PEMBAHASAN UMUM Sifat-sifat Bandikut yang Menunjang Domestikasi

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karkas domba Lokal Sumatera (Tabel 9) mempunyai koefisien

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan

Gambar 1. Mencit Putih (M. musculus)

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Karakteristik mutu daging

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

I. PENDAHULUAN ,8 ton (49,97%) dari total produksi daging (Direktorat Jenderal Peternakan,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

I. PENDAHULUAN. Secara umum, ternak dikenal sebagai penghasil bahan pangan sumber protein

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

II. TINJAUAN PUSTAKA

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

TUGAS KARYA ILMIAH TENTANG PELUANG BISNIS DAN BUDIDAYA IKAN PATIN

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

HASIL DAN PEMBAHASAN

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kampung. Ayam kampung merupakan ayam lokal Indonesia yang berasal dari ayam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu

Gambar 2. (a) Kandang Individu (b) Ternak Domba

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan. bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari.

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

PENDAHULUAN. akan protein hewani berangsur-angsur dapat ditanggulangi. Beberapa sumber

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

TINJAUAN PUSTAKA. Itik (Anas platyrhynchos)

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

LINGKUNGAN BISNIS USAHA TERNAK ITIK. : Wahid Muhammad N. Nim : SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebutuhan daging di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat

Karakteristik Karkas Dan Daging Bandikut (Echymipera kalubu) (The Carcass and Meat Characteristcs of The Spiny Bandicoots (Echymipera kalubu))

I. PENDAHULUAN. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu kekayaan

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ayam broiler sangat dipengaruhi oleh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

5 KINERJA REPRODUKSI

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan waktu, pertambahan jumlah penduduk,

BAB I PENDAHULUAN. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi hewani membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

Transkripsi:

81 PEMBAHASAN UMUM Pemenuhan kebutuhan protein hewani terutama daging masih sulit dicapai bila hanya mengandalkan dari produksi ternak konvensional yang sudah ada. Permintaan daging nasional semakin meningkat setiap tahun, sedang laju pertumbuhan populasi ternak konvensional cenderung lambat. Di habitat alami (in-situ), satwa liar menghasilkan daging lebih banyak dari pada ternak yang sudah ada. Satwa liar sangat potensial untuk menyumbangkan sejumlah besar pangan kepada manusia. Gerakan pemanfaatan satwa liar secara lestari, juga telah lama dicanangkan guna mengatasi masalah pangan dunia, terutama kebutuhan daging. Untuk itu upaya eksplorasi terhadap satwa penghasil daging sangat diperlukan, mengingat Indonesia memiliki kekayaan fauna yang belum banyak diberdayakan sebagai sumber protein dan sumber devisa. Sifat-sifat Bandikut yang Menunjang Domestikasi Ciri-ciri atau sifat yang menunjang untuk domestikasi hewan adalah sifat tingkah laku hewan tersebut. Sifat-sifat yang menguntungkan dapat dipertimbangkan di dalam upaya domestikasi sehingga kenyamanan hewan (animal welfare) tetap diperhatikan. Bandikut (Echymipera sp.) adalah hewan berkantung (marsupial) yang hidup di atas tanah (ground-dwelling) dikenal sebagai hewan omnivora, nokturnal, soliter, polygamus, suka berkelahi (frugnacious) dan mudah stress (nervous). Lama hidup potensial bandikut adalah 6 tahun, tetapi rata-rata 3-4 tahun (Lobert and Lee, 1990) dengan spektrum habitat yang luas dan daerah jelajah (home range) 4-40 Ha (Gemmell, 1988; Cockburn, 1990). Menurut Petocz (1994), di antara hewan marsupial, bandikut memiliki laju reproduksi paling tinggi. Selama setahun seekor betina dewasa mampu melahirkan 5-6 kali dengan jumlah anak per kelahiran 3-4 ekor, lama bunting 12-13 hari dan lama menyusui 50-60 hari. Selama menyusui induk bandikut juga dalam keadaan mengasuh anak yang belum lepas sapih dan bunting, sehingga mampu memelihara sekaligus tiga kali kelahiran anak dalam waktu yang sama, yaitu selama bunting, anak

82 di dalam kantung dan anak yang sedang disapih (Stodart, 1977; Fishman, 2001). Siklus estrus rata-rata 21 hari dan induk mulai kawin kembali setelah anak di dalam kantung umur 49-50 hari (Lyne, 1976). Anaknya berhenti menyusu pada umur 59-61 hari ketika induk melahirkan anak berikutnya. Rata-rata kelahiran terjadi setiap 65 hari atau 6 kali kelahiran terjadi selama 13 bulan (Stodart, 1977). Potensi ini merupakan peluang untuk bisa dikembangkan sebagai hewan budidaya penghasil daging yang prolifik. Berdasarkan sifat-sifat biologis bandikut dengan pertimbangan : (1) sex-ratio jantan : betina dewasa 1:2; (2) sex ratio kelahiran anak 1:1; (3) mortalitas anak 30 %; (4) litter size 4 ekor per kelahiran; (5) frekuensi kelahiran 5 kali/tahun; (6) dewasa kelamin umur 4 bulan maka dapat diproyeksikan produksi bandikut tersebut selama satu tahun seperti pada Tabel 20. Tabel 20 Proyeksi produksi bandikut selama setahun pertama berdasarkan sifat biologisnya. Jumlah Kelahiran awal I II III IV V Induk 6 6 6 14 22 40 Jantan 3 3 3 7 11 20 Mortalitas - 8 8 20 30 54 Bandikut remaja (umur 4 bulan) - jantan - betina Anak (dalam kantung induk) - jantan - betina - - - - - 8 8 18 29 53-8 8 18 29 53 Jantan afkir - - - 4 4 9 8 8 8 8 18 18 29 29 Dari analisis produksi bandikut tersebut dapat diproyeksikan bahwa dari pemeliharaan awal bandikut dewasa 6 ekor betina dan 3 ekor jantan selama satu tahun dapat berkembang menjadi 233 ekor terdiri atas induk dewasa 40 ekor, jantan dewasa 20 ekor, jantan dewasa afkir 17 ekor (9 ekor umur 6 bulan, 4 ekor umur 8 bulan dan 4 ekor umur 10 bulan), 58 ekor bandikut umur 4 bulan (29 ekor jantan dan 29 ekor betina), dan 106 ekor anak bandikut (cindil) masih di dalam kantung induk.

83 Berat tubuh yang ditemukan mencapai berat 4 600 gram. Bobot tubuh jantan lebih berat dari pada bobot tubuh betina dewasa. Perbedaan ukuran dan kekuatan antara jantan dan betina (dimorphism) ini secara umum memberikan konskuensi bahwa bandikut jantan secara sosial dominan terhadap betina sehingga memudahkan dalam perkawinan. Bandikut mempunyai sifat poligamus yaitu satu jantan mengawini beberapa atau banyak betina. Tingkah laku seperti itu dapat berguna karena dalam usaha budidaya hanya diperlukan relatif sedikit hewan jantan dewasa. Dengan demikian hewan jantan yang lain dapat dimanfaatkan sebagai hewan potong. Sifat tingkah laku lain dari bandikut adalah adanya ikatan yang kuat dari induk terhadap anaknya (mothering ability) yang terjadi segera setelah anak lahir. Hal ini penting dalam pemeliharaan awal domestikasi. Induk dapat dikelompokkan bersama anaknya dan cukup menjaga hewan yang muda. Bandikut sebagai hewan omnivora dimungkinkan dapat lebih mempermudah penyediaan pakannya dalam pemeliharaan pada praktek domestikasi karena jenis pakannya dapat lebih beragam. Pada hasil percobaan pakan, menunjukkan bahwa bandikut mampu mengkonsumsi bahan kering pakan konsentrat sampai 3,04 3,05 % dari berat badan dengan tingkat kesukaan (preferensi atau palatabilitas) sebesar 24.02 31.11 %. Tingginya spektrum habitat dan luasnya daerah jelajah bandikut di alam, dapat menyebabkan pengaruh positif dan negatif pada proses domestikasi. Pengaruh positif, dapat dimungkinkan bandikut akan mudah beradaptasi pada berbagai habitat dan berpengaruh negatif bila dalam praktek domestikasi ditempatkan pada luasan yang sempit maka dapat mengakibatkan stres terhadap lingkungan. Pada praktek budidaya diperlukan suatu rancangan kandang yang tepat dan sesuai sehingga kesejahteraan bandikut dapat tetap terjamin. Tujuan dan Potensi Produk Bandikut Sebagai Satwa Budidaya Tujuan dari budidaya bandikut dapat ditinjau dari sifat produksinya yaitu untuk dihasilkan dagingnya. Produksi karkas dan karakteristik fisik dan kimia daging adalah faktor yang turut menentukan nilai atau mutu daging hewan yang bersangkutan.

84 Hasil penilitian menunjukkan bahwa produksi karkas bandikut rata-rata 67.8 % dengan cara pengulitan, tetapi bila dilakukan dengan cara pembakaran bulu/rambut (cara yang biasa dilakukan oleh masyarakat di Papua), maka dapat menghasilkan persentase karkas yang lebih tinggi dari ternak domestikasi lain, yaitu 74.5 82.52 %. Daging bandikut memiliki karakteristik antara lain ph masih memperlihatkan ph normal daging segar yaitu 5.71 setara dengan ph daging segar sapi lokal. Tingkat keempukan daging (1.05) lebih empuk dari daging ternak domestikasi lainnya. Keempukan daging bandikut diduga karena mengandung sedikit jaringan ikat dan memiliki tekstur atau serat otot yang lebih halus serta kadar lemak yang cukup tinggi. Susut masak (cooking loss) daging bandikut yaitu 34.04 %, termasuk normal karena kurang dari 40 %. Nilai susut masak tersebut masih setara dengan susut masak daging sapi lokal dan hewan budidaya lainnya. Daya mengikat air (water holding capacity) daging bandikut cukup tinggi (36.56 % mgh 2 O) dibandikan dengan daging ternak yang lain. Keadaan ini menunjukkan bahwa kualitas daging bandikut cukup baik karena daging dengan daya mengikat air yang tinggi dapat meningkatkan rasa jus (juiceness) daging dan keempukan daging serta menurunkan susut masak daging. Sebaliknya daging dengan daya mengikat air yang rendah dapat menurunkan mutu daging yang bersangkutan, sebagai akibat keluarnya nutrisi daging yang terlarut dalam air seperti protein, vitamin larut air dan mioglobin ketika air dibebaskan oleh daging (Natasasmita, 1978). Komposisi gizi daging bandikut relatif sama bila dibandingkan dengan daging ternak domestikasi yang lain. Daging bandikut mengandung air 72,42% dengan kadar lemak yang cukup tinggi yaitu 3,26%, protein kasar 18,72% dan kadar abu yang cukup tinggi pula sebasar 2.53% serta energi 1 090 kkal/kg. Cukup tingginya kadar lemak daging bandikut juga dapat menggambarkan bahwa bandikut mampu memanfaatkan energi pakan lebih tinggi. Kemampuan hewan dalam memanfaatkan energi pakan yang lebih besar akan menyebabkan deposisi lemak lebih besar pula (Soeparno and Sumadi, 1991). Menurut Berg dan Butterfield (1976), variasi kandungan lemak dalam daging tergantung pada jumlah dan ragam pakan yang dikonsumsi. Selanjutnya Aberle et al. (2001) menjelaskan bahwa faktor yang

85 menentukan kandungan lemak daging adalah keadaan serabut otot, jenis ternak, umur, pakan, jenis kelamin dan aktifitas yang dilakukan. Kandungan abu daging bandikut relatif cukup tinggi dibandingkan daging hewan atau ternak domestikasi lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor genetik dan jenis makanan yang dikonsumsi bandikut. Nilai nutrisi daging bervariasi tergantung spesies, bangsa (breed) dan jenis otot (Lawrie, 1988). Pembentukan protein di dalam tubuh antara lain dipengaruhi oleh status fisiologis dari hewan yang bersangkutan. Menurut Judge et al. (1989), kadar abu daging mempunyai hubungan yang erat dengan kadar protein dan air daging. Moran and Wood (1986) melaporkan bahwa pemberian pakan konsentrat tinggi dapat meningkatkan kadar abu, lemak dan energi daging, tetapi sebaliknya kadar air dan protein daging menjadi turun. Komposisi asam amino dan asam lemak di dalam daging bandikut, baik jumlah maupun jenisnya cukup lengkap, bila dibandingkan dengan daging ternak konvensional. Namun perlu dilaporkan bahwa daging bandikut kaya akan asam lemak jenuh jenis laurat (1.97 %), miristat (3.79 %) dan palmitat (36.76 %) bila dibandingkan dengan ternak domestikasi lainnya. Hal ini perlu diwaspadai karena telah banyak disinyalir bahwa tingginya konsumsi asam lemak jenuh dapat meningkatkan kadar kolesterol darah yang dapat memicu penyakit jantung koroner. Fenomena tersebut dapat diantisipasi bila ratio asam lemak jenuh dan tidak jenuh dalam makanan yang dikonsumsi seimbang. Sebab keseimbangan tersebut dapat merendahkan kerentanan individu terhadap penyakit vaskuler umumnya. Meningkatnya asam lemak poli tak jenuh di dalam makanan, seperti linolenat, arakhidonat dan linoleat yang mampu menghasilkan eikopentanoat (EPA) dan dekosaheksanoat (DHA) akan menurunkan kolesterol darah meskipun lemak dan kolesterol yang dikonsumsi tinggi. Tingginya asam lemak jenuh di dalam daging bandikut tersebut diduga dikarenakan tingginya lemak daging yang terbentuk yang disebabkan oleh tingginya kandungan asam lemak jenuh dalam pakan yang dikonsumsi bandikut. Pada proses metabolisme lemak, pendepositan lemak pakan tanpa di ubah. Tidak seperti pada ternak ruminansia, dimana asam lemak tidak jenuh

86 dalam pakan yang dikonsumsi akan terjadi proses hirogenasi oleh mikroba rumen menjadi deposit asam lemak jenuh. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa warna, bau dan rasa daging bandikut dapat diterima dan disukai oleh masyarakat di Papua seperti halnya terhadap daging babi, daging ayam dan daging sapi. Teknik budidaya bandikut Pemilihan Jenis Bandikut Ada beberapa jenis bandikut di Indonesia yang berpotensi dapat dikembangkan sebagai satwa budidaya. Untuk itu perlu dipilih jenis dan individu bandikut yang memiliki sifat lebih tenang dibandingkan dengan yang lainnya sehingga tujuan budidaya bandikut dapat terlaksana dengan baik. Individu bandikut yang berprilaku tenang dapat lebih mudah diatur pada lingkungan budidaya. Apabila telah dipelajari karakter atau tingkah laku masing-masing jenis bandikut maka pengembangannya adalah dengan cara menyesuaikan karakter tersebut dengan tujuan budidaya. Oleh karena itu di dalam pengembangan bandikut sebagai satwa budidaya, faktor kesejahteraan (animal welfare) harus diperhatikan pula. Hal ini sebagai seninya budidaya satwa yang belum didomestikasi dan mempunyai sifat alami yang liar. Tantangan pengembangan memang cukup tinggi mengingat bandikut masih belum banyak diketahui karakteristik tingkah lakunya. Sesuai tujuan akhir dari budidaya bandikut adalah produk daging yang dapat dipasarkan maka perlu dipilih jenis bandikut yang menghasilkan banyak dagingnya. Hasil kajian distribusi bobot daging pada potongan karkas terhadap bobot karkas atau bobot total daging bandikut, menunjukkan bahwa bobot daging potongan karkas bagian kaki depan bandikut jenis dada merah lebih tinggi dari bandikut jenis dada putih. Sebaliknya bobot daging potongan karkas bagian kaki belakang bandikut dada merah lebih rendah dari pada bobot daging potongan karkas kaki belakang bandikut dada putih. Tingginya perdagingan pada bagian karkas kaki depan (shoulder dan shank) bandikut dada merah dikarenakan bandikut dada merah lebih lincah dan agresif dibanding dengan bandikut dada putih yang lebih bertemperamen lamban.

87 Menurut Berg dan Butterfield (1976) yang dikemukakan Lawrie (2003), hewan yang lebih lincah (agile) mempunyai perkembangan urat daging yang lebih besar pada anggota badan depan. Ditinjau dari sisi komersil maka untuk upaya budidaya jenis bandikut berdada putih akan lebih banyak berdaging terutama pada karkas bagian kaki belakang yang biasa dipertimbangkan oleh konsumen. Usaha pembudidayaan bandikut lebih baik dipilih jenis bandikut berdada putih karena bandikut jenis ini selain memiliki proporsi daging paha bagian belakang lebih banyak juga memiliki temperamen lambat sehingga akan lebih mudah pengelolaannya. Perkandangan Ditinjau dari fungsi kandang, perkandangan untuk bandikut pada dasarnya adalah sama dengan perkandangan hewan atau ternak lain, yakni sesuai dengan tujuan, fungsi atau manfaat kandang itu sendiri, tanpa mengurangi prinsip kenyamanan hewan atau ternak (animal welfare) yang dikandangkan. Manfaat kandang antara lain menghindari pengaruh iklim yang membahayakan, mempermudah tatalaksana dalam pemeliharaan dan mempermudah pengawasan terhadap gangguan dari luar. Bandikut merupakan hewan nokturnal dan memiliki sifat dan tingkah laku biologis tersendiri maka untuk mencapai keberhasilan dalam memelihara bandikut diperlukan rancangan perkandangan yang baik, sesuai dengan fungsi dan perilaku kehidupan bandikut. Berkaitan dengan sifat dan tingkah laku bandikut, maka perkandangan yang baik untuk bandikut harus memenuhi sarat, seperti : (1) Harus tersedia sarang untuk tempat bersembunyi, istirahat atau saat tercekam. Tempat sarang dapat berupa boks dari kayu ata dibuat lubang dangkal dan ditutup rumput kering; (2) Pagar untuk sistem out door dibuat cukup tinggi (1,5m) karena bandikut mampu melompat tinggi, dan bagian atas pagar terbuat dari bahan rata sehingga tidak bisa dipanjat; (3) Untuk kandang sistem in door maka alas kandang sebaiknya diberikan alas (litter), misal campuran tanah dan pasir atau galian rumput dan tanahnya atau serbuk gergaji; (4) sirkulasi udara didalam kandang cukup baik; dan (5) ukuran kandang untuk satu

88 pasang bandikut, pada sistem out door berukuran 3x4m dan sistem in door berukuran 2x2m. Sistem Pemeliharaan Bandikut Mencermati hasil kajian tingkah laku bandikut dan untuk mengurangi tingkat kematian bandikut dalam pemeliharaan maka untuk budidaya bandikut dapat dilakukan dengan menggunakan sistem pemeliharaan out door atau mini ranch. Dibuat beberapa area petak perkembangbiakan (breeding colonies) berukuran 3x4m, tinggi pemagaran 1,5m dan dilengkapi tempat sarang, tempat pakan dan tempat air minum. Tempat pakan dan air minum ditempatkan dekat tempat sarang. Tempat sarang bisa dibuatkan lubang dangkal dan ditutup rumput atau daun kering atau berupa boks dari bahan kayu. Untuk mengantisipasii sifat soliter dan sifat frugnacious (suka berkelahi) maka bandikut tidak dapat dikandangkan lebih dari satu pasang secara bersamaan. Bandikut harus dipilih yang memiliki ukuran bobot tubuh hampir sama karena bila tidak sama maka bandikut yang lebih kecil dapat dilukai dan dibunuh. Bandikut jantan biasa lebih agresif dari pada betina. Sex ratio satu jantan banding dua betina dewasa (1:2) masih bisa dianjurkan. Ransum pakan sebaiknya lunak dan disarankan disubstitusi dengan pakan tambahan berupa pakan alami, misal pisang, insekta atau molusca kecil lainnya. Usaha mengurangi tingkat mortalitas anak bandikut dapat diupayakan dengan cara pemeliharaan bandikut pada petak koloni sampai umur anak bandikut lepas sapih. Anak-anak bandikut kemudian dipisahkan dari induknya dan dipindahkan ke kandang pembesaran (ranching)) sistem in door sampai umur dewasa. Bandikut muda tersebut yang dipilih sebagai indukan atau pejantan dapat dipindahkan kembali ke kandang koloni (out door). Pakan Bandikut Bandikut tergolong hewan omnivora (Cockburn, 1990; Reese, 2001). Di habitat alamnya, bandikut pemakan insekta (semut hitam, belalang, serangga kecil, kumbang muda, larva, pupa, kupu-kupu kecil, rayap), invertebrata (cacing tanah, laba-laba, ulat kayu) dan vertebrata kecil (kadal, katak dan tikus) serta buah-buahan yang jatuh, biji-

89 bijian dan akar atau batang pohon lapuk. Selain itu bandikut juga memakan keong, kelapa, pisang, pepaya, ubi jalar, buah sagu, dan sisa makanan manusia bila masuk ke pemukiman atau kebun penduduk. Bandikut paling menyukai tipe makanan jenis insekta dan invertebrata (Quin, 1985; Stodart, 1977). Pada hasil penelitian, bandikut mampu mengkonsumsi pakan baru berupa konsentrat 19 21.84 g/ekor/hari (diberikan secara tunggal), dengan tingkat kesukaan 24.02 31.11 % bila diberikan bersamaan dengan pakan lain seperti pisang. Konsumsi bahan kering bandikut jantan 3.05 % dan betina 3.04 % dari berat badan. Keadaan tersebut dapat menggambarkan bahwa bandikut dapat dibudidayakan dengan tambahan pakan berupa pakan konsentrat. Sehingga dalam upaya pengembangannya pemberian pakan konsentrat dapat dioptimalkan secara bertahap. Kendala-kendala Budidaya Bandikut Pada proses domestikasi bandikut, sering mengalami hambatan kematian karena bandikut sangat mudah mengalami stress, terutama stress terhadap faktor lingkungan. Gemmell (1988) melaporkan bahwa bandikut (jenis Isoodon macrourus) di dalam kandang, rata-rata tingkat survival anak bandikut pada masa menyusui 46,1% (berkisar antara 31,3-78.9%), sampai masa penyapihan berkisar antara 36,5-50,8% dan dari penyapihan sampai dewasa kelamin sebesar 32,5%. Induk bandikut menunjukkan tidak melindungi anaknya bahkan cenderung untuk membunuh dan memakannya. Hal ini dilaporkan disebabkan karena stress, baik terhadap lingkungan kandang yang tidak menguntungkan/nyaman maupun kondisi lingkungan iklim karena pergantian musim di Australia. Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa kematian bandikut di dalam kandang percobaan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : (1) beberapa aspek yang berhubungan dengan pola adaptasi dan praktek pengekangan atau pengandangan sehingga secara psikologis, bandikut merasa tertekan (psychological stressor); (2) lingkungan yang asing, ruangan terlalu sempit sehingga kehilangan ruang gerak yang leluasa, kehilangan teritorial, herarki sosial, kontak sosial dan kehilangan pakan yang biasa dikonsumsi serta perubahan ritme biologis (behavior

90 stressor); (3) adanya luka pada kaki bekas jeratan waktu penangkapan dan luka akibat perkelahian sesama bandikut karena ada yang bergabung, bau obat selama pengobatan luka, kegaduhan suara selama pengandangan, perubahan temperatur dari lingkungan in situ ke ex situ dan sentuhan-sentuhan yang tidak terduga saat penangkapan maupun penimbangan (somatic stressor); dan (4) banyaknya ektoparasit (kutu) pada bulu rambut sering menyebabkan bandikut tidak tenang/nyaman. Prospek Budidaya Bandikut Berkaitan dengan Konservasi Alam Bandikut (Echymipera sp.) merupakan salah satu satwa endemik Papua yang saat ini statusnya masih sebagai hewan liar yang tidak dilindungi undang-undang dan populasinya belum diketahui. Satwa ini tidak termasuk jenis dalam daftar CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora), baik pada appendix I maupun appendix II. Artinya, bandikut dapat diperdagangkan secara internasional dan populasinya tidak dalam taraf yang membahayakan. Menurut Flannery (1995a), bandikut termasuk dalam kategori squre dan tidak masuk kedalam kategori dan criteria kelangkaan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). Hal ini berarti satwa bandikut di Indonesia masih aman dan tidak terancam punah atau tingkat kepunahannya masih rendah. Berdasarkan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Departemen Kehutanan, 2004), menyebutkan bahwa pemanfaatan hidupan liar Indonesia dimungkinkan dilakukan baik dalam bentuk (a) pengkajian, penelitian dan pengembangan; (b) penangkaran; (c) perburuan; (d) perdagangan; (e) peragaan; pertukaran atau (f) pemeliharaan untuk kesenangan (Pasal 36 ayat 1). Sedangkan aturan teknis untuk pelaksanaan dari pemanfaatan satwa liar ini didapat dalam Peraturan Pemerintah no.8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, serta Keputusan Menteri Kehutanan no. 447 tahun 2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Menurut aturan teknis ini, pemanfaatan satwa liar bertujuan agar dapat didayagunakan secara lestari untuk kemakmuran manusia dengan didasarkan pada

91 prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan dasar-dasar ilmiah untuk mencegah kerusakan atau degradasi populasi. Adapun ijin penangkapan dapat diberikan oleh balai kepada perorangan, lembaga konservasi, lembaga penelitian, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Pemanfaatan satwa liar di Indonesia mempunyai aturan tersendiri sehingga penyebutan penangkaran ataupun peternakan atau satwa budidaya sering menjadi rancu. Peraturan Pemerintah no.8 tahun 1999, menjelaskan bahwa pengertian penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui perkembangbiakan dan pembesaran dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya. Hasil penangkaran untuk persilangan bagi satwa liar yang tidak dilindungi hanya dapat dilakukan setelah generasi pertama (F1). SK MENTAN no.404/kpts/ot.210/6/2002 (Departemen Kehutanan, 2004), menerangkan bahwa istilah usaha peternakan diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang melaksanakan kegiatan menghasilkan ternak (bibit/potong), telur, susu serta menggemukan suatu ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkan. Budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi hasil-hasil ternak dan hasil ikutannya bagi konsumen. Istilah disini semuanya sama, yaitu memelihara hewan dalam kendali manusia untuk tujuan diambil manfaat dari produknya. Berkaitan dengan satwa bandikut yang akan dimanfaatkan sebagai satwa budidaya merupakan awal dari usaha pemanfaatan secara menyeluruh untuk selanjutnya dapat dikembangkan ke arah pendekatan ilmu peternakan. Pemanfaatan satwa liar untuk tujuan mengarah ke usaha peternakan merupakan usaha konservasi dan pemanfaatan yang dapat berjalan saling menguntungkan. Bandikut mempunyai peluang yang tinggi untuk dilakukan penelitian dalam rangka menunjang upaya pembudidayaannya sehingga dapat dimanfaatkan produksinya secara optimal. Apabila satwa bandikut dikembangkan sebagai satwa budidaya untuk tujuan dimanfaatkan daging atau bagian-bagian tubuh lainnya sebagai produk konsumen, maka selain mematuhi perundangan no.5 tahun 1990, juga perlu memperhatikan UU no.6 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Aturan teknis dari perundangan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah

92 no.22 tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. Peraturan-peraturan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan pemeliharaan kesehatan manusia dan ketentraman bathin masyarakat. Duplikasi kewenangan untuk pengembangan usaha bandikut sebagai hewan atau satwa budidaya perlu dihindari sehingga diperlukan juga koordinasi di antara instansi terkait.