BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terdiri dari Persepsi (perception), Respon terpimpin (Guided Respons),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/068/I/2010 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Semua usaha yang dilakukan dalam upaya kesehatan tentunya akan

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat pelayanan kesehatan (DepKes RI, 2002). paling tepat dan murah (Triyanto & Sanusi, 2003).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

ABSTRAK FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG OBAT GENERIK DI PUSKESMAS KAYU TANGI BANJARMASIN

Jurnal Farmanesia, 9/11(2016), 5-10 STUDI PERBANDINGAN OBAT GENERIK DAN OBAT DENGAN NAMA DAGANG. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. angka kematian bayi, angka kelahiran, dan angka kematian ibu.( A.Gde Munin

Pengertian SKN. Maksud dan Kegunaan SKN 28/03/2016. BAB 9 Sistem Kesehatan Nasional (SKN)

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masa kehamilan (Prawirohardjo, 2000). Menurut Manuaba (2001), tujukan pada pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEBIJAKAN OBAT NASIONAL (KONAS) Kepmenkes No 189/Menkes/SK/III/2006

Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol : 20-27

BAB I PENDAHULUAN. menerima pengakuan ini adalah Imhotep dari Mesir yang jauh lebih tua

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG OBAT GENERIK DI DESA DIRGAHAYU KECAMATAN PULAU LAUT UTARA KABUPATEN KOTABARU KALIMANTAN SELATAN

Kompetensi Apoteker Indonesia adalah :

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara umum, obat terbagi menjadi dua yaitu obat paten dan obat generik.

KEBIJAKAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DIREKT0RAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kebijakan Obat Nasional, Daftar Obat Esensial Nasional, Perundangan Obat. Tri Widyawati_Wakidi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi terutama dalam proses penyembuhan penyakit atau kuratif (Isnaini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Prosiding Farmasi ISSN:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan baik untuk menghilangkan gejala/symptom dari suatu penyakit,

BAB II TINJAUAN TEORI Pengertian pengetahuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyelamatkan jiwa para ibu dan bayi baru lahir (JNPK-KR, 2012).

BAB VII SUBSISTEM OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN PENGERTIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. satu hal dan pengetahuan umum yang berlaku bagi keseluruhan hal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Upaya kesehatan merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

ANALISIS IKLAN OBAT BEBAS DAN OBAT BEBAS TERBATAS PADA ENAM MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL 2009

berhubungan dengan kesehatan diklasifikasikan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meliputi kesejahteraan fisik, mental, dan sosial bukan semata-mata bebas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

Gambaran Pengetahuan Klien tentang Swamedikasi di Apotek- Apotek Pekanbaru

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermutu serta pemerataan pelayanan kesehatan yang mencakup tenaga, sarana dan

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

PERAN APOTEKER DI DALAM PENGELOLAAN OBAT DAN ALKES DI INSTALASI FARMASI PROVINSI, KABUPATEN/ KOTA. Hardiah Djuliani

BAB I PENDAHULUAN. (Depkes,2009). Kesehatan yaitu afiat yang berarti perlindungan Allah untuk

ANALISIS DAYA SAING, STRATEGI DAN PROSPEK INDUSTRI JAMU DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. membangun manusia Indonesia yang tangguh. Pembangunan dalam sektor kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan pemulihan (Menteri Kesehatan RI,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Praktek Kerja Profesi di Rumah Sakit

karena selain komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena penanganan dan

BAB I PENDAHULUAN. Berkeadilan. Untuk mencapainya, perlu diusahakan upaya kesehatan yang bersifat

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obat generik sering diasumsikan sebagai obat dengan kualitas yang rendah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama yang membuat obat jenis ini kurang dimanfaatkan. Obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Name (INN) yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (DepKes RI, 2010). Pada dasarnya, obat generik merupakan salah satu sediaan farmasi yang telah memenuhi persyaratan farmakope serta melewati proses pembuatan sesuai Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun turut mengawasi standar umum tersebut. Hal yang membedakan dengan obat bermerek dan banyak dipromosikan, umumnya pada pemilihan kadar kandungan dalam rentang standar farmakope (Anonim, 2010). Berdasarkan data Nasional penggunaan obat generik di Indonesia hingga kini masih tergolong rendah, meskipun harganya jauh lebih murah dan khasiat yang sama seperti obat bernama dagang (bermerek). Menurut data Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010, peresepan obat generik oleh dokter di rumah sakit umum milik pemerintah saat ini baru 66 persen, sedangkan di rumah sakit swasta dan apotek hanya 49 persen. Ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan juga baru 69,7 persen dari target 95 persen, Dalam lima tahun terakhir 2005-2010, pasar obat generik turun dari Rp2.525 triliun atau 10 1

2 persen dari pasar nasional, menjadi Rp2.372 triliun atau 7.2 persen dari pasar nasional. Sementara, pasar obat nasional meningkat dari Rp23,59 triliun pada 2005 menjadi Rp32,93 triliun pada 2009. Hal itu antara lain dipengaruhi oleh tingkat penggunaan obat generik dalam pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2010). Obat generik memang dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat. Penyebab masalah ini adalah baik dokter maupun pasien, masih menganggap obat generik adalah obat yang murah dan tidak berkualitas. Hal ini menunjukkan masih kurangnya edukasi dan perlunya sosialisasi lebih lanjut terhadap obat generik. Kondisi yang ada justru pihak medis memilih untuk meresepkan obat selain generik karena adanya unsur financial incentives. Persepsi masyarakat, permintaan dan kebutuhan masyarakat akan obat generik di rumah sakit bukan merupakan faktor rendahnya penggunaan obat generik, tetapi lebih disebabkan oleh rendahnya pengetahuan masyarakat tentang obat generik itu sendiri (Handayani, 2010). Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Auckland pun membuktikan bahwa masyarakat yang memiliki pendidikan lebih banyak tentang obat akan lebih mengerti tentang obat generik (Babar dkk, 2010). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan mahasiswa kedokteran dalam melakukan peresepan obat generik, terutama pada mahasiswa kedokteran yang akan lulus menjadi dokter.

3 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat pengetahuan mahasiswa kedokteran umum tingkat profesi terhadap obat generik. 2. Apakah ada hubungan antara lamanya praktik koas terhadap pengetahuan mahasiswa kedokteran umum tingkat profesi mengenai obat generik. C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan mahasiswa kedokteran umum tingkat profesi terhadap obat generik. 2. Mengetahui apakah terdapat pengaruh lamanya praktik koas terhadap pengetahuan mahasiswa kedokteran umum tingkat profesi mengenai obat generik. D. Tinjauan Pustaka 1. Obat Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. (BPOM, 2012). 2. Obat Generik a. Pengertian Obat Generik Obat generik menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan INN (International

4 Nonpropietary Names) dari WHO untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (DepKes RI, 2010). Obat generik berlogo yaitu obat jadi dengan nama generik yang diedarkan dengan mencantumkan logo khusus pada penandaannya (DepKes RI, 2010). Obat generik esensial adalah obat generik terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat (Widodo, 2004). b. Manfaat Obat Generik Menurut Widodo (2004) manfaat obat generik secara umum adalah sebagai berikut: 1) Sebagai sarana pelayanan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. 2) Dari segi ekonomis obat generik dapat dijangkau masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah. 3) Dari segi kualitas obat generik memiliki mutu atau khasiat yang sama dengan obat yang bermerek dagang ataupun obat paten. c. Kebijakan Obat Generik Kebijakan obat generik adalah salah satu kebijakan untuk mengendalikan harga obat, di mana obat dipasarkan dengan nama bahan aktifnya. Agar upaya pemanfaatan obat generik ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka kebijakan tersebut mencakup komponenkomponen berikut (DepKes RI, 2000) :

5 1) Produksi obat generik dengan Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB). Produksi dilakukan oleh produsen yang memenuhi syarat CPOB dan disesuaikan dengan kebutuhan akan obat generik dalam pelayanan kesehatan. 2) Pengendalian mutu obat generik secara ketat. 3) Distribusi dan penyediaan obat generik di unit-unit pelayanan kesehatan. 4) Peresapan berdasarkan atas nama generik, bukan nama dagang. 5) Penggantian (substitusi) dengan obat generik diusulkan diberlakukan di unit unit pelayanan kesehatan. 6) Informasi dan komunikasi mengenai obat generik bagi dokter dan masyarakat luas secara berkesinambungan. 7) Pemantauan dan evaluasi penggunaan obat generik secara berkala. d. Faktor yang Menghambat Masyarakat Terhadap Obat Generik 1) Akses Obat Hal ini dalam rangka memenuhi kebutuhan obat pasien sesuai dengan resep di setiap penjualan obat, yaitu membahas resep yang terlayani, resep yang tidak terlayani oleh apotek, dan resep yang obatnya digantikan dengan obat lain yang sejenis. Akses masyarakat terhadap obat esensial dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu (DepKes RI, 2005): a) Penggunaan obat yang rasional; b) Harga yang terjangkau;

6 c) Pembiayaan yang berkelanjutan d) Sistem pelayanan kesehatan beserta sistem suplai obat yang dapat menjamin ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan obat. 2) Harga Obat Harga obat di Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat tidak transparan. Penelitian WHO menunjukkan perbandingan harga antara satu nama dagang dengan nama dagang yang lain untuk obat yang sama, berkisar 1 : 2 sampai 1 : 5. Penelitian di atas juga membandingkan harga obat dengan nama dagang dan obat generik menunjukkan obat generik bukan yang termurah (DepKes RI, 2005). Survai dampak krisis rupiah pada biaya obat dan ketersediaan obat esensial antara 1997 2002 menunjukkan bahwa biaya resep rata-rata di sarana kesehatan sektor swasta jauh lebih tinggi dari pada di sektor publik yang menerapkan pengaturan harga dalam sistem suplainya (DepKes RI, 2005) 3) Tingkat Ketersediaan Obat Rendahnya ketersediaan obat generik di rumah sakit pemerintah dapat berimplikasi secara langsung pada akses obat generik, sebagai gantinya pasien membeli obat generik di apotek atau di praktek dokter. Apotek swasta mempunyai obat generik lebih sedikit dibandingkan dengan yang disediakan oleh dokter. Sehingga apotek menyediakan obat bermerek lebih banyak. Selama banyak obat yang tidak tersedia,

7 pasien mengeluarkan uang lebih banyak untuk membayar obat (Suryani, 2008). 4) Informasi Obat Keterbatasan informasi masyarakat akan obat sangat erat kaitannya dengan ketidaktahuan akan pengenalan, penggunaan dan pemanfaatan obat terutama bagi mereka yang ingin memakai obat generik. Informasi obat, antara lain mengenai khasiat, indikasi, kontraindikasi, efek samping, dosis dan aturan pakai, peringatan-peringatan penggunaan suatu obat, serta harga obat. Selain itu bila perlu informasi mengenai pilihan obat yang tepat bagi konsumen (Widodo, 2004). 5) Keterjangkauan Obat Keterjangkauan obat dapat dipandang dari sudut geografis, ekonomi dan sosial politik. Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau dimana 5.707 diantaranya sudah bernama. Namun pulau yang telah berpenghuni jumlahnya lebih kecil. Saat ini sebagian masyakat Indonesia tinggal di daerah terpencil, daerah tertinggal, dan wilayah perbatasan. Sebagian lagi tinggal di daerah rawan bencana baik bencana alam dan bencana buatan manusia seperti ketidak-stabilan politik dan tingginya tingkat kemiskinan. Dengan pola penyebaran penduduk seperti tersebut di atas, maka diperlukan adanya perbedaan pengelolaan obat sesuai dengan karateristik masing-masing daerah. Sebagai contoh kita dapat melakukan pengelompokan Provinsi Kepulauan : Riau, NTB, NTT, Maluku dan Maluku Utara lebih

8 memiliki karakteristik geografis kepulauan. Sedangkan propinsi di Kalimantan dan Papua dapat dikategorikan daratan luas dengan hambatan transportasi. Kategori lain adalah Pulau Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi (DepKes RI, 2005). 3. Konsep Pengetahuan a. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2005). b. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni (Notoatmodjo, 2003): 1) Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recaal) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu ini merupakan tingkat penetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa

9 yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya. 2) Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3) Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hokumhukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4) Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam kompnen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

10 5) Sintesis (syntesis) Sintesis merujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan (Mubarok, 2007): 1) Pendidikan Semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. 2) Pekerjaan Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang, dan banyak tantangan. Semakin lama seseorang bekerja semakin banyak pengetahuan yang diperoleh.

11 3) Umur Umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin bertambah umur seseorang semakin banyak pengetahuan yang di dapat. 4) Minat Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. d. Cara Memperoleh Pengetahuan (Notoatmodjo, 2005): 1) Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan a) Cara coba salah (Trial dan Error) Cara yang paling tradisional, yang pernah digunakan oleh manusia dalam memperoleh pengetahuan adalah cara coba-salah trial and error. Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. b) Cara kekuasaan atau otoritas Dalam kehidupan sehari-hari, banyak sekali kebiasaankebiasaan dan tradisi-tradisi yang dilakukan itu baik atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan ini biasanya diwariskan turun temurun dari generasi-generasi berikutnya. c) Berdasarkan pengalaman pribadi Pengalaman itu adalah guru yang baik, demikianlah bunyi pepatah. Pepatah ini mengandung maksud bahwa pengalaman itu

12 merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. d) Melalui jalan pikiran Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berfikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya. 2) Cara modern dalam memperoleh pengetahuan Cara moderen dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis, dan ilmiah (Notoatmodjo, 2005).