Bab IV Hasil dan Pembahasan

dokumen-dokumen yang mirip
THESIS (DRAFT SEMINAR AKHIR/SIDANG) AZIS RIFAI NIM

Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL

Identifikasi Sebaran Sedimentasi dan Perubahan Garis Pantai Di Pesisir Muara Perancak-Bali Menggunakan Data Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Dan SPOT-4

ANALISIS SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA PERANCAK BALI DENGAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT MULTITEMPORAL

Bab II Tinjauan Pustaka

CITRA MODIS RESOLUSI 250 METER UNTUK ANALISIS KONSENTRASI SEDIMEN TERSUSPENSI DI PERAIRAN BERAU KALIMANTAN TIMUR

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

PERUBAHAN DELTA DI MUARA SUNGAI PORONG, SIDOARJO PASCA PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: ( Print) C-130

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISA SEDIMEN TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED MATTER) DI PERAIRAN TIMUR SIDOARJO MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT DAN SPOT

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

STUDI PERSEBARAN KONSENTRASI MUATAN PADATAN TERSUSPENSI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA MODIS DI SELAT MADURA

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Reklamasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV PENGOLAHAN DATA

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS ALGORITMA EKSTRAKSI INFORMASI TSS MENGGUNAKAN DATA LANDSAT 8 DI PERAIRAN BERAU

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O

Analisis Perubahan Tutupan Lahan Terhadap Luas Sedimen Tersuspensi Di Perairan Berau, Kalimantan Timur

PEMETAAN KERUSAKAN MANGROVE DI MADURA DENGAN MEMANFAATKAN CITRA DARI GOOGLE EARTH DAN CITRA LDCM

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

Ayesa Pitra Andina JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Spasial dan Temporal Total Suspended Solid (TSS) dengan Citra SPOT di Estuari Cimandiri, Jawa Barat

Norida Maryantika 1, Lalu Muhammad Jaelani 1, Andie Setiyoko 2.

BAB III METODE PENELITIAN

LAPORAN PROYEK PENGINDERAAN JAUH IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN HIRARKI DI KOTA BATU

ANALISIS SPASIAL PERUBAHAN GARIS PANTAI DI PESISIR KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT

ANALISIS DINAMIKA SEBARAN SPASIAL SEDIMENTASI MUARA SUNGAI CANTUNG MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTITEMPORAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ix

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Sigit Sutikno. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Riau.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

PEMANTAUAN DISTRIBUSI MUATAN PADATAN TERSUSPENSI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 OLI DI MUARA CI TARUM, JAWA BARAT

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572

Perubahan Luasan Mangrove dengan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh Di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

STUDI KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH

ANALISA PERUBAHAN POLA DAN TATA GUNA LAHAN SUNGAI BENGAWAN SOLO dengan menggunakan citra satelit multitemporal

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Gambar 1. Peta DAS penelitian

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODOLOGI PENELITIAN

Analisa Kondisi Perairan UntukMenentukan Lokasi Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

A ALISIS SEBARA DA KERAPATA MA GROVE ME GGU AKA CITRA LA DSAT 8 DI KABUPATE MAROS

III. BAHAN DAN METODE

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

Transkripsi:

Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di wilayah Delta Mahakam. Dengan cara digitasi ini akan menghasilkan luasan vegetasi mangrove yang sedikit lebih akurat dibandingkan bila dilakukan klasifikasi tutupan lahan secara unsupervised mengingat banyaknya tutupan awan pada citra. Pada klasifikasi tutupan lahan dengan cara unsupervised, mangrove yang tertutup bayangan awan tidak akan masuk dalam perhitungan sebagai mangrove. Sedangkan dengan cara digitasi dapat memasukkan mangrove yang tertutup bayangan awan sebagai kelompok mangrove. Dari hasil digitasi tersebut kemudian dilakukan klasifikasi kerapatan (densitas) vegetasi mangrove dengan mengaplikasikan algoritma untuk kerapatan vegetasi. Algoritma untuk kerapatan vegetasi mangrove ini akan memberikan hasil akurasi lebih baik bila dilakukan survey lapangan untuk mendapatkan data kerapatan vegetasi mangrove. Hasil survey tersebut dijadikan sebagai training area untuk menentukan tingkat (kelas) kerapatan vegetasi. Karena dalam penelitian ini tidak dilakukan survey lapangan untuk mendapatkan training area maka klasifikasi kelas kerapatan vegetasi mangrove dilakukan dengan mengaplikasikan algoritma dari Nuarsa et al (2005). Gambar 4.1 berikut ini adalah hasil digitasi vegetasi mangrove di wilayah Delta Mahakam serta klasifikasi kerapatan vegetasi mangrove berdasarkan algoritma dari Nuarsa et al (2005) untuk citra Landsat MSS 1983: 26

Gambar 4.1. Hasil digitasi dan klasifikasi kerapatan vegetasi mangrove berdasarkan citra Landsat MSS 15 April 1983 Luasan tutupan vegetasi mangrove serta luasan kelas kerapatan mangrove diberikan dalam Tabel 4.1 berikut: Tabel 4.1. Luasan tutupan lahan berdasarkan citra Landsat MSS 15 April 1983 Tutupan Lahan Luas dan Kelas Kerapatan Hektar (Ha) Km 2 Sangat Rapat 3.174,400 31,744 Rapat 83.310,720 833,107 Sedang 23.200,000 232,000 Jarang 4.302,720 43,027 Sangat Jarang 1.859,840 18,598 Tutupan Awan 0,000 0,000 Mangrove Hasil Digitasi 115.847,680 1.158,477 27

Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa kerapatan vegetasi mangrove masih tinggi yang ditandai dengan dominasi kelas rapat sekitar 72%. Sedangkan kelas jarang luasnya hanya sekitar 2%. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 1983 vegetasi mangrove di Delta Mahakam masih belum banyak mengalami degradasi oleh aktifitas manusia. Gambar 4.2 berikut ini adalah hasil digitasi vegetasi mangrove di wilayah Delta Mahakam serta klasifikasi kerapatan vegetasi mangrove citra Landsat TM 1992: Gambar 4.2. Hasil digitasi dan klasifikasi kerapatan vegetasi mangrove berdasarkan citra Landsat TM 11 Februari 1992 Luasan tutupan vegetasi mangrove serta luasan kelas kerapatan mangrove diberikan dalam Tabel 4.2 berikut: 28

Tabel 4.2. Luasan tutupan lahan berdasarkan citra Landsat TM 11 Februari 1992 Tutupan Lahan Luas dan Kelas Kerapatan Hektar (Ha) Km 2 Sangat Rapat 1,890 0,019 Rapat 103,230 1,032 Sedang 14.760,900 147,609 Jarang 53.362,890 533,629 Sangat Jarang 10.115,190 101,152 Tutupan Awan 29.436,840 294,368 Mangrove Hasil Digitasi 107.780,940 1.077,809 Berdasarkan Tabel 4.2 terlihat bahwa vegetasi mangrove kelas rapat mulai berkurang menjadi hanya sekitar 0,2% sedangkan kelas jarang bertambah luasannya dan mendominasi dengan luas sekitar 68%. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 1992 sudah mulai terjadi degradasi vegetasi mangrove di Delta Mahakam. Namun citra Landsat tahun 1992 ini memiliki tutupan awan yang relatif banyak sehingga ada kemungkinan akurasi klasifikasi kerapatan vegetasi mangrove ini kurang tepat. Gambar 4.3 berikut ini adalah hasil digitasi vegetasi mangrove di wilayah Delta Mahakam serta klasifikasi kerapatan vegetasi mangrove citra Landsat TM 1998: 29

Gambar 4.3. Hasil digitasi dan klasifikasi kerapatan vegetasi mangrove berdasarkan citra Landsat TM 26 Januari 1998 Luasan tutupan vegetasi mangrove serta luasan kelas kerapatan mangrove diberikan dalam Tabel 4.3 berikut: Tabel 4.3. Luasan tutupan lahan berdasarkan citra Landsat TM 26 Januari 1998 Tutupan Lahan Luas dan Kelas Kerapatan Hektar (Ha) Km 2 Sangat Rapat 459,900 4,599 Rapat 9.102,240 91,022 Sedang 23.412,150 234,122 Jarang 19.857,240 198,572 Sangat Jarang 6.021,630 60,216 Tutupan Awan 35.059,590 350,596 Mangrove Hasil Digitasi 93.912,750 939,127 30

Berdasarkan Tabel 4.3 terlihat bahwa pola kerapatan vegetasi mangrove didominasi oleh kelas kerapatan sedang yaitu sekitar 39%. Namun untuk citra tahun 1998 ini memiliki tutupan awan yang relatif besar sehingga kemungkinan hasil penentuan klasifikasi kerapatan vegetasi mangrove tahun 1998 juga kurang akurat. Namun dilihat dari kecenderungan perubahan luasan vegetasi mangrove di Delta Mahakam, pada tahun 1998 terjadi peningkatan degradasi vegetasi mangrove dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Gambar 4.4 berikut ini adalah hasil digitasi vegetasi mangrove di wilayah Delta Mahakam serta klasifikasi kerapatan vegetasi mangrove citra Landsat ETM 2001: Gambar 4.4. Hasil digitasi dan klasifikasi kerapatan vegetasi mangrove berdasarkan citra Landsat ETM 27 Februari 2001 Luasan tutupan vegetasi mangrove serta luasan kelas kerapatan mangrove diberikan dalam Tabel 4.4 berikut: 31

Tabel 4.4. Luasan tutupan lahan berdasarkan citra Landsat ETM 27 Februari 2001 Tutupan Lahan Luas dan Kelas Kerapatan Hektar (Ha) Km 2 Sangat Rapat 51,570 0,516 Rapat 695,070 6,951 Sedang 8.444,250 84,442 Jarang 26.206,560 262,066 Sangat Jarang 10.699,830 106,998 Tutupan Awan 27.684,360 276,843 Mangrove Hasil Digitasi 73.781,640 737,816 Berdasarkan Tabel 4.4 terlihat bahwa kelas jarang mendominasi vegetasi mangrove dengan luas sekitar 56%. Dengan luasan vegetasi mangrove yang juga semakin berkurang semakin kuat menunjukkan bahwa pada tahun 2001 tingkat degradasi vegetasi mangrove di Delta Mahakam lebih parah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. 4.1.2. Pemetaan Sebaran TSM (Total Suspended Matter) Pengamatan sebaran dan konsentrasi TSM di perairan sebenarnya dapat dilakukan secara optik (remote sensing) dengan pendekatan statistik yang sederhana. Namun hal ini mensyaratkan adanya data konsentrasi TSM in situ yang diambil pada waktu yang sama dengan saat satelit melintas. Dengan regresi linier maka dapat dilakukan perbandingan antara nilai digital number dengan konsentrasi TSM in situ pada lokasi yang sesuai. Selanjutnya dapat dibangun suatu algoritma untuk menentukan sebaran konsentrasi TSM. Sehingga sebenarnya algoritma untuk TSM ini bersifat sangat spesifik untuk tempat dan waktu tertentu. Namun demikian algoritma yang telah dibangun tersebut masih dapat diterapkan untuk tempat dan waktu yang berbeda walaupun hasilnya kurang akurat. Tetapi setidaknya algoritma tersebut masih dapat memberikan gambaran pola sebaran TSM. 32

Pada penelitian ini analisa sebaran konsentrasi TSM dilakukan dengan pendekatan statistik. Namun karena tidak adanya data konsentrasi TSM in situ yang sama dengan waktu akuisisi citra, maka sebaran konsentrasi TSM didapatkan dengan mengaplikasikan algoritma untuk TSM dari Ambarwulan dkk (2003). Gambar 4.5 berikut menunjukkan sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam berdasarkan algoritma Ambarwulan dkk (2003) untuk citra Landsat MSS 1983: Gambar 4.5. Sebaran konsentrasi TSM perairan Delta Mahakam berdasarkan citra satelit Landsat MSS 15 April 1983 Berdasarkan citra satelit Landsat MSS 15 April 1983, sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam memiliki nilai minimum 0,100 dan maksimum 20, 787. miligram 33

per liter. Sedangkan nilai rata-rata sebaran konsentrasi TSM adalah 6,480 mg/l dengan standard deviasi 3,002. Gambar 4.6 berikut menunjukkan sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam untuk citra Landsat TM 1992: Gambar 4.6. Sebaran konsentrasi TSM perairan Delta Mahakam berdasarkan citra satelit Landsat TM 11 Februari 1992 Berdasarkan citra satelit Landsat TM 11 Februari 1992, sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam memiliki nilai minimum 0,204 dan maksimum 26, 575. miligram per liter. Sedangkan nilai rata-rata sebaran konsentrasi TSM adalah 6,651 mg/l dengan standard deviasi 3,970. 34

Gambar 4.7 berikut menunjukkan sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam untuk citra Landsat TM 1998: Gambar 4.7. Sebaran konsentrasi TSM perairan Delta Mahakam berdasarkan citra satelit Landsat TM 26 Januari 1998 Berdasarkan citra satelit Landsat TM 26 Januari 1998, sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam memiliki nilai minimum 0,204 dan maksimum 81,891 miligram per liter. Sedangkan nilai rata-rata sebaran konsentrasi TSM adalah 20,806 mg/l dengan standard deviasi 6,393. Gambar 4.8 berikut menunjukkan sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam untuk citra Landsat ETM 2001: 35

Gambar 4.8. Sebaran konsentrasi TSM perairan Delta Mahakam berdasarkan citra satelit Landsat ETM 27 Februari 2001 Berdasarkan citra satelit Landsat ETM 27 Februari 2001, sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam memiliki nilai minimum 0,100 dan maksimum 25,289 miligram per liter. Sedangkan nilai rata-rata sebaran konsentrasi TSM adalah 5,710 mg/l dengan standard deviasi 4,566. Nilai ini terhitung kecil bila dilihat dari kecenderungan perubahan konsentrasi TSM yang semakin meningkat. Hal ini kemungkinan disebabkan kualitas citra yang digunakan kurang baik sehingga berpengaruh terhadap hasil penghitungan konsentrasi TSM. Karena citra yang digunakan adalah hasil mozaik citra dari dua scene citra yang berbeda waktu. Sebagai hasil perbandingan maka pada penelitian ini digunakan nilai konsentrasi rata-rata TSM hasil pengukuran lapangan (Lampiran 5). Berdasarkan hasil 36

pengukuran lapangan pada bulan Mei 2001 rata-rata konsentrasi TSM adalah 67,667 mg/l (Budhiman 2004). 4.2. Pembahasan 4.2.1. Kerapatan Vegetasi Mangrove di Delta Mahakam Untuk melakukan analisa luasan dan kerapatan vegetasi mangrove, dalam penelitian ini digunakan data digitasi vegetasi mangrove dari citra satelit Landsat yang telah terkoreksi. Namun dalam melakukan digitasi vegetasi magrove ini terkendala oleh tutupan awan pada citra. Dengan adanya tutupan awan ini menyebabkan adanya region yang hilang sehingga akan mengurangi akurasi dalam menentukan luasan obyek yang dianalisa. Namun demikian hasil analisa dari data digitasi vegetasi mangrove ini masih dapat menunjukkan kecenderungan perubahan luasan vegetasi mangrove di Delta Mahakam yang semakin berkurang dari tahun 1983 hingga tahun 2001. Berdasarkan hasil analisa data digitasi vegetasi mangrove, diketahui bahwa antara tahun 1983 hingga tahun 2001 vegetasi mangrove di Delta Mahakam telah mengalami perubahan luasan. Dari tahun 1983 sampai 2001, luasan vegetasi mangrove di Delta Mahakam telah berkurang sekitar 42.000 hektar. Perubahan luasan vegetasi mangrove di Delta Mahakam diperlihatkan dalam Tabel 4.5 berikut: Tabel 4.5. Perubahan luasan vegetasi mangrove Delta Mahakam Tahun Hektar (Ha) Km 2 1983 115.847,68 1.158,477 1992 107.780,94 1.077,809 1998 93.912,75 939,127 2001 73.781,64 737,816 Secara keseluruhan luasan vegetasi mangrove di Delta Mahakam telah berkurang sebesar 36,30% sejak tahun 1983 sampai tahun 2001. 37

Perubahan Luas Vegetasi Mangrove 140,000.00 120,000.00 100,000.00 115,847.68 107,780.94 93,912.75 Hektar (Ha) 80,000.00 60,000.00 40,000.00 20,000.00 73,781.64 0.00 1983 1992 1998 2001 Tahun Luas Mangrove Gambar 4.9. Grafik perubahan luas vegetasi mangrove Delta Mahakam tahun 1983 sampai tahun 2001 Selain terjadi pengurangan luasan vegetasi mangrove di Delta Mahakam, pola kerapatan vegetasi mangrove juga mengalami perubahan. Dalam penelitian ini, kerapatan vegetasi mangrove di Delta Mahakam dibagi menjadi lima kelas yaitu: sangat rapat, rapat, sedang, jarang dan sangat jarang. Karena tidak adanya data untuk training area kerapatan vegetasi mangrove, maka pembagian kelas ini dilakukan secara kualitatif. Sejak tahun 1983 hingga tahun 2001 telah terjadi perubahan pola kerapatan vegetasi mangrove di Delta Mahakam. Tahun 1983, kerapatan vegetasi mangrove di Delta Mahakam didominasi oleh vegetasi dengan kelas rapat hingga kelas sedang. Pada saat itu belum banyak terjadi pembabatan hutan mangrove oleh manusia. Sehingga vegetasi mangrove di Delta Mahakam masih cukup terjaga. Pada tahun 1992 sudah mulai ada peningkatan aktifitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove. Selain luas hutan mangrove yang mulai berkurang, juga terjadi perubahan pola kerapatan vegetasi mangrove di Delta Mahakam. Pada 38

tahun 1992, kerapatan vegetasi mangrove di Delta Mahakam didominasi oleh vegetasi dengan kelas sedang hingga kelas jarang. Dengan semakin meningkatnya aktifitas pembabatan hutan mangrove oleh manusia, pada tahun 2001 kerapatan vegetasi mangrove di Delta Mahakam telah didominasi oleh kelas jarang hingga kelas sangat jarang. Banyaknya tutupan awan dalam citra menyebabkan adanya region yang hilang dalam analisa kerapatan vegetasi mangrove. Sehingga untuk membandingkan perubahan kelas kerapatan vegetasi mangrove di Delta Mahakam digunakan nilai persentase dari setiap kelas. Tabel 4.6 berikut ini memperlihatkan persentase perubahan kelas kerapatan vegetasi mangrove di Delta Mahakam dari tahun 1983 hingga tahun 2001: Tabel 4.6. Persentase perubahan kelas kerapatan vegetasi mangrove Delta Mahakam tahun 1983 sampai tahun 2001 Kelas Kerapatan (%) Kerapatan Tahun 1983 Tahun 1992 Tahun 1998 Tahun 2001 Sangat Rapat 2,7401 0,0024 0,7814 0,1119 Rapat 71,9140 0,1318 15,4660 1,5078 Sedang 20,0263 18,8411 39,7806 18,3183 Jarang 3,7141 68,1135 33,7403 56,8506 Sangat Jarang 1,6054 12,9112 10,2316 23,2114 39

Persentase Kerapatan Vegetasi 80 60 Persentase (%) 40 1983 1992 1998 2001 20 0 Sangat Rapat Rapat Sedang Jarang Sangat Jarang Kelas Kerapatan Gambar 4.10. Grafik perubahan kerapatan vegetasi mangrove Delta Mahakam tahun 1983 sampai tahun 2001 Berdasarkan grafik terlihat bahwa terjadi perubahan kerapatan vegetasi mangrove di Delta Mahakam. Vegetasi yang semula sangat rapat dan rapat telah berubah menjadi vegetasi yang jarang dan sangat jarang. Secara keseluruhan dari tahun 1983 hingga tahun 2001, vegetasi sangat rapat dan rapat berkurang sebesar 51,49% sedangkan vegetasi jarang dan sangat jarang bertambah sebesar 42,27%. 4.2.2. Sebaran TSM (total suspended matter ) di Delta Mahakam Dalam penelitian ini digunakan pendekatan statistik dalam menentukan sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam dengan menggunakan citra satelit Landsat. Namun algoritma yang diterapkan adalah algoritma yang telah dibangun oleh peneliti sebelumnya dengan metode pendekatan yang sama. Pendekatan statistik ini pada dasarnya menentukan korelasi antara nilai digital number pada citra dengan nilai konsentrasi TSM in situ pada lokasi dan waktu yang sama. Analisa statistik yang digunakan biasanya adalah regresi linier (linear regression) atau regrasi multipel (multiple regression). Korelasi antara nilai 40

digital number dengan data in situ ini dapat dilakukan baik pada band tunggal maupun band kombinasi. Berdasarkan analisa citra, terlihat bahwa pada tahun 1983 pola sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam lebih merata ke semua bagian. Konsentrasi TSM berkisar antara 4-16 mg/l dengan konsentrasi rata-rata 6,480 mg/l. Pada tahun 1992, sebaran konsentrasi TSM tidak lagi merata ke semua bagian. Konsentrasi TSM lebih tinggi tampak berada pada bagian utara dan timur delta yaitu sekitar 10-20 mg/l, sedangkan pada bagian selatan delta konsentrasi TSM tampak lebih rendah yaitu sekitar 0-10 mg/l. Konsentrasi rata-rata TSM pada tahun 1992 adalah 6,651 mg/l. Pada tahun 1998, seperti halnya tahun 1992, konsentrasi TSM lebih tinggi tampak berada pada bagian utara dan timur delta yaitu sekitar 30-60 mg/l, sedangkan pada bagian selatan delta konsentrasi TSM tampak lebih rendah yaitu sekitar 0-30 mg/l. Konsentrasi rata-rata TSM pada tahun 1998 adalah 20,806 mg/l. Sedangkan pada tahun 2001 tampak bahwa pola sebaran konsentrasi TSM tidak merata. Konsentrasi TSM lebih tinggi tampak lebih banyak berada pada bagian muara dan dekat daratan delta, sedangkan konsentrasi TSM lebih rendah berada pada bagian lebih jauh dari daratan delta. Konsentrasi rata-rata TSM pada tahun 2001 adalah 5,710 mg/l (berdasarkan citra satelit) dan 67,667 mg/l (berdasarkan pengukuran lapangan). Rendahnya konsentrasi rata-rata TSM pada citra satelit tahun 2001 ini kemungkinan disebabkan adanya bayangan awan (shadow clouds) pada citra yang dapat menimbulkan error dalam kalkulasi konsentrasi TSM. Selain itu citra tahun 2001 ini merupakan hasil gabungan (mozaik) dari 2 scene yang berbeda waktu akuisisi citranya, sehingga berpengaruh terhadap digital number citra. Terjadinya perbedaan sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah perubahan dinamika perairan. 41

Perubahan arus musiman, pasang surut dan gelombang dapat mempengaruhi pola sebaran TSM. Selain itu masuknya muatan sedimen (sediment load) dari daratan ke perairan juga dapat berpengaruh terhadap konsentrasi TSM di perairan. Faktor meteorologi dan faktor kesalahan manusia dalam analisa citra juga dapat mempengaruhi hasil pemetaan sebaran TSM. Menurut Abu Daya (2004), sumber kesalahan (error) ini umumnya disebabkan oleh: 1. Citra yang tidak terkoreksi secara benar terhadap pengaruh atmosfer. 2. Perbedaan waktu antara akuisisi citra dengan pengukuran konsentrasi TSM in situ, sehingga algoritma tidak memberikan hasil yang akurat. Tabel 4.7 berikut ini memperlihatkan konsentrasi rata-rata TSM di Delta Mahakam dari tahun 1983 sampai tahun 2001 berdasarkan data citra satelit Landsat: Tabel 4.7. Konsentrasi rata-rata TSM di Delta Mahakam dari tahun 1983 sampai tahun 2001 Tahun Konsentrasi rata-rata (mg/l) 1983 6,480 1992 6,651 1998 20,806 2001 67,667 42

Konsentrasi TSM Rata-rata mg/l 80 70 60 50 40 30 20 10 0 67.667 20.806 6.480 6.651 1983 1992 1998 2001 Tahun konsentrasi Gambar 4.11. Grafik konsentrasi rata-rata TSM di Delta Mahakam Berdasarkan Gambar 4.11 terlihat bahwa konsentrasi rata-rata TSM di Delta Mahakam bertambah dari tahun 1983 sampai tahun 2001. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya degradasi vegetasi mangrove di Delta Mahkam telah menyebabkan meningkatnya kandungan suspended sediment di perairan. Secara keseluruhan, konsentrasi rata-rata TSM di Delta Mahakam dari tahun 1983 sampai tahun 2001 meningkat sebesar 146,89%. 4.2.3. Kaitan Kerapatan Vegetasi Mangrove dengan Sebaran Konsentrasi TSM Berdasarkan analisa secara visual dari hasil pengolahan citra satelit, tampak bahwa ada kaitan antara perubahan kerapatan vegetasi mangrove dengan perubahan konsentrasi rata-rata TSM di Delta Mahakam. Berkurangnya vegetasi sangat rapat dan rapat sebesar 51,49% serta bertambahnya vegetasi jarang dan sangat jarang sebesar 42,27% menyebabkan pertambahan konsentrasi rata-rata TSM sebesar 52,96%. Sedangkan berdasarkan analisa statistik menunjukkan nilai korelasi yang tidak terlalu besar antara perubahan kerapatan vegetasi mangrove 43

dengan sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam. Nilai korelasi antara perubahan vegetasi sangat rapat dan rapat terhadap sebaran konsentrasi TSM adalah -0,46. Sedangkan nilai korelasi antara perubahan vegetasi jarang dan sangat jarang terhadap sebaran konsenntrasi TSM adalah 0,50. Untuk melihat secara visual kaitan antara perubahan kerapatan vegetasi mangrove dengan sebaran konsentrasi TSM di Delta Mahakam, berikut ini adalah overlay antara hasil klasifikasi kerapatan vegetasi mangrove dengan sebaran konsentrasi TSM. Gambar 4.12 berikut adalah hasil overlay kerapatan vegetasi mangrove dan sebaran konsentrasi TSM untuk citra Landsat MSS 1983: Gambar 4.12. Overlay kerapatan vegetasi mangrove dan sebaran konsentrasi TSM berdasarkan citra satelit Lansdat MSS 15 April 1983 44

Secara visual tampak bahwa konsentrasi TSM lebih tinggi berada pada daerah muara dan coastline dimana kerapatan vegetasi mangrove relatif jarang dan sangat jarang. Gambar 4.13 berikut adalah hasil overlay kerapatan vegetasi mangrove dan sebaran konsentrasi TSM untuk citra Landsat TM 1992: Gambar 4.13. Overlay kerapatan vegetasi mangrove dan sebaran konsentrasi TSM berdasarkan citra satelit Lansdat TM 11 Februari 1992 Secara visual tampak bahwa konsentrasi TSM lebih tinggi berada di bagian utara dan timur delta. Meskipun banyak tertutup oleh awan, terlihat kecenderungan bahwa pada daerah muara dan coastline di bagian utara dan timur delta memiliki kerapatan vegetasi mangrove relatif jarang dan sangat jarang. 45

Gambar 4.14 berikut adalah hasil overlay kerapatan vegetasi mangrove dan sebaran konsentrasi TSM untuk citra Landsat TM 1998: Gambar 4.14. Overlay kerapatan vegetasi mangrove dan sebaran konsentrasi TSM berdasarkan citra satelit Lansdat TM 26 Januari 1998 Seperti pada citra tahun 1992, secara visual tampak bahwa konsentrasi TSM lebih tinggi berada di bagian utara dan timur delta. Citra juga banyak tertutup oleh awan namun terlihat kecenderungan bahwa pada daerah muara dan coastline di bagian utara dan timur delta memiliki kerapatan vegetasi mangrove relatif jarang dan sangat jarang. Gambar 4.15 berikut adalah hasil overlay kerapatan vegetasi mangrove dan sebaran konsentrasi TSM untuk citra Landsat ETM 2001: 46

Gambar 4.15. Overlay kerapatan vegetasi mangrove dan sebaran konsentrasi TSM berdasarkan citra satelit Lansdat TM 27 Februari 2001 Pada citra tahun 2001, secara visual tampak bahwa sebaran konsentrasi TSM lebih menyebar ke seluruh bagian delta. Pada bagian muara dan coastline bahkan aliran sungai memiliki sebaran konsentrasi TSM yang relatif tinggi.citra memiliki tutupan awan relatif banyak namun tampak bahwa konsentrasi TSM tinggi berada pada bagian dimana kerapatan vegetasi mangrove relatif jarang dan sangat jarang. Gambar 4.16 berikut menunjukkan hubungan antara berkurangnya presenstase vegetasi mangrove kelas sangat rapat dan kelas rapat dengan bertambahnya konsentrasi TSM: 47

Vegetasi Rapat dan Konsentrasi TSM Persentase (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1983 1992 1998 2001 Tahun 80 70 60 50 40 30 20 10 0 mg/l vegetasi rapat konsentrasi TSM Gambar 4.16. Grafik hubungan vegetasi rapat dan konsentrasi TSM Berdasarkan gambar 4.16 terlihat presentase vegetasi mangrove kelas sangat rapat dan kelas rapat cenderung semakin berkurang dari tahun 1983 sampai tahun 2001. Sedangkan konsentrasi TSM cenderung bertambah dari tahun 1983 sampai tahun 2001. Secara statistik, nilai korelasi antara vegetasi mangrove kelas sangat rapat dan kelas rapat terhadap konsentrasi TSM adalah -0,46. Sedangkan Gambar 4.17 berikut menunjukkan hubungan antara bertambahnya presentase vegetasi mangrove kelas jarang dan kelas sangat jarang dengan bertambahnya konsentrasi TSM: 48

Vegetasi Jarang dan Konsentrasi TSM Persentase (%) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 Tahun 80 70 60 50 40 30 20 10 0 mg/l vegetasi jarang konsentrasi TSM Gambar 4.17. Grafik hubungan vegetasi jarang dan konsentrasi TSM Berdasarkan gambar 4.17 terlihat presentase vegetasi mangrove kelas jarang dan kelas sangat jarang cenderung semakin bertambah dari tahun 1983 sampai tahun 2001. Konsentrasi TSM juga cenderung bertambah dari tahun 1983 sampai tahun 2001. Secara statistik, nilai korelasi antara vegetasi mangrove kelas sangat rapat dan kelas rapat terhadap konsentrasi TSM adalah 0,50. 49