IDENTIFIKASI DAN DAMPAK PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP LIMPASAN PERMUKAAN DI KECAMATAN SERIRIT, BULELENG, BALI MUHAMMAD SUBKI

dokumen-dokumen yang mirip
PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hidrologi dengan panjang data minimal 10 tahun untuk masing-masing lokasi

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. R. Muhammad Isa

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Surface Runoff Flow Kuliah -3

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

STUDI PENERAPAN SUMUR RESAPAN DANGKAL PADA SISTEM TATA AIR DI KOMPLEK PERUMAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA

BAB IV PEMBAHASAN. muka air di tempat tersebut turun atau berkurang sampai batas yang diinginkan.

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Metode Rasional di Kampus I Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERENCANAAN SISTEM DRAINASE PADA RENCANA KAWASAN INDUSTRI DELI SERDANG DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS M. HARRY YUSUF

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran umum Daerah Irigasi Ular Di Kawasan Buluh. Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai pada 18 Desember 2003, semasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS CURAH HUJAN UNTUK MEMBUAT KURVA INTENSITY-DURATION-FREQUENCY (IDF) DI KAWASAN KOTA LHOKSEUMAWE

TINJAUAN PERENCANAAN DRAINASE KALI GAJAH PUTIH KODIA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

Menghitung Debit Aliran Permukaan Di Kecamatan Serengan Tahun 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebuah komplek kampus merupakan kebutuhan dasar bagi para mahasiswa, para

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ESTIMASI DEBIT ALIRAN BERDASARKAN DATA CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS : WILAYAH SUNGAI POLEANG RORAYA)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kawasan perkotaan yang terjadi seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk pada

HIDROLOGI ANALISIS DATA HUJAN

SKRIPSI PEMODELAN SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI BANJIR GENANGAN DI WILAYAH KOTA SURAKARTA DENGAN PENDEKATAN METODE RASIONAL (RATIONAL RUNOFF METHOD)

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB III LANDASAN TEORI

Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

MENU PENDAHULUAN ASPEK HIDROLOGI ASPEK HIDROLIKA PERANCANGAN SISTEM DRAINASI SALURAN DRAINASI MUKA TANAH DRAINASI SUMURAN DRAINASI BAWAH MUKA TANAH

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS. pengangkut bagian-bagian tanah. Di dalam bahasa Inggris dikenal kata run-off

Studi Evaluasi Sistem Saluran Sekunder Drainase Tambaksari kota Surabaya

STUDI PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP INFRASTRUKTUR JARINGAN DRAINASE KOTA RANTEPAO

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA DEBIT BANJIR SUNGAI RANOYAPO DI DESA LINDANGAN, KEC.TOMPASO BARU, KAB. MINAHASA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

MEMBUAT TANGGUL DAN PENATAAN SISTEM DRAINASE DAPAT MENGURANGI GENANGAN AIRDALAM KOMPLEK PERUMAHAN SUNGAI PAWOH KOTA LANGSA

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penelitian tentang Analisis Kapasitas Drainase Dengan Metode Rasional di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hidrologi merupakan salah satu cabang ilmu bumi (Geoscience atau

ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran Umum Daerah Irigasi Ular di Kawasan Sumber Rejo. Kawasan Sumber Rejo terletak kecamatan yakni Kecamatan Pagar Merbau,

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aliran Permukaan 2.2. Proses Terjadinya Aliran Permukaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK SUB DAS KALI PREMULUNG TAHUN 2006 DAN 2014

BAB V ANALISA DATA. Analisa Data

ANALISA HIDROLOGI dan REDESAIN SALURAN PEMBUANG CILUTUNG HULU KECAMATAN CIKIJING KABUPATEN MAJALENGKA

III. METODOLOGI PENELITIAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DAN KERUSAKAN HUTAN TERHADAP KOEFISIEN PENGALIRAN DAN HIDROGRAF SATUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

ANALISIS CURAH HUJAN UNTUK PENDUGAAN DEBIT PUNCAK MENGGUNAKAN METODE RASIONAL DI SUB DAS SAMIN KABUPATEN KARANGANYAR

PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KOEFISIEN RUNOFF

ANALISIS EFEKTIFITAS KAPASITAS SALURAN DRAINASE DAN SODETAN DALAM MENGURANGI DEBIT BANJIR DI TUKAD TEBA HULU DAN TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Transkripsi:

IDENTIFIKASI DAN DAMPAK PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP LIMPASAN PERMUKAAN DI KECAMATAN SERIRIT, BULELENG, BALI MUHAMMAD SUBKI DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi dan Dampak Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Limpasan Permukaan di Kecamatan Seririt, Buleleng, Bali adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Muhammad Subki NIM F44110013

ABSTRAK MUHAMMAD SUBKI. Identifikasi dan Dampak Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Limpasan Permukaan di Kecamatan Seririt, Buleleng, Bali. Dibimbing oleh SATYANTO K. SAPTOMO dan RUDIYANTO. Luas pekarangan dan bangunan di Bali meningkat sekitar 1.10% per tahun selama periode 1997-2006, Sedangkan lahan pertanian menyusut hingga 0.7% antara tahun 1995-2008. Hal ini mengindikasikan terjadinya perubahan fungsi lahan di kawasan Bali. Meningkatnya luas lahan terbangun akan meningkatkan volume air limpasan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perubahan tata guna lahan di Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali antara tahun 2005 dan 2014 serta untuk menghitung besarnya nilai limpasan permukaan pada tahun 2005 dan 2014. Penelitian perubahan fungsi lahan dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak ArcMap 10.1 dengan data yang berasal dari Google Earth. Perhitungan limpasan permukaan dilakukan dengan Metode Rasional, Sedangkan Intensitas hujan dihitung dengan analisis frekuensi. Lahan tidak terbangun berkurang sebanyak 119.378 ha pada tahun 2014, Sedangkan Lahan terbangun mengalami peningkatan sebanyak 115.725 ha. Sejalan dengan hasil tersebut laju aliran permukaan puncak di Kecamatan Seririt mengalami peningkatan sebesar 6.718 m 3 /dt dari 895.413 m 3 /dt pada tahun 2005 menjadi 902.131 m 3 /dt pada tahun 2014. Kata kunci: Perubahan Fungsi Lahan, Bali, Intensitas Hujan, Limpasan Permukaan, Metode Rasional ABSTRACT MUHAMMAD SUBKI. Identification and impact of Land Use Change On Surface Runoff in Seririt District, Buleleng, Bali. Supervised by SATYANTO K. SAPTOMO and RUDIYANTO. Spacious yard and buildings in Bali increased by about 1:10% per year over the period 1997 to 2006, while agricultural land decreased by 0.7% between the years 1995-2008. This data showed that landuse change was happened in Bali. The development of constructed area would increase the volume of water runoff. The purpose of this study were to identify land use change in Seririt District, Buleleng Regency, Bali between 2005 and 2014 and to calculate runoff value in 2005 and 2014. The land use change was analysed using ArcMap 10.1 software with the data derived from Google Earth. Calculation of surface runoff with Rational Method, while rainfall intensity was calculated based on frequency analysis. Unconstructed area were decreased by 119.378 ha in 2014, while constructed area increased as much as 115 725 ha. This condition made runoff peak increased about 6.718 m 3 /s from 895.413 m 3 /s in 2005 to 902.131 m 3 /s in 2014. Keywords: Land use change, Bali, Rainfall intensity, Surface runoff, Rational Method

IDENTIFIKASI DAN DAMPAK PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP LIMPASAN PERMUKAAN DI KECAMATAN SERIRIT, BULELENG, BALI MUHAMMAD SUBKI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan. DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Maret hingga Agustus 2015. Topik penelitian adalah mengenai perubahan lahan dengan judul penelitian yaitu Identifikasi dan Dampak Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Limpasan Permukaan di Kecamatan Seririt, Buleleng, Bali. Terima kasih diucapkan kepada Dr. Satyanto Krido Saptomo, STP., M.Si dan Dr. Rudiyanto selaku pembimbing serta Dr. Yanuar J. Purwanto selaku penguji atas dukungan dan masukan yang sudah diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan dipergunakan sebagaimana mestinya. Bogor, September 2015 Muhammad Subki

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan 2 Manfaat Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Perubahan Fungsi Lahan 3 Limpasan Permukaan (Runoff) 4 Sistem Informasi Geografis (SIG) 4 METODE PENELITIAN 5 Waktu dan Tempat 5 Kerangka Penelitian 5 Alat dan Bahan 7 Analisis Data 7 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 Tata Guna Lahan 11 Alih Fungsi Lahan 15 Intensitas Hujan (I) 19 Limpasan Permukaan 22 SIMPULAN DAN SARAN 25 Simpulan 25 Saran 26 DAFTAR PUSTAKA 26 RIWAYAT HIDUP 28

DAFTAR TABEL 1. Koefisien limpasan untuk Metode Rasional 10 2. Data penggunaan lahan di Kecamatan Seririt pada tahun 2005 dan 2014 13 3. Data curah hujan harian maksimum di Kecamatan Seririt 19 4. Hasil perhitungan distribusi normal 20 5. Hasil perhitungan distribusi Log Normal 20 6. Hasil perhitungan distribusi Log Person III 20 7. Hasil perhitungan distribusi Gumbel 21 8. Hasil perhitungan analisis frekuensi 21 9. Hasil perhitungan uji kecocokan 22 10. Koefisien aliran limpasan permukaan yang digunakan 23 11. Hasil perhitungan Laju aliran permukaan puncak (m 3 /detik) 24 DAFTAR GAMBAR 1. Diagram alir penelitian 6 2. Peta tata guna lahan Kecamatan Seririt tahun 2005 11 3. Peta tata guna lahan Kecamatan Seririt tahun 2014 12 4. Luas lahan Kecamatan Seririt tahun 2005 dan 2014 13 5. Luas lahan Kecamatan Seririt tahun 2005 dan 2014 14 6. Persentase lahan terbangun Kecamatan Seririt Tahun 2005 dan 2014 15 7. (a) peta tata guna lahan Seririt tahun 2005; (b) peta tata guna lahan Seririt tahun 2014 16 8. Peta perubahan lahan Kecamatan Seririt tahun 2005 dan 2014 16 9. Peta perubahan lahan tidak terbangun Kecamatan Seririt tahun 2005 dan 2014 17 10. Peta lahan terbangun baru di Kecamatan Seririt tahun 2014 18 11. Koefisien aliran limpasan permukaan yang digunakan Tahun 2005 22 12. Peta nilai koefisien limpasan Kecamatan Seririt tahun 2014 23 13. Kurva IDF pada Kecamatan Seririt 24 14. Laju aliran puncak pada tahun 2005 dan 2014 25

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan jumlah makhluk hidup khususnya manusia mendorong tingginya kebutuhan akan lahan untuk tempat tinggal. Hal ini akan meningkatkan kasus alih fungsi lahan yang terjadi untuk memenuhi hasrat kebutuhan untuk hidup yang meliputi tempat tinggal, makan, minum dan lain-lain. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk terutama di kawasan perkotaan, maka akan memicu peningkatan kasus alih fungsi lahan. Kasus alih fungsi lahan cenderung berbanding lurus jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Lahan yang tersedia akan konstan atau tetap namun pertumbuhan penduduk akan terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini akan memicu terjadinya perubahan fungsi lahan. Perubahan tata guna lahan dapat didefinisikan sebagai berubahnya fungsi tutupan lahan yang semula difungsikan sebagai lahan hijau seperti hutan, sawah, dan lain-lain berubah fungsinya menjadi suatu lahan terbangun yang difungsikan untuk permukiman, perindustrian, dan lain-lain. Perubahan tersebut akan mengakibatkan terjadinya perubahan siklus hidrologi. Hal ini dapat terjadi karena peningkatan luasan tutupan lahan oleh lapisan kedap air, akan meningkatkan volume aliran permukaan (run off) dan mengurangi jumlah resapan ke dalam tanah. Perubahan tata guna lahan merupakan perubahan fungsi kegunaan suatu lahan dari satu kegunaan ke kegunaan lainnya dan akan mengakibatkan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya atau berubahnya fungsi lahan suatu daerah pada kurun waktu berbeda (Wahyunto, 2004). Dampak perubahan fungsi lahan akan berpengaruh pada dua kategori yaitu volume air limpasan dan kemampuan resapan air oleh tanah. Peningkatan volume air limpasan akan mengganggu siklus hidrologi suatu kawasan serta akan berdampak pada merosotnya kualitas lingkungan di kawasan tersebut. Apabila air limpasan meningkat dan daya serap air oleh tanah menurun, maka akan terjadi genangangenangan air yang memicu terjadinya banjir serta akan mengurangi suplai air tanah. Berdasarkan uraian yang telah disebutkan sebelumnya, maka dilakukan analisis volume air limpasan terhadap perubahan tata guna lahan di Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Bali merupakan sebuah provinsi yang terkenal akan potensi pariwisatanya di Indonesia. Luas wilayah Bali mencapai 5.632,86 km 2 (BPS, 2006). Luas pekarangan/bangunan dan halaman Provinsi Bali meningkat sekitar 1,10% per tahun dari tahun 1997-2006, dan pada akhir 2006 mencapai 46.667 ha. Peningkatan jumlah penduduk yang terjadi sebesar 1,3% per tahun. Jumlah penduduk pada tahun 2006 adalah 3.263.296 (BPS Provinsi Bali, 2006). Oleh karena itu peningkatan kebutuhan lahan yang tinggi akan memicu perubahan fungsi lahan terutama di wilayah perkotaan. Lahan pertanian khususnya sawah menyusut hingga rata-rata 0,7% atau seluas 639 ha dari tahun 1995-2008 (BPS, 2009). Penyusutan lahan persawahan yang terjadi diperuntukkan bagi kawasan industri khususnya pariwisata, permukiman, dan jasa. Limpasan permukaan akan terjadi apabila kemampuan infiltrasi tanah telah mencapai titik jenuh sehingga tanah tidak dapat menyerap air lagi. Oleh karena itu akan terjadi air limpasan di atas tanah. Kemampuan tanah menyerap air akan semakin berkurang apabila terjadi perubahan fungsi lahan. Berdasarkan uraian sebelumnya sangat

2 diperlukan studi tentang analisis air limpasan di kecamatan seririt terhadap efek perubahan tata guna lahan. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan yang mendasari dilakukannya penelitian pada kawasan seririt adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah perbandingan perubahan tata guna lahan antara tahun 2014 dengan tahun 2005 di kecamatan seririt, kabupaten buleleng, Bali? 2. Berapakah nilai intensitas hujan yang terjadi pada rentang 2005-2014 sebagai akibat dari alih fungsi lahan yang menyebabkan berubahnya kemampuan infiltrasi tanah di kawasan tersebut? 3. Berapakan nilai laju limpasan permukaan yang terjadi antara tahun 2005 dan tahun 2014 di kecamatan seririt, kabupaten buleleng, Bali? Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi perubahan tata guna lahan yang terjadi di Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali antara tahun 2005 dan 2014. 2. Menghitung nilai intensitas hujan di kawasan tersebut dengan rentang waktu yang sama. 3. Menghitung besarnya nilai limpasan permukaan (run off) pada tahun 2005 dan 2014. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Memberikan pengetahuan tentang perubahan tata guna lahan di kawasan penelitian. 2. Memberikan informasi terhadap potensi limpasan yang terjadi dan dapat menjadi dasar dalam pencegahan banjir di kawasan tersebut. 3. Dapat dijadikan referensi untuk penelitian lebih lanjut. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah: 1. Daerah penelitian berada di Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. 2. Identifikasi terhadap perubahan tata guna lahan dan limpasan permukaan (run off) pada Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali untuk tahun 2014 dan mengacu pada tahun 2005.

3 TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Fungsi Lahan Lahan mengandung makna lingkungan fisik yang mencakup relief, iklim, tanah, air, udara, dan juga vegetasi (Putri, 2008). Lahan memiliki komponen yang dipandang sebagai sumber daya dengan fungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Lahan memiliki dua fungsi dasar yaitu fungsi kegiatan sosial dan fungsi lindung. Sebuah kawasan yang dapat digunakan untuk kegiatan sosial dianggap memenuhi fungsi kegiatan sosial. Sedangkan apabila kawasan tersebut dimanfaatkan untuk menjadi kawasan lindung dan menjaga kelestarian lingkungan hidup merupakan bagian dari fungsi lindung (Putri, 2008). Lahan memiliki karakteristik yang dianggap sebagai sumber daya yang jumlahnya tetap dengan lokasi yang tidak dapat dipindahkan, membutuhkan suatu perencanaan yang berkaitan dengan pola pemanfaatan lahan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin beragam. Tata guna laha terbagi menjadi dua unsur yaitu tanah sebagai sumber daya dan tata guna (Putri, 2008) Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai suatu proses pilihan pemanfaatan ruang guna memperoleh manfaat yang optimum, baik pertanian maupun non pertanian (Junaedi, 2008). Menurut Winoto (2005) mengemukakan bahwa perubahan lahan pertanian ke non pertanian bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Fenomena alih fungsi lahan adalah bagian dari struktur ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah perkotaan membutuhkan ruang yang luas ke arah luar kota untuk berbagai aktivitas ekonomi dan permukiman (Junaedi, 2008). Menurut Sitorus dalam Santoso (2011), penggunaan lahan serta pemanfaatannya secara optimal harus sesuai dengan daya dukung dan dapat dilakukan apabila tersedia informasi sumberdaya lahan termasuk informasi kesesuaian lahan. Perubahan tata guna lahan lebih dimaksudkan kepada berubahnya penggunaan lahan dari suatu sisi penggunaan ke penggunaan yang lain pada waktu tertentu atau berubahnya fungsi lahan pada kurun waktu yang berbeda. Perubahan lahan lebih diidentikkan dengan berubahnya fungsi lahan pada awalnya seperti pertanian, hutan, yang berubah menjadi kawasan lahan terbangun untuk permukiman, industri, dan lain sebagainya. Perubahan tata guna lahan dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor pertumbuhan penduduk dianggap sangat berhubungan langsung dengan alih fungsi lahan. Selain itu perubahan fungsi lahan di kawasan pinggiran, dari lahan yang semula berfungsi sebagai daerah resapan air, berubah menjadi kawasan perumahan, industri, dan non-pertanian akan memberikan dampak bagi ekosistem setempat. Peristiwa ini akan menurunkan jumlah dan mutu lingkungan, baik kualitas maupunn kuantitasnya, yaitu akan menurunkan sumber daya alam serta terjadinya perubahan perilaku tata air dan keanekaragaman hayati (Sudarto, 2009). Perubahan siklus hidrologi adalah terjadinya perubahan perilaku dan fungsi air permukaan, yaitu menurunnya aliran dasar (base flow) dan meningkatnya aliran

4 permukaan (surface runoff), serta menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan tata air (hidrologi) dan terjadinya banjir serta genangan di daerah hilir. Perubahan fungsi lahan dalam suatu DAS (daerah aliran sungai) dapat menyebabkan peningkatan erosi, yang mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan sungai atau saluran air (Suripin, 2004). Limpasan Permukaan (Runoff) Limpasan permukaan merupakan bagian dari aliran curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau, dan lautan (Asdak, 1995). Jumlah air yang menjadi limpasan bergantung pada jumlah air hujan per satuan waktu, keadaan penutup tanah, topografi, jenis tanah, da nada atau tidaknya hujan yang terjadi. Limpasan permukaan dengan jumlah dan kecepatan yang besar sering menyebabkan pemindahan atau pengangkutan massa tanah secara besarbesaran (Rahim, 2000). Peristiwa alih fungsi lahan akan mempengaruhi aliran limpasan pada suatu kawasan karena telah mengurangi daerah resapan air. Faktor utama penyebab terjadinya air limpasan permukaan adalah intensitas hujan. Hujan juga akan mempengaruhi tingkat erosi tanah. Tetesan air hujan menghantam permukaan tanah akan mengakibatkan terlemparnya partikel tanah ke udara. Akibat gaya gravitasi bumi, partikel tersebut akan kembali jatuh ke tanah dan menutupi pori-pori tanah. Peristiwa ini akan mengurangi kapasitas infiltrasi sehingga memperbesar air yang mengalir di permukaan dan memicu terjadinya erosi tanah (Suripin, 2004). Arsyad dalam Haridjaja dkk. (1991) mengemukakan proses terjadinya aliran permukaan. Curah hujan yang jatuh di atas permukaan tanah pada awalnya akan masuk ke dalam tanah melalui peristiwa infiltrasi. Air hujan tersebut akan terus masuk ke dalam tanah hingga kapasitas lapang terpenuhi. Apabila hujan terus berlangsung maka air hujan akan terus masuk ke dalam tanah melalui peristiwa perkolasi yang sebagiannya akan digunakan untuk mengisi cekungan atau depresi permukaan tanah sebagai simpanan permukaan. Selanjtnya apabila simpanan cekungan telah terpenuhi maka kelebihan air akan menjadi tambatan permukaan. Kelebihan tersebut pada akhirnya akan menguap atau terevaporasi walau dalam jumlah yang sedikit untuk kemudian menjadi aliran limpasan permukaan. Terjadinya genangan air disebabkan oleh banyak faktor baik alamiah maupun manusia. Faktor alamiah seperti curah hujan yang tinggi, topografi suatu daerah dan kondisi alam daerah tersebut. Sedangkan faktor tindakan manusia antara lain adalah perubahan tata guna lahan akibat penggundulan hutan (deforestasi) dan perluasan kota (Hardaningrum dkk. dalam Halim, 2014). Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis merupakan sebuah sistem manajemen informasi yang menyeluruh mengenai ruang geografis dengan komputerisasi untuk mengelola data mengenai ruang geografis, antara lain kegiatan survey, pemetaan, kartografi, fotogrametri, penginderaan jarak jauh dan ilmu komputer (Prahasta, 2001). Sistem ini memungkinkan pengguna untuk memasukkan data, mengatur, menganalisis, memanipulasi dan menampilkan data spasial. Sistem ini juga mampu unutk

menyimpan, mengelola dan memroses dalam lingkungan permodelan Model Builder data-data spasial dalam bentuk tabel, peta, dan citra. Teknologi SIG dapat mempermudah perencana untuk mengakses data, menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan dan meningkatkan keahlian para perencan serta masyarakat dalam menggunakan system informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang sangat kompleks (Junaedi, 2008:23). Pellika et al. dalam Junaedi (2008) mengatakan bahwa SIG telah terbukti dapat menghasilkan penelitian yang akurat dan potensial tentang perubahan penggunaan lahan. SIG memiliki teknik tumpeng tindih (overlay). Pengguna harus bekerja dengan beberapa peta analog apabila dikerjakan secara manual. Selanjutnya pengguna dapat menganalisis kedua data dan kemudian memplotkan hasil akhirnya ke dalam peta. Teknik seperti ini membutuhkan waktu yang lama. Namun dengan teknologi SIG, pengguna memerlukan data spasial dan atribut dalam bentuk digital, sehingga prosesnya dapat dilakukan dengan cepat, ketelitian yang baik dan proses yang dapat diulang (Junaedi, 2008). Danoedoro (2012) menyatakan bahwa SIG merupakan sebuah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data yang mana data tersebut secara keruangan terkait dengan muka bumi. Penetuan lahan kritis dilakukan dengan cara pengaplikasian SIG melalui pengolahan peta-peta digital yang dibutuhkan untuk penilaian lahan kritis seperti tutupan lahan, kelerengan, erosi, manajemen dan produktivitas. Aplikasi SIG untuk memperoleh data lahan kritis adalah overlay dan skoring setiap parameter untuk penilaian tingkat kekritisan suatu lahan (Santoso, 2011). METODE PENELITIAN 5 Waktu dan Tempat Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret 2015 sampai dengan Juli 2015 di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wilayah kajian dalam penelitian adalah Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Luas wilayah studi mencapai 111,78 km 2 yang terdiri dari 21 desa/kelurahan, yaitu Banjar Asem, Bestala, Bubunan, Gunungsari, Joanyar, Kalianget, Kalisada, Lokapaksa, Mayong, Pangkung Paruk, Patemon, Pengastulan, Rangdu, Ringdikit, Seririt, Sulanyah, Tangguwisia, Ularan, Umeanyar, Unggahan, dan Yeh Anakan. Lokasi penelitian berbatasan di Utara dengan Laut Jawa, di Timur dengan Kecamatan Banjar, di Selatan dengan Kecamatan Busungbiu, dan di Barat dengan Kecamatan Gerokgak. Kerangka Penelitian Langkah awal penelitian adalah menentukan ide atau gagasan penelitian. Ide atau gagasan penelitian ditentukan berdasarkan masalah-masalah yang terjadi. Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi masalah dan mendeskripsikan tujuan penelitian. Identifikasi masalah penting dilakukan sebagai pendukung kegiatan penelitian, Sehingga tujuan penelitian yang dirumuskan akan sesuai dengan

6 permasalahan yang ada dan dapat menjawab serta memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut. Penelitian dilakukan dengan mengkaji terlebih dahulu studistudi dan literatur terkait permasalahan yang ada. Studi literatur tersebut diperlukan untuk mengetahui dasar-dasar dan teori yang mendukung penelitian. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data, analisis dan interpretasi data, serta kesimpulan dan saran. Alur penelitian lebih lengkapnya digambarkan melalui Gambar 1. Mulai Studi Literatur Data Penelitian Perubahan Tata Guna Lahan Limpasan Permukaan Peta Kecamatan Seririt Data Curah Hujan Metode Rasional Intensitas Hujan Perhitungan Limpasan Permukaan Identifikasi Perubahan Tata Guna Lahan dan Dampaknya pada Limpasan Selesai Gambar 1 Diagram alir penelitian

7 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah perangkat keras (Hardware) berupa laptop, dan perangkat lunak (Software) berupa ArcMap 10.1, Google Earth Pro, dan Microsoft Office 2013. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan di kawasan penelitian dan peta kawasan penelitian berupa citra satelit dengan resolusi di bawah 700 m. Analisis Data Data yang diperlukan dalam penelitian dibagi menjadi data perubahan penggunaan lahan dan data analisa limpasan permukaan. Data yang digunakan untuk analisa perubahan penggunaan lahan adalah peta lokasi penelitian yang berasal dari Google Earth Pro dengan tinggi pencitraan di bawah 700 m. Citra satelit yang digunakan merupakan citra pada tanggal 24 Juli 2005 dan 30 Mei 2014. Peta tersebut akan digunakan untuk membuat peta tata guna lahan dengan bantuan perangkat lunak ArcMap 10.1. Data yang dibutuhkan untuk analisa limpasan permukaan adalah data curah hujan harian yang terjadi di sekitar lokasi penelitian. Data curah hujan yang dipakai berasal dari Stasiun Umadesa. Pos hujan umadesa terletak di Kecamatan Seririt dan merupakan bagian dari DAS Sabah. Lokasi pos berada pada ketinggian 33 mdpl. Data curah hujan pada pos tersebut tercatat selama 10 tahun dimulai pada tahun 2000 hingga 2011. Data yang dipakai merupakan curah hujan maksimum harian yang terjadi selama satu tahun dalam rentang waktu 10 tahun. Tata guna lahan di lokasi penelitian dibuat menggunakan perangkat lunak ArcMap 10.1. Data yang akan digunakan terlebih dahulu diunduh dari Google Earth. Data tersebut berupa peta wilayah penelitian yaitu Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali. Peta wilayah tersebut diambil dari ketinggian 600-700 m pada Google Earth. Wilayah penelitian tergolong besar hingga mencapai 111.78 km 2. Oleh karena itu data peta wilayah yang diperoleh dari Google Earth mencapai lebih dari 500 potong peta. Peta tersebut selanjutnya digabung di perangkat lunak ArcMap 10.1 sehingga menjadi satu kesatuan dan dapat mempermudah proses pembuatan peta tata guna lahan. Peta wilayah yang diperoleh akan dilakukan identifikasi koordinat. Hal ini dilakukan untuk memberi posisi pada peta tersebut berupa koordinat agar sesuai dengan koordinat pada lokasi penelitian. Fungsi ini dilakukan dengan menggunakan menu Georeferencing pada ArcMap 10.1. Koordinat yang digunakan merupakan jenis UTM 50s. Fungsi ini dilakukan pada seluruh data peta wilayah sehingga nantinya apabila peta tersebut ditampilkan pada program ArcMap 10.1 akan saling menyambung sesuai dengan koordinat yang telah diberikan. Kemudian apabila seluruh peta telah diberikan koordinat, maka peta tersebut telah siap untuk didigitasi. Hasil akhir dari kegiatan digitasi tersebut merupakan peta tata guna lahan. Peta yang dibuat adalah untuk tahun 2005 dan 2014. Peta tata guna lahan tersebut dapat dilihat perubahan yang terjadi. Besar luas masing-masing fungsi lahan juga dapat diketahui dari peta tata guna lahan tersebut. Sehingga dapat memudahkan dalam melakukan perhitungan selanjutnya. Berdasarkan kedua peta tersebut nantinya juga dapat dilihat perbandingan antara lahan tidak terbangun dan

8 lahan terbangun serta perubahan yang terjadi diantara keduanya selama rentang waktu 2005 dan 2014. Limpasan permukaan (runoff) menggunakan metode rasional. Metode ini berdasarkan asumsi bahwa hujan mempunyai intensitas yang seragam dan merata di seluruh DAS selama minimal sama dengan waktu konsentrasi (tc). Jika curah hujan dengan intensitas (I) terjadi secara terus menerus, maka laju limpasan langsung bertambah hingga mencapai tc, sedangkan tc tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan kontribusi aliran di muara (outlet). Qp = 0,002778 C I A... (1) Dimana: Qp = laju aliran permukaan (debit) puncak (m 3 /detik) C = koefisien aliran permukaan tergantung pada karakteristik DAS I = intensitas curah hujan (mm/jam) A =luas daerah (ha) Perhitungan limpasan permukaan (runoff) menggunakan metode rasional diawali dengan mengetahui parameter luas daerah (A). Parameter tersebut didapat melalui pembuatan peta tata guna lahan terhadap lokasi penelitian. Selanjutnya adalah mengetahui parameter koefisien aliran (C) dan intensitas hujan (I). Intensitas hujan yang terjadi sangat mempengaruhi besar kecilnya limpasan permukaan yang terjadi. Intensitas hujan berhubungan dengan kapasitas infiltrasi daerah tersebut. Semakin kecil kapasitas infiltrasi yang dimiliki maka semakin besar limpasan permukaan yang terjadi. Intensitas curah hujan merupakan jumlah hujan yang dinyatakan dalam tingginya kapasitas/volume air hujan tiap satuan waktu. Perhitungan intensitas hujan memerlukan data input berupa data curah hujan rata-rata dan data waktu konsentrasi hujan (Yulistiani, 2013). Apabila yang tersedia hanya data curah hujan harian maka intensitas hujan dapat dihitung dengan Persamaan Mononobe. 2 I = R 24 24 [24] 3... (2) t Dimana: I = intensitas hujan (mm/jam) R24 = curah hujan maksimum dalam sehari (mm) t = lamanya hujan (jam) Analisis frekuensi dilakukan untuk mengetahui curah hujan maksimum harian dengan periode ulang tertentu. Tujuan analisis frekuensi berkaitan dengan besaran peristiwa ekstrim dan frekuensi kejadiannya melalui penerapan distribusi kemungkinan (Suripin, 2004). Analisis frekuensi dihitung melalui empat metode distribusi yaitu Distribusi Normal, Distribusi Log Normal, Distribusi Log Person III, dan Distribusi Gumbel. Parameter pendukung yang harus diketahui adalah ratarata hujan, simpangan baku, koefisien variasi dan koefisien kemencengan. Distribusi normal sering disebut juga sebagai Distribusi Gauss. Persamaan yang digunakan adalah persamaan (3).

XT=X+KTS..... (3) Dimana: XT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahun X = Nilai rata-rata hitunga variat KT = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang. S = Deviasi standar nilai variat Metoda Distribusi Log Normal mengasumsikan bahwa jika variable acak Y= log X terdistribusi secara normal, maka X dikatakan mengikuti distribusi log normal. Persamaan yang digunakan dalam distribusi ini adalah persamaan (4). YT= Y + KTS (4) Dimana: YT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahun Y = Nilai rata-rata hitunga variat KT = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang. S = Deviasi standar nilai variat Metoda Distribusi Log Person III memiliki tiga parameter penting yaitu harga rata-rata, simpangan baku, dan koefisien kemencengan. Distribusi Log Person III dihitung dengan mengubah X kedalam bentuk log X. selanjutnya akan dihitung nilai rata-rata hujan dan harga simpangan baku. Persamaan umum yang digunakan untuk menghitung simpangan baku adalah persamaan (5). s = [ n i=1 (log X i log X rata rata ) 2 ] 0.5......(5) n 1 Koefisien kemencengan dihitung menggunakan persamaan (6). G = n i=1 (log X i log X rata rata ) 3....(6) (n 1)(n 2)s 3 Setelah beberapa parameter diatas didapatkan, maka nilai hujan dihitung dengan persamaan (7). log X T = log X rata rata + K. s.....(7) Besaran nilai intensitas hujan didapat dengan menghitung nilai antilog dari persamaan (6). Persamaan yang digunakan untuk menghitung dengan metode distribusi gumbel adalah persamaan (8). 9

10 X Tr = b + 1 a Y Tr....(8) Kemudian, untuk memilih distribusi mana yang akan dipakai, terlebih dahulu dilakukan uji kecocokan terhadap hasil yang diperoleh dari ke empat metode distribusi tersebut. Distribusi yang dipakai adalah distribusi yang memiliki error dan standar deviasi terkecil. Koefisien limpasan merupakan persentase jumlah air hujan yang menjadi limpasan dari keseluruhan air hujan yang diterima di suatu daerah. Semakin kedap suatu permukaan tanah, maka semakin tinggi nilai koefisien limpasannya (Verrina dkk, 2013). Koefisien limpasan sangat dipengaruhi oleh tata guna lahan. Perubahan yang terjadi pada lahan akan menyebabkan berubahnya koefisien limpasan pada lahan tersebut. Berikut merupakan tabel koefisien limpasan untuk metode rasional (Suripin, 2004). Tabel 1 Koefisien limpasan untuk Metode Rasional Tipe Areal Koefisien C Nilai C yang Digunakan Perumahan (residential) : - Single family 0.30-0.50 - Multiunits, detached 0.40-0.60 - Multiunits, attached 0.60-0.75 Residential (suburban) 0.50-0.70 Apartment : 0.50-0.70 Lahan diusahakan pertanian 1 - Datar 0.31-0.36 - Sedang 0.35-0.41 - Curam 0.39-0.44 Hutan 1 - Datar 0.22 0.28 - Sedang 0.31 0.36 - Curam 0.35 0.41 Taman (Penutupan < 50%) 1 - Datar, 2% 0.32 0.37 - Medium 2-7% 0.37-0.43 Lahan Terbangun 0.60 Sawah dan Kebun 0.32 dan 0.34 Hutan 0.36 Ladang 0.43 - Curam > 7% 0.40-0.45 Sumber: ASCE and WPCF (1969) 1 Ven Te Chow; D.R. Maidment; L.W. Mays (1988). Applied Hydrology. Mc Graw Hill, Singapore

11 HASIL DAN PEMBAHASAN Tata Guna Lahan Berdasarkan hasil penelitian, luas Kecamatan Seririt secara total yang didapat berbeda dengan data yang dipublikasikan. Hal ini dapat terjadi karena proses digitasi yang dilakukan tidak berdasarkan peta kecamatan seririt yang dipublikasikan. Proses penelitian menggunakan peta pada Google Earth Pro sehingga sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan luas total yang didapatkan. Namun peta tutupan lahan yang dibuat telah disesuaikan dengan peta administratif Kecamatan Seririt sehingga dapat digunakan untuk penelitian. Peta tutupan lahan di Kecamatn Seririt tahun 2005 dan 2014 secara umum terdiri dari beberapa macam penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang digunakan adalah lahan terbangun, lahan tidak terbangun yang meliputi sawah, kebun, hutan, dan ladang, serta sungai. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan selama kurang lebih tiga bulan, maka hasil dari penelitian tersebut telah dapat diketahui tata guna lahan di Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali. Hasil yang diperoleh berupa peta tutupan lahan di lokasi tersebut. Peta tutupan lahan Kecamatan Seririt dapat dilihat melalui gambar di bawah ini. Gambar 2 Peta tata guna lahan Kecamatan Seririt tahun 2005

12 Nama simbol yang digunakan dalam pembuatan peta tutupan lahan disesuaikan dengan daftar yang tercantum pada SNI 19-6502.4-2000. Pustaka tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan lahan terbangun adalah segala bentuk dan struktur yang berhubungan dengan tempat tinggal dan kegiatan manusia. Sementara yang dimaksud dengan sawah dan kebun adalah tanah yang diusahakan dengan tanaman padi dan tanaman perkebunan. Hutan berdasarkan pustaka tersebut berarti tanah yang tertutup tanaman hutan. Ladang didefinisikan sebagai tanah kosong atau ditanami namun tidak tetap/tidak teratur. Gambar 3 Peta tata guna lahan Kecamatan Seririt tahun 2014 Berdasarkan hasil tersebut telah dapat diketahui pula besar luasan untuk masing-masing penggunaan lahan. Penggunaan atau fungsi lahan di lokasi penelitian pada tahun 2005 memiliki besar luas seperti Tabel 2.

Tabel 2 Data penggunaan lahan di Kecamatan Seririt pada tahun 2005 dan 2014 Deskripsi Lahan 2005 2014 Luas (ha) Luas (ha) Sungai 37.678 41.331 Kebun 783.535 1077.709 Lahan Terbangun 640.182 755.907 Sawah 2147.810 1801.470 Hutan 9368.066 9279.151 Ladang 188.760 210.464 Berdasarkan tabel diatas, maka dapat diketahui bahwa penggunaan lahan di lokasi penelitian masih didominasi oleh hutan. Luas hutan cukup besar karena pada dasarnya hutan lah yang menjadi fungsi awal dari setiap penggunaan lahan. Luas hutan pada tahun 2005 adalah 9368.06 ha. Sedangkan luas hutan pada tahun 2014 adalah sebesar 9279.15 ha. Luas hutan di Kecamatan Seririt selama periode penelitian berkurang sebesar 88.92 ha. Pengurangan luas tersebut telah mengindikasikan perubahan lahan yang terjadi di kawasan tersebut. 13 Luas (ha) 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 Sungai Kebun Lahan Terbangun Tata Guna Lahan Sawah Hutan Ladang 2005 2014 Gambar 4 Luas lahan Kecamatan Seririt tahun 2005 dan 2014 Berdasarkan data yang dapat dilihat dari Tabel 2, luas sawah pada tahun 2014 berkurang seluas 346.34 ha yang menyebabkan bertambahnya atau meningkatnya luas hutan, kebun dan ladang di tahun 2014. Perubahan ini dapat terjadi dan memungkinkan apabila terdapat sawah yang tidak difungsikan lagi atau tidak diairi. Selain itu, sawah juga dapat beralih fungsi menjadi kebun apabila suplai air tidak memadai dan juga menyesuaikan dengan musim tanam. Oleh karena itu dengan kondisi sawah yang tidak difungsikan sebagaimana mestinya, dalam rentang 2005-2014 sangat dimungkinkan sawah tersebut berubah fungsi menjadi kebun. Namun hal sebaliknya terjadi pada fungsi penggunaan lahan sebagai ladang. Berdasarkan data pada tahun 2005, ladang memiliki luas sebesar 188.76 ha dan mengalami peningkatan luas pada tahun 2014 menjadi 210.46 Ha. Telah terjadi peningkatan

14 ladang pada 2014 sebesar 21.70 ha. Peningkatan yang terjadi tentu tidak besar apabila dibandingkan dengan kebun dan pengurangan yang terjadi pada sawah. Peningkatan tersebut pada umumnya didapatkan dari lahan sawah yang tidak difungsikan kembali. Penggunaan lahan pada tahun 2005 dan 2014 dalam bentuk diagram ditampilkan pada gambar berikut. 14000 12000 10000 Luas (ha) 8000 6000 4000 2000 0 Lahan Tidak Terbangun Lahan Terbangun Badan Air Tata Guna Lahan 2005 2014 Gambar 5 Luas lahan Kecamatan Seririt tahun 2005 dan 2014 Deskripsi lahan secara garis besar dibagi kedalam lahan tidak terbangun, lahan terbangun, dan badan air. Lahan tidak terbangun yang dimaksud merupakan hutan, sawah, kebun, dan ladang. Sedangkan lahan terbangun merupakan setiap fungsi lahan pada peta yang telah mengalami pembangunan dan menjadi kedap akan air. Sementara itu badan air yang dimaksud pada Gambar 2 merupakan sungai yang terlihat pada peta. Berdasarkan Gambar 2, lahan terbangun di tahun 2005 dan 2014 telah terjadi peningkatan sebesar 115.72 ha. Hal yang sama juga terjadi pada badan air yang meningkat sebesar 3.65 ha. Peningkatan yang terjadi pada badan air ini dikarenakan visual yang terlihat pada peta. Tahun 2005 tidak banyak terlihat badan air sehingga luas badan air mengalami peningkatan. Namun terjadi defisit atau pengurangan luas pada lahan tidak terbangun antara tahun 2005 dan 2014. Tahun 2005 lahan tidak terbangun memiliki luas 12488.17 ha. Namun pada tahun 2014 nilainya mengalami pengurangan menjadi 12368.79 ha. Hal ini berarti terdapat sekitar 119.37 ha lahan tidak terbangun yang hilang atau beralih fungsinya sebagian besar menjadi lahan terbangun pada tahun 2014. Berdasarkan total luas yang mengalami perubahan tersebut, sebanyak 3.65 ha merupakan sungai atau badan air. Gejala tersebut sudah sejalan dengan prinsip dasar perubahan tata guna lahan yang diyakini apabila semakin bertambahnya tahun, maka perubahan lahan yang terjadi cenderung mendegradasi atau merubah fungsi dari lahan tidak terbangun. Oleh karena itu, sudah sepatutnya terjadi pengurangan luas lahan tidak terbangun pada suatu daerah. Namun hal tersebut dapat berlaku sebaliknya hanya apabila daerah tersebut terjadi kondisi khusus seperti akan dijadikan lahan pertanian atau yang lain sebagainya. Sehingga apabila tidak terdapat hal-hal khusus tersebut, maka perubahan yang terjadi cenderung meningkatkan lahan terbangun. Lahan terbangun pada tahun 2005 mencakup 4.8% dari luas total Kecamatan Seririt. Sementara pada tahun 2014 terjadi peningkatan luas lahan terbangun menjadi 5.7%

dari total luas lokasi penelitian. Berdasarkan peningkatan luas lahan terbangun yang terjadi, maka diiringi juga dengan penurunan luas lahan tidak terbangun sebesar 0.9% dari 94.8% tahun 2005 menjadi 93.9% tahun 2014 dari luas total Kecamatan Seririt. Sisanya merupakan luas badan air yang terdapat sangat kecil sehingga dapat diabaikan dalam perbandingan persentase tersebut. Persentase penggunaan lahan di Kecamatan Seririt dapat dilihat pada Gambar 6. 15 4.86% 0.29% 2005 5.74% 0.31% 2014 94.85% 93.94 % Lahan Tidak Terbangun Lahan Terbangun Badan Air Gambar 6 Persentase lahan terbangun Kecamatan Seririt Tahun 2005 dan 2014 Alih Fungsi Lahan Hutan pada umumnya mendominasi seluruh peta tutupan lahan yang ada tak terkecuali di Kecamatan Seririt. Akan tetapi hal serupa diyakini tidak berlaku pada daerah perkotaan. Namun apabila melihat peta tutupan lahan Kecamatan Seririt yang telah dibuat, maka akan terdapat hamparan hutan yang luas. Peta tata guna lahan Kecamatan seririt di tahun 2005 di dominasi oleh hutan yang ditandai dengan warna hijau. Berdasarkan peta tersebut dapat dilihat bahwa kawasan yang tidak terjamah umumnya berada lebih ke selatan. Hal ini berbeda dengan kawasan utara dari lokasi penelitian yang cenderung lebih maju dan memiliki fungsi tata guna lahan yang lebih beragam. Sawah banyak terdapat di utara yang ditandai dengan warna hijau keabu-abuan. Warna merah pada peta menunjukkan salah satu kawasan lahan terbangun yaitu rumah. Berdasarkan peta tersebut dapat dilihat bahwa kawasan utara Kecamatan Seririt lebih memiliki kepadatan penduduk yang tinggi jika dibandingkan selatan. Bahkan semakin selatan maka semakin berkurang kepadatan penduduknya yang ditandai dengan semakin tidak adanya rumah atau kawasan terbangun di daerah tersebut. Hal serupa juga terjadi pada peta tahun 2014. Berdasarkan peta tersebut dapat terlihat kawasan sawah, hutan, dan rumah yang cenderung sama dengan peta tahun 2005. Namun terdapat beberapa perubahan di kawasan utara dimana terjadi pengurangan jumlah sawah dan juga ladang yang berubah menadi lahan terbangun. Selain itu juga dapat terjadi beberapa perubahan lainnya seperti yang digambarkan pada Gambar 7.

16 (a) (b) Gambar 7 (a) peta tata guna lahan Seririt tahun 2005; (b) peta tata guna lahan Seririt tahun 2014 Gambar 7 menunjukkan adanya alih fungsi lahan yang terjadi di Kecamatan Seririt dalam rentang waktu antara tahun 2005 dan 2014. Sebagaimana terlihat pada Gambar 7a, di dalam area yang telah ditandai terdapat fungsi lahan yang tidak beragam dan hanya didominasi oleh sawah. Namun apabila dilihat pada gambar 7b yang merupakan peta tahun 2014, di kawasan yang ditandai tersebut hanya didominasi oleh sawah tersebut pada tahun 2014 telah beralih fungsi menjadi kebun dan bangunan. Hal ini mengindikasikan telah terjadinya perubahan fungsi sawah menjadi bangunan di tahun 2014. Perubahan tersebut terjadi di wilayah utara yang berbatasan langsung dengan pantai. Gambar 8 Peta perubahan lahan Kecamatan Seririt tahun 2005 dan 2014

Perubahan fungsi lahan yang terjadi di Kecamatan Seririt secara umum digambarkan melalui peta pada Gambar 8. Berdasarkan peta tersebut terlihat warna cokelat yang mengindikasikan telah terjadi perubahan fungsi lahan. Penggunaan lahan yang berwarna cokelat telah berbeda jika dibandingkan dengan tahun 2014. Apabila dijumlahkan, maka luas lahan yang mengalami perubahan fungsi adalah sebesar 554.2 ha. Nilai tersebut mencapai 4.2 % jika dibandingkan dengan luas total Kecamatan Seririt. Perubahan fungsi lahan yang terjadi secara lebih rinci akan dideskripsikan lebih jelas pada Gambar 9 dan Gambar 10. Berdasarkan peta pada Gambar 8, bagian utara Kecamatan Seririt telah terjadi perubahan lahan yang relatif banyak. Hal ini dapat dilihat melalui warna cokelat yang banyak di kawasan tersebut. Perubahan yang terjadi bermacam-macam baik dari lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun ataupun lahan tidak terbangun menjadi lahan tidak terbangun kembali. Kawasan utara dari lokasi penelitian merupakan kawasan yang berdekatan dengan pantai sehingga sangat dimungkinkan terjadinya alih fungsi lahan. Hal ini dikarenakan aktifitas penduduk yang cenderung ramai dan lebih banyak pada daerah yang mendekati pantai sehingga mendukung pergerakan dan pertumbuhan ekonomi dikawasan tersebut. Hal ini dapat diasumsikan sebagai pemicu banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi di kawasan tersebut. 17 Gambar 9 Peta perubahan lahan tidak terbangun Kecamatan Seririt tahun 2005 dan 2014

18 Gambar 9 menunjukkan perubahan yang terjadi antara lahan tidak terbangun menjadi lahan tidak terbangun kembali pada tahun 2014. Indikasi perubahan yang terjadi yaitu hutan menjadi sawah, sawah menjadi kebun, ladang menjadi sawah, ladang menjadi kebun, sawah menjadi ladang, dan kebun menjadi sawah. Terdapat sekitar 17.6 ha lahan hutan yang menjadi sawah pada 2014. Nilai ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan perubahan lainnya. Sementara itu nilai perubahan yang paling kecil yaitu 4.08 ha dimana lahan seluas itu dikonversikan menjadi sawah dari fungsi awalnya sebagai ladang. Kebun mengalami peningkatan luas pada tahun 2014 sebesar 26.28 ha dimana nilai tersebut berasal dari luas ladang pada tahun 2005. Tahun 2014 juga terdapat sawah yang diabaikan atau tidak dipergunakan kembali. Besar luas sawah yang tidak digunakan kembali dan menjadi lading adalah 45.9 ha. Sementara itu, lahan kebun seluas 3.9 ha dikonversikan menjadi sawah pada tahun 2014. Selain itu, terdapat sekitar 271.08 ha sawah yang difungsikan menjadi kebun pada tahun 2014. Apabila dilihat secara umum, maka terdapat 368.94 ha lahan tidak terbangun yang beralih fungsi menjadi kebun, sawah, hutan, dan ladang pada tahun 2014 atau sekitar 2.8 % dari luas total Kecamatan Seririt. Gambar 10 Peta lahan terbangun baru di Kecamatan Seririt tahun 2014

Perubahan antara lahan tidak terbangun seperti sawah, kebun, hutan, dan ladang menjadi lahan terbangun juga terjadi di lokasi penelitian. Gambar 10 menampilkan peta perubahan tata guna lahan kecamatan Seririt tahun 2005 dan 2014. Peta tersebut menunjukkan perubahan yang terjadi pada lahan tidak terbangun di tahun 2005 menjadi lahan terbangun pada tahun 2014. Pembuatan peta tersebut bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara visual tentang perubahan lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun. Berdasarkan peta tersebut, lahan tidak terbangun yang berubah menjadi lahan terbangun cenderung berada pada bagian tengah ke utara Kecamatan Seririt. Perubahan yang terjadi ditandai dengan warna merah pada peta. Sementara lahan tidak terbangun yang tidak mengalami perubahan menjadi lahan terbangun ditandai dengan warna kuning. Terdapat sekitar 115.8 ha lahan yang berubah fungsi. Perubahan yang terjadi didominasi oleh lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun. Namun terdapat perubahan sebaliknya namun cukup jarang terjadi. Oleh karena itu terdapat sebesar 0.8% lahan tidak terbangun yang terkonversi menjadi lahan terbangun ataupun sebaliknya di Kecamatan Seririt. Intensitas Hujan (I) Intensitas hujan dihitung dengan menggunakan persamaan mononobe. Namun sebelumnya terlebih dahulu dihitung analisis frekuensi terhadap curah hujan harian maksimum yang terjadi pada lokasi penelitian. Curah hujan harian maksimum di stasiun Umadesa adalah sebagai berikut. Tabel 3 Data curah hujan harian maksimum di Kecamatan Seririt Tahun CH Maks (mm/hari) 2000 191.3 2001 64.3 2002 219 2003 145.8 2004 215 2005 180 2006 225 2007 175 2009 98 2010 115 2011 96 Berdasarkan data curah hujan harian maksimum tersebut, maka dilakukan analisis frekuensi dengan perhitungan yang menggunakan metode. Metode yang pertama adalah metode normal. Nilai rata-rata hujan berdasarkan perhitungan adalah 156.76 mm/hari dengan standar deviasi sebesar 56.16. Sehingga hasil perhitungan menggunakan distribusi normal adalah sebagai berikut. 19

20 Tabel 4 Hasil perhitungan distribusi normal Periode Ulang Kt Normal (mm/hari) 2 0 156.764 5 0.84 203.943 10 1.28 228.655 25 1.57 244.943 50 2.05 271.903 100 2.33 287.629 Nilai Kt pada tabel di atas merupakan nilai variable reduksi Gauss (Suripin, 2004). Sehingga didapatkan nilai pada tabel dengan mengacu pada periode ulang yang digunakan. Berdasarkan distribusi ini, semakin tinggi periode ulang yang dihitung, makan nilai curah hujan maksimum yang terjadi juga semakin tinggi. Hal ini berarti telah terjadi hubungan yang berbanding lurus antara periode ulang dan nilai curah hujan maksimum. Selanjutnya perhitungan terhadap distribusi Log Normal. Curah hujan maksimum yang tersedia, dikonversi terlebih dahulu kepada bentuk log. Sehingga hasil standar deviasi yang didapat adalah 0.179 dengan ratarata sebesar 2.16. Hasil perhitungan selanjutnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5 Hasil perhitungan distribusi Log Normal Periode Ulang Kt Log Normal Normal (mm/hari) 2 0 2.165 146.103 5 0.84 2.316 206.889 10 1.28 2.395 248.242 25 1.57 2.447 279.919 50 2.05 2.533 341.478 100 2.33 2.584 383.462 Berdasarkan tabel di atas, nilai curah hujan maksimum yang didapat berbeda dengan distribusi sebelumnya. Curah hujan tertinggi didapat pada periode ulang 100 tahun dengan nilai 383.46 mm. kemudian hasil perhitungan distribusi Log Person III ditampilkan pada tabel berikut. Nilai standar deviasi yang didapat sebesar 0.057 dan koefisien kemencengan -2.57 dengan rata-rata log sebesar 2.16. Tabel 6 Hasil perhitungan distribusi Log Person III Periode Ulang Nilai K Log Xt Xt (mm/hari) 2 0.366 2.186 153.314 5 0.699 2.205 160.19 10 0.753 2.208 161.316 25 0.771 2.209 161.704 50 0.775 2.209 161.797 100 0.776 2.209 161.821

21 Nilai K untuk distribusi Log person III didapat berdasarkan tabel Nilai K untuk distribusi Log Person III (Suripin, 2004). Nilai curah hujan yang didapat berdasarkan distribusi Log Person III lebih kecil jika dibandingkan dengan dua distribusi sebelumnya. Perbedaan siginifikan terdapat pada periode ulang 2 dan 5 tahun dengan nilai 153.31 mm dan 160.19 mm. Namun setelah 5 tahun, curah hujan cenderung naik tidak signifikan. Distribusi terakhir merupakan distribusi Gumbel. Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata yang didapat adalah 156.76 mm dan standar deviasi 56.16. Selanjutnya hasil perhitungan nilai a dan b adalah 0.017 dan 127.47. Sehingga didapatkan nilai Sn sebesar 0.95 dan Yn sebesar 0.49. Hasil perhitungan distribusi Gumbel selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 7 Hasil perhitungan distribusi Gumbel Periode Ulang Tr XTr (mm/hari) 2 0.367 149.169 5 1.500 216.218 10 2.251 260.613 25 3.199 316.702 50 3.903 358.311 100 4.601 399.619 Apabila hasil dari keempat distribusi tersebut dirangkum, maka dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 8 Hasil perhitungan analisis frekuensi Periode Ulang (Tahun) Normal (mm/hari) Log Normal (mm/hari) Log Person 3 (mm/hari) Gumbel (mm/hari) 2 156.764 146.103 153.314 149.169 5 203.943 206.889 160.190 216.218 10 228.655 248.242 161.316 260.613 25 244.943 279.919 161.704 316.702 50 271.903 341.478 161.797 358.311 100 287.629 383.462 161.821 399.619 Berdasarkan hasil pada tabel di atas, untuk menentukan distribusi mana yang akan dipakai, maka harus dilakukan uji kecocokan. Uji kecocokan ini bertujuan untuk mencari nilai persentase error rata-rata dan standar deviasi. Jenis distribusi yang dipakai merupakan yang memiliki error dan standar deviasi yang kecil. Sehingga berdasarkan hasil pada tabel di atas digunakan distribui Log person III. Hal ini dikarenakan distribusi ini memiliki error 1.36% dan standar deviasi 3.34 dan merupakan yang terkecil dibandingkan distribusi lainnya. Hasil dari uji kecocokan dapat dilihat pada tabel 9.

22 Tabel 9 Hasil perhitungan uji kecocokan Jenis Distribusi Rata-rata % Error Standar deviasi Normal 19.418 47.566 Log Normal 35.522 87.012 Log Person 3 1.365 3.344 Gumbel 37.981 93.035 Limpasan Permukaan Metode yang digunakan untuk menghitung limpasan permukaan di lokasi penelitian dalah metode Rasional. Terdapat tiga parameter yang harus diketahui untuk menghitung limpasan permukaan. Tiga parameter yang dibutuhkan adalah koefisien aliran permukaan (C), Intensitas hujan (I), dan luas area (A). Koefisien aliran permukaan didapatkan melalui peta penggunaan lahan. Berdasarkan peta tata guna lahan yang dibuat, maka dapat ditentukan nilai C sesuai fungsi lahan tersebut. Koefisien aliran permukaan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 Koefisien aliran limpasan permukaan yang digunakan Tahun 2005

23 Tabel 10 Koefisien aliran limpasan permukaan yang digunakan Tipe Areal Koefisien C Lahan Terbangun 0.6 Kebun 0.34 Sawah 0.32 Ladang 0.43 Hutan 0.36 Berdasarkan Tabel 10, maka nilai koefisien aliran terbagi ke dalam lima bagian yaitu Hutan, Sawah, Ladang, Lahan Terbangun, dan Kebun. Nilai koefisien aliran dapat dilihat melalui peta pada Gambar 11 dan 12. Gambar 11 menunjukkan peta sebaran nilai koefisien aliran limpasan permukaan di Kecamatan Seririt tahun 2005. Sementara Gambar 12 menggambarkan nilai koefisien C pada tahun 2014. Gambar 12 Peta nilai koefisien limpasan Kecamatan Seririt tahun 2014

24 Selanjutnya parameter yang harus diketahui adalah Intensitas Hujan (I). Nilai I dihitung menggunakan persamaan mononobe. Sehingga terlebih dahulu harus diketahui variable t atau lamanya hujan. Berdasarkan pertimbangan, lamanya hujan yang terjadi di lokasi penelitian berkisar antara 0.5 hingga 1 jam. Sehingga nilai t yang digunakan adalah 45 menit. Nilai curah hujan maksimum harian (R24) adalah berdasarkan distribusi Log Person III dengan periode ulang 5 tahun yaitu 160.19 mm. Hasil perhitungan intensitas hujan (I) adalah 62.27 mm/jam. Nilai intensitas hujan yang telah dihitung berdasarkan berbagai periode ulang, dapat dilihat melalui grafik Intensitas Durasi dan Frekuensi (IDF) di bawah ini. Intensitas Hujan (mm/jam) 100 80 60 40 20 0 0 0.5 1 1.5 2 2.5 Lama Hujan (Jam) 2 Tahun 5 Tahun 100 Tahun Gambar 13 Kurva IDF pada Kecamatan Seririt Parameter selanjutnya yang digunakan adalah nilai luas area (A). Luas area telah didapatkan dari peta tata guna lahan menggunakan ArcMap 10.1. Sehingga hasil perhitungan limpasan permukaan adalah sebagai berikut. Tabel 11 Hasil perhitungan Laju aliran permukaan puncak (m 3 /detik) Tipe Areal Q (m 3 /dt) 2005 2014 Lahan Terbangun 71.781 84.757 Kebun 49.784 68.475 Sawah 128.440 107.729 Ladang 15.168 16.912 Hutan 630.240 624.258 Total 895.413 902.131 Tabel di atas merupakan hasil perhitungan limpasan permukaan di Kecamatan Seririt pada tahun 2005 dan 2014. Terjadi peningkatan laju aliran pada 2014 jika dibandingkan secara total dengan tahun 2005. Laju aliran puncak pada tahun 2014 adalah 902.13 m 3 /dt sedangkan pada tahun 2005 adalah sebesar 895.41 m 3 /dt. Hal ini berarti dalam 10 tahun telah terjadi peningkatan laju aliran puncak sebesar 6.72 m 3 /dt di Kecamatan Seririt. Perbandingan laju aliran puncak pada tahun 2005 dan 2014 secara lebih rinci digambarkan pada gambar berikut.

25 Q (m 3 /detik) 700 600 500 400 300 200 100 0 Lahan Terbangun Kebun Sawah Ladang Hutan Tipe Areal Gambar 14 Laju aliran puncak pada tahun 2005 dan 2014 Berdasarkan gambar di atas, peningkatan laju aliran puncak antara tahun 2005 dan 2014 terjadi pada lahan terbangun, kebun, dan ladang. Sementara sawah dan hutan mengalami penurunan di tahun 2014. Lahan terbangun mengalami peningkatan sebesar 12.97 m 3 /dt dari sebesar 71.78 m 3 /dt di tahun 2005. Laju aliran puncak terhadap jenis penggunaan lahan hutan menurun menjadi 624.26 m 3 /dt pada tahun 2014 dari sebesar 630.24 m 3 /dt pada tahun 2005. Peningkatan terjadi sebesar 1.74 m 3 /dt pada fungsi ladang yang sebelumnya pada tahun 2005 sebesar 8.65 m 3 /dt. Peningkatan juga terjadi pada kebun dengan nilai 68.47 m 3 /dt pada tahun 2014 sedangkan pada tahun 2005 sebesar 49.78 m 3 /dt. Namun terjadi penurunan laju aliran puncak bagi sawah dengan besar nilai penurunan yang terjadi adalah 20.71 m 3 /dt. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, secara total laju aliran puncak mengalami peningkatan pada tahun 2014. Hal ini dikarenakan telah terjadi perubahan fungsi lahan dalam rentang waktu 2005 dan 2014. Perubahan fungsi lahan yang terjadi telah dijelaskan sebelumnya. SIMPULAN DAN SARAN 2005 2014 Simpulan Penelitian yang dilakukan telah memberikan berbagai hasil kepada penulis. Sehingga hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut. 1. Bahwa berdasarkan Peta Tata Guna Lahan Kecamatan Seririt tahun 2005 dan 2014, telah terjadi perubahan tata guna lahan di kawasan tersebut. Perubahan yang terjadi meliputi berbagai fungsi lahan yang mengalami peningkatan atau penurunan. Hal ini dapat dilihat pada lahan tidak terbangun yang mengalami perubahan fungsi sebesar 119.378 ha. Hilangnya 119.378 ha luas lahan tidak terbangun diikuti dengan bertambahnya 115.725 ha lahan terbangun pada tahun 2014. 2. Bahwa berdasarkan hasil analisis data hujan yang telah dilakukan, telah didapatkan hasil curah hujan maksimum harian yang digunakan menurut Distribusi Log Person III dengan periode ulang 5 tahun. Nilai curah hujan maksimum harian dengan periode ulang 5 tahun adalah 160.19 mm. berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan Mononobe,

26 maka intensitas hujan yang didapat untuk kawasan tersebut adalah 62.27 mm/jam 3. Bahwa berdasarkan perhitungan limpasan permukaan dengan menggunakan metode Rasional, maka disimpulkan bahwa telah terjadi peningkatan laju aliran permukaan puncak. Limpasan permukaan pada tahun 2005 adalah 895.413 m 3 /dt dan meningkat 6.718 m 3 /dt menjadi 902.131 m 3 /dt pada tahun 2014. Peningkatan yang terjadi dikarenakan fungsi lahan tidak terbangun yang semakin berkurang dan semakin bertambahnya lahan terbangun. Saran Setelah penelitian dilakukan, penulis menyarankan adanya tindakan lanjutan dari penelitian ini. Tindakan tersebut meliputi penelitian yang menindak lanjuti hasil seperti mengenai drainase kawasan Seririt. DAFTAR PUSTAKA ASCE and [WPCF] Water Pollution Control Federation. 1960. Design and Construction of Sanitary and Storm Sewers. ASCE. Reston. VA. Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Bali Dalam Angka. Provinsi Bali. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Bali Dalam Angka. Provinsi Bali. Chow VT, Maidment DR, Mays LW. 1988. Applied Hydrology. Mc Graw Hill, Singapore. Danoedoro, P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Penerbit Andi. Yogyakarta. Halim, F. 2014. Pengaruh Hubungan Tata Guna Lahan Dengan Debit Banjir Pada Daerah Aliran Sungai Malalayang. Jurnal Ilmiah Media Engineering. 4(1):45-54. Jurusan Teknik Sipil. Universitas Sam Ratulangi. Manado. Haridjaja O, Murtilaksono K, Sudarmo, Rahman LM. 1991. Hidrologi Pertanian. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Junaedi, A. 2008. Analisis Pola Perubahan Pemanfaatan Ruang dan Implikasinya Terhadap Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayan Kabupaten Sumedang. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prahasta, E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika. Bandung. Putri, R. 2008. Konversi Lahan dan Dampak Yang Ditimbulkan Terhadap Implikasi Tata Guna Lahan Pada Masyarakat Perkotaan. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahim, SE. 2000. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Bumi Aksara. Jakarta. Santoso, E. 2011. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Potensi Terjadinya Lahan Kritis di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sudarto. 2009. Analisis Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Peningkatan Jumlah Aliran Permukaan. Ilmu Lingkungan. [Tesis]. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Penerbit Andi, Yogyakarta. Verrina, GP., Anugrah, D., Sarino. 2013. Analisa Runoff pada Sub DAS Lematang Hulu. Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan. 1(1). Universitas Sriwijaya. Palembang. Wahyunto SH, Agus F, Watung RL. 2004. Environmental Consequences of Land Use Changes in Indonesia. [Jurnal]. Soil Research Institute. Bogor. Winoto, J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implementasinya. Makalah Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. Kerjasama Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. (Institut Pertanian Bogor). Jakarta. Yulistiani. 2013. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Pelayanan Drainase di Kawasan Sekitar Kampus Universitas Diponegoro Tembalang. Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro. Semarang. 27

28 RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan putra dari pasangan Bapak M. Yunus dan Ibu Safrida. Terlahir dengan nama lengkap Muhammad Subki di Langsa, Aceh pada tanggal 3 Agustus 1993. Penulis menamatkan tingkat sekolah dasar pada SD BTN Seuriget di tahun 2005 dan lulus SMP Negri 1 Kota Langsa tahun 2008. Sekolah menengah atas diselesaikan tahun 2011 pada SMA Negri 1 Kota Langsa dan selanjutnya diterima di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan di tahun yang sama. Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan (HIMATESIL) IPB. Selain itu penulis juga aktif sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) dari tahun 2011 hingga 2015. Tahun 2012 hingga 2013 penulis aktif sebagai pengurus IMTR dan terpilih sebagai dewan pengawas pada tahun 2014.