BAB 1 PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Visi Pembangunan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI Tahun 2010-2014 adalah masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Salah satu misinya adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat termasuk swasta dan masyarakat madani (Depkes RI, 2010). Salah satu upaya dalam pemberdayaan masyarakat adalah dengan desa siaga. Desa siaga telah dikembangkan sejak tahun 2006 dengan keputusan Menteri Kesehatan No 564/Menkes/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pengembangan Desa Siaga. Tujuan desa siaga adalah memandirikan masyarakat, memampukan dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan (Kartasasmita, 1997). Tujuan pemberdayaan masyarakat ini adalah untuk meningkatkan kompetensi dan kesadaran individu/masyarakat terhadap masalah kesehatan sehingga secara mandiri ia dapat memperbaiki kesehatannya (Laverack, 2006). Sebuah studi kasus di Philipina juga menunjukkan bahwa program kesehatan dapat berhasil dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat (Snetro-plewman, 2007). Hasil penelitian di Estonia salah satunya merekomendasikan untuk meningkatkan pemberdayaan/aktifasi masyarakat dalam program promosi kesehatan (Kasmel & Tanggaard, 2011). Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang bersifat partisipatif sangat diperlukan terutama dalam proses-proses pengambilan keputusan (Fitriani, 2011). Partisipasi masyarakat merupakan ujung tombak dalam proses deinstitusionalisasi masalah kesehatan jiwa (Mowat, 2006). Kesehatan jiwa sebagai bagian integral dari kesehatan merupakan perasaan sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Depkes RI, 2002). Berbagai transformasi dan transisi berbagai bidang kehidupan mengakibatkan perubahan gaya hidup, pola perilaku, dan tata nilai 1
kehidupan. Dalam bidang kesehatan terjadi transisi epidemiologik di masyarakat dengan bergesernya kelompok penyakit menular ke kelompok penyakit tidak menular termasuk berbagai jenis gangguan akibat perilaku manusia dan gangguan jiwa (Depkes RI, 2006). Penyebab gangguan jiwa biasanya bukan karena faktor tunggal tetapi bisa dari badan (somatogenik), lingkungan sosial (sosiogenik), dari psike (psikogenik), maupun kultural (Maramis, 2009). Gejala gangguan jiwa meliputi gangguan penampilan dan perilaku, gangguan bicara dan bahasa, gangguan proses berpikir, sensorium dan fungsi kognitif, gangguan emosi/perasaan, gangguan persepsi, gangguan psikomotor, gangguan kemauan, gangguan kepribadian, dan gangguan pola hidup (Maramis, 2009). Meskipun gangguan jiwa tidak langsung menimbulkan kematian bahkan karena keparahannya, tetapi masalah tersebut akan menimbulkan penderitaan yang berat dan mendalam bagi individu, keluarga, dan masyarakat (Townsend, 2005). Menurut The World Bank, Disability Adjusted Life Years (DALYs) atau hari-hari produktif yang hilang, gangguan jiwa menyebabkan beban di seluruh dunia sebesar 8,1% dari beban penyakit global. Angka ini lebih besar dari TBC sebesar 7,2%, kanker 5,8%, dan penyakit jantung 4,4% (WHO, 1993). Di Indonesia, berdasarkan survey kesehatan rumah tangga (SKMRT) 1995 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, prevalensi gangguan jiwa gangguan mental emosional usia > 15 tahun adalah 140/1000 anggota rumah tangga, gangguan mental emosional usia 5-14 tahun adalah 104/1000 anggota rumah tangga. Prevalensi diatas 100/1000 anggota rumah tangga dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian. Sedangkan menurut riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 (Anonim, 2009) angka nasional gangguan jiwa mental emosional sebesar 11,6% (sekitar 19 juta jiwa) dan gangguan jiwa berat 0,64% (sekitar 1 juta jiwa). Berdasarkan perhitungan utilisasi layanan kesehatan jiwa di tingkat primer, sekunder, dan tersier terdapat kesenjangan pengobatan sebesar sebesar 90%. Data ini berarti bahwa hanya 10% yang membutuhkan layanan jiwa terlayani di fasilitas pelayanan kesehatan (Anonim, 2009). Untuk itulah pelayanan berbasis 2
masyarakat sangat diperlukan untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan jiwa. Sejak tahun 2000, paradigma pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia mengalami perubahan dari kesehatan jiwa berbasis rujukan (institusional rumah sakit) menuju kesehatan jiwa berbasis komunitas di pelayanan primer. Menurut (Anthony, 1993) dalam artikel yang berjudul Recovery from Mental Illness : the Guiding Vision of the mental helath Service System inthe 1990s menyebutkan bahwa konsep pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas ini akan dapat mengidentifikasi komponen-komponen penting yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam memberikan dukungan dan pelayanan yang adekuat kepada individu yang mengalami masalah kesehatan jiwa. Artikel ini dilatarbelakangi oleh konsep deinstitusionalisasi pelayanan kesehatan jiwa dimana konsep berbasis komunitas merupakan sebuah perubahan yang radikal tentang bagaimana sistem pelayanan kesehatan jiwa lebih cenderung kepada pemenuhan akan keinginan dan kebutuhan pasien yang komplek, meliputi tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan dan kebutuhan sosial. Pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan primer menghasilkan perbaikan gejala, peningkatan fungsi, peningkatan kualitas hidup, dan adanya pengurangan pembiayaan untuk perawatan sebesar 12%-39% responden di distrik di India dan Pakistan (Chisholm et al, 2000). Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelayanan kesehatan jiwa, diantaranya adalah adanya stigma tentang gangguan jiwa, kurangnya informasi yang cukup tentang masalah gangguan jiwa, dan terbatasnya akses pelayanan (Mohr, 2006). Salah satu implementasi untuk mendekatkan akses informasi dan pelayanan adalah dengan desa siaga. Dengan latar belakang negara yang hampir sama, sebuah penelitian (Cohen et al, 2011) di Nigeria diperoleh hasil yang mirip dengan kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia, yaitu tidak mudahnya akses ke sarana pelayanan kesehatan antara lain karena kondisi geografis, jarak, dan terbatasnya tenaga kesehatan terutama psikiater dan perawat jiwa yang yang dapat memberikan layanan untuk meningkatkan cakupan. Penelitian di 5 negara di Eropa (Acta Psychiatrica, 2004), diperoleh hasil bahwa hanya 6,4% yang melakukan konsultasi di sarana pelayanan kesehatan, hal ini juga karena 3
keterbatasan akses. Sedang penelitian di Amerika (Goodwin, 2002) diperoleh hasil bahwa pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh faktor kepribadian, dimana faktor kepribadian ini mempengaruhi penerimaan dan pemilihan pengobatan. Dalam kesehatan mental, pemberdayaan merupakan hubungan yang jelas antara fungsi/misi self help program dengan profesional atau sarana pelayanan kesehatan mental (Rogers et al, 1997). Integrasi pelayanan kesehatan jiwa di sarana pelayanan kesehatan dasar dengan kapasitasi perawat kesehatan jiwa akan menjadi ujung tombak peningkatan kemandirian masyarakat dalam mengelola masalah (Laporta, 2011). Berdasarkan informasi yang diperoleh di Bidang Pelayanan Kesehatan (Yankes) Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DIY pada tanggal 13 Juni 2012 diperoleh data bahwa saat ini di Provinsi DIY, di setiap kabupaten sudah memiliki DSSJ kecuali kota. Keberadaan DSSJ di setiap kabupaten ini diharapkan mampu menjadi salah satu media terhadap pendekatan akses pelayanan kesehatan jiwa melalui integrasi pelayanan di tingkat dasar. Dalam rencana strategik Rumah Sakit Grhasia (RSG) tahun 2008, selain menyebutkan visi dan misi rumah sakit, juga terdapat tambahan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) rumah sakit berupa pemberdayaan mitra kerja. Salah satu mitra kerja rumah sakit adalah puskesmas. Program desa siaga sehat jiwa (DSSJ) yang dilaksanakan oleh RSG Provinsi DIY merupakan bentuk implementasi terhadap pemberdayaan puskesmas sebagai mitra kerja rumah sakit dalam penatalaksanaan kesehatan jiwa di masyarakat. Karena bagaiamanapun juga harus tetap ada kerjasama antara rumah sakit dengan puskesmas dalam pelayanan karena masingmasing tidak dapat berdiri sendiri (Thornicroft & Tansella 2004). Konsep implementasi pelayanan kesehatan dasar diutamakan pelayanan promotif dan preventif dengan tidak mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif (Depkes RI, 2006). Dalam implementasinya, DSSJ ini lebih menerapkan peran perawat dalam memberikan pelayanana kepada pasien di masyarakat dengan tidak mengesampingkan upaya kolaborasi terhadap temuan di lapangan yang bukan kompetensi perawat. Kemandirian pasien dan keluarganya 4
merupakan tujuan dari konsep kesehatan jiwa berbasis komunitas ini (WHO, 2003). Sebagai program, implementasi DSSJ ini memerlukan komitmen yang kuat dari pelaksananya, baik perencana program maupun pelaksana teknis termasuk didalamnya adalah partisipasi semua komponen masyarakat. Selain itu juga menjadi kewajiban pembuat program untuk mengevaluasi program yang telah diterapkan. Evaluasi selain sebagai upaya kontrol, juga sebagai upaya menjaga kualitas program itu sendiri (Winarno, 2005). Penelitian yang dilakukan tentang evaluasi program desa siaga diperoleh hasil bahwa faktor input dan karakteristik masyarkat berpengaruh terhadap desa siaga (Virawati, 2008). Penelitian di Aceh tentang program kesehatan jiwa di puskesmas diperoleh hasil bahwa untuk dapat melaksanakan kegiatan tersebut diperlukan SDM yang terampil dan kompeten di bidangnya yang dapat dilakukan dengan pelatihan-pelatihan, kader yang terlatih dan mencukupi, serta kecukupan kebutuhan farmasi (Islami, 2008). Di DIY, Puskesmas Galur II, pada tahun 2009 dijadikan sebagai program pertama pembentukan DSSJ oleh RSJ Grhasia DIY. Jumlah penduduk wilayah kerja Puskesmas Galur II sampai dengan pertengahan 2011 adalah 10869 jiwa (Profil Puskesmas, 2011). Dengan jumlah penduduk tersebut diperkirakan di wilayah kerja Puskesmas Galur II terdapat kurang lebih 1024 orang mengalami gangguan mental emosional dan sekitar 40 orang mengalami gangguan jiwa berat. Jumlah kader kesehatan jiwa yang sudah dilatih sebesar 26 orang dan tenaga paramedis terlatih sebanyak 6 orang (1 orang dokter, 4 orang perawat, 1 orang bidan). Evaluasi yang sudah dilakukan oleh RSG berupa cakupan pelaksanaan kegiatan berdasarkan beberapa kriteria keberhasilan DSSJ yang antara lain adalah jumlah deteksi dini kasus gangguan jiwa, jumlah kunjungan rumah, dan jumlah rujukan. Evaluasi secara komprehensif, berdasarkan wawancara dengan ketua pelaksana teknis kegiatan belum pernah dilakukan terutama tentang keberlangsungan program. Dibawah ini tabel cakupan kegiatan Puskesmas Galur II berdasarkan kriteria DSSJ. 5
Tabel 1. Cakupan Kegiatan berdasarkan Kriteria Keberhasilan DSSJ CAKUPAN KASUS 2008 2009 2010 2011 2012 Gangguan jiwa berat 63 128 151 161 162 Akhir 2012 pasien meninggal 1 (GMO) Masalah psikososial 261 384 371 341 502 Deteksi dini 65 23 10 2 Kunjungan rumah 6 75 109 161 92 Rujukan 4 47 66 23 16 PENYULUHAN KESEHATAN JIWA/PENGGERAKAN MASYARAKAT Masyarakat sehat 8 12 2 12 12 Masyarakat beresiko 8 12 12 24 18 Gangguan jiwa 2 4 8 8 6 Sumber : Pencatatan dan Pelaporan Puskesmas Galur II Rumah Sakit Grhasia sebagai perencana program DSSJ, pada akhir tahun 2009 telah menyerahkan keberlangsungan program ini kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo dan Puskesmas Galur II sebagai pelaksana teknis serta pemerintah daerah setempat dalam hal ini adalah kecamatan Galur dan Kelurahan Banaran. DSSJ ini diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi pasien dan keluarganya, tetapi juga masyarakat sehat di wilayah kerja Puskesmas Galur II. Berangkat dari berbagai penjelasan diatas dan mengingat bahwa sebuah evaluasi program kesehatan seharusnya dilakukan tidak hanya dari keluaran, tetapi juga masukan dan proses (Depkes RI, 2005) penulis tertarik untuk melakukan Evaluasi Program Desa Siaga Sehat Jiwa di Puskesmas Galur II DIY. B. Rumusan Masalah Bagaimanakah implementasi program desa siaga sehat jiwa di Puskesmas Galur II DIY? 6
C. Tujuan Penelitian Tujuan umum : Untuk mengetahui konsistensi dan keberlangsungan program DSSJ di Puskesmas Galur II Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan khusus : 1. Untuk mengetahui proses perencanaan DSSJ oleh RSJ Grhasia DIY 2. Untuk mengetahui implementasi DSSJ di Wilayah Puskesmas Galur II Kulon Progo DIY 3. Untuk mengetahui keberlangsungan DSSJ di wilayah Puskesmas Galur II Kulon Progo DIY D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini merupakan aplikasi terhadap konsep primary health care dalam upaya integrasi pelayanan kesehatan jiwa 2. Manfaat praktis a. Bagi RS Grhasia hasil penelitian dapat digunakan sebagai wacana dalam merencanakan program kesehatan jiwa berbasis masyarakat yang sustainable b. Bagi Puskesmas hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar untuk dapat mengembangkan program kesehatan jiwa dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat E. Keaslian Penelitian 1. Chisholm et al, (2000) Judul penelitian Integrated of Mental health into Primary Care. Penelitian ini dilakukan di India dan Pakistan dilatarbelakangi oleh strategi cost effectiveness terhadap masalah kesehatan jiwa global. Tujuan penelitian adalah untuk mendemonstrasikan metode cost-outcome dalam mengevaluasi program kesehatan jiwa di negara berpenghasilan rendah. Subjek penelitian adalah pasien yang didiagnosa gangguan jiwa yang didatangi untuk dilakukan 7
pengobatan, kemudian dikaji prospek gejala, disabilitasnya, quality of life, dan penggunaan sumber daya kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 12%-39% populasi yang dilakukan skrining menunjukkan adanya perbaikan gejala, peningkatan fungsi, peningkatan kualitas hidup, dan adanya reduksi biaya. Perbedaan penelitian terutama pada metodologi penelitan. Meskipun penelitian ini sama-sama mengevaluasi program, tetapi penelitian ini melakukan evaluasi program dari perspektif cost-effectiveness out come, sedang penelitan yang dilakukan adalah mengevaluasi program dari perspektif proses pelaksanaan program. 2. Thorncort and Tansella (2004) Judul penelitan Component of a Modern Health Services : A Pragmatic balance of Community and Hospital Care. Kontroversi tentang pelayanan kesehatan jiwa berbasis rumah sakit dan berbasis komunitas merupakan latar belakang dari penelitian ini. Dengan cochrane systematic review pada metode yang dilakukan, penelitian ini menyimpulkan bahwa baik pelayanan berbasis komunitas maupun rumah sakit sama pentingnya dalam setiap level sumber daya kesehatan yang melayaninya. Meskipun penelitian sama-sama dengan design studi kasus, namun metodologi yang digunakan berbeda. Penelitian ini melihat kemanfaatan pelayanan kesehatan jiwa dari 2 perspektif, rumah sakit dan komunitas sedang penelitian yang dilakukan melihat program kesehatan dan keberlangsungannnya di komunitas. Perbedaan yang mencolok dengan penelitian yang dilakukan ada pada kerangka konsep penelitian 3. Virawati ( 2008 ) Judul penelitian Evaluasi Pelaksanaan Program Desa Siaga di Kabupaten Bondowoso. Tujuan penelitian adalah evaluasi program dengan rancangan deskriptif eksploratif dengan mix methode. Lokasi penelitian di Kabupaten Bondowoso. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program seluruhnya didukung ketersediaan indikator input seperti fasilitator, 8
dana, dan adanya perbedaaan karakteristik desa sehingga pencapaian indikator proses juga berbeda. Kesimpulan dari penelitian ini adalah program desa siaga sudah dilaksanakan tapi belum optimal Persamaan penelitian tentang evaluasi program desa siaga, tetapi perbedaannya adalah pada penelitian yang akan dilakukan merupakan evaluasi program desa siaga sehat jiwa dengan perbedaan pada metodologi penelitian, subjek, lokasi penelitan. 4. Islami ( 2008 ) Judul penelitian Evaluasi Pelaksanaan Program Kesehatan Jiwa Masyarakat Oleh Puskesmas Di Kabupaten Aceh Besar. Merupakan penelitian kualitatif dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa belum semua puskesmas menerapkan standar pelayanan kesehatan jiwa, belum semua tenaga kesehatan mendapatkan pelatihan dasar penanganan psikiatrik, keterbatasan obat-obatan, dan keterbatasan kader kesehatan jiwa. Persamaam penelitian ini tentang evaluasi program kesehatan jiwa, merupakan penelitan kualitatif dengan rancangan studi kasus. Perbedaan penelitian ada pada kekhususan program, subjek, dan lokasi penelitian. 5. Sutra ( 2011 ) Melakukan penelitian tentang Pemberdayaan Masyarakat Pada Model Operasional Desa Siaga DHS-2 di Kota Mataram. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan hasil model operasional desa siaga sudah mengimplementasikan pemberdayaan masyarakat tetapi masih tergolong inisiasi, kegagalan pemberdayaan masyarakat terjadi karena lemah pada penyiapan masyarakat, peningkatan kapasitas masyarakat dan kepemimpinan organisasi masyarakat. Persamaan penelitian ada pada jenis penelitian sedang perbedaannya adalah area penelitian, subjek, dan lokasi penelitian. 9