BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain,

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan Yang Maha Esa. Dariyo, 2002 (dalam Godam,

BAB I PENDAHULUAN. manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan teologis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

Ani Yunita, S.H.M.H. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. makhluk Allah SWT. Perkawinan adalah cara yang dipilih oleh. sebagaimana tercantum didalam Al-Qur an surat An-nur ayat 32 :

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun Dalam pasal 1 ayat 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. biologis, psikologis maupun secara sosial. Seseorang dengan melangsungkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah;

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

PENYULUHAN HUKUM. Upaya Mencegah Terjadinya Pernikahan Anak Usia Dini

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974). Perkawinan pada pasal 6 menyatakan bahwa Untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penting yang akan dihadapi oleh manusia dalam perjalanan kehidupannya

BAB 1 PENDAHULUAN. Pernikahan dini banyak terjadi pada kelompok masyarakat miskin yang

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN UKDW

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial kemasyarakatan (Fatimah, 2006, h. 188). Menurut Soebekti (dalam Sulastri, 2015, h. 132) perkawinan adalah

BAB I PENDAHULUAN. sebuah hubungan keluarga. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Desa setempat:

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. makhluk Tuhan, khususnya manusia. Dalam prosesnya manusia membutuhkan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. satunya ditentukan oleh komunikasi interpersonal suami istri tersebut. Melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. (usia tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19,61 persen dari jumlah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, perempuan usia 15-19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

I. PENDAHULUAN. nasional dan dapat mengurangi hasil-hasil pembangunan yang dapat dinikmati

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2010), Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang memiliki ciri-ciri salah satunya yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa hidup, berkembang sesuai dengan pengalaman yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Latifah

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu bagi siapa yang hendak

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Ilma Kapindan Muji,2013

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN. (Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1). Menurut hukum adat, atau merupakan salah satu cara untuk menjalankan upacara-upacara yang

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan suatu estafet kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nurul Khoeriyah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. ini menjadikan salah satu jalan yang diberikan oleh Allah SWT untuk setiap. insan didunia mendapatkan keturunan.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan zoon politicon atau makhluk sosial. Manusia tidak

BAB I PENDAHULUAN. lahir, menikah, dan meninggal. Pernikahan merupakan penyatuan dua jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

BAB I PENDAHULUAN. Santrock (dalam Dariyo, 2003) masa dewasa awal ditandai dengan adanya transisi

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam sepanjang hidupnya individu mempunyai tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

BAB I PENDAHULUAN. yang diinginkanya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga

BAB V PENUTUP. a. Kurangnya perhatian orang tau terhadap anak. yang bergaul secara bebas karena tidak ada yang melarang-larang mereka

AKIBAT PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DALAM KELANGSUNGAN HIDUP. ( Studi Kasus Pengadilan Agama Blora)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk besar. Jumlah penduduk yang besar ini telah membawa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mental dan fisik. Persiapan mental seseorang dilihat dari faktor usia dan

KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PERILAKU SEKSUAL DI SMK PENCAWAN MEDAN TAHUN 2014

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan (Luthfiyah,

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB VI PENUTUP. diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian. secara mendalam peneliti membahas mengenai self blaming pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini, generasi muda khususnya remaja, telah diberikan berbagai disiplin ilmu sebagai persiapan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi melangsungkan eksistensinya sebagai makhluk. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan psikologis dimana mulai tertarik dengan jenis kelamin lain dan mulai memadu kasih, kebutuhan sosial seperti membutuhkan hubungan dengan orang lain dan kebutuhan religi yaitu adanya kewajiban untuk menikah dari kepercayaan dan agama yang dianut. Semua kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan adanya pernikahan, karena dengan pernikahan semua kebutuhan tersebut dapat dipenuhi tanpa melanggar norma dan aturan yang ada di masyarakat. Secara agama semua kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dan dilakukan dengan sah dan halal dengan melalui pernikahan (Wulandari, 2010). Seperti yang terdapat pada hadist dibawah: Sesungguhnya, apabila seorang suami memandang istrinya (dengan kasih dan sayang) dan istrinya juga memandang suaminya (dengan kasih dan sayang) maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan kasih dan sayang. Dan apabila seorang suami memegangi jemari istrinya (dengan kasih dan sayang) maka berjatuhanlah dosa dosa dari segala jemari keduanya (HR. Abu Sa id). Pernikahan menurut undang undang pernikahan No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan syarat antara lain pernikahan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, dan untuk seorang yang belum 1

mencapai usia 21 tahun harus mendapat ijin dari orang tua. Batas umur pernikahan telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 74, yaitu pernikahan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun dalam prakteknya masih banyak kita jumpai pernikahan pada usia muda atau di bawah umur. Padahal pernikahan yang sukses pasti membutuhkan kedewasaan tanggung jawab secara fisik maupun mental untuk bisa mewujudkan harapan yang ideal dalam kehidupan berumah tangga (Puspitasari, 2006). Disebutkan dengan jelas dalam Undang Undang Pernikahan bahwa usia pernikahan bagi wanita 16 tahun dan 19 tahun bagi pria, saat usia seseorang telah dikatakan matang secara fisiologis, namun belum matang secara psikologis karena menurut Hurlock usia 16 dan 19 tahun masih digolongkan umur remaja atau adolescence (Walgito, 2004a). Seperti yang terdapat pada arti ayat dibawah: Dan nikahkanlah orang orang yang sendirian diantara kamu, dan orang orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang laki laki dan hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin allah akan mengkayakan mereka dengan karunianya. Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) dan Maha Mengetahui. (An Nuur 32). Pernikahan terjadi pada usia dewasa awal (sekitar umur 21 tahun) karena (Menurut pendapat Havigurst) tugas perkembangan yang menjadi karakteristik masa dewasa awal adalah mulai mencari dan menemukan calon pasangan hidup, membina kehidupan rumah tangga, meniti karir, membesarkan anak-anak dan mengelola rumah tangga, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab (Dariyo, 2004; Hurlock, 1997). Pendapat lain dikemukakan oleh Erikson bahwa masa perkembangan dewasa awal ditandai membina hubungan intim, yang 2

menurut perkembangan seksual yang mengarah pada perkembangan hubungan seksual dengan lawan jenis yang ia cintai, yang dipandang sebagai teman berbagi suka dan duka. Dihampir setiap masyarakat, hubungan seksual dan keintiman tersebut diperoleh melalui lembaga pernikahan atau perkawinan (Desmita, 2006). Dengan kata lain pada usia masa dewasa awal seseorang dihadapkan pada kodrat alam yaitu untuk hidup bersama dalam suatu pernikahan. Pernikahan merupakan bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan dewasa yang diterima serta diakui secara universal (Wulandari, 2010). Pernikahan seorang laki-laki dan seorang wanita memiliki satu tujuan pasti. Dalam pasal 1 Undang-Undang Pernikahan, tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Walgito, 2004a). Memperoleh kebahagiaan juga merupakan sesuatu yang didambakan oleh pasangan suami istri dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga yang akan dicapai atas kerja sama yang baik antara suami dan istri (Tulus, 2009). Pasal 6 ayat 2 undang undang no 1 tahun 1974, disebutkan bahwa untuk melangsungkan pernikahan, seorang yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orangtua. Jelas bahwa undang undang tersebut menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak anak sehingga mereka sudah boleh menikah. Walaupun begitu, selama seseorang belum mencapai umur 21 tahun, masih diperlukan izin dari orangtua untuk menikah. Sedangkan dalam undang-undang pernikahan no 1 (1974), memberikan batasan usia minimal menikah untuk pria adalah 19 tahun dan wanita 16 tahun. Di 3

dalam perubahan undang undang pernikahan no 1 (1974), menaikkan batasan usia minimum tersebut menjadi untuk pria 25 tahun dan wanita 20 tahun. Meskipun sudah jelas terdapat pasal pasal dan undang undang yang membahas tentang batasan usia pada pria atau wanita yang ingin melangsungkan pernikahan. Tetap saja, masih ada pasangan yang melangsungkan pernikahan dibawah usia yang sudah ditentukan oleh undang undang pernikahan. Pernikahan dini masih banyak dilakukan di beberapa negara negara, khususnya di negara berkembang. Sayangnya masih belum banyak di lakukan penelitian. Raj et al.(,2009) menyebutkan di India prevalensi wanita menikah dibawah usia 16 tahun sebesar 22,6% dan di bawah usia 13 tahun sebesar 2,6%. Rashid (2006) mendapatkan sekitar 153 remaja wanita di Bangladesh menikah pada usia 13 tahun dan 75% menikah sebelum usia 16 tahun,hanya 5% wanita usia berusia 18 tahun. Di Indonesia data tentang pernikahan dini belum pasti karena biasanya tidak menikah secara resmi. Data dari Kecamatan Talang Kabupaten Tegal tahun 2008 dan 2009 didapat jumlah yang menikah 1225, yang menikah dini 136 (11,1%) pada tahun 2008. Sedangkan pada Tahun 2009 jumlah yang menikah 1165, yang menikah dini 122 (10,47%). Banyak masalah yang menyertai pernikahan wanita usia belia, usia belia merupakan bukan masa reproduksi yang sehat. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa pernikahan dan kehamilan usia belia membahayakan kesehatan ibu dan bayinya. Penelitian yang dilakukan oleh Grogger dan Bronars(1993) menyebutkan bahwa pernikahan dan kehamilan pada umur belia berkaitan dengan kondisi yang serba merugikan, seperti rendahnya tingkat 4

pendidikan wanita, rendahnya tingkat partisipasi wanita, dan pendapatan keluarga yang rendah. Sehingga pada hakikatnya pernikahan pada usia muda menunjukkan ketidakberdayaan wanita untuk merintis masa depan dan memilih sendiri pasangan hidupnya. Pernikahan usia muda pada akhirnya akan memicu timbulnya berbagai masalah yang harus mereka hadapi (Hanum, 1997) Wanita yang menikah pada usia dini mempunyai waktu yang lebih panjang beresiko untuk hamil dan angka kelahiran juga lebih tinggi. Pernikahan usia remaja juga berdampak pada rendahnya kualitas keluarga, baik ditinjau dari segi ketidaksiapan secara psikis dalam menghadapi persoalan sosial maupun ekonomi rumah tangga, resiko tidak siap mental untuk membina pernikahan dan menjadi orangtua yang bertanggung jawab, kegagalan pernikahan, kehamilan usia dini beresiko terhadap kematian ibu karena ketidaksiapan calon ibu remaja dalam mengandung dan melahirkan bayinya. Kehamilan usia dini ada resiko pengguguran kehamilan yang dilakukan secara ilegal dan tidak aman secara medis yang berakibat komplikasi aborsi. Angka kehamilan usia remaja yang mengalami komplikasi aborsi. Angka kehamilan usia remaja yang mengalami komplikasi aborsi berkisar antara 38 sampai 68% (Wilopo,2005). Masyarakat pada umumnya mengatakan bahwa wanita lebih dewasa dan lebih matang secara emosional daripada laki-laki (Santrock, 2003). Berbicara tentang emosi, kita mungkin tahu tentang steriotipe utama tentang gender dan emosi. Wanita lebih emosional dan penuh perasaan sedangkan laki-laki lebih rasional dan sering menggunakan logika. Steriotipe ini sangat kuat dan meresap kesannya pada budaya masyarakat (Shields dalam Santrock, 2003). 5

Wanita yang menikah dini akan menimbulkan stres dalam keluarga. Adanya stres dalam keluarga akan berakibat terhadap sikap permisif terhadap hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak. Semakin baik kematangan emosi wanita maka semakin siap wanita dalam menghadapi pernikahan. Sebaliknya apabila semakin kurang kematangan emosi wanita maka akan semakin tidak siap wanita dalam menghadapi pernikahan (Maryati,2007; cit wulandari, 2010). Adhim (2002) menyebutkan kematangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan pernikahan di usia muda. Mereka yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki pernikahan cenderung lebih mampu mengelola perbedaan yang ada di antara mereka. Kematangan emosi adalah suatu keadaan untuk menjalani kehidupan secara damai dalam situasi yang tidak dapat diubah, tetapi dengan keberanian individu mampu mengubah hal-hal yang sebaiknya diubah, serta adanya kebijaksanaan untuk menghargai perbedaan (Rice, 2004). B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara pernikahan dini dengan kematangan emosi? 6

C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan umum: Menganalisis hubungan antara pernikahan dini dengan kematangan emosi pada wanita 2. Tujuan khusus: a. Mengetahui gambaran kematangan emosi pada wanita di Kecamatan Talang, Tegal.. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis: Menambah kajian dan referensi tentang hubungan kematangan emosi individu terhadap pasangan yang menikah dini. 2. Manfaat Praktis: a. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan mengenai hubungan pasangan menikah dini dengan kematangan emosi. b. Bagi Bidang Pemerintah Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga pengambilan kebijakan, mengingat dampak dari pernikahan dini kepada rendahnya kualitas keluarga. 7

E. KEASLIAN PENELITIAN Sepengetahuan peneliti, penelitian tentang pernikahan dini atau kematangan emosi telah dilakukan oleh beberapa peneliti berikut: Wulandari (2010) melakukan penelitian dengan judul hubungan kematangan emosi dengan kebahagian perkawinan individu terhadap pasangan di Kecamatan Turi Kabupaten Sleman. Penelitian ini menggunakan metode descriptif korelatif. Dengan sampel 57 orang. Hasil penelitian didapat nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,698 dengan tingkat signifikansi (p) = 0,000. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti pada variabel dan lokasi penelitian. Peneliti menggunakan variabel bebas pernikahan dini dan variabel terikat kematangan emosi. Populasi penelitian yaitu pasangan suami istri di Kecamatan Talang, Tegal. 8