BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Teori Otonomi Daerah Serta Otonomi Khusus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Peraturan dan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan Keuangan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemerintahan Kota Surakarta) dalam penelitiannya menyimpulkan sebagai berikut

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengujian dan analisis yang telah dilakukan mengenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KINERJA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM PADA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ini merupakan hasil pemekaran ketiga (2007) Kabupaten Gorontalo. Letak

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan regulasi dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keuangan Daerah. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

ANALISIS PERKEMBANGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH. (Studi Kasus Kabupaten Klaten Tahun Anggaran )

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan-tujuan. Kinerja terbagi dua jenis yaitu kinerja tugas merupakan

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai berikut: Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. perimbangan keuangan pusat dan daerah (Suprapto, 2006). organisasi dan manajemennya (Christy dan Adi, 2009).

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1. 1 Definisi dan Teori Otonomi Khusus UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa daerah otonom yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan berhak mengurus urusan pemerintahannya. Berlakunya otonomi memberikan kewenangan yang luas terhadap pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota dalam menyelenggarakan semua urusan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan. Karena pada dasarnya otonomi daerah diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia.

10 Hatta dalam Bastian (2006) menyatakan bahwa: Otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri, rakyat dimungkinkan tidak saja untuk menentukan nasibnya sendiri, tetapi yang terutama, rakyat dapat memperbaiki nasibnya sendiri. Mengenai otonomi khusus, otonomi khusus adalah pengembangan dari otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat hanya kepada daerah-daerah tertentu karena pada daerah tersebut memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sampai saat ini daerah yang diberikan status otonomi khusus atau istimewa di Indonesia ada lima daerah yakni Nanggroe Aceh Darussalam, Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Jakarta, Papua, dan Papua Barat. Daerah-daerah tersebut memperoleh status otonomi khusus karena keistimewaan yang terjadi di daerah tersebut dan pada akhirnya Pemerintah Pusat memberikan status otonomi khusus pada kelima provinsi terebut yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus utama dalam pembahasan adalah otonomi khusus yang diterapkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua. 2.1.2 Peraturan dan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Keuangan Daerah Berlakunya otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia menimbulkan banyaknya peraturan. Peraturan tersebut mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden ataupun Peraturan Menteri. Semua itu dibuat

11 agar pelaksanaan otonomi dapat berjalan dengan baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal yang terpenting dalam otonomi daerah yaitu dibidang keuangan. Bidang keuangan merupakan kunci dari penentu berhasil atau tidaknya otonomi daerah diterapkan di daerah-daerah di Indonesia (Halim, 2002). Menurut Mahmudi (2007) dalam Fachrizal (2008) menyatakan bahwa perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah dilihat dari aspek historis dapat dibagi dalam tiga fase yaitu era sebelum otonomi daerah, era transisi otonomi, dan era pascatransisi. Era sebelum-otonomi daerah merupakan pelaksanaan otonomi pada saat orde baru mulai tahun 1975 sampai 1999. Era transisi ekonomi adalah masa antara tahun 1999 hingga 2004, dan era pascatransisi adalah masa setelah diberlakukannya UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.

12 Tabel 1 Perkembangan Hukum di Bidang Keuangan Daerah Pra-Otonomi Daerah & Desentralisasi Fiskal 1999 UU No. 5 Tahun 1974 PP No. 5&6 Tahun 1975 Manual Administrasi Keuangan Daerah Transisi otonomi UU No. 22 Tahun 1999 UU No. 25 Tahun 1999 PP No. 105 Tahun 2000 Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 Peraturan Daerah Keputusan KDH Pascatransisi Otonomi UU No. 17 Tahun 2003 UU No. 1 Tahun 2004 UU No. 15 Tahun 2004 UU No. 25 Tahun 2004 UU No. 32 Tahun 2004 UU No. 33 Tahun 2004 PP No. 24 Tahun 2005 PP No. 58 Tahun 2005 Permendagri No. 13 Tahun 2006 PP No.71 tahun 2010 PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah memiliki keterkaitan dengan PP Nomor 108 tahun 2000 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Pengelolaan keuangan daerah secara khusus diatur dalam PP Nomor 105 Tahun 2000 Pasal 14 yang menyatakan bahwa: 1. Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah ditetapkan dengan peraturan daerah. 2. Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan keputusan kepala daerah sesuai dengan peraturan daerah. 3. Pedoman tentang pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan APBD, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan ditetapkan dengan keputusan menteri dalam negeri dan otonomi daerah.

13 Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 menjelaskan tentang petunjuk pelaksanaan PP No.105 Tahun 2000 di bidang pengelolaan keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah. PP No.58 Tahun 2005 dan Permendagri No.13 Tahun 2006 memberikan pendekatan baru dalam pengelolaan keuangan daerah. Perubahan-perubahan yang terjadi cukup besar, namun tetap dilakukan secara bertahap sesuai semangat reformasi. Perubahan itu sudah sampai pada teknik akuntansinya yang meliputi perubahan dalam pendekatan sistem akuntansi dan prosedur pencatatan, dokumen dan formulir yang digunakan, fungsi-fungsi otorisasi untuk tujuan sistem pengendalian internal, laporan dan pengawasan. 2.1.3 Keuangan Daerah Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut. Menurut Munir, dkk (2004) dalam Fachrizal (2008), keuangan daerah adalah keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan dan kebijakan penganggaran yang meliputi pendapatan dan belanja daerah. Menurut Mamesah (1995) dalam Halim (2002) menyatakan bahwa keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai peraturan

14 perundangan yang berlaku. Pemerintah daerah selaku pengelola dana publik harus menyediakan informasi keuangan yang diperlukan secara akurat, relevan, tepat waktu, dan dapat dipercaya. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki sistem informasi akuntansi yang handal. Dari defenisi tersebut, selanjutnya Halim (2002) menyatakan terdapat 2 hal yang perlu dijelaskan, yaitu 1. Yang dimaksud dengan hak adalah hak untuk memungut sumber sumber penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut akan menaikkan kekayaan daerah. 2. Yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut akan menurunkan kekayaan daerah. 2.1.3.1 Pendapatan Daerah Dalam Ghozali (2008) dijelaskan bahwa pendapatan adalah semua penerimaan kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah.

15 Pendapatan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer, dan Lain-lain pendapatan yang sah. a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan yang dihasilkan dari daerah itu sendiri, terdiri dari: 1) Pendapatan Pajak Daerah 2) Pendapatan Retribusi Daerah 3) Hasil pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 4) Lain-lain PAD b. Pendapatan Tranfer Pendapatan transfer merupakan pendapatan yang berasal dari entitas pelaporan lain, seperti pemerintah pusat atau daerah otonom lain dalam rangka perimbangan keuangan. Transfer dari pemerintah pusat terdiri dari dana perimbangan sesuai dengan UU No. 33/2004 dan transfer lainnya sebagaimana diatur dalam UU Otonomi Khusus bagi Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam, atau dalam UU APBN. Transfer dari daerah otonom lainnya antara lain seperti bagi hasil dari pemerintah Provinsi ke Kabupaten/Kota untuk pajak bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraaan bermotor, dan pajak air bawah tanah dan air permukaan. c. Lain-lain Pendapatan yang Sah Dalam Halim (2008) dijelaskan bahwa pada peraturan sebelumnya, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No.29/2002, pendapatan ini dikelompokkan dalam jenis pendapatan bantuan dana

16 kontinjensi/penyeimbang dari pemerintah dan dana darurat. Sesuai dengan peraturan terbaru, yaitu Lampiran C.V.Butir H Permendagri No.13/2006, pendapatan ini dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup: 1) Pendapatan hibah 2) Pendapatan dana darurat 3) Pendapatan lainnya. 2.1.3.2 Belanja Daerah Dalam Ghozali (2008) dijelaskan bahwa belanja adalah semua pengeluaran kas umum kas daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Dalam Halim (2008) belanja dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja) yaitu belanja operasi, belanja modal, belanja tidak terduga, dan transfer. a. Belanja Operasi Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemda yang memberi manfaat jangka pendek. Kelompok operasi terdiri atas: 1) Belanja pegawai 2) Belanja barang 3) Belanja bunga 4) Belanja subsidi 5) Belanja hibah 6) Belanja bantuan social

17 7) Belanja bantuan keuangan b. Belanja Modal Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal termasuk: 1) Belanja tanah 2) Belanja peralatan dan mesin 3) Belanja modal gedung dan bangunan 4) Belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan 5) Belanja asset tetap lainnya 6) Belanja asset lainnya. c. Belanja Tidak Terduga Kelompok belanja lain-ain/tidak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang, seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah. d. Transfer Dalam peraturan terdahulu, tidak terdapat kelompok belanja ini. Dengan keluarnya PP No.24/2005, muncul kelompok belanja transfer. Adapun yang dimaksud dengan transfer di sini adalah transfer keluar, yaitu pengeluaran uang dari entitas pelaporan lain seperti pengeluaran dana perimbangan oleh pemerintah pusat dan dana bagi hasil oleh pemda.

18 Menurut Lampiran E.XXIII Permendagri No.13/2006, transfer pemerintah provinsi terdiri dari: 1) Bagi hasil pajak ke kabupaten/kota 2) Bagi hasil retribusi ke kabupaten/kota 3) Bagi hasil pendapatan lainnya ke kabupaten/kota Adapun transfer pemerintah kabupaten/kota meliputi transfer bagi hasil ke desa yaitu: 1) Bagi hasil pajak 2) Bagi hasil retribusi 3) Bagi hasil pendapatan lainnya. 2.1.4 Gambaran Umum Keuangan Daerah Pra Otonomi dan Pasca Otonomi Manajemen atau pengelolaan keuangan daerah di era sebelum otonomi dilaksanakan terutama dengan berdasarkan UU No.5 tahun 1974 tentang pokokpokok Pemerintah Daerah. Pengertian daerah menurut Undang-undang ini adalah tingkat I yaitu provinsi dan daerah, tingkat II yaitu kabupaten atau kotamadya. Disamping itu ada beberapa peraturan yang lain yang menjadi dasar pelaksanaan menajemen keuangan daerah pada era sebelum otonomi. Peraturan-peraturan tersebut sebagaimana dikutip dalam Halim (2002) antara lain: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Daerah.

19 2. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. 3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 900-009 Tahun 1989 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah. 4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBD. 5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 6. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan APBD. Berdasarkan peraturan-peraturan diatas, dapat disimpulkan beberapa ciri pengelolaan keuangan daerah di era pra otonomi, antara lain (Halim, 2002) 1. Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD (Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975). Artinya, tidak terdapat pemisahan secara konkret antara eksekutif dan legislatif. 2. Perhitungan APBD berdiri sendiri, terpisah dari pertanggungjawaban Kepala Daerah (Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975). 3. Bentuk laporan perhitungan APBD terdiri atas: a. Perhitungan APBD b. Nota Perhitungan APBD c. Perhitungan kas dan pencocokan antara sisa kas dan sisa Perhitungan dilengkapi dengan lampiran ringkasan pendapatan dan belanja (Peraturan

20 Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 dan Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999). 4. Pinjaman, baik pinjaman PEMDA maupun pinjaman BUMD diperhitungkan sebagai pendapatan pemerintah daerah, yang dalam struktur APBD menurut Kepmendagri No. 903-057 Tahun 1988 tentang Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Anggaran Pendapatan Daerah masuk dalam pos penerimaan pembangunan. 5. Unsur-unsur yang terlibat dalam penyusunan APBD adalah Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD saja, belum melibatkan masyarakat. 6. Indikator kinerja Pemerintah Daerah mencakup: a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya. b. Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya. c. Target dan persentase fisik proyek yang tercantum dalam penjabaran Perhitungan APBD (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, Penyusunan Perhitungan APBD). 7. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Perhitungan APBD baik yang dibahas DPRD maupun yang tidak dibahas DPRD tidak mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah. Era reformasi ditandai dengan pergantian pemerintahan dari orde baru ke orde reformasi pada tahun 1998. Dalam manajemen keuangan daerah, reformasi ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk merealisasikannya,

21 pemerintah pusat mengeluarkan dua peraturan yakni Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Setelah keluarnya kedua Undang-Undang tersebut, pemerintah juga mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan. Telah digantikannya UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 oleh UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004, maka berbagai peraturan pemerintah dan peraturan lain dibawahnya perlu disesuaikan lagi. Atas dasar itu maka pemerintah mengeluarkan PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No.13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti PP No.105/2000 dan Kepmendagri No.29/2002. Berdasarkan UU No.18/2001 tentang pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota bagian sumber penerimaan dan pengelolaan. Penerimaan Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan Daerah bersumber dari: 1. Pendapatan Asli Daerah; 2. Dana Perimbangan; 3. Dana Otonomi Khusus; dan 4. lain-lain pendapatan yang sah Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas: 1. Pajak daerah; 2. Retribusi daerah; 3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan milik Aceh/kabupaten/kota dan hasil penyertaan modal Aceh/kabupaten/ kota;

22 4. Zakat; dan 5. lain-lain pendapatan asli Aceh dan pendapatan asli kabupaten/kota yang sah. Dana perimbangan Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas: 1. Dana Bagi Hasil pajak, yaitu: a. Bagian dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 90% (sembilan puluh persen); b. Bagian dari penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 80% (delapan puluh persen); dan c. Bagian dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21) sebesar 20% (dua puluh persen). 2. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain, yaitu: a. Bagian dari kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen); b. Bagian dari perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen); c. Bagian dari pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen); d. Bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80% ; e. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 15%; dan f. Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30%. 3. Dana Alokasi Umum. 4. Dana Alokasi Khusus Pemerintah Aceh mendapat tambahan Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi yang merupakan bagian dari penerimaan Pemerintah Aceh, yaitu:

23 1. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 55% (lima puluh lima persen); 2. Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 40% (empat puluh persen). Berdasarkan UU No 21/2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua pasal 34 tentang keuangan menyatakan: Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota meliputi: 1. Pendapatan asli Provinsi, Kabupaten/Kota; 2. Dana perimbangan; 3. Penerimaan Provinsi dalam rangka Otonomi Khusus; 4. Pinjaman Daerah; dan 5. Lain-lain penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota 1. Pajak Daerah; 2. Retribusi Daerah; 3. Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan; dan 4. Lain-lain pendapatan Daerah yang sah. Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, kabupaten/kota dalam rangka otonomi khusus dengan perincian sebagai berikut: 1. Bagi hasil pajak: a. Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen); b. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen); dan c. Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen).

24 2. Bagi hasil sumber daya alam: a. Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen); b. Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen); c. Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen); d. Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan e. Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen). 3. Dana Alokasi Umum 4. Dana Alokasi Khusus 2.1.5 Kinerja Keuangan Daerah Menurut Mardiasmo (2002), sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Menurut Widodo (1997) dalam Halim (2002) hasil analisis rasio keuangan ini bertujuan untuk: 1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah. 2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah. 3. Mengukur sejauh mana aktivitas keuangan pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya. 4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.

25 5. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluran yang dilakukan selama periode waktu tertentu. 2.1.6. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian tentang perbedaan kemampuan daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah pada Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung pernah dilakukan oleh Pardede (2010). Penelitian tersebut menggunakan desentralisasi fiskal, kebutuhan fiskal, dan kapasitas fiskal, dengan sampel laporan realisasi anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung sebelum dan sesudah otonomi daerah tahun 1994-2007. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan secara signifikan pada desentralisasi fiskal, kebutuhan fiskal, dan kapasitas fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah. Fachrizal (2008) juga melakukan penelitian tentang pengukuran kinerja keuangan dengan mengambil sampel pada Kabupaten Aceh Timur. Alat ukur yang digunakan adalah derajat desentralisasi fiskal, tingkat kemandirian pembiayaan, efisiensi penggunaan anggaran, kemandirian keuangan daerah, Aktifitas (rasio keserasian), dan rasio pertumbuhan. Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan berlakunya otonomi khusus ternyata tidak secara keseluruhan memperbaiki kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Secara umum derajat desentralisasi fiskal mengalami penurunan pada PAD/TPD, dan mengalami peningkatan pada BHPBP/TPD. Untuk tingkat kemandirian pembiayaan mengalami peningkatan pada PAD/BRNP, dan pada TPjD/PAD mengalami penurunan. Pada efisiensi penggunaan anggaran, TSA/TBD dan TPL/TPD mengalami peningkatan nilai. Untuk rasio tingkat kemandirian

26 keuangan daerah setelah otonomi khusus terjadi penurunan nilai. Kemudian pada rasio aktifitas (rasio keserasian), untuk TBR/TAPBD terjadi peningkatan nilai, sedangkan pada TBP/TAPBD terjadi penurunan. Terakhir untuk rasio pertumbuhan, secara rata-rata pendapatan asli daerah dan total belanja pembangunan terjadi peningkatan nilai, sedangkan untuk total pendapatan daerah dan total belanja rutin terjadi penurunan nilai setelah otonomi khusus berlaku di Kabupaten Aceh Timur. Penelitian tentang perbedaan tingkat kemandirian keuangan daerah sebelum dan sesudah berlakunya UU No.33 Tahun 2004 pernah dilakukan oleh M.Noviansyah (2009), hasil penelitiannnya menunjukkan bahwa (1) dari Sembilan Kabupaten/Kota yang diteliti semuanya tidak terdapat perbedaan derajat desentralisasi fiskal yang signifikan sebelum dan sesudah pemberlakuan UU No.33 Tahun 2004, (2) dari Sembilan Kabupten/Kota yang diteliti hanya Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Lampung Selatan yang terdapat perbedaan kapasitas fiskal yang signifikan sebelum dan sesudah pemberlkuan UU No.33 Tahun 2004 dan (3) dari Sembilan Kabupaten/Kota yang diteliti hanya Kota Metro yang terdapat perbedaan kebutuhan fiskal yang signifikan sebelum dan sesudah pemberlakuan UU No.33 Tahun 2004 pada Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung. 2.1.7. Kerangka Pemikiran Pada penelitian ini akan dilakukan analisis kinerja keuangan pemerintah daerah pada kabupaten/kota se-provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua

27 yang terdiri dari derajat desentralisasi fiskal, efisiensi keuangan daerah, dan aktifitas keuangan daerah. Dari uraian tersebut maka dapat dibuat kerangka pikir guna mempermudah pemahaman perbandingan tingkat kinerja keuangan daerah pemerintah pada kabupaten/kota se-provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua sebelum dan sesudah otonomi khusus. Sebagaimana tampak pada gambar 1 berikut ini: Gambar 1 Kerangka Pemikiran Teoritis Sebelum Otonomi Khusus Tahun 1994-2000 Sesudah Otonomi Khusus Tahun 2002-2008 Desentralisasi Fiskal NAD Ha 1 Desentralisasi Fiskal NAD Desentralisasi Fiskal Papua Ha 2 Desentralisasi Fiskal Papua Efisiensi Keuangan Daerah NAD Ha 3 Efisiensi Keuangan Daerah NAD Efisiensi Keuangan Daerah Papua Ha 4 Efisiensi Keuangan Daerah Papua Aktifitas Keuangan Daerah NAD Ha 5 Aktifitas Keuangan Daerah NAD Aktifitas Keuangan Daerah Papua Ha 6 Aktifitas Keuangan Daerah Papua

28 2.2. Perumusan Hipotesis Analisis rasio keuangan APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari suatu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu, dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan pemerintah daerah lain yang terdekat, ataupun potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Penggunaan analisis rasio pada sektor publik terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang jujur, transparan, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan keuangan yang dimiliki oleh perusahaan swasta (Halim, 2002). Kinerja keuangan pemerintah daerah dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan alat analisis rasio keuangan, dimana di dalam pengukurannya menggunakan alat analisis diantaranya derajat desentralisasi fiskal, efisiensi keuangan daerah, dan aktifitas keuangan daerah. 2.2.1 Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat desentralisasi fiskal dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pendapatan yang dikelola sendiri

29 oleh daerah terhadap total penerimaan daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan penerimaan yang berasal dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan milik daerah serta lain-lain pendapatan yang sah. Total Penerimaan Daerah (TPD) merupakan jumlah dari seluruh penerimaan dalam satu tahun anggaran. Menurut Halim (2002) ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan mengguanakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Ha 1 : Terdapat perbedaan pada tingkat derajat desentralisasi fiskal sebelum dan sesudah otonomi khusus pada kabupaten/kota se- Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Ha 2 : Terdapat perbedaan pada tingkat derajat desentralisasi fiskal sebelum dan sesudah otonomi khusus pada kabupaten/kota se- Provinsi Papua. 2.2.2. Efisiensi Keuangan Daerah Efisiensi keuangan daerah menggambarkan perbandingan antara output dan input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah. Dalam

30 hal ini mengasumsikan bahwa pengeluaran yang dibelanjakan sesuai dengan peruntukkannya dan memenuhi dari apa yang direncanakan. Jika nilai efisiensi tinggi, maka jumlah belanja diindikasikan sangat tinggi (Hamzah;2006 dalam Kurniati; 2012). Kinerja pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintah daerah semakin baik, begitu pula sebaliknya. Secara umum, nilai rasio efisiensi dapat dikategorikan sebagai berkut: Apabila kinerja keuangan diatas 100% ke atas dapat dikatakan tidak efisien, 90% - 100% adalah kurang efisien, 80% - 90% adalah cukup efisien, 60% - 80% adalah efisien dan dibawah dari 60% adalah sangat efisien. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H a3 : Terdapat perbedaan pada tingkat efisiensi keuangan daerah sebelum dan sesudah otonomi khusus pada kabupaten/kota se- Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). H a4 : Terdapat perbedaan pada tingkat efisiensi keuangan daerah sebelum dan sesudah otonomi khusus pada kabupaten/kota se- Provinsi Papua. 2.2.3. Aktifitas Keuangan Daerah Aktifitas keuangan daerah adalah bagaimana pemerintah daerah memperoleh dan membelanjakan pendapatan daerahnya. Salah satu rasio yang digunakan dalam menganalisis aktifitas keuangan daerah adalah dengan rasio keserasian belanja

31 modal. Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja modal secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan belanja pelayanan publik (belanja modal) maka dana yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin besar (Halim, 2002). Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H a5 : Terdapat perbedaan pada tingkat aktifitas keuangan daerah sebelum dan sesudah otonomi khusus pada kabupaten/kota se- Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). H a6 : Terdapat perbedaan pada tingkat aktifitas keuangan daerah sebelum dan sesudah otonomi khusus pada kabupaten/kota se-provinsi Papua.