PENETAPAN AFLATOKSIN PADA PAKAN AYAM DENGAN CARA KROMATOGRAFI LAPISAN TIPIS Siti Djuariah Balai Penelitian Veteriner Bogor PENDAHULUAN Pakan merupakan salah satu faktor penting di dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak. Disisi lain pakan yang tercemar aflatoksin yaitu senyawa yang bersifat hepatotoksik yang dihasilkan oleh kapang terutama Aspergillus sp. selain membahayakan kesehatan ternak, dapat juga terdistribusi ke dalam jaringan tubuh seperti pada daging dan hati, sehingga dapat membahayakan manusia sebagai konsumen (Dalvi dan Ademoyero, 1984). Adanya kandungan aflatoksin 1 mg/kg pada pakan yang diberikan selama 1 bulan dapat menurunkan nilai nutrisi ayam broiler berupa tingginya kandungan serta rendahnya kandungan lemak dan protein (lonova dkk., 1985). Hal ini menyebabkan menurunnya mutu produk hewan tersebut. Kontaminasi aflatoksin pada komoditi pertanian terutama jagung yang merupakan bahan baku utama dalam pembuatan pakan, terjadi karena beberapa faktor yaitu adanya kerusakan pada waktu panen, serangan serangga, atau cara pengeringan yang kurang balk, ruang penyimpanan yang lembab, pengangkutan di tempat terbuka (Husaini, 1976). Pengobatan terhadap penyakit yang disebabkan oleh aflatoksin (Aflatoksikosis) ini belum ada, tetapi penyimpanan yang baik merupakan salah satu cara untuk pencegahannya. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menyampaikan metode analisis kandungan aflatoksin dalam pakan yang ditetapkan dengan Kromatografi Lapisan Tipis (KLT) dan aplikasinya pada pemeriksaan kandungan aflatoksin pada sampel diagnostik yang dilakukan di laboratorium Toksikologi Balai Penelitian Veteriner pada tahun 1995. BAHAN DAN CARA Metode analisis yang digunakan adalah metode Blaney dkk. (1984), dipisahkan secara Kromatografi Lapisan Tipis (KLT), atau Thin Layer Chromatografi (TLC) dan analisis jumlah dilakukan secara visual dengan bantuan sinar ultra violet (UV). 145
Lokakarye Fungsiona/Non Peneiti 1. Bahan-bahan. 1.1. Bahan baku : pakan ayam. 1.2. Bahan pereaksi Asetonitril ; Larutan potasium klorida 4% ; Larutan asam klorida 5 M ; Air suling (aquadest) ; Heksana, Diklorometan ;Sodium sulfat anhidrat Kloroform ; Aseton ; Standar Aflatoksin B,,B 2,G, dan G2-1.3. Alat-alat - Gelas ukur ; Shaker/ alat pengocok Kertas sarig ;Labu penguap ; Evaporator (alat penguap ; Lempeng tipis KLT Kiesel gel no. 5553 (E. Merck) ; Lampu UV (panjang gelombang 366 nm) ; Bejana (Chamber). 2. Metode ekstraksi dan pemisahan Sampel pakan diaduk homogen, kemudian ditimbang 25 gram kedalam erlenmeyer 300 ml, tambahkan 90 ml asetonitril, 10 ml larutan kalium klorida 4% dan 2 ml asam klorida 5 M dan dikocok menggunakan alat pengocok listrik (shaker) selama 30 menit, di saring dengan menggunakan kertas saring biasa. Sebanyak 50 ml filtrat dimasukkan ke dalam corong pisah 250 ml, tambahkan 50 ml air, diekstraksi dengan 50 ml heksan selama 1 menit, biarkan hingga lapisan heksan dan asetonitril terpisah sempurna, lapisan heksan (lapisan atas) dibuang, ekstraksi lemak dengan heksan ini dilakukan 2 kali. Selanjutnya lapisan asetonitril diekstraksi dengan 50 ml diklorometan. Lapisan diklorometan (lapisan bawah) disaring dengan kertas saring Whatman 41 melalui sodium sulfat anhidrat ke dalam labu penguap (labu evaporator), ekstraksi dilakukan 2 kali, perlakuan (ekstraksi) seperti diatas. 48 C. Ekstrak dikeringkan dengan menggunakan alat rotavapor pada suhu 3. Spotting dan analisis jumlah Ekstrak kering dilarutkan dengan aseton, dikocok supaya melarut rata, kemudian dibuat spot-spot (suntikkan) pada lempeng/ plate kromatografi yang telah dikeringkan di oven pada suhu 110 C selama 1 malam. Untuk contoh disuntikkan 2 dan 5 mikroliter, sedangkan untuk standar campuran aflatoksin B,' B2' G, dan G2 dengan konsentrat 0,3 ppm untuk afl B, dan G, 1 ppm untuk afl B2 dan G 2 disuntikan sebanyak : 0,4 ; 0,6 ; 0,8 ; 1,0 ; 2,0 ; 3,0 ; 4,0 ; 5,0 mikroliter, biarkan kira-kira 10 detik atau dikeringkan dengan alat pengering supaya lempeng kering dari pelarut spot-spot. Lempeng kering dimasukkan ke dalam bejana yang telah dijenuhkan dengan pelarut kloroform :aseton (9 :1) dibiarkan naik (mengembang) sampai 1 cm dari ujung lempeng bagian atas, 1 46
Lokakarya Fungsional Non Penepti kemudian diangkat dan dikeringkan. Hasil identifikasi dapat dibaca di bawah lampu UV pada panjang gelombang 366 nm. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Perolehan Kembali. Untuk menguji ukuran dan penetapan aflatoksinn maka dilakukan percobaan uji perolehan kembali, dimana sampel pakan ditambahkan standard aflatoksin dengan kadar tertentu, kemudian dilakukan tahap-tahap analisis. Hasil uji perolehan kembali metode analisis yang diinginkan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Perolehan Kembali Aflatoksin Perolehan kembali (%) Rata- rata I II III B, 90 100 90 93% B 2 80 92 100 90,7%. G, 90 92 75 88%. G 2 80 92 75 82%. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa metode tersebut cukup dapat dipercaya akurasinya karena uji perolehan kembali yang didapat berkisar antara 75-100 %. Meskipun demikian, pembacaan identifikasi aflatoksin dan penentuan jumlahnya secara metode KLT ini mempunyai kelemahan yang bersifat subyektif. Keterampilan, ketelitian dan pengalaman operator sangat diperlukan untuk dapat membaca hasil yang diperoleh. 2. Aplikasi metode pada pemeriksaan sampel diagnostik. Hasil analisis terhadap cemaran aflatoksin B, pada pakan ayam dapat dilihat pada Tabel 2. Dari hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa kandungan aflatoksin B, pada pakan ayam dalam periode triwulan selama 1 tahun terdapat kadar yang bervariasi, berkisar antara 37,54 ppb sampai dengan 65,00 ppb. 1 4 7
Lokakarya Fungsional Non Penelrt Tabel 2. Cemaran aflatoksin B, pada pakan ayam selama tahun 1995, berdasarkan sampel yang masuk. Triwulan Jumlah Sampel Kandungan rata-rata AfI.B, I. Jan s/d Maret 21 37,54 ppb. II. Apr s/d Juni 18 37,44 ppb III.Juli s/d Sept. 6 51,42 ppb. IV. Okt.s/d Des 15 65,00 ppb Kandungan rata-rata aflatoksin B, pada triwulan I dan II relatip rendah, kemungkinan disebabkan oleh waktu pengumpulan sampel yang dilakukan pada saat musim kemarau. Hasil penelitian terhadap pakan ayam pedaging menunjukkan bahwa kandungan rata-rata aflatoksin B, pada saat musim kemarau selalu Iebih rendah dibandingkan dengan kandungan aflatoksin B, pada musim hujan (Ginting dkk. 1985). Keberadaan aflatoksin pada pakan sangat dipengaruhi oleh : bahan baku pakan, kelembaban relatif dan kadar air, suhu dan waktu, dan faktor geografis, iklim dan ph. Barden dkk., (1970), menyarankan agar semua pakan diperiksa dulu sebelum dijual. Hal ini balk juga dilaksanakan di Indonesia. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Hasil uji perolehan kembali berkisar antara 75-100%, sehingga metode ini dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. 2. Semua pakan sebaiknya diperiksa sebelum dijual/diberikan pada ternak. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Raphaella Widiastuti, ibu Dra. Romsyah Maryam serta staf dan teknisi laboratorium Toksikologi atas bantuan dan saran-saran yang telah diberikan dalam penulisan makalah ini. 1 48
Lokakarya Fungsional Non Peneliti DAFTAR PUSTAKA Barden, E.S, H,L. Chute, D.C. Oilera, and H.T. Wheel Wright 1969/1970. Mycotoxic Effect, Response of Ducklings and Chickens Fed Corn Experimentally Infected with Fungi from Poultry Feed Ingredients, Res. Life. Sci. 17 : 1-6. Blaney Bj. Moore C J and Tayler Al. Mycotoxins and Fungal Damage inc. Maize Harvested During 1982 in Far North Quinsland. Aust Res 1984 ; 35 : 465-471. Dalvy R, Ademoyero A. 1984. Toxic Effect on Aflatoxin B, Chikens Given Feed Contaminated with Aspergillus flavus and Reduktion of the Toxicity by Activated Charcoal and some Chemical Agents. Avian Diseases 28 (1) : 61-69. Ginting Ng, Widiastuti R, and Stoltz DR. Penelitian Mikotoksin di Balai Penelitian Veteriner, dibawakan pada Pertemuan Pertama Mikrobiologiawan ASEAN 2-4 Desember 1985, Jakarta 1985. Husaini, 1976. Aflatoksin didalam Bahan Makanan Simposium Biokimia Indonesia, Jakarta, 12-14 Januari. lonova I, Petkovr, Monov G, lonova, 1985. Chemical Comsition of meat from broilers given feed containing Aflatoxin B 1. Abstract Veterinarnomeditsinknauki 22 (10) : 51-57 1 49