BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

dokumen-dokumen yang mirip
SALINAN. 50 Huruf a. Ketentuan Pasal. dalam Persaingan Usaha. Pedoman Pasal Tentang

Rancangan Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a UU No. 5 Tahun 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan

Adapun...

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi

Pengecualian Dalam UU No.5/1999. Pasal 50 & Pasal 51

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

DAFTAR ISI. Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Intisari... Abstract... BAB I PENDAHULUAN...

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

KAJIAN YURIDIS PEMBATASAN PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK OLEH UU NO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BISNIS RITEL WARALABA BERDIMENSI HUKUM PERSAINGAN USAHA

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

ETIKA DAN HUKUM KEWIRAUSAHAAN oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH.

Hukum Persaingan Usaha

BAB I PENDAHULUAN. memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 1 Krisis ekonomi

HUKUM PERSAINGAN USAHA

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS HUKUM. A. Penerapan Tanggal Efektif Yuridis dalam Pengambilalihan Saham. yang Dilakukan PT Bumi Kencana Eka Sejahtera atas PT Andalan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

DR. SUKARMI, KOMISIONER KPPU

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Konstitusionalisme SDA Migas. Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2013, No.40 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENE

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015 Kekuasaan Negara terhadap Ketenagalistrikan

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena


I. PENDAHULUAN. ekonomi di Indonesia. Kegiatan ekonomi yang banyak diminati oleh pelaku usaha

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini mendorong

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

STUDI KELAYAKAN (Feasibility Study) Pengadaan Gudang Barang Pemerintah Kota Tarakan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KOPERASI. Usaha Mikro. Kecil. Menengah. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93)

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN. Peranan negara dalam kegiatan ekonomi dapat diwujudkan dengan

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011

BAB III BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

BAB V PENUTUP. kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1995 TENTANG USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 21 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Transkripsi:

62 BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY A. Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 1. Latar Belakang dan Tujuan UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai pilar utama hukum persaingan di Indonesia memiliki tujuan yang sangat tegas yaitu: 47 a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Atas dasar tujuan tersebut, UU Nomor 5 Tahun 1999 diterapkan di seluruh aspek kegiatan usaha baik sektor swasta maupun sektor publik yang dikelola oleh BUMN. Akan tetapi selain memiliki alasan hukum guna memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama terhadap semua pelaku usaha menurut prinsip dan standar hukum persaingan yang berlaku, implementasi UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai hukum persaingan diharapkan dapat menciptakan efisiensi di sektor ekonomi. Eksistensi ketentuan pengecualian dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 sebenarnya dapat menimbulkan distorsi yang memiliki dampak terhadap efisiensi ekonomi. 47 Lihat ketentuan Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1999. 62

63 Namun di sisi lain, pengecualian penerapan UU Nomor 5 Tahun 1999 dapat dan perlu dilakukan oleh Negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai wujud dukungan terhadap politik ekonomi Indonesia sebagaiman dinyatakan pada Pasal 33 UUD 1945. 48 Apabila dilihat secara keseluruhan, ketentuan pengecualian dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 dituangkan dalam Pasal 50 dengan menyatakan: Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah: a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya. Dari sekian pengecualian maka ketentuan pengecualian yang merupakan wujud dukungan terhadap politik ekonomi Indonesia adalah ketentuan pengecualian pada Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut. Meskipun demikian sebenarnya ketentuan pengecualian tersebut memiliki potensi menimbulkan permasalahan karena tidak menutup kemungkinan menimbulkan kontradiksi terhadap berbagai peraturan 48 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Pedoman Pasal Tentang Ketentuan Pengecualian Pasal 50 Huruf a dalam persaingan usaha, (Jakarta: KPPU), hlm. 15.

64 perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu dalam implementasinya, harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 49 a. sejauh mana hukum dan kebijakan di bidang persaingan usaha sebagai prioritas yang harus diterapkan; b. jika ketentuan pengecualian yang harus diterapkan, maka harus jelas alasan dan paramater yang menjadi dasar pemilihan ketentuan pengecualian tersebut; dan c. dalam hal apa kebijakan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain dapat tetap dilaksanakan, meskipun tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dimaksudkan untuk: 50 1. Menyeimbangkan kekuatan ekonomi yang tidak sama, misalnya kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil dalam rangka meningkatkan kekuatan penawarannya ketika menghadapi pelaku usaha yang memiliki kekuatan ekonomi lebih kuat. Dalam kasus yang demikian terhadap pelaku usaha kecil, dapat diberikan pengecualian dalam penerapan hukum persaingan usaha. 2. Menghindari terjadinya kerancuan dalam penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 apabila terjadi konflik kepentingan yang sama-sama ingin diwujudkan melalui kebijakan yang diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan. 3. Mewujudkan kepastian hukum dalam penerapan peraturan perundang-undangan, misalnya pengecualian bagi beberapa kegiatan lembaga keuangan untuk mengurangi resiko dan ketidakpastian. Sektor keuangan perlu dijaga stabilitasnya, mengingat pentingnya peran sektor keuangan dalam proses pengembangan ekonomi. 4. Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2), (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 49 Ibid, hlm. 8. 50 Ibid, hlm. 8-9.

65 2. Unsur-Unsur Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa ketentuan Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan: Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah: a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau Berdasarkan ketentuan tersebut maka unsur-unsur yang dikecualikan dapat diuraikan sebagai berikut: a. Perbuatan Secara harafiah berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian perbuatan diartikan sebagai sesuatu yang diperbuat atau dilakukan. 51 Selanjutnya apabila mengacu pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 maka pengertian perbuatan tersebut sangat identik dengan pengertian kegiatan dimana dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 mengatur secara tersendiri pelanggaranpelanggaran yang termasuk dalam kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh UU Nomor 5 Tahun 1999. Kegiatan yang dilarang dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 yang antara lain meliputi perbuatan yang terkait dengan monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, jual rugi (predatory pricing), dan persekongkolan. Meskipun demikian, pengertian perbuatan tersebut juga mencakup kegiatankegiatan yang memiliki karateristik khusus yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 seperti terkait dengan Posisi Dominan, Jabatan Rangkap, Kepemilikan Saham, serta Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan. b. Perjanjian Pengertian perjanjian dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 52 51 Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Cet. 10, (Jakarta: Balai Pustaka,2007), hlm. 148 52 Pasal 1313 BW.

66 Pengertian yang lebih relevan dengan hukum persaingan mengenai perjanjian adalah pengertian perjanjian yang dinyatakan pada Pasal UU Nomor 5 Tahun 1999 yaitu suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis. 53 Dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, ketentuan yang berkaitan dengan perjanjian diatur pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 yaitu meliputi antara lain perjanjian yang terkait dengan Oligopoli, Penetapan Harga (price fixing), Pembagian Wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup (exclusive dealing) serta perjanjian dengan pihak luar negeri yang antipersaingan. c. Bertujuan melaksanakan; Unsur ini mengandung arti bahwa perbuatan dan atau perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut bukan merupakan perbuatan dan atau perjanjian yang didasarkan atas otoritas yang dimilikinya namun didasarkan pada otoritas dan kewenangan yang bersumber dari peraturan perudangan yang berlaku. Namun apabila peraturan perundangan tersebut merupakan peraturan di bawah undang-undang maka peraturan tersebut haruslah telah mendapatkan delegasi yang tegas dari undangundang yang mengaturnya. Pendelegasian tegas dari undang-undang tersebut sangat penting guna sebagai konsistensi sistem penegakan hukumnya agar terdapat kepastian karena secara faktual harus dibedakan antara (1) perbuatan dan atau perjanjian yang dilakukan dengan tujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan (2) perbuatan dan atau perjanjian yang dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. 1) perbuatan dan atau perjanjian yang dilakukan dengan tujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu bahwa perbuatan dan atau perjanjian yang dilakukan atas dasar kewenangan untuk melaksanakan yang 53 Pasal 1 angka 7 UU Nomor 5 Tahun 1999.

67 diperintahkan oleh undang-undang sehingga konteks melaksanakan berarti terdapat kewenangan atau otorisasi untuk melaksanakannya. 2) perbuatan dan atau perjanjian yang dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yaitu bahwa perbuatan dan atau perjanjian tersebut dilakukan dengan landasan atau referensi peraturan perundangan yang berlaku sehingga dalam hal ini tidak mengkaitkan adanya kewenangan atau otoritas yang dimiliki pihak yang melakukan perbuatan dan atau perjanjian. d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku Pengertian peraturan perudang-udangan ini sangat tegas diatur dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (UU Nomor 10 Tahun 2004) dinyatakan bahwa peraturan perundangundangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 54 Selanjutnya, berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan mencakup: 55 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3) Peraturan Pemerintah 4) Peraturan Presiden 5) Peraturan Daerah, yang meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. 54 Lihat ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 10 Tahun 2004. 55 Lihat ketentuan Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2004.

68 3. Kedudukan Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan butir-butir pengecualian yang terdapat pada Pasal 50 UU Nomor 5 Tahun 1999, maka sangat terlihat bahwa ketentuan pengecualian butir a merupakan ketentuan pengecualian yang paling luas karena tidak menyebutkan secara eksplisit aspek perbuatan dan atau perjanjian secara spesifik. Ketentuan pengecualian pada Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 hanya menyatakan: perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku Luasnya cakupan pengecualian menurut ketentuan Pasal 50 huruf a ini disebabkan luasnya pengertian peraturan perundang-undangan itu sendiri yang berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa peraturan perundangundangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 56 Selain itu, dalam ketentuan Pasal 7 ayat 4 UU Nomor 10 Tahun 1999 dinyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain tersebut di atas tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Atas dasar ketentuan Pasal 7 ayat 4 UU Nomor 10 Tahun 2004 tersebut maka jenis peraturan yang digolongkan dalam peraturan perundang-undangan, yakni yang mencakup peraturan yang dikeluarkan oleh: 57 1) Majelis Permusyawaratan Rakyat; 2) Dewan Perwakilan Rakyat; 3) Dewan Perwakilan Daerah; 4) Mahkamah Agung; 5) Mahkamah Konstitusi; 6) Badan Pemeriksa Keuangan; 56 Lihat ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 10 Tahun 2004. 57 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, op. cit., hlm. 15.

69 7) Bank Indonesia; 8) Menteri; 9) Kepala Badan; 10) Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang; 11) Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi; 12) Gubernur; 13) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota; 14) Bupati/Walikota; dan 15) Kepala Desa atau yang setingkat. Atas dasar hal tersebut maka penafsiran ketentuan Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 tidak mudah karena apabila yang dimaksud adalah memberikan pengecualian terhadap seluruh perbuatan dan atau perjanjian dari pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1999 maka ketentuan pengecualian menjadi terlalu luas yang mengakibatkan kedudukan UU Nomor 5 Tahun 1999 lebih lemah (subordinasi) terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya. 58 Oleh karena itu, untuk memahami kedudukan ketentuan pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam peraturan perundang-undangan harus memperhatikan prinsip-prinsip sistem perundang-undangan yang harus ditaati, yaitu: 1) setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan hukum yang jelas; 2) tidak semua peraturan perundang-undangan dapat dijadikan landasan hukum, tetapi hanya peraturan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya; 3) adanya prinsip hanya peraturan yang lebih tinggi atau sederajat dapat menghapuskan atau mengesampingkan berlakunya peraturan yang sederajat tingkatannya atau lebih rendah tingkatannya; 58 Knud Hansel, et.al., Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT Katalis), hlm. 408.

70 4) harus ada kesesuaian antara jenis peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang harus diatur. Terlebih lagi untuk peraturan yang sifatnya regional yaitu peraturan daerah maka tetap dapat dikecualikan sepanjang memiliki kerangka tujuan penataan perekonomian nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dengan demikian kebijakan otonomi daerah di bidang perekonomian tidak boleh bertentangan dengan kebijakan perekonomian nasional karena materi peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Berdasarkan uraian tersebut, maka sangat jelas kedudukan ketentuan pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam sistem peraturan perundang-undangan dimana walaupun perbuatan dan atau perjanjian bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang berlaku, namun harus tetap pada prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilaksanakan tersebut hierarkinya lebih tinggi atau yang sederajat. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang juga dimungkinkan mendapat pengecualian sepanjang mendapat delegasi secara tegas dari undang-undang. B. Implementasi Ketentuan Pengecualian Dikaitkan Dengan Monopoli Atas Essential Facility Apabila mengacu pada ketentuan pengecualian yang dirinci dalam Pasal 50 UU Nomor 5 Tahun 1999 maka secara de jure terdapat berbagai bentuk pengecualian, namun ketentuan pengecualian yang paling relevan dengan eksistensi monopoli badan usaha terhadap essential facility adalah ketentuan pengecualian yang tertuang dalam Pasal 50 huruf a UU Nomor 1999 yang menyatakan:

71 perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku Alasan ketentuan Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 merupakan ketentuan yang paling relevan dengan eksistensi monopoli essential facility karena berdasarkan kronologis terciptanya monopoli atas essential facility di Indonesia maka selalu berhulu pada kebijakan politik perekonomian Indonesia yang tertuang dalam ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tersebut maka diterbitkan berbagai jenis peraturan perundang-undangan guna melaksanakan program-program perekonomian sesuai dengan sektor industri masingmasing. Bahwa sebenarnya esensi ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tersebut juga ditegaskan oleh Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan: Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah. Dengan demikian sebenarnya terdapat benang merah antara ketentuan Pasal 33 UUD 1945, Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 dengan Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut karena ketiga ketentuan tersebut saling memperkuat dan memperjelas kedudukan monopoli BUMN dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk pemerintah atas sektor tertentu termasuk yang terkait dengan essential facility. Oleh karena itu sangat jelas bahwa implementasi ketentuan pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 seharusnya dilakukan dalam kerangka implementasi ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang esensinya dipertegas melalui ketentuan Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan secara tegas pada pokoknya sebagai berikut:

72 1) Monopoli diatur oleh undang-undang Ketentuan ini merupakan penegasan terkait dengan persyaratan dasar hukum dilakukannya monopoli atas essential facility dimana harus dilandaskan pada undangundang sehingga tidak dapat dilakukan atas dasar peraturan perundangan yang berada di bawah undang-undang. Konsekuensi dari hal tersebut maka pengecualian atas UU Nomor 5 Tahun 1999 akan efektif diberlakukan jika telah tegas disebutkan secara eksplisit dalam undangundang dinana undang-undang memberikan perlakuan khusus terhadap perbuatan dan atau perjanjian untuk tujuan kesejahteraan rakyat. 2) Monopoli dapat diselenggarakan oleh BUMN Ketentuan ini merupakan penegasan terkait dengan pelaku usaha utama yang dapat menyelenggarakan monopoli atas sektor usaha yang terkait dengan essential facility mengingat BUMN merupakan representatif negara dalam melakukan kegiatan usaha. Konsekuensi dari hal tersebut maka pengecualian UU Nomor 5 Tahun 1999 akan efektif diberlakukan jika undang-undang telah menetapkan bahwa suatu sektor usaha dimonopoli dan akan diselenggaran oleh BUMN yang dididrikan khsusus untuk menyelenggarakan kegiatan usaha pada sektor tertentu tersebut. 3) Monopoli dapat diselengarakan oleh badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk pemerintah Ketentuan ini merupakan penegasan terkait dengan persyaratan pelaku usaha yang dapat menyelenggarakan monopoli atas sektor usaha yang terkait dengan essential facility. Konsekuensi dari hal tersebut maka pengecualian UU Nomor 5 Tahun 1999 akan efektif diberlakukan jika undang-undang telah menetapkan bahwa suatu sektor usaha dimonopoli dan badan atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang.

73 Atas dasar uraian tersebut maka sangat jelas bahwa implementasi ketentuan pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 harus memperhatikan peraturan perundangan yang mendasari monopoli atas essential facility serta status pemegang hak monopolinya. Implementasi ketentuan pengecualian tersebut harus memperhatikan batasan bahwa monopoli essential facility harus tegas diatur oleh undang-undang dan harus diselenggaran oleh BUMN dan atau badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah. Hal tersebut penting mengingat ketentuan Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya memberikan amanat kepada BUMN atau badan atau lembaga lain yang ditunjuk selaku penerima hak monopoli untuk menjalankan sesuai dengan tujuannya yaitu untuk kemakmuran atau kesejahteraan rakyat. Tujuan tersebut sangat selaras dengan tujuan diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1999 sehingga upaya pengecualian terhadap keberadaan BUMN atau badan usaha lain yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan monopoli atas essential facility harus dipahami guna menghindari benturan hukum dalam proses pencapaian kesejahteraan rakyat.