BAB I PENDAHULUAN. (DM) merupakan salah satu penyakit Non-Communicable Disease

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Prevelensi Diabetes Melitus (DM) setiap tahunnya semakin. meningkat, berdasarkan data dari World Health Organization / WHO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi aorta dan cabang arteri yang berada di perifer terutama yang memperdarahi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. degeneratif dan salah satu penyakit tidak menular yang meningkat jumlahnya

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Menurut Global Report On Diabetes yang dikeluarkan WHO pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dunia yang serius. World Health Organization (WHO) merupakan yang tertinggi di dunia (Wild, et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, dan pankreas dapat menghentikan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lemah ginjal, buta, menderita penyakit bagian kaki dan banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kaki diabetik merupakan komplikasi dari diabetes melitus (DM) yang

BAB I PENDAHULUAN. syaraf) (Smeltzer & Bare, 2002). Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronis

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif ditandai dengan

PENGARUH SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP NYERI KAKI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU

BAB I PENDAHULUAN. pada jutaan orang di dunia (American Diabetes Association/ADA, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit kronis yang terjadi baik ketika

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah suatu kondisi medis yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. atau oleh tidak efektifnya insulin yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. (glukosa) akibat kekurangan atau resistensi insulin (Bustan, 2007). World

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. utama bagi kesehatan manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) memprediksi adanya kenaikan jumlah pasien

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Amerika Serikat prevalensi tahunan sekitar 10,3%, livetime prevalence mencapai

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB I PENDAHULUAN. resiko terjadinya komplikasi akibat DM (Agustina, 2010). Menurut World Health Organization (WHO), Diabetes Melitus (DM)

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat PTM mengalami peningkatan dari 42% menjadi 60%. 1

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia Indonesia seutuhnya. Visi Indonesia sehat yang diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik secara global, regional, nasional dan lokal (Depkes, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pankreas tidak lagi memproduksi insulin atau ketika sel-sel tubuh resisten

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran/polusi lingkungan. Perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. 2009). Prevalensi penyakit diabetes mellitus terus meningkat tiap tahunnya.

BAB I PENDAHULUAN. hiperglikemi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan metabolisme

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. insulin atau keduanya (American Diabetes Association [ADA] 2004, dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. diperkirakan akan terus meningkat prevalensinya dan memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. plak yang tersusun oleh kolesterol, substansi lemak, kalsium, fibrin, serta debris

BAB 1 : PENDAHULUAN. dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun Sedangkan

BAB 1 PENDAHULUAN. sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin (Soegondo,

BAB I PENDAHULUAN. jumlah tersebut menempati urutan ke-4 terbesar di dunia, setelah India (31,7

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN. modernisasi terutama pada masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Menurut badan organisasi dunia World Health Organization (WHO)

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan umat manusia pada abad ke 21. Diabetes mellitus (DM) adalah suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB I PENDAHULUAN. manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat (Price & Wilson, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (2006), merumuskan bahwa diabetes. melitus (DM) merupakan kumpulan masalah anatomi dan kimiawi dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. DM tipe 1, hal ini disebabkan karena banyaknya faktor resiko terkait dengan DM

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penyakit kardiovaskuler pada tahun 1998 di Amerika Serikat. (data dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3%

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab

BAB 1 PENDAHULUAN. karena semakin meningkatnya frekuensi kejadiannya di masyarakat. 1 Peningkatan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung dimana otot

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah peningkatan jumlah kasus diabetes melitus (Meetoo & Allen,

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Diabetes Melitus atau kencing manis, seringkali dinamakan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit arteri koroner (CAD = coronary arteridesease) masih merupakan

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes millitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun terus meningkat, data terakhir dari World Health Organization (WHO)

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang telah diproduksi secara efektif. Insulin merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang timbul karena kelainan metabolisme yang disebabkan oleh tidak bekerjanya

BAB I PENDAHULUAN. darah, hal ini dapat terjadi akibat jantung kekurangan darah atau adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari 90 mmhg (World Health Organization, 2013). Penyakit ini sering

BAB I PENDAHULUAN. terbesar dari jumlah penderita diabetes melitus yang selanjutnya disingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

HUBUNGAN PERILAKU PASIEN DALAM PERAWATAN DIABETES MELITUS DENGAN ULKUS DIABETIKUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUANG RINDU A1 DAN A2 RSUP H

BAB I PENDAHULUAN. insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Diabetes Mellitus (DM) atau kencing manis merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relative insentivitas sel

BAB 1 I. PENDAHULUAN. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seseorang oleh karena gangguan keseimbangan karbohidrat, lemak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. memerlukan upaya penanganan tepat dan serius. Diabetes Mellitus juga

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. berpenghasilan rendah dan menengah. Urbanisasi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. tipe 2. Diabetes tipe 1, dulu disebut insulin dependent atau juvenile/childhoodonset

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif atau penyakit tidak menular akan terus meningkat

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO), Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit Non-Communicable Disease (penyakit tidak menular) yang mempunyai prevalensi penyakit paling sering terjadi di dunia. DM merupakan penyakit kronik yang terjadi akibat pankreas tidak mampu menghasilkan insulin yang cukup atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin tersebut. Hal ini akan menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah atau hiperglikemia (WHO, 2011). Keadaan hiperglikemia apabila tidak segera ditangani dan berlangsung terus-menerus akan mengakibatkan kerusakan dan kegagalan berbagai organ terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Bingham et al. American Diabetes Association, 2015). Tahun 2014 di dunia terdapat 387 juta penderita Diabetes Mellitus (DM), dari jumlah tersebut 175 juta orang tidak menyadari kondisi mereka dan lebih dari 80% hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk indonesia. 1 di antara 12 orang di dunia menderita DM dan 1 di antara 2 orang di dunia tidak mengetahui bahwa mereka menderita DM. Berdasarkan data IDF pada tahun 2014 jumlah penderita DM di indonesia mencapai 9.116.000 orang (International Diabetes Foundation (IDF), 2014). 1

2 Presentase penderita DM di provinsi jawa tengah yaitu sebesar 16,53%. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang mempunyai presentase terbanyak kedua setelah hipertensi (57,89%) di provinsi Jawa Tengah. (Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014). Berdasarkan data yang diperoleh dari bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan dinas kabupaten Banyumas pada tahun 2014, penderita DM di kabupaten Banyumas sejumlah 1599 orang (182 orang penderita DM tipe I dan 1417 orang penderita DM tipe II) (Bidang P2 PL Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, 2014). Data yang diperoleh dari dinas kesehatan kabupaten Banyumas pada bulan januari sampai agustus 2015, penderita DM di kabupaten Banyumas sejumlah 1686 orang (396 penderita DM tipe I dan 1290 penderita DM tipe II), terjadi peningkatan jumlah pada penderita DM tipe I dari tahun sebelumnya yaitu dari 182 orang bertambah menjadi 396 orang. Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti pada tanggal 26 Oktober 2015 bahwa penderita Diabates Mellitus di Puskesmas II Cilongok sejumlah 131 orang. Dari data tersebut penderita DM rata-rata antara usia 45-64 tahun dan lebih dari 65 tahun (Bidang P2 PL Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, 2015). Kondisi hyperglikemia kronis pada penderita DM menyebabkan komplikasi yang mengenai hampir setiap sistem organ, salah satunya aterosklerotik. Insiden aterosklerotik pada pembuluh darah besar di ekstremitas meningkat 2-3 kali (Smeltzer dan Bare, 2003). Hal itu

3 dikarenakan gula darah yang tinggi akan mempengaruhi fungsi platelet darah yang meningkatkan pembekuan darah, sehingga penderita DM akan berisiko mengalami komplikasi berupa Peripheral Arterial Disease (PAD) yang biasanya terjadi pada ekstremitas bawah (Kohlman-Trigoboff, 2013). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahman, didapatkan hasil bahwa terjadinya kejadian PAD untuk faktor risiko diabetes mellitus memiliki risiko 11,6 kali (95% CI 4,411 30,735) (Rahman, 2012). Kombinasi PAD dan Neurophaty membuat penderita DM mempunyai masalah pada kaki yaitu berupa hilang sensasi kaki, dan dapat meningkatkan risiko injury (Williams and Hopper, 2007). Seperti terjadinya ulkus diabetik, infeksi dan gangren (Amad dkk, 2012) atau amputasi pada ekstremitas bawah (Hile, Kansal, Hamdan, dan Logerfo, 2006 dan Williams and Hopper, 2007). Gejala utama PAD adalah claudication intermitten yaitu sensasi nyeri, pegal, kram, baal, atau tidak nyaman pada otot yang terjadi saat beraktivitas dan menghilang dengan istirahat. Nyeri timbul karena suplai darah tidak dapat mencukupi kebutuhan jaringan yang meningkat pada saat beraktivitas (Sudoyo AW, 2009). Rasa nyeri biasanya muncul pada sekelompok otot yang terletak distal dari obstruksi arteri. Nyeri pada pantat, pinggul dan paha merujuk kelainan pada segmen aorto-iliaka sementara nyeri pada betis menunjukkan kelainan segmen femoral dan popliteal (Antono D, 2009). Intermittent claudication dapat terjadi pada satu kaki saja (40%) atau mengenai kedua kaki (60%) (Crager and Joseph,

4 2012). Bila masalah ini tidak teratasi maka akan menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita (Werdani, 2014). Faktor-faktor risiko terjadinya PAD antara lain adalah usia, rokok, hipertensi, diabetes mellitus, kurang olah raga, dan obesitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh simatupang et al (2013), mengemukakan bahwa orang dengan usia yang lebih tua berisiko 1,881 kali mendapatkan PAD, walaupun nilai P menunjukan hubungan yang tidak bermakna (Simatupang dkk, 2013). Prevalensi PAD meningkat tajam sesuai dengan pertambahan usia, dari 3 % pada pasien <60 tahun hingga 20 % pada pasien >75 tahun. Pada Framingham Heart Study didapati usia 65 tahun meningkatkan risiko PAD. Meskipun PAD didapati juga pada usia 50 tahun, tetapi jumlah kasusnya sangat kecil (Rangkuti DM, 2008). Pada survei ke-3 yang dilakukan National Health and Nutrition Examination, dilaporkan odds ratio (OR) pada prevalensi tinggi didapatkan pada kebiasaan merokok, etnis Afro-Amerika, glomerular filtration rate (GFR) <60 ml/min, diabetes melitus (DM), dan hiperkolesterolemia (OR, 1.7). Progesivitas PAD hingga stadium III meningkat pada DM, kebiasaan merokok (OR, 3.0), ABI < 0,7 (OR, 2.0), ABI < 0,5, usia > 65 tahun, dan hiperkolesterolemia (Arain et al, 2008). Penderita DM, hipertensi, hiperkolesterolemia maupun perokok menyebabkan terjadinya kerusakan vascular endothelium yang mempercepat timbulnya coagulation, yang dapat menurunkan aliran darah

5 terutama pada area kaki, sehingga menyebabkan PAD (Crager and Joseph, 2012). Pemeriksaan penunjang yang paling sederhana yang dapat dilakukan untuk mendeteksi PAD adalah dengan menilai Score Ankle Brachial Index (ABI) (Roza, 2015). Ankle Brachial Index (ABI) adalah tes noninvasif untuk mengidentifikasi insufisiensi arteri dengan cara membandingkan rasio tekanan darah sistolik kaki (ankle) dan tekanan darah sistolik lengan (brachial) (Lippincott Williams and Wilkins, 2012). Kebanyakan pasien PAD (>50%) adalah asimptomatik sehingga pemeriksaan dengan alat ABI merupakan pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan oleh sebagai alat diagnosis utama PAD (Bakal et al. American College of Cardiology Foundation/American Heart Association, 2012). ABI dapat mendeteksi lesi stenosis minimal 50% pada pembuluh darah tungkai (Cacoub P et al, 2009). Pemeriksaan ABI memiliki sensitivitas 79% dan spesifisitas 96% dalam mendiagnosis penyakit arteri perifer (Antono dan Hamonanganl, 2014). Uji Ankle Brachial Index (ABI) digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya PAD dengan indikator score ABI, dan juga digunakan untuk menilai tingkat keparahan PAD (Antono, 2009). Nilai ABI yang rendah berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi. Nilai ABI dapat menjadi prediktor yang akurat untuk pasien penderita PJK (seperti kadar kolesterol darah, kadar kalsium jantung, dan kadar C-reaktif protein) (Vienna, VA et al. Vascular Disease Foundation, 2012).

6 Nilai ABI pada orang sehat berkisar 0.91-1.3. Nilai ABI <0.90 digunakan sebagai batas diagnosis penyakit arteri perifer. Nilai ABI 0.4-0.9 menunjukkan adanya penyakit arteri perifer ringan-sedang, dan nilai ABI 0.4 menunjukkan suatu penyakit arteri perifer berat. Pada kasus tertentu dimana terdapat kekakuan vaskular yang sering ditemukan pada pasien Diabetes Melitus dan pasien gagal ginjal, nilai ABI dapat berada di kisaran 1.4. nilai ABI berkolerasi dengan tingkat keparahan LEAD dimana ABI <0.50 memiliki risiko tinggi amputasi (Antono dan Hamonanganl, 2014). Puskesmas merupakan tempat pelayanan kesehatan bagi masyarakat, banyak warga memilih untuk berobat ke puskesmas sebelum melakukan pengobatan ke Rumah Sakit yang lebih besar. Berdasarkan hasil survey peneliti di Puskesmas Cilongok II beberapa pasien DM yang seringkali mengeluhkan kesemutan, nyeri, kram saat beraktivitas dan mereda saat beristirahat. Fenomena yang terjadi bahwa gejala seperti kesemutan, nyeri dan kram yang sering di alami oleh pasien DM dapat menjadikan data subyektif dalam pemeriksaan untuk menentukan seseorang mengalami PAD dilihat dari gejala klinisnya. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menilai bahwa seseorang pasien mengalami PAD adalah dengan cara mengukur score Ankle Brachial Index (ABI), alat untuk mengukur score ABI yaitu vascular doppler. Pada pemeriksaan score ABI dapat dilakukan mandiri oleh seorang perawat. Alat untuk mengukur score ABI merupakan alat

7 yang cukup mahal, pemeriksaan ABI jarang dijumpai pada tempat pelayanan kesehetan umum seperti puskesmas. Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud untuk mengaplikasikan pemeriksaan score ABI di dalam lingkup komunitas sehingga menambah wawasan bagi masyarakat karena alat vascular doppler untuk mengukur score ABI merupakan alat yang cukup mahal. Oleh karena itu diperlukan metode untuk mengetahui score ABI penderita DM, dalam pemeriksaan penunjang untuk mengetahui pasien mengalami PAD selain menggunakan alat vascular doppler. Berdasarkan kondisi yang melatarbelakangi serta mencermati pernyataan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang Hubungan Score Ankle Brachial Index (ABI) terhadap Gejala Klinis Peripheral Arterial Disease (PAD) pada Pasien DM B. Rumusan Masalah Apakah terdapat hubungan antara gejala klinis Peripheral Arterial Disease (PAD) terhadap Score Ankle Brachial Index (ABI) pada pasien DM? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan Score Ankle Brachial Index (ABI) terhadap gejala klinis Peripheral Arterial Disease (PAD) pada pasien DM. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus pada penelitian ini adalah untuk mengetahui :

8 a. Score Ankle Brachial Index (ABI). b. Gejala klinis Peripheral Arterial Disease (PAD). c. Hubungan antara gejala klinis Peripheral Arterial Disease (PAD) terhadap Score Ankle Brachial Index (ABI). d. Prediksi Score Ankle Brachial Index (ABI) dilihat dari tanda dan gejala Peripheral Arterial Disease (PAD). D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Profesi Keperawatan Menambah pengetahuan dan wawasan bagi perawat tentang pemeriksaan Score Ankle Brachial Index (ABI) dan gejala-gejala Peripheral Arterial Disease (PAD) pada pasien, khususnya pasien DM. Setelah penelitian ini di harapkan perawat mampu mengaplikasikan hasil penelitian kepada pasien. 2. Bagi Responden Penelitian ini bermanfaat bagi responden untuk mengetahui faktor risiko serta gejala PAD dan mengetahui seberapa besar risiko mengalami PAD dengan pemeriksaan Score Ankle Brachial Index (ABI). 3. Bagi instansi terkait (Puskesmas) Penelitian ini sebagai bahan informasi dan menambah pengetahuan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien PAD dengan cara memprediksi score ABI yang di lihat dari gejala PAD. Sekaligus dapat di jadikan sebagai standar operasional prosedur di puskesmas tersebut.

9 4. Bagi peneliti lain Dapat dimanfaatkan sebagai referensi dan dasar penelitian lebih lanjut tentang pengaruh score ABI terhadap gejala klinis PAD. E. Penelitian Terkait 1. Khairani (2011), melakukan penelitian dengan judul Korelasi antara Nilai Ankle Brachial Index dengan Status Kognitif pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Lanjut Usia di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Desain penelitian menggunakan desain Cross-Sectional. Penelitian berjumlah 54 subyek dengan kriteria inklusi subyek adalah penderita diabetes mellitus tipe 2 yang berusia 60 tahun ke atas dapat diperiksa ABI. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya subyek penelitian yang mengalami Peripheral Arterial Disease (PAD) yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai ABI. Nilai ABI dapat mencerminkan tingkat keparahan PAD sehingga sejak dini dapat dilakukan pencegahan terhadap komplikasi yang lebih lanjut dari diabetes mellitus tipe 2. Persamaan penelitian ini adalah pada penderita DM, pengukuran score ABI dan desain penelitian Analitis Korelatif. Perbedaan penelitiannya adalah perbedaan variabel gejala klinis PAD. 2. Roza dkk (2015), melakukan penelitian dengan judul Faktor Risiko Terjadinya Ulkus Diabetikum pada Pasien Diabetes Mellitus yang Dirawat Jalan dan Inap di RSUP Dr. M. Djamil dan RSI Ibnu Sina Padang. Dengan desain penelitian Case Control, untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian ulkus diabetikum. Hasil

10 penelitian ini menunjukan bahwa PAD berhubungan dengan kejadian ulkus diabetikum. Hal ini terlihat dengan nilai p = 0,002 dan nilai OR= 5, 5 (CI=1,813-16,681). Persamaan penelitian ini adalah penderita DM dengan perbedaan variabel penelitian berupa faktor risiko kejadian ulkus diabetikum dan desain penelitian berupa Case Control sedangkan peneliti menggunakan metode survey. 3. Rusmono (2015), melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Senam Kaki terhadap Score Ankle Brachial Index (ABI) pada Pasien Diabetes Mellitus (DM) Non Ulkus di Puskesmas Purwanegara I. Dengan desain penelitian quasy eksperimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh senam kaki terhadap penurunan Score Ankle Brachial Index (ABI). Hasil penelitian ini didapatkan bahwa ada perbedaan yang signifikan score ABI sebelum dan sesudah dilakukan senam kaki 20 menit dengan 4 kali tratment p value < 0,05. Persamaan penelitian ini adalah penelitian dilakukan pada pasien DM dan variabel Score Ankle Brachial Index (ABI) dengan perbedaan penelitian yaitu peneliti menggunakan metode survey dan perbedaan variabel gejala klinis PAD. 4. Simatupang dkk (2013), melakukan penelitian dengan judul Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Faktor Risiko Kardiovaskular pada Pasien DM Tipe 2 di RSUP. Prof. Dr. R.D Kandau Manado. Dengan desain penelitian Cross-Sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara PAP

11 dengan faktor risiko kardiovaskular pada pasien DMT2. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa orang dengan usia yang lebih tua berisiko 1,881 kali mendapatkan PAP,walaupun nilai P menunjukan hubungan yang tidak bermakna. Persamaan penelitian ini adalah pada penderita DM dengan perbedaan pada variabel penelitian berupa faktor risiko kardiovaskular sedangkan variabel penelitian peneliti yaitu gejala klinis PAD. 5. Thendria dkk (2014), melakukan penelitian dengan judul Hubungan Hipertensi dan Penyakit Arteri Perifer Berdasarkan Nilai Ankle- Brachial Index di Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso Pontianak. Dengan desain penelitian Cross-Sectional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan hipertensi dan PAP berdasarkan nilai ABI. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Prevalensi PAP pada pasien hipertensi adalah sebesar 21% (IK95%: 11-31%). Terdapat hubungan yang bermakna antara hipertensi dan penyakit arteri perifer berdasarkan nilai Ankle-Brachial Index (ABI) (p<0,05). Persamaan penelitian adalah Penyakit Arteri Perifer dan Nilai Ankle-Brachial Index, sedangkan perbedaan penelitian ini peneliti akan meneliti tentang hubungan score ABI terhadap gejala klinis PAD.