BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat alami yang digunakan oleh masyarakat semuanya bersumber dari alam. Bahan-bahan dari alam tersebut dapat berupa komponen-komponen biotik seperti tumbuhan maupun hewan serta komponen abiotik lainnya. Pengetahuan pemanfaatan obat alami, terutama yang bersumber dari hewan merupakan kekayaan bangsa yang telah diwariskan secara turun temurun (Sumardi, 1998). Hewan-hewan yang telah dijadikan sebagai obat antara lain seperti cacing tanah, lintah, teripang, kelelawar, undur-undur, tokek dan bekicot (Huteri, 2010). Cacing tanah merupakan hewan penghuni tanah yang kelihatan lemah dan menjijikkan seolah-olah tidak ada manfaatnya. Tetapi bila diperhatikan dan diteliti ternyata hewan tingkat rendah ini adalah salah satu sumber daya alam yang mempunyai potensi yang menakjubkan bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia (Arlen, 1997). Dunia pengobatan tradisional Tiongkok telah menggunakan cacing tanah dalam ramuan untuk menyembuhkan berbagai penyakit, seperti untuk menyembuhkan mata bengkak merah, sakit gigi, gusi berdarah, lidah membengkak, kerongkongan bengkak, telinga bernanah dan bisul. Kemudian di Bogor dan Sukabumi banyak warga setempat yang telah menggunakan cacing tanah sebagai ramuan yang sangat mujarab dalam menyembuhkan tifus kronis (Arlen, 1997). 1
Aktivitas antibakteri dari cacing tanah telah banyak diteliti dan dievaluasi oleh sejumlah peneliti (Sumardi, 1998). Menurut Sumardi (1998) senyawa antibakteri yang terdapat pada cacing tanah memiliki mekanisme kerja dengan cara menghambat sintesis peptidoglikan dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Bakteri yang memiliki kandungan peptidoglikan pada dinding selnya relatif besar akan mudah rusak apabila biosintesis peptidoglikannya dihambat sehingga bakteri akan mati. Penyakit infeksi masih merupakan jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk di negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu penyebab penyakit infeksi adalah bakteri. Bakteri merupakan mikroorganisme yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop (Radji, 2011). Bakteri patogen lebih berbahaya dan menyebabkan infeksi baik secara sporadik maupun endemik, antara lain Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa (Djide dan Sartini, 2008). Antibakteri adalah senyawa yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme bakteri, sehingga senyawa tersebut dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan membunuh bakteri (Pelczar dan Chan, 1988). Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk bulat dan merupakan patogen utama pada manusia (Jawetz, et al., 2001). Kulit dan membran mukosa merupakan barrier yang sangat baik terhadap invasi lokal Staphylococcus aureus. Dapat menyebabkan infeksi lokal pada kulit, hidung, uretra, saluran pernafasan dan saluran pencernaan (Harris, et al., 2002). Pada penelitian sebelumnya sudah diuji bahwa ekstrak etanol cacing tanah memiliki daya hambat yang cukup besar terhadap bakteri Staphylococcus aureus 2
yang pada konsentrasi 500 mg/ml memiliki daya hambat 13,87 mm (Siregar, 2012). Ini membuktikan bahwa benar cacing tanah memiliki daya hambat terhadap bakteri. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sajuthi (2003), menemukan bahwa dalam ekstrak cacing tanah terdapat sejumlah enzim seperti lumbrokinase, peroksidase, katalase, dan selulase. Komponen lain adalah zat antipiretik (penurun panas) yaitu asam arakhidonat, antipurin, antiracun, dan vitamin. Ekstrak cacing tanah juga mengandung enzim lisosim yang mempunyai kemampuan sebagai antimikroba yang sangat efektif untuk merusak dinding sel bakteri gram positif. Salep merupakan sediaan farmasi berbentuk setengah padat atau semi solid dan digunakan pada permukaan tubuh atau kulit (Ditjen POM, 1995). Komposisi salep terdiri dari bahan obat atau zat aktif dan basis salep atau biasa dikenal dengan sebutan zat pembawa bahan aktif (Ansel, 1989). Salep memiliki fungsi sebagai bahan pembawa zat aktif untuk mengobati penyakit pada kulit, sebagai pelumas pada kulit dan berfungsi sebagai pelindung kulit (Anief, 2007). Karena ekstrak etanol cacing tanah pada penelitian ini ditujukan untuk pengobatan secara topikal maka bahan dasar salep yang digunakan yaitu dasar salep yang sukar tercuci dengan air dimana hanya sejumlah komponen air atau senyawa polar yang dapat dicampur kedalamnya sehingga memungkinkan untuk memperpanjang kontak antara ekstrak dengan kulit, sukar tercuci dan tidak mengering. Digunakan pelarut etanol dalam proses ekstraksi ini juga berguna untuk mempermudah pengujian antibakteri karena ekstrak yang dihasilkan nantinya dapat mempermudah ekstrak untuk berdifusi dalam media agar yang bersifat polar. Karena jika penelitian ini berhasil maka akan dapat lebih memanfaatkan 3
kandungan zat aktif yang terkandung dalam cacing tanah untuk digunakan dalam sediaan topikal terutama untuk mencegah terjadinya infeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus. Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian untuk melihat bagaimana aktivitas antibakteri ekstrak cacing tanah yang telah diformulasi dalam sediaan salep. 1.2 Perumusan Masalah 1. Apakah ekstrak etanol cacing tanah Peryonix sp. dapat diformulasi dalam sediaan salep? 2. Apakah sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah masih memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus? 1.3 Hipotesis 1. Ekstrak etanol cacing tanah dapat diformulasi dalam sediaan salep 2. Sediaan salep ekstrak etanol cacing tanah masih memiliki aktivitas antibakteri sebagai antibakteri. 1.4 Tujuan Penelitian 1. Untuk membuat formulasi sediaan salep topikal yang mengandung ekstrak etanol cacing tanah. 2. Untuk melihat apakah sediaan salep ekstrak etanol masih memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus. 4
1.5 Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan akan memberikan pandangan atau gambaran untuk nantinya dapat dilakukan pengembangan potensi aktivitas yang ada dalam cacing tanah untuk kepentingan masyarakat. 5