TINJAUAN PUSTAKA. tahun, sebagian besar akibat kegiatan perambahan ilegal, sisanya karena

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. diartikan berkaitan dengan jumlah karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah,

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. Produksi Minyak Sawit Dunia, Gambar 1.1 Grafik Produksi Minyak Sawit Dunia, (FAO, 2010)

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

5. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. alam baik itu berupa sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

BAB III METODE KAJIAN

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

AKTIFITAS ILLEGAL DI DALAM KAWASAN HUTAN. Penebangan Liar Pencurian Kayu Perambahan Hutan Perladangan Liar Pengembalaan Liar

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

DAFTAR ISI. Halaman LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN...

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU : KASUS PETANI DI DESA KUNGKAI BARU

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

III. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

I. PENDAHULUAN Latar belakang

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

PENDAHULUAN. Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo)

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

PENDAHULUAN Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

4 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Penutupan Lahan di Sumatera Utara Sekitar 100.000 Ha hutan di Sumatera Utara diperkirakan rusak setiap tahun, sebagian besar akibat kegiatan perambahan ilegal, sisanya karena pengalihan lahan menjadi areal perkebunan dan pembangunan infrastruktur jalan. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian cenderung terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian. Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Secara nyata luas hutan di Sumatera Utara terus mengalami penurunan, terutama disebabkan oleh konversi hutan menjadi areal non hutan (tidak berhutan) seperti permukiman, sawah, perkebunan, ladang dan areal terbuka. (Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, 2016). Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (2016) juga menyatakan bahwa permasalahan utama yang berkaitan dengan penggunaan lahan dan hutan di Sumatera Utara adalah perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan yang tidak terkendali, baik perubahan penggunaan lahan dari sawah menjadi permukiman, ataupun hutan yang dirambah menjadi perkebunan kelapa sawit dan lahan kritis akibat penebangan (ilegal logging) dan kebakaran hutan (forest fire) pada beberapa wilayah di Sumatera Utara. Dari data kerusakan dan konversi hutan diketahui bahwa penyebab utama kerusakan hutan di Sumatera Utara adalah perambahan. Sedangkan konversi hutan terjadi terutama karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan.

5 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan (Land Use) diartikan sebagai setiap bentuk interaksi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahan dan dimanfaaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat atas lahan tersebut. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya (Arsyad, 2006). Merosotnya kualitas lingkungan dan sumberdaya alam diikuti oleh peningkatan perubahan lahan, khususnya dari hutan ke pertanian dan dari lahan pertanian ke permukiman. Transformasi perubahan lahan dan tutupan lahan, tahap pertama terjadi sebagai hasil dari kebijakan pemerintah untuk memperoleh kayu (logging) dan pajak ekspor kayu sehingga mengijinkan usaha penebangan hutan, yang kemudian diikuti oleh perluasan pertanian, baik secara terencana maupun spontanitas dari masyarakat (Nugroho dan Prayogo, 2008). Grubler (1998) mengatakan ada tiga hal bagaimana teknologi mempengaruhi pola tata guna lahan. Pertama, perubahan teknologi telah membawa perubahan dalam bidang pertanian melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian dan produktivitas tenaga kerja. Kedua, perubahan teknologi transportasi meningkatkan efisiensi tenaga kerja, memberikan peluang dalam meningkatkan urbanisasi daerah perkotaan. Ketiga, teknologi transportasi dapat meningkatkan aksesibilitas pada suatu daerah.

6 Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Banyak sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang telah dikembangkan, yang dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu atau pada waktu tertentu (Sitorus, 2006). Pemetaan penggunaan lahan dan penutup lahan sangat berhubungan dengan studi vegetaasi, tanaman pertanian dan tanah dari biosfer. Karena data penggunaan lahan dan penutup lahan paling penting untuk planner yang harus membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan, maka data ini sangan bersifat ekonomi (Lo, 1995). Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor Yang Mempengaruhinya Peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan material cenderung menyebabkan persaingan dalam penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Mansuri, 1996). Kerusakan hutan dan lahan telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat antara lain dengan terjadinya banjir, tanah longsor,

7 erosi dan sedimentasi, hilangnya biodiversity maupun menurunnya pendapatan negara dari hasil kayu. Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya perubahan penutupan hutan di Indonesia. Kegiatan yang menyebabkan pengurangan luas hutan antara lain berupa konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan sektor lain yaitu untuk perkebunan, pertanian, pemukiman/transmigrasi; perdagangan kayu ilegal (illegal trading), ataupun penebangan liar (illegal logging); perambahan, dan okupasi lahan serta kebakaran hutan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015). Beberapa kajian dan penelitian telah dilakukan untuk menganalisis faktor faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan. Nastain dan Purwanto (2003) menyatakan beberapa hal yang diduga sebagai penyebab proses perubahan penggunaan lahan antara lain : 1. Besarnya tingkat urbanisasi dan lambatnya proses pembangunan di pedesaan. 2. Meningkatnya jumlah kelompok golongan berpendapatan menengah hingga atas di wilayah perkotaan yang berakibat tingginya permintaan terhadap pemukiman (komplek-komplek perumahan). 3. Terjadinya transformasi di dalam struktur perekonomian yang pada gilirannya akan menggeser kegiatan pertanian/ lahan hijau khususnya di perkotaan. 4. Terjadinya fragmentasi pemilikan lahan menjadi satuan-satuan usaha dengan ukuran yang secara ekonomi tidak efisien. Wijaya (2004) menyatakan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penutupan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, mata pencaharian,

8 aksesibilitas, dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah. Tingginya tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah telah mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman ataupun lahan-lahan budidaya. Mata pencaharian penduduk di suatu wilayah berkaitan erat dengan usaha yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut. Perubahan penduduk yang bekerja di bidang pertanian memungkinkan terjadinya perubahan penutupan lahan. Semakin banyak penduduk yang bekerja di bidang pertanian, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan. Keterkaitan antara Faktor Sosial Ekonomi dan Ekologi Perubahan Lahan terhadap Faktor sosial-budaya masyarakat merupakan salah satu faktor penting yang ikut memberikan kontribusi bagi penentuan pemanfaatan lahan. Pada umumnya pola-pola pemanfaatan lahan yang ada di suatu wilayah tidak bertentangan dengan kondisi sosial-budaya masyarakatnya (Komarsa, 2001). Faktor sosial budaya tersebut meliputi: tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat usia, motivasi, persepsi dan interpretasi, pandangan/sikap hidup, adatistiadat, idiologi dan tradisi lokal, hubungan dan jaringan sosial, institusi lokal. Secara rinci perubahan penggunaan lahan terakit dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang tercermin pada: (i) peningkatan jumlah penduduk; (ii) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktivitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa); (iii) meningkatnya jumlah kelompok golongan berpendapatan menengah ke atas yang berakibat tingginya permintaan terhadap pemukiman

9 (kompleks-kompleks perumahan); (iv) terjadinya fragmentasi pemilikan lahan menjadi satuan-satuan usaha dengan ukuran yang secara ekonomi tidak efisien (Hariyatno, dkk. 2014). Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, sumberdaya lahan yang berkualitas tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya ketahanan pangan, tingkat dan intensitas pencemaran yang berat dan kerusakan lingkungan lainnya (Rustiadi, 2001). Masyarakat tradisional pada umumnya sangat mengenal dengan baik lingkungan di sekitarnya. Mereka hidup dalam berbagai ekosistem alami yang ada di Indonesia, dan telah lama hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga mengenal berbagai cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Masyarakat pedusunan memiliki keunikan khusus seperti kesederhanaan, ikatan emosional tingi, kesenian rakyat dan loyalitas pada pimpinan kultural seperti halnya konsep-konsep yang berkembang di pedusunan (Nasruddin dan Sudarsono, 2008) Sistem Informasi Geografis Penggunaan Sistem Informasi Geografis dalam melakukan analisis perubahan tutupan lahan sangat dibutuhkan dalam tindakan pencegahan terhadap

10 kegiatan eksploitasi maupun konversi lahan hutan yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dan dengan menggunakan data yang diperoleh dari Sistem Informasi Geografis dapat memprediksi luas perubahan lahan yang terjadi pada masa yang akan datang sehingga dapat digunakan sebagai gambaran dalam melakukan antisipasi terhadap berkurangnya luas lahan hutan (Ginting dkk, 2012). Indentifikasi perubahan penggunaan lahan memerlukan suatu data spasial temporal. Data-data spasial tersebut bersumber dari hasil interpretasi citra satelit maupun dari instansi-instansi pemerintah dan dianalisis dengan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi). Pemanfaatan SIG dan data satelit merupakan suatu tekhnologi yang baik dalam mengelola data spasial-temporal perubahan penggunaan lahan. Mengetahui perubahan pengggunaan lahan tidak hanya berguna untuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, tetapi juga dapat dijadikan suatu informasi dalam merencanakan tata ruang di masa yang akan datang (As-Syakur, 2011). Sistem Informasi Geografis adalah perangkat lunak yang memadai untuk melakukan analisis perubahan tutupan lahan. Proses yang penting dalam melakukan analisis adalah koreksi geometrik, penajaman citra, identifikasi tutupan, dan konstruksi perubahan tutupan. Studi kasus TAHURA menunjukkan bahwa terjadi perubahan tutupan lahan ke tutupan lahan lainnya disemua desa/kelurahan yang diamati. Perubahan tutupan lahan hutan ke non hutan 5.90%, dan 5.40% berubah dari non hutan ke hutan (Bode, 2015) Kebutuhan teknologi penginderaan jauh yang dipadukan dengan Sistem informasi Geografi (SIG) untuk tujuan inventarisasi dan pemantauan sangat penting terutama bila dikaitkan dengan pengumpulan data yang cepat dan akurat.

11 Disamping itu pengumpulan data dengan teknologi penginderaan jauh dapat mengurangi bahkan menghilangkan pengaruh subyektivitas. Mengingat luasnya dan banyaknya variasi wilayah Indonesia, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, maka aplikasi penginderaan jauh dan SIG sangat tepat. Kedua teknologi tersebut dapat dipadukan untuk meningkatkan kemampuannya dalam hal pengumpulan data, manipulasi data, analisis data serta menyediakan informasi secara terpadu (Wahyunto, 2004). Hasil penelitian Ginting, dkk (2012) menggunakan SIG dengan tujuan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan di Kabupaten Karo. Pada selang waktu 1997-2000-2003-2006-2009 perubahan luas tutupan lahan terbesar di Kabupaten Karo terjadi pada pertanian lahan kering yang menjadi lahan sawah dan diikuti oleh lahan hutan yang menjadi pertanian lahan kering. Sementara Sitompul, dkk (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Kota Pematangsiantar dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2013) mengalami penurunan luas tutupan lahan pertanian lahan kering, semak belukar, persawahan dan perkebunan dengan faktor utama aktifitas pembangunan. Kota Pematangsiantar mengalami penurunan tutupan lahan penghijau sebesar 6,67 %, dan saat ini memiliki luas sebesar 55,47% lahan penghijau. Analytical Hierarchy Process (AHP) Fasilitas AHP dalam pengambilan keputusan dengan mengadakan persepsi, perasaan, penilaian, dan memiliki nilai sejarah menjadi struktur hierarki dengan kekuatan yang mempengaruhi keputusan sebuah kasus yang paling umum. Pada struktur hierarki menunjukkan keterkaitan antara interaksi tujuan, kriteria,

12 sub kriteria, dan alternatif pada seluruh sistem. Untuk tujuan ini, pengukuran mutlak dan pendekatan pengukuran relatif digunakan dalam penerapan AHP. Hasil perbandingan umumnya digunakan ketika peringkat alternatif sesuai dengan standar yang dikembangkan oleh pengalaman ahli (Saaty, 1980). Namun, perbandingan relatif memerlukan prioritas untuk tujuan hierarki dengan membuat perbandingan berpasangan secara sistematis. Hasil penelitian Hartati dan Adi (2012) menyatakan kombinasi penggunaan metoda AHP (yang difasilitasi perangkat lunak Expert Choice 11) dengan perangkat-perangkat lunak SIG seperti ArcGIS, ArcView, dan sebagainya. Sesungguhnya memungkinkan para pengambil keputusan dapat melakukan pengambilan keputusan dengan baik dan berkualitas (meskipun data yang dimilikinya bersifat deskriptif dan kualitatif). Penelitian yang dilakukan oleh Ritonga (2012) di Tangkahan yang bertujuan untuk mengetahui bentuk pemanfaatan Gajah (Elephas indicus) jinak yang paling sesuai di Tangkahan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian yang dilakukan adalah kriteria kesejahteraan dan keamanan masyarakat sebagai yang paling prioritas karena seluruh responden beranggapan bahwa kepentingan dari bentuk pemanfaatan Gajah (Elephas indicus) jinak yang ada di Tangkahan sudah seharusnya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan dan keamanan masyarakat. Mendefenisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan, pada tahap ini untuk menentukan masalah yang akan dipecahkan harus secara jelas, detail, dan mudah dipahami. Tahapan Metode AHP dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

13 1. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama 2. Mendefenisikan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan 3. Menghitung nilai eigen dengan menguji konsistensinya 4. Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki 5. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan prioritas elemen- elemen pada tingkat hierarki terendah sampai mencapai tujuan. 6. Memeriksa konsistensi hierarki Konsistensi yang diharapkan adalah mendekati sempurna agar menghasilkan keputusan yang mendekati valid. Walaupun sulit untuk mencapai sempurna, rasio konsistensi diharapkan kurang dari atau sama dengan 10 %. Pada struktur hirarkis AHP memberikan informasi untuk menguji antara interaksi tujuan, kriteria, sub kriteria, dan alternatif pada seluruh sistem. Tahaptahap dalam menuyusun struktur hirarkis yaitu : 1. Dekomposisi yang diterapkan untuk struktur masalah yang kompleks dalam hirarki. 2. Pengambilan keputusan yang diterapkan untuk membangun perbandingan berpasangan pada semua elemen dalam sebuah hierarki. 3. Sintesa prioritas yang diterapkan untuk menghasilkan prioritas keseluruhan sepanjang Hierarki dengan mempertimbangkan prioritas secara umum. (Saaty, 1980).