh uji signifikansi model yang menyatakan bahwa konstanta tidak sama untuk semua unit tetapi slopenya sama. Hal tersebut dibuktikan melalui F-Test dengan hasil perhitungan F hitung sebesar 12,03325 lebih besar dari F-tabel (19.119) dengan α = 5% sebesar 1,69 yang berarti model metode Fixed Effect Model (FEM) lebih tepat dibandingkan metode common effect model (CEM) dan lebih tepat dari metode Random Effect Model (REM) karena jumlah data croos section (10) lebih besar dari data time series (7) dengan pengambilan sampel yang tidak acak. Berkaitan dengan tanda koefisien, semua hasil estimasi konsisten dengan teori mengaenai Gravity Model. GDP dari negara eksportir (Yi) dan importir (Yj) mempunyai hubungan positif dengan perdagangan bilateral, variabel jarak sebagai proksi bagi biaya produksi berpengaruh negatif terhadap perdagangan bilateral, variabel kesamaan ukuran perekonomian berpengaruh positif didukung oleh fakta bahwa sebagian besar perdagangan dunia terutama negara-negara industri merupakan pertukaran produk yang meliputi perdagangan intraindustri, variabel kesamaan ukuran ekonomi (endowment) tidak berpengaruh terhadap perdagangan bilateral dengan keinkonsistenan teori H-O dengan fenomena perdagangan intra industri, variabel populasi mitra dagang mempunyai koefisien positif terhadap perdagangan bilateral dan keanggotaan dalam area perdagangan bebas tidak berpengaruh terhadap perdagangan bilateral. Yuniarti (2008) dalam penelitiannya mengenai potensi perdagangan global Indonesia dengan pendekataan Gravity Model mengemukakan bahwa hasil estimasi Gravity Model dapat digunakan untuk memprediksi potensi perdagangan bilateral yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan ekspansi negaranegara tujuan ekspor. Pengukuran potensi perdagangan bilateral dilakukan dengan membagi nilai prediksi perdagangan dari estimasi Gravity Model dengan nilai aktual perdagangan dari estimasi Gravity Model. Pada hasil estimasi, secara bersama-sama variabel inpenden menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap variabel pada derajat keyakinan 99 persen yang ditunjukkan oleh nilai F hitung (21,424) lebih besar dari F tabel (6,103) pada α 5% = 2,18. 21

Adapaun pada signifikansi variabel independen, penelitian ini menyatakan bahwa variabel yang berpengaruh positif terhadap perdagangan bilateral antara lain, pendapatan, variabel kesamaan ukuran perekonomian, kesamaan keanggotaan dalam APEC, dan koloni wilayah jajahan berpengaruh positif dan signifikan. Sedangkan variabel yang berpengaruh negatif terhadap perdagangan bilateral antara lain, variabel total populasi, kesamaan keanggotaan dalam AFTA dan variabel batas wilayah. Dalam pengukuran potensi perdagangan berdasarkan rasio dari hasil estimasi Gravity Model terdapat temuan pada 10 negara mitra dagang utama Indonesia yang menunjukkan kondisi over trade (melebihi potensi) dan under trade (berpotensi). Kondisi over trade dicapai pada hubungan dagang Indonesia dengan negara-negara antara lain, Australia, Amerika, Korea, Malaysia, Singapura, Jerman, Belanda dan India. Sedangkan kondisi under trade dicapai pada negara Jepang dan China. Penelitian oleh Sitorus (2010) dengan topik Peningkatan Ekspor CPO dan Kakao Dibawah Pengaruh Liberalisasi Perdagangan (Suatu Pendekatan Model Gravitasi) menyimpulkan bahwa model panel data yang digunakan dalam estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao dan CPO adalah model pooled Least Square atau PLS tanpa uji Chow. Hal tersebut disebabkan oleh ketidaksesuaian Fixed Effect Model dengan data yang digunakan sehingga terjadi near singular matrix. Adapun variabel yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor kakao dari negara importir ke negara tujuan ekspor adalah variabel populasi negara pengimpor (POPi), populasi negara pengekspor (POPj) sedangkan variabel GDP negara pengimpor (GDPi) memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan, dan GDP negara pengekspor (GDPj), nilai tukar (ER) juga jarak memiliki pengaruh negatif dan signifikan. Sedangkan variabel yang signifikan pada ekspor CPO adalah variabel GDP negara pengekspor dan pengimpor, populasi negara pengekspor dan pengimpor serta jarak. Sedangkan variabel nilai tukar tidak berpengaruh nyata. Hadi (2010) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan pisang dan mangga Indonesia ke negara tujuan dengan metode deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif menjelaskan potensi ekonomi negara 22

tujuan pada masa yang akan datang dari perdagangan pisang dan mangga sedangkan metode kuantitatif menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan kedua komoditas tersebut menggunakan Gravity Model dengan variabel-variabel penariknya antara lain pendapatan per kapita negara tujuan, populasi, jarak antar negara, nilai tukar, harga ekspor komoditi di negara tujuan ekspor, dan ekspor komoditi ke negara tujuan satu tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil perhitungan Chow Test, maka metode yang sesuai dalam Gravity Model aliran perdagangan pisang Indonesia ke negara tujuan ini adalah Metode Pooled Least Square. Secara keseluruhan metode tersebut telah memenuhi pengujian asumsi model, yaitu multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Berdasarkan hasil analisis aliran perdagangan pisang Indonesia, diperoleh R2 sebesar 93,73 persen. Berdasarkan uji t, diperoleh variabel yang nyata pada taraf lima persen, yaitu harga pisang Indonesia di negara tujuan (Pj) dan volume ekspor pisang dari Indonesia ke negara tujuan satu tahun sebelumnya (Xij-1). Variabel yang nyata pada taraf sepuluh persen yaitu pendapatan per kapita negara tujuan (Yj). Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata yaitu populasi negara tujuan (Nj), jarak antara negara Indonesia dengan negara tujuan (Dij) dan nilai tukar mata negara tujuan terhadap Dollar Amerika (ERj). Berdasarkan sintesis dari penelitian-penelitian terdahulu diatas, dapat disimpulkan bahwa metode Pooled Least Square dan Fixed Effect Model adalah metode yang paling sering digunakan baik berdasarkan kriteria uji maupun dari penarikan kesimpulan berbasiskan jenis data. Variabel-variabel yang berpengaruh nyata dari penelitian-penelitian tersebut meliputi GDP, kesamaan ukuran perekonomian, nilai tukar, populasi, harga dan pendapatan per kapita juga variabel non ekonomi seperti keanggotaan dalam AFTA dan jarak. Sehingga dalam penelitian ini akan dititik beratkan pada analisis variabel-variabel yang berpengaruh nyata diatas. Adapun ringkasan secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 8. 23

Tabel 8. Ringkasan Penelitian Terdahulu Judul (Penulis, Tahun) 1. Determinan Perdagangan bilateral Indonesia dengan Pendekatan Gravity Model (Yanuarti, 2007) Ringkasan : a. Model yang digunakan adalah Fixed Effect model. b. Tanda koefisien dan signifikansinya : - GDP dari negara eksportir (Yi) dan importir (Yj) mempunyai hubungan positif. - variabel jarak berpengaruh negatif terhadap perdagangan bilateral. - variabel kesamaan ukuran perekonomian berpengaruh positif. - variabel populasi mitra dagang mempunyai koefisien positif. - keanggotaan dalam area perdagangan bebas tidak berpengaruh. 2. Potensi Perdagangan Global Indonesia dengan Pendekataan Gravity Model (Yanuarti, 2008) Ringkasan : a. Model yang digunakan adalah Fixed Effect model. b. Tanda koefisien dan signifikansinya : - Pendapatan, Kesamaan ukuran perekonomian, Kesamaan keanggotaan APEC, dan koloni wilayah jajahan berpengaruh positif dan signifikan. - variabel total populasi, kesamaan keanggotaan dalam AFTA dan variabel batas wilayah berpengaruh negatif dan signifikan. c. Kondisi over trade antara lain, Australia, Amerika, Korea, Malaysia, Singapura, Jerman, belanda dan India. d. Kondisi under trade dicapai pada negara Jepang dan China. 3. Peningkatan Ekspor CPO dan Kakao Dibawah Pengaruh Liberalisasi Perdagangan (Suatu Pendekatan Model Gravitasi). (Sitorus, 2009) Ringkasan : a. Model yang digunakan adalah Pooled Least Square. b. Tanda koefisien dan signifikansinya : - ekspor kakao : populasi negara pengimpor (POPi), populasi negara pengekspor (POPj) berkorelasi positif dan signifikan. - ekspor kakao : GDP negara pengekspor (GDPj), nilai tukar (ER) juga jarak memiliki pengaruh negatif dan signifikan. - ekspor CPO : variabel GDP negara pengekspor dan pengimpor, populasi negara pengekspor dan pengimpor serta jarak berpengaruh signifikan. 4. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aliran Perdagangan Pisang dan mangga Indonesia ke Negara Tujuan (Hadi, 2009) a. Model yang digunakan adalah Pooled Least Square. b. Tanda koefisien dan signifikansinya : - harga pisang Indonesia di negara tujuan (Pj) dan volume ekspor pisang dari Indonesia ke negara tujuan satu tahun sebelumnya (Xij-1) berpengaruh signifikan (5%) dan pendapatan per kapita negara tujuan (Yj) (10%). 24