MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 436 / MENKES / SK / VI / Tentang

dokumen-dokumen yang mirip
LEMBARAN DAERAH TINGKAT II YOGYAKARTA (Berita Resmi Daerah Tingkat II Yogyakarta)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata. membawa dampak sampingan terhadap jenis, kualitas dan

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG. ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr.

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG. ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR : 21 TAHUN : 1999 SERI : D.4.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KUTAI NOMOR 21 TAHUN 1996 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 22 TAHUN 1994 TENTANG

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 01 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALINAU

WALIKOTA PROBOLINGGO

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG ORGANISASI DAN TATAKERJA RUMAH SAKIT KUSTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 86 TAHUN 2001 SERI D.83 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN S U M E D A N G NOMOR 21 TAHUN 1999 SERI D.16 PERATURAN DAERAH KABUPATEN S U M E D A N G NOMOR 6 TAHUN 1999

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2002 NOMOR 31 SERI D

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II CIREBON

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 66 TAHUN : 2004 SERI : D NOMOR : 25

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II SEMARANG NOMOR 14 TAHUN 1999 SERI D NO. 11

BUPATI PURWOREJO TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN PURWOREJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-1- GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 142 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2006 NOMOR 3 SERI D

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA TANGERANG SELATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2011

BUPATI JENEPONTO. Jalan Lanto Dg. Pasewang No. 34 Jeneponto Telp. (0419) Kode Pos 92311

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI RUMAH SAKIT DAERAH

BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 61 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS

-1- GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 141 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT JIWA

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SUKAMARA

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 39 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BLAMBANGAN KABUPATEN BANYUWANGI

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI HULU SUNGAI SELATAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH UTARA,

ORGANISASI PELAYANAN KESEHATAN PERTEMUAN II LILY WIDJAYA, SKM.,MM, PRODI D-III REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN, FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN NGAWI. PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr.

-1- BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 67 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SRAGEN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH GEMOLONG KABUPATEN SRAGEN

-1- GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 140 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN BUPATI SUBANG NOMOR : TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KELAS B KABUPATEN SUBANG BUPATI SUBANG,

- 1 - BUPATI ACEH TAMIANG PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI ACEH TAMIANG NOMOR 77 TAHUN 2016

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMO 3 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NO SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO SERI. D. 6 Nopember 2008

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT DAERAH MENTERI DALAM NEGERI

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 86 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 3 Tahun 2006 Seri D Nomor 13 Tahun 2006

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 3 Tahun 2006 Seri D Nomor 13 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 3 TAHUN 2006

BUPATI MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO,

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA KOTA BANDA ACEH

LEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 19 TAHUN 2002 SERI D NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 18 TAHUN 2002 T E N T A N G

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992;

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

SURAT KETERANGAN MEDIS

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH EMBUNG FATIMAH KOTA BATAM

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 52 NOMOR 52 TAHUN 2008

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PEDOMAN ORGANISASI RUMAH SAKIT DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KESEHATAN

PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR : 10 TAHUN 2000 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANDUNG

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO,

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 65 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SITUBONDO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 19 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SAKIT WALIKOTA BOGOR,

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2007 NOMOR : 18 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2012 NOMOR 7 SERI D NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 34 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN LANDAK

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG TIM DOKTER KEPRESIDENAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA MADIUN

Transkripsi:

Lampiran 1 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 436 / MENKES / SK / VI / 1993 Tentang BERLAKUNYA STANDAR PELAYANAN RUMAH SAKIT DAN STANDAR PELAYANAN MEDIS DI RUMAH SAKIT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa pembangunan kesehatan di bidang perumahsakitan bertujuan untuk meningkatkan mutu, cakupan dan efisiensi pelayanan kesehatan; b. bahwa untuk meningkatkan mutu, cakupan dan efisiensi pelayanan kesehatan di rumah sakit perlu diupayakan pemantapan dan peningkatan manajemen rumah sakit; c. bahwa untuk itu telah disusun Standar Pelayanan Rumah Sakit oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI dan Standar Pelayanan Medis oleh Ikatan Dokter Indonesia, sebagai salah satu upaya penertiban dan peningkatan manajemen rumah sakit dengan memanfaatkan pendayagunaan segala sumber daya yang ada di rumah sakit guna mencapai hasil yang seoptimal mungkin; d. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas diperlukan keputusan diberlakukannya Standar Pelayanan Medis sebagai dasar penyelenggaraan pelayanan rumah sakit. Mengingat 1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan; 2. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 558 / Menkes / SK / II / 1984 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 3. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 983 / Menkes / SK / XI / 1992 Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum; 4. (dst.) MEMUTUSKAN MENETAPKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN RI TENTANG BERLAKU NYA STANDAR PELAYANAN RUMAH SAKIT DAN STANDAR PELAYANAN MEDIS DI RUMAH SAKIT; 74

Pertama Standar Pelayanan Rumah Sakit dan Standar Pelayanan Medis yang diberlakukan, telah disusun dalam bentuk buku - Standar Pelayanan Rumah Sakit No. 351 841. Ind. S. Tahun 1992 Direktorat Jen deral Pelayanan Medik, Jakarta; - Standar Pelayanan Medis, bulan April 1992 oleh Departemen Kesehatan Jakarta; Kedua Pelaksanaan penerapan standar sebagaimana tercantum dalam buku pertama tersebut dapat ditempuh secara bertahap. Ketiga Direktur Jenderal Pelayanan Medik akan mengatur, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan serta tindak lanjut dari penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit dan Standar Pelayanan Medis. Keempat Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya. DITETAPKAN DI JAKARTA PADA TANGGAL 3 JUNI 1993 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PROF. DR. SUJUDI * * * * * 75

Lampiran 2 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 595/MENKES/SK/VII/1993 Tentang STANDAR PELAYANAN MEDIS MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan; b. bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kesehatan yang diberikan sarana pelayanan kesehatan perlu dilakukan peningkatan mutu medis secara terus-menerus; c. bahwa dalam rangka upaya peningkatan mutu pelayanan medis diperlukan adanya pelayanan medis yang berlaku bagi setiap jenis pelayanan kesehatan; d. bahwa untuk memenuhi maksud sebagaimana tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Medis. Mengingat MEMUTUSKAN MENETAPKAN Pertama Kedua Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, tambahan Lembaran Negara Nomor 3495). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar Pelayanan Medis; Setiap sarana pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan medis wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan dan standar pelayanan yang berlaku; 76

Ketiga Keempat Kelima Keenam Ketujuh Pemberian pelayanan medis pada setiap sarana kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya; Standar Pelayanan Medis yang berlaku bagi setiap sarana pelayanan kesehatan harus mengikuti ketentuan sebagaimana terlampir dalam lampiran keputusan ini, yang pemutakhirannya akan dilakukan secara berkala; Sarana pelayanan kesehatan harus memantau agar standar pelayanan medis sebagaimana dimaksud dalam dictum ketiga dipenuhi; Sarana pelayanan kesehatan yang telah ada harus menyesuaikan standar medis sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun berlakunya keputusan ini; Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar semua orang yang mengetahuinya memerintahkan penempatan Keputusan Menteri Kesehatan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada Tanggal 17 Juli 1993 Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tertanda, Prof. Dr. Sujudi * * * * * 77

Petikan Lampiran Kepmenkes Nomor 595/1993 STANDAR PELAYANAN KEDOKTERAN FORENSIK Pelayanan medis oleh dokter dalam bidang Ilmu Kedokteran Forensik Sesuai dengan peraturan / perundang-undangan yang berlaku (KUHAP), setiap dokter baik dokter umum, dokter ahli Kedokteran Kehakiman (Dokter Spesialis Kedokteran Forensik)maupun dokter spesialis klinik lainnya, wajib memberi bantuan kepada pihak yang berwajib untuk kepentingan peradilan, bila diminta oleh petugas yang berwenang untuk itu; Bantuan yang dapat dimintakan kepada dokter meliputi 1. Pemeriksaan Kedokteran Forensik terhadap orang hidup, jenazah atau benda yang diduga berasal dari tubuh manusia, serta pengadaan Visum et Repertum-nya; 2. Melaksanakan bantuan pemeriksaan di tempat kejadian perkara; 3. Memimpin pelaksanaan penggalian jenazah untuk pemeriksaan Kedokteran Forensik; 4. Memberikan keterangan ahli di pengadilan. Untuk melaksanakan semua bantuan tersebut, diperlukan Pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur medikolegal di Indonesia; Keterampilan pemeriksaan secara Kedokteran Forensik terhadap orang hidup, yang mengalami perlukaan, peracunan dan atau tindak kekerasan lainnya; Keterampilan melakukan pemeriksaan secara Kedokteran Forensik terhadap jenazah, termasuk keterampilan bedah jenazah (autopsy) Forensik; Keterampilan pembuatan Visum et Repertum; Kemampuan memimpin pelaksanaan penggalian jenazah untuk pemeriksaan Forensik; Kemampuan untuk memberikan keterangan ahli di depan sidang pengadilan. Pelaksanaan Pelayanan Sekalipun pelayanan pemeriksaan medis secara Kedokteran Forensik dapat dimintakan kepada setiap dokter, baik dokter umum, dokter spesialis klinis maupun dokter dokter spesialis kedokteranforensik,namun untuk memperoleh hasil yang setinggitingginya, baik ditinjau dari segi kepentingan pelayanan bantuan untuk proses peradilan dan segi kepentingan pelayanan kesehatan, dapat dilakukan pengaturan sebagai berikut A. Pemeriksaan Kedokteran Forensik terhadap orang hidup 78

Untuk wilayah yang tidak memiliki rumah sakit, pemeriksaan dilakukan oleh dokter umum di Puskesmas. Bagi kasus yang memerlukan penanganan spesialistik lebih lanjut, dapat dilakukan rujukan ke tingkat yang lebih tinggi dan selanjutnya ditangani oleh dokter spesialis yang sesuai; Untuk daerah yang memiliki rumah sakit, pemeriksaan pertama dilakukan oleh dokter umum dan bagi kasus yang memerlukan penanganan spesialistis lebih lanjut, dapat dilakukan rujukan ke tingkat yang lebih tinggi dan selanjutnya ditangani oleh dokter spesialis klinisyang sesuai di rumah sakit yang sama atau rumah sakit lain (dengan kualifikasilebih tinggi). Catatan Pemeriksaan terhadap korban hidup dilakukan di tempat dengan fasilitas perawatan, baik rawat jalan atau rawat inap, mengingat orang tersebut di samping pemeriksaan Kedokteran Forensik, terutama juga memerlukan fasilitas perawatan terhadap kesehatannya. B. Pemeriksaan Kedokteran Forensik terhadap jenazah Untuk daerah yang tidak memiliki dokter spesialis Kedokteran Forensik, pemeriksaan dilakukan oleh dokter umum serendah-rendahnya di rumah sakit tipe D. Untuk pemeriksaan penunjang, dilakukan rujukan ke dokter spesialis Kedokteran Forensik; Untuk daerah yang memiliki dokter spesialis Kedokteran Forensik, pemeriksaan dilakukan oleh dokter Forensik atas jenazah dilakukan oleh dokter spesialis Kedokteran Forensikdi rumah sakit / instansi tempat tugas dokter spesialis Kedokteran Forensik tersebut. Di samping pelayanan pemeriksaan Forensik terhadap jenazah, seorang dokter spesialis Kedokteran Forensik juga memiliki kemampuan untuk Pemeriksaan Kedokteran Forensik terhadap orang hidup dan pengadaan berbagai Surat Keterangan Medis yang terkait; Pemeriksaan Kedokteran Forensik terhadap benda tubuh atau benda yang diduga berasal dari tubuh manusia, termasuk pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya serta pengadaan berbagai Surat Keterangan Medis yang terkait; Pemberian konsultasi dalam masalah Kedokteran Forensik termasuk konsultasi pengadaan Visum et Repertum, konsultasi masalah medikolegal serta masalah hukum kesehatan. Catatan Pemeriksaan penunjang dalam bidang Kedokteran Forensik meliputi Pemeriksaan toksikologi terhadap spesimen yang berasal dari kasus pemeriksaan Kedokteran Forensik; Pemeriksaan histopatologi terhadap spesimen yang berasal dari kasus Kedokteran Forensik; Pemeriksaan antropologi pada kasus identifikasi; Pemeriksaan / teknik superimposisi pada kasus identifikasi. Pemeriksaan laboratorium Forensik khusus 79

Pemeriksaan getah paru dalam pemeriksaan destruksi jaringan paru pada kasus tenggelam; Pemeriksaan terhadap rambut pada kasus identifikasi; Pemeriksaan pembuktian serta identifikasi terhadap cairan / bercak semen pada kasus kejahatan seksual. * * * * * 80

Lampiran 3 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 983/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI RUMAH SAKIT UMUM MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa dalam rangka menjamin keberhasilan peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan rumah sakit seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, rumah sakit perlu dikelola secara berdayaguna dan berhasilguna; b. dst. Mengingat 1. Undang-undang Nomor 23Tahun 1992 2. dst. Memperhatikan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dengan surat Nomor B 1135/I/92 Tanggal 5 Oktober 1992 MEMUTUSKAN Menetapkan KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEDOMAN ORGANISASI RUMAH SAKIT UMUM BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 (dst) BAB II MISI, KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN KLASIFIKASI Pasal 1 (dst) BAB III SUSUNAN ORGANISASI 81

Bagian Pertama Rumah Sakit Umum Kelas A Pasal 7 (dst) Pasal 16 (1) Tugas Wakil Direktur Umum dan Keuangan meliputi kegiatan kesekretariatan perencanaan dan rekam medis, penyusunan anggaran dan perbendaharaan, akuntansi serta mobilisasi dana. (2) Tugas kegiatan kesekretariatan (dst). (3) Tugas kegiatan perencanaan dan rekam medis meliputi penyusunan program dan laporan, rekam medis, hukum, perpustakaan, publikasi, pemasaran sosial, dan informasi rumah sakit. (4) (dst) BAB IV INSTALASI Pasal 41 BAB V KOMITE MEDIS Pasal 42 (1) Komite Medis adalah kelompok tenaga medis yang keanggotaannya dipilih dari anggota Staf Medis Fungsional. (2) Komite Medis berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur. (3) Komite Medis mempunyai tugas membantu Direktur menyusun standar pelayanan dan memantau pelaksanaannya, serta melaksanakan pembinaan etika profesi, mengatur kewenangan profesi anggota Staf Medis Fungsional serta mengembangkan program pelayanan, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan. (4) Dalam melaksanakan tugas Komite Medis dapat dibantu oleh Panitia yang anggotanya terdiri dari Staf Medis Fungsional dan tenaga profesi lainnya secara ex-officio. (5) Panitia adalah kelompok kerja khusus di dalam Komite Medis yang dibentuk untuk mengatasi masalah khusus. (6) Pembentukan panitia ditetapkan oleh Direktur. 82

(7) Pembentukan Komite Medis pada Rumah Sakit milik Departemen Kesehatan ditetapkan dengan keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik atas usul Direktur untuk masa kerja 3 (tiga) tahun. (8) Pembentukan Komite Medis pada Rumah Sakit bukan milik Departemen ditetapkan dengan keputusan Pemilik Rumah Sakitatas usul Direktur. (1) Staf Medis Fungsional (dst) BAB VI STAF MEDIS FUNGSIONAL Pasal 43 BAB VII PARAMEDIS FUNGSIONAL DAN TENAGA NONMEDIS Pasal 44 (1) Paramedis Fungsional adalah (dst) (1) Dewan Penyantun adalah (dst) BAB VIII DEWAN PENYANTUN Pasal 46 BAB IX SATUAN PENGAWASAN INTERN Pasal 47 (1) Satuan Pengawasan Intern adalah (dst) BAB X TATA KERJA Pasal 48 (dst) BAB XI KETENTUAN LAIN Pasal 58 83

Organisasi dan Tatakerja Rumah Sakit Umum Swasta dapat mengacu pada pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum. (dst) BAB XII PENUTUP Pasal 61 Dengan berlakunya keputusan ini, maka keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 134 Tahun 1978 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 62 Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan. DITETAPKAN DI JAKARTA PADA TANGGAL 12 NOPEMBER 1992 ---------------------------------------------------------------- MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Ttd. ADHYATMA, MPH 84

Lampiran 4 DEPARTEMEN PERTAHANAN KEAMANAN MARKAS BESAR KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA I N S T R U K S I NO. POL. INS / E / 20 / IX / 75 Tentang Tata Cara Permohonan / Pencabutan Visum et Repertum MEMPERHATIKAN Belum seragamnya cara pelaksanaan Tata - laksana untuk Mendapatkan Visum et Repertum. MENIMBANG MENGINGAT 1. Perlu penyeragaman dalam tata-cara tata-laksana pelaksanaan mendapatkan Visum et Repertum. 2.Untuk perlunya menghindarkan kesalah pahaman / pengertian dalam praktek pelaksanaan meminta Visum et Repertum kepada Dokter / Ahli Kedokteran Kehakiman. Pasal 69 Ayat Sub (1) R.I.B. MENGINSTRUKSIKAN KEPADA 1. SEMUA KADAPOL 2. DAN JEN KOSERSE 3. DAN JEN KOMAPTA UNTUK 1.Mengadakan peningkatan penertiban prosedur permintaan/pencabutan Visum et Repertum kepada Dokter / Ahli Kedokteran Kehakiman, 2. Dalam pengiriman seorang luka atau Mayat ke rumah sakit untuk diperiksa, yang berarti pula meminta Visum et Repertum, maka jangan dilupakan bersama-sama si korban atau mayat tadi mengajukan sekali permintaan tertulis untuk mendapatkan Visum et Repertum, 85

3. Dalam hal seorang yang menderita luka tadi akhirnya meninggal dunia, maka harus segera mengajukan surat susulan untuk meminta Visum et Repertum. Dengan Visum et Repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali tidak dibenarkan mengajukan permintaa Visum et Repertum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja. 4.Untuk kepentingan di Pengadilan dan mencegah kekeliruan dalam pengiriman seorang mayat harus selalu diberi label dan segel pada ibu jari kaki mayat. Pada label itu harus jelas disebutkan nama, jenis kelamin, umur, bangsa, suku, agama, asal, tempat tinggal, dan tanda tangan dari petugas Polri yang mengirimkannya, 5.Tidak dibenarkan mengajukan permintaan Visum et Repertum tentang keadaan korban atau mayat yang telah lampau yaitu keadaan sebelum permintaan Visum et Repertum diajukan kepada Dokter mengingat rahasia jabatan, 6. Bila ada keluarga korban / mayat keberatan jika diadakan Visum et Repertum bedah mayat maka adalah kewajiban dari petugas Polri cq. Pemeriksa untuk secara persuasif memberikan penjelasan perlu dan pentingnya otopsi, untuk kepentingan penyidikan, kalau perlu bahkan ditegakkannya fatsal 222 KUHP, 7. Pada dasarnya penarikan / pencabutan kembali Visum et Repertum tidak dapat dibenarkan. Bila terpaksa Visum et Repertum yang sudah diminta harus diadakan pencabutan / penarikan kembali, maka hal tersebut hanya dapat diberikan oleh Komandan-Komandan Satuan paling rendah tingkat Komres dan untuk kota besar hanya oleh DANTABES, 8. Untuk menghindari kesalah pahaman, perlu Dokter yang memeriksa mayat diberikan keterangan lisan tentang kejadian-kejadian yang berhubungan matinya orang / korban tersebut. Petugas Polri cq. Pemeriksa wajib datang menyaksikan dan mengikuti jalannya pemeriksaan mayat / otopsi yang dilakukan oleh Dokter, 9. Untuk menghindari hal - hal yang tidak diinginkan pada waktu Dokter melakukan otopsi, pengamanan perlu dilakukan oleh Polri setempat, 10. Dalam hal orang yang luka atau mayat itu seorang anggota ABRI, maka untuk meminta Visum et 86

Repertum hendaknya menghubungi Polisi Militer setempat dari Kesatuan si korban. Instruksi ini berlaku sejak tanggal dikeluarkan dan supaya dilaksanakan sebaikbaiknya dengan penuh tanggung jawab. UNTUK SALINAN SAH ASSISTEN 1 / RESERSE INTAKDIJEN, DRS. KODRAT SAMADIKUN BRIGADIR JENDERAL POLISI Dikeluarkan di JAKARTA Pada tanggal 19 September 1975 KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA Ttd. Drs. Widodo Budidarmo Letnan Jenderal Polisi 87

Lampiran 5 BAGIAN KEDOKTERAN / INSTALASI KAMAR JENAZAH RS HASAN SADIKIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNPAD PENJELASAN TENTANG PEMERIKSAAN JENAZAH 1. Visum et Repertum, berdasarkan Instruksi KAPOLRI No. INS/E/20/IX/75 jenazah harus dibedah 2. Bila tidak dilakukan pemeriksaan jenazah, dapat timbul kesulitan bagi keluarga a. Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman tidak akan mengeluarkan Surat-surat Kematian / Selesai pemeriksaan, b. Polisi dapat menunutut pihak keluarga, telah menghalanghalangi pemeriksaan jenazah guna Pengadilan dengan ancaman hukuman 9 bulan (KUHP Pasal 222), c. Dokter tidak akan memberi / mengeluarkan Surat sebab pasti kematian untuk persyaratan asuransi, d. Bila Polisi memerlukan Visum et Repertum maka jenazah akan digali kembali. Penjelasan ini diberikan untuk menghindari salah pengertian dan terutama untuk kebaikan pihak keluarga. KABAG KEDOKTERAN / INSTALASI KAMAR JENAZAH RSHS / FAK. KED. UNPAD 88