BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan terbanyak radiasi pengion buatan manusia adalah di dunia medis. Radiasi pengion tersebut digunakan dalam penegakan diagnosis, panduan tindakan tertentu, maupun terapetik. Di antara prosedur-prosedur tersebut, ada beberapa prosedur yang padanya dokter operator harus berada di sisi pasien dan mendapatkan paparan radiasi, antara lain: pencitraan saluran gastrointestinalis seperti contrast meal dan contrast enema; pencitraan saluran genitourinarius seperti histerosalphyngography, cystography, dan urethrography; serta tindakan intervensional (radiologi dan kardiologi) di laboratorium kateterisasi (cath lab). Menurut Holmes, tindakan intervensional memiliki dosis paparan radiasi yang tertinggi dibanding prosedur radiologis lain (Holmes, 2013). Gambar 1. Komposisi besar radiasi pengion dalam kehidupan sehari-hari (World Nuclear Association, 2013) Radiasi memiliki dua sifat yang khas, yaitu tidak dapat dirasakan secara langsung dan dapat menembus berbagai jenis bahan (Haditjahyono, 2006). Karena dapat menembus bahan, dapat terjadi interaksi radiasi dengan bahan yang 1
2 dilaluinya. Radiasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur atau hilangnya molekul gula atau basa sehingga pada tubuh dapat terjadi kerusakan/kematian sel tubuh yang mengalami paparan radiasi atau terjadi perubahan fungsi sel. Secara alamiah ada proses dalam tubuh untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi. Tetapi pada kondisi tertentu, proses perbaikan tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga menghasilkan DNA dengan struktur yang berbeda, yang dikenal dengan mutasi (Alatas, 2004). Gonad atau organ reproduksi merupakan organ yang sensitif terhadap radiasi. Efek radiasi pada gonad dapat berupa efek non-stokastik maupun efek stokastik. Efek non-stokastik pada gonad adalah sterilitas. Efek stokastik pada gonad antara lain adalah efek pewarisan (Alatas, 2004). Efek pewarisan atau genetik ini hanya dapat terjadi pada paparan radiasi di gonad. Dalam tulisan Hiswara dipaparkan bahwa tingkat sensitivitas gonad terhadap radiasi, yang dinyatakan dengan faktor bobot jaringan, pada publikasi 60 ICRP dinyatakan sebagai jaringan paling sensitif terhadap radiasi namun pada publikasi 103 ICRP faktor bobot jaringan gonad berada di posisi kedua karena adanya penambahan jaringan atau organ ke dalam daftar dan karena perubahan insidensi penyakit akibat radiasi, seperti peningkatan insidensi keganasan payudara dan penurunan insidensi efek warisan. Sebagian besar organ atau jaringan yang memiliki faktor bobot jaringan tertinggi merupakan organ atau jaringan di dada, seperti sumsum tulang (merah), paru-paru, dan payudara. (Hiswara, 2008).
3 Karena radiasi tidak dapat dirasakan dengan indera, untuk menentukan ada atau tidak adanya radiasi diperlukan suatu alat, yaitu pengukur radiasi (Haditjahyono, 2006). Alat ukur radiasi yang digunakan untuk memantau dosis seseorang disebut dosimeter perorangan. Pada penelitian ini digunakan dosimeter saku karena dosimeter ini dapat dibaca secara langsung dan tidak perlu alat untuk tambahan untuk membacanya (Purwanti, 2009) sehingga dosis paparan radiasi yang baru saja diterima dapat segera diketahui. Hasil pengukuran dosis paparan radiasi harus dianalisis dalam pemeriksaan yang seksama dan dengan memperhatikan nilai batas dosis (WHO, 2000). Pada dosis yang tidak melebihi nilai batas dosis, diperkirakan tidak terjadi efek genetik dan somatik yang berarti akibat pemanfaatan tenaga nuklir (Perka BAPETEN, 2011). Paparan radiasi akibat kerja mendapat perhatian penting pada tindakan intervensional daripada radiologi diagnostik karena personel biasanya lebih dekat dengan pasien. Di samping itu, personel juga dekat dengan pancaran primer yang tidak teratenuasi dalam jangka waktu lama. Seseorang yang berjaga di sisi pasien selama prosedur tindakan intervensional adalah dekat dengan sumber radiasi hambur (yaitu pasien) dan oleh karena itu terpapar dosis radiasi tinggi (WHO, 2000). Di RSUP Dr. Sardjito jumlah tindakan kardiologi intervensional dan radiologi intervensional cenderung meningkat. Jumlah tindakan kardiologi diagnostik invasif maupun kardiologi intervensi non bedah dari tahun ke tahun pada data tahun 2008 hingga 2012 terus meningkat. Jumlah tindakan radiologi
4 intervensional pada Januari hingga Juni 2013 sebanyak hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah tindakan pada semester-semester sebelumnya (Juli hingga Desember 2012, Januari hingga Juni 2012, dan Juli hingga Desember 2011). Tindakan intervensi (terapetik) terbanyak yang dikerjakan di laboratorium kateterisasi (cath lab) RSUP Dr. Sardjito adalah percutaneous coronary intervention (PCI). Di sisi lain, penambahan jumlah pekerja tidak sebanding dengan penambahan jumlah tindakan. Oleh karena itu, pekerja yang terlibat dalam tindakan kardiologi intervensional dan radiologi intervensional berpotensi mendapat paparan radiasi lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, pemantauan dosis radiasi yang diterima pekerja yang terlibat dalam tindakan kardiologi intervensional dan radiologi intervensional sangat penting dalam upaya menjaga dosis yang diterima berada dalam batas dosis yang dianjurkan. Distribusi dosis radiasi di sekitar meja pemeriksaan pada penelitian dengan berbagai kondisi penyetelan alat telah diteliti oleh Schueler. Dalam kurva isodose yang dilaporkannya, tampak bahwa daerah di dekat tube, di setinggi tungkai, cenderung mendapat dosis paparan paling tinggi. Makin ke atas (arah kepala), dosis yang mungkin diterima bagian tubuh operator makin kecil (Schueler, 2000). Penelitian tersebut dilakukan dengan phantom, bukan dengan pasien. Dengan demikian, mungkin ada perbedaan radiasi hambur yang dihasilkan. Penelitian tersebut juga tidak menggambarkan radiasi yang diterima operator di dalam apron.
5 Penelitian dosis radiasi pada operator dan asisten tindakan radiologi intervensional di RSUP Dr. Sardjito pernah dilakukan oleh Prattiwi (Prattiwi, 2012). Pada penelitian tersebut didapatkan dosis radiasi rerata setiap tindakan yang diterima oleh operator (19.2242 Sv) lebih besar daripada asisten (9.403 Sv). Hasil tersebut menggambarkan bahwa makin dekat dengan sumber radiasi, makin besar paparan radiasi yang diterima. Pengukuran dosis radiasi dilakukan dengan satu dosimeter saku tiap personel yang diletakkan di dalam apron di setinggi pinggang (Prattiwi, 2012). Peletakan dosimeter ini sesuai dengan saran Australian Radiological Protection and Nuclear Safety Authority (ARPANSA) dalam tulisan Mosley dan Currie. ARPANSA mengizinkan peletakan dosimeter di setinggi dada atau pinggang untuk pengukuran dosis seluruh tubuh (whole body dosimetry) (Mosley and Currie, 2006). Namun, peletakan dosimeter ini berbeda dengan yang disarankan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). IAEA menyarankan dosimeter personal yang terletak di dalam apron diletakkan di setinggi dada (IAEA, 2013). Mosley dan Currie membandingkan dosis radiasi yang terukur pada dosimeter yang diletakkan di dada dan di pinggang pada pekerja kedokteran nuklir. Mereka melaporkan bahwa rerata dosis di dada adalah 287,5 Sv dengan 95% CI (168,0 hingga 407,0 µsv) dan rerata dosis di pinggang adalah 178,8 µsv 95% CI (100,9 hingga 256,6 µsv). Dosis di dada lebih tinggi namun tidak berbeda bermakna dengan dosis di pinggang (p = 0,071). Bagi pekerja, penggunaan dosimeter di pinggang lebih disukai karena lebih nyaman dan lebih mewakili dosis gonad. Namun, peletakan dosimeter ini mungkin tidak mewakili dosis
6 seluruh tubuh karena posisi tubuh yang terdekat dengan sumber radiasi saat bekerja, misal saat menginjeksikan bahan radioaktif, adalah dada, bukan pinggang (Mosley and Currie, 2006). B. Perumusan Masalah Peran operator yang mengharuskan berada di dekat sumber radiasi primer (X-ray tube) dan sekunder (pasien) berkontribusi pada pentingnya pemantauan dosis radiasi yang diterima oleh operator dan menjaga dosis tersebut berada dalam batas aman yang ditentukan agar efek radiasi yang mungkin terjadi dapat dihindarkan. Untuk memantau besar dosis radiasi yang diterima, diperlukan dosimeter. Pada penelitian ini digunakan dosimeter saku karena dosimeter ini dapat dibaca secara langsung dan tidak perlu alat untuk tambahan untuk membacanya. Menurut IAEA, dosimeter personal untuk memantau dosis seluruh tubuh diletakkan di dalam apron di setinggi dada; sementara pada penelitian Prattiwi (2012), pengukuran dilakukan di setinggi pinggang. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran dosis radiasi di dua tempat, yaitu di setinggi dada dan di setinggi gonad untuk menilai apakah dosis radiasi yang diterima operator PCI dalam batas aman atau tidak dan untuk melihat apakah dengan letak berbeda akan diperoleh hasil pengukuran yang berbeda. C. Pertanyaan Penelitian 1. Apakah dosis radiasi rerata tiap tindakan percutaneous coronary intervention (PCI) yang diterima operator sesuai (kurang dari atau sama dengan) nilai batas dosis (NBD)?
7 2. Apakah dosis kumulatif tindakan percutaneous coronary intervention (PCI) yang dalam lima minggu yang diterima tiap operator sesuai (kurang dari atau sama dengan) nilai batas dosis (NBD)? 3. Apakah dosis radiasi rerata yang terukur pada dosimeter yang diletakkan dalam apron di setinggi gonad lebih besar daripada dosimeter yang diletakkan dalam apron di setinggi dada? D. Tujuan Penelitian 1. Membandingkan dosis radiasi rerata tiap tindakan percutaneous coronary intervention (PCI) yang diterima operator dengan nilai batas dosis (NBD). 2. Membandingkan dosis kumulatif tindakan percutaneous coronary intervention (PCI) yang dalam diterima tiap operator dengan nilai batas dosis (NBD). 3. Membandingkan dosis radiasi rerata yang terukur pada dosimeter yang diletakkan dalam apron di setinggi gonad dengan dosimeter yang diletakkan dalam apron di setinggi dada. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi pekerja radiasi: meningkatkan kesadaran pekerja akan pentingnya pemantauan dosis paparan radiasi yang diterima. 2. Bagi rumah sakit selaku pemegang izin pemanfaatan tenaga nuklir: meningkatkan perhatian akan keamanan dalam pemanfaatan radiasi, khususnya dalam upaya menjaga dosis paparan radiasi pada pekerja dalam batas aman yang ditentukan.
8 F. Keaslian Penelitian Menurut sepengetahuan penulis, penelitian mengenai komparasi dosis yang diterima operator secara khusus pada satu tindakan, yaitu percutaneous coronary intervention (PCI) di RSUP Dr Sardjito dengan pengukuran dosis radiasi pada dua tempat di dalam apron belum pernah dilakukan. Penulis menemukan beberapa laporan penelitian yang berkaitan dengan dosis radiasi pada operator tindakan kardiologi maupun radiologi intervensional dan di antaranya digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini (Tabel 1). Peneliti, Tahun Tabel 1. Keaslian Penelitian Subjek Topik Hasil Keterangan Tambahan Schueler et al., 2006 Anthropomorphic abdomen phantom Paparan radiasi pada operator radiologi intervensional Kurva isodose radiasi hambur pada berbagai kondisi pencitraan. 1. Sumber paparan: fluoroskopi 2. Dosimeter: ionization chamber Prattiwi et al., 2012 33 tindakan intervensional Analisis keselamatan radiasi pada tindakan radiologi intervensional dan kateterisasi jantung vaskular Perancangan penahan struktural, pengendalian laju paparan radiasi lingkungan dan laju kebocoran pesawat sinar X serta penggunaan peralatan proteksi radiasi personal dapat menahan dosis staf ke nilai yang serendah-rendahnya sehingga dapat menjamin adanya keselamatan bagi staf dan masyarakat di sekitar Cath-lab Room 2. 3. Tidak menggunakan alat pelindung 1. Sumber paparan: sinar X fluoroskopi 2. Dosimeter personal: dosimeter saku 3. Acuan dosis pekerja: NBD menurut BAPETEN Mosley and Currie, 2006 Pekerja radiasi di Instalasi Kedokteran Nuklir Penempatan dosimeter di setinggi dada dan pinggang Keterangan: Warna biru sama. Warna merah berbeda. Dosis terukur di dada lebih tinggi daripada di pinggang. 1. Sumber paparan: Bahan radioaktif 2. Dosimeter personal: TLD 3. Penggunaan alat pelindung
9 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut. Perbedaan dengan penelitian Schueler et al. (2006) adalah pada subjek yang diteliti, jenis dan jumlah dosimeter yang digunakan, dan tidak penggunaan alat pelindung pada penelitian ini. Schueler menggunakan ionization chamber sebagai subjek. Pengukuran radiasi menggunakan 36 ionization chamber dengan posisi yang berbeda. Pada penelitian Schueler ini tidak digunakan alat pelindung radiasi. Perbedaan dengan penelitian Prattiwi et al. (2012) adalah bahwa Prattiwi menilai berbagai aspek terkait keamanan penggunaan radiasi pengion, seperti perancangan penahan struktural, laju kebocoran sinar X, laju paparan radiasi lingkungan, dosis pekerja radiasi, serta jumlah dan letak alat ukur radiasi pada pekerja. Pemantauan dosis pekerja radiasi dilakukan secara umum, tidak membedakan jenis tindakan yang dilakukan. Pengukuran dosis pekerja dilakukan dengan satu dosimeter yang diletakkan di pinggang. Perbedaan dengan penelitian Mosley dan Currie (2006) adalah pada sumber paparan radiasi dan jenis alat ukur yang digunakan. Sumber radiasi pada penelitian ini adalah bahan radioaktif. Alat ukur yang digunakan adalah thermoluminisence dosemeter (TLD).