BAB I PENDAHULUAN. negara ini terdiri dari lautan dengan total garis panjang pantainya terpanjang kedua

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. dan 25,14 % penduduk miskin Indonesia adalah nelayan (Ono, 2015:27).

BAB I PENDAHULUAN. kedua didunia. Wilayah pesisir Indonesia yang luas memiliki garis pantai

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan/bahari. Dua pertiga luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MAKALAH PENYULUHAN PERIKANAN PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN PELARANGAN ALAT TANGKAP CANTRANG DI JUWANA, PATI

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar yang ada di wilayah Asia Tenggara.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam peningkatan kesejahteraan penduduk dapat dilakukan apabila

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan

luas. Secara geografis Indonesia memiliki km 2 daratan dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam

BAB I PENDAHULUAN. dimasukan kedalam kelompok Negara mega-biodiversity yang merupakan dasar dari

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya, petani dan nelayan selalu lebih miskin dibandingkan penduduk

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. sektor perikanan dan kelautan (Nontji, 2005, diacu oleh Fauzia, 2011:1).

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. biasa disebut faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi,

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk

BAB I PENDAHULUAN. (90%) hidup diperairan laut dan sisanya 300 spesies (10%) hidup di perairan air

BAB I PENDAHULUAN. memiliki ekonomi yang rendah, dan hal ini sangat bertolak belakang dengan peran

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat melalui kontribusi terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Jaring Angkat

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN ALAT CANTRANG DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Selain itu,indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

KONFLIK NELAYAN SENGGARANG KOTA TANJUNGPINANG DENGAN NELAYAN TEMBELING KECAMATAN TELUK BINTAN KABUPATEN BINTAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia yang luas wilayahnya 2,03 juta km 2 merupakan negara terbesar yang

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.11/MEN/2009 TENTANG

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

KAJIAN KONSTRUKSI DAN LOKASI JARING WARING TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN TERPERANGKAP IKAN HIU PAUS (Rhincodon typus) DI SELAT MADURA

PENDAHULUAN. sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna

BAB I PENDAHULUAN. nilai ekonomi yang sangat besar untuk kesejahteraan rakyat, terutama para

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke-4 di

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

BAB I PENDAHULUAN pulau, dengan garis pantai sekitar km. Wilayah lautannya meliputi 5,8

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB II GAMBARAN UMUM PEKERJA ANAK DI KOTA TANJUNGBALAI

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan/bahari. Dua pertiga luas wilayah negara ini terdiri dari lautan dengan total garis panjang pantainya terpanjang kedua didunia. Wilayah pesisir Indonesia yang luas memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, sekitar 75% dari wilayahnya merupakan wilayah perairan sepanjang 5,8 km termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) dan juga merupakan terbesar didunia dengan jumlah pulau lebih kurang 17.000 buah pulau dengan luas daratan 1.922.570 km dan luas perairan 3.257.483 km. Berbagai program/proyek sudah dirancang dan di implementasikan oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan masalah kemiskinan, khususnya bagi komunitas nelayan. Fakta menunjukkan bahwa program/proyek tersebut belum berhasil kalau tidak disebut gagal. Pemerintah telah giat mencanangkan pembangunan sektor ekonomi sebagai titik tumpu dalam usaha mencapai kemakmuran. Kompleksitas pembangunan akibat resesi ekonomi, terbatasnya sumber daya alam, ledakan penduduk yang berakibat langsung pada peningkatan angkatan kerja. Hal ini juga berdampak pada masyarakat bermukim dan berusaha didaerah pesisir (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/13/m2e5go-jumlahnelayan-indonesia-tinggal-dua-juta diakses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 16.37 WIB). 1

Luasnya wilayah perairan Indonesia dengan kekayaan sumber daya kelautan dan perikanan yang besar menjadikan indonesia sebagai salah satu negara pemasok produk perikanan terbesar dunia. Kontribusi Indonesia dalam memasok kebutuhan produk perikanan dunia diketahui mencapai 30 persen. Peran strategis laut Indonesia sebagai pemasok produk perikanan dunia semakin terancam akibat maraknya praktek Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing (http://kkp.go.id/index.php/pers/indonesia-pasok-30-persen-produk-perikanandunia/?print=print di akses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 16.42 WIB). Dilihat dari keseluruhan penduduk Indonesia, sebagian besar penduduk miskin di Indonesia yang berada di wilayah pesisir. Secara geografis nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori yang membentuk suatu kesatuan sosial. Nelayan juga memiliki suatu sistem nilai-nilai yang menjadi referensi perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai kelompok sosial yang tinggal di daerah pesisir, masyarakat tersebut sangat menggantungkan kelangsungan hidup dari berbagai potensi sumberdaya kelautan. Bagi nelayan, laut bukan hanya merupakan hamparan air yang hanya membatasi daratan, tapi lebih dari itu yakni sebagai sumber pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Sebagai bangsa bahari, seharusnya kelompok masyarakat yang bermata pencaharian nelayan itu seharusnya tidak miskin. Di lingkungan masyarakat pesisir, nelayan tradisional adalah kelompok yang paling menderita, miskin dan acapkali merupakan korban proses marginalisasi akibat kebijakan modernisasi perikanan. Secara umum, yang disebut nelayan tradisional 2

adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangapan yang relatif sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Dalam arti hasil alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok seharihari, khususnya pangan, dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha (Satria, 2001) Nelayan tradisional seringkali justru mengalami proses marginalisasi dan menjadi korban dari program pembangunan dan mordenisasi perikanan yang sifatnya a-historis. Akibat keterbatasan teknologi yang dimiliki, ruang gerak nelayan tradisional umumnya sangat terbatas. Mereka hanya mampu beroperasi diperairan pantai (Inshore). Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dalam satu hari sekali melaut (one day a fishing trip) (Kusnadi, 2002). Dengan hanya mengandalkan pada perahu tradisional dan alat tangkap ikan yang sederhana, jelas para nelayan tradisional ini tidak akan pernah mampu bersaing dengan nelayan modern yang didukung perangkat yang serba canggih dan kapal besar yang memiliki daya jangkau lebih luas. Untuk saat ini, sebagian masyarakat pesisir memang cukup banyak nelayan modern yang telah memiliki perahu bermotor untuk alat mendukung mencari ikan dilaut atau secara ringkas mereka dikategorikan nelayan modern. Selain itu, wilayah tangkap juga menentukan ukuran modernitas suatu alat. Teknologi penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki jelajah sampai dilepas pantai (off shore), sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya biasanya hanya sebatas pada perairan pantai. 3

Nelayan tradisional ini termasuk nelayan yang miskin. Dikatakan miskin, karena perbulan penghasilan mereka sekeluarga rata-rata hanya bekisar 250-500 ribu. Dengan penghasilan segitu nelayan tradisional tidak dapat memenuhi kebutuhan nya yang banyak. Dengan jumlah anak rata-rata 2-3 orang, mereka tidak akan bisa menghidupi keluarganya secara layak. Peralatan yang sederhana menyebabkan aktifitas melaut tergantung kepada cuaca, bahkan pada musim badai sampai berminggu-minggu nelayan tidak dapat turun ke laut. Kerasnya kehidupan laut khususnya apabila nelayan harus melaut berhari-hari, tidak seimbang dengan mutu kehidupan keluarga nelayan baik pendidikan, kesehatan maupun kehidupan fisik mereka Mengingat alat penangkap ikan yang digunakan masih sederhana tentu saja daya jelajah sangat terbatas sehingga kegiatan melaut sangat dipengaruhi oleh cuaca. Ketergantungan terhadap alam membawa implikasi kepada aspek-aspek kehidupan masyarakat. Karena tidak ada sumber matapencaharian lain, kehidupan nelayan ditopang oleh pinjaman dari reternir dengan pembayaran hasil tangkap ikan pada musim turun kelaut. Kenyataan menunjukkan dalam masyarakat nelayan terbentuk hubungan patron klien antara renternir dengan nelayan. Hubungan ini berlangsung dalam suasana pertemanan dan bersifat dua arah (Hayami dan Kikuchi, 1987) dimana rentenir sebagai patron memberikan pinjaman kepada nelayan pada masa paceklik dan nelayan sebagai klien memberikan kesetiaan dalam bentuk penjualan produksi kepada patron. Kecermatan dalam mengelola teknologi ternyata merupakan salah satu faktor yang harus diperhitungkan dalam memelihara kohesi sosial. (Sitorus, 1999:123) 4

Kompetisi antar nelayan pengeksplorasi sumber daya kelautan di perairan tradisional telah bergeser menjadi konflik bertikai. Konflik ini bermula dari menurunnya ikan hasil tangkapan nelayan tradisional, yang dituding simultan dengan merajalelanya operasi kapal PI yang menggunakan pukat harimau (trawl) untuk menjaring ikan berbagai ukuran dan jenis pada zona tradisional berjarak kurang dari 6 mil laut dari garis surut wilayah perairan. Konflik terbuka antar nelayan tradisional dan pukat trawl (sejenis) telah menimbulkan pecahnya kohesi sosial internal nelayan, karena hingga kini permusuhan antar kelompok nelayan telah menimbulkan korban manusia dan kerugian di kedua belah pihak. Alat tangkap cantrang dalam pengertian umum digolongkan pada kelompok Danish Seine yang terdapat di Eropa dan beberapa di Amerika. Dilihat dari bentuknya alat tangkap tersebut menyerupai payang tetapi ukurannya lebih kecil. Cantrang merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal yang dilengkapi dua tali penarik yang cukup panjang yang dikaitkan pada ujung sayap jaring. Bagian utama dari alat tangkap ini terdiri dari kantong, badan, sayap atau kaki, mulut jaring, tali penarik (warp), pelampung dan pemberat. Alat tangkap Trawl telah digunakan sejak tahun 1960, kemudian dimodifikasi menjadi Cantrang sejak tahun 1980 oleh nelayan di Indonesia setelah Trawl dilarang. Trawl dan Cantrang dikategorikan sebagai alat tangkap aktif karena mengejar gerombolan ikan kemudian ditangkap pukat. Ukuran mata jaring (mesh size) berbeda pada satu alat tangkap karena memiliki beberapa bagian. Trawl dan Cantrang umumnya dioperasikan oleh kapal berkapasitas mulai 4 GT sampai dengan 30 GT, bahkan ratusan GT. Wilayah operasi meliputi daerah 5

perairan dangkal karena pukat harus sampai pada dasar perairan, pada jalur penangkapan IB II (2-12 mil), dan sebagian kecil dioperasikan pada pada kolom air yang tidak menyentuh dasar perairan. Kemudian pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Alat Penangkapan Ikan (API) di Wilayah Pengelolaan Perairan (WPP) di Negara Republik Indonesia, Trawl masuk kategori III sebagai API Pukat Hela dan Cantrang masuk kategori II sebagai API Pukat Tarik. Kedua kategori API inilah yang dilarang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015. Hasil kajian WWF-Indonesia menyebutkan bahwa hanya sekitar 18-40% hasil tangkapan Trawl dan Cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi, 60-82% adalah tangkapan sampingan (bycatch) atau tidak dimanfaatkan (discard), sehingga sebagian besar hasil tangkapan tersebut dibuang ke laut dalam keadaan mati. Tingginya hasil tangkapan bycatch dan discard karena ukuran ikan dan udang yang masih kecil, serta juvenil biota lainnya atau tidak memiliki nilai ekonomis, serta dibuang dalam keadaan mati atau hampir mati, menimbulkan dua dampak penting. Ada dua dampak tersebut, yaitu perkembangbiakan biota perairan terganggu dan kacaunya data perikanan. Hasil tangkapan Trawl dan Cantrang tidak selektif dengan komposisi hasil tangkapan yang menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya, menyebabkan biota-biota yang belum matang gonad dan memijah tidak dapat berkembang biak menghasilan individu baru. Ikan, udang, kepiting, dan biota perairan lainnya umumnya dapat menghasilkan ratusan, ribuan, sampai ratusan ribu telur dan calon individu baru. Jika biota ini sudah tertangkap pada saat berukuran 6

kecil atau belum memijah, maka kita mengorbankan ratusan ribu sampai jutaan ikan, udang, kepiting. Kondisi ini menyebabkan deplesi stok atau pengurangan stok sumber daya ikan. Penggunaan Trawl dan Cantrang akan merugikan nelayan kecil secara langsung dan tidak langsung. Nelayan kecil yang menggunakan pancing rawai dasar tidak bisa menangkap ikan selama 3 hari sampai 1 minggu jika suatu lokasi sudah disapu oleh tarikan Trawl dan Cantrang. Jika Trawl dan Cantrang terus menerus beroperasi pada suatu lokasi, maka nelayan kecil lainnya tidak bisa menangkap ikan karena konflik wilayah penangkapan serta menurunnya sumber daya ikan di wilayah tersebut dan sekitarnya. Data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menyebut jumlah alat tangkap Trawl dan Cantrang sekitar 91.931 unit pada tahun 2011. Kemudian nelayan kecil tanpa perahu, perahu tanpa mesin, dan perahu mesin tempel berjumlah 396.724 nelayan, yang beroperasi di jalur 0-12 mil sama dengan wilayah penangkapan Trawl dan Cantrang. Jika dihitung dengan anggota keluarga nelayan kecil ini seperti asumsi KNTI, maka ada sekitar 2 juta keluarga nelayan kecil di seluruh Indonesia merasakan dampak kerugian tersebut. Melihat dampak kerusakan sumber daya perikanan dan kerugian sebagian besar nelayan kecil di Indonesia, seharusnya peraturan pelarangan Trawl dan Cantrang ini sudah diterapkan sejak dulu. Karena sejak 25 tahun yang lalu pada tahun 1980, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 Tentang Penghapusan Jaring Trawl. Konsideran peraturan Kepres ini adalah bahwa dalam pelaksanaan pembinaan kelestarian sumber perikanan dasar dan dalam rangka mendorong peningkatan produksi yang dihasilkan oleh para nelayan 7

tradisional serta untuk menghindarkan terjadinya ketegangan-ketegangan sosial maka perlu dilakukan penghapusan kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan jaring trawl. Meskipun dalam Kepres ini tidak menyebut Cantrang, tetapi setelah tahun 1980, trawl dimodifikasi menjadi Cantrang agar tidak terjerat dengan peraturan ini (Badrudin dkk, 2010). Kemudian pada tahun 2009, peraturan pelarangan Trawl dan Cantrang dipertegas kembali dan dilarang beroperasi pada semua jalur penangkapan di seluruh WPP, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/Permen-KP/2014 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Di Kelurahan Bagan Deli merupakan salah satu daerah tempat pemukiman penduduk yang ada di Medan, Sumatera Utara, mempunyai luas wilayah 169 Ha dan terdapat sebanyak 15.938 orang penduduk, dimana sebanyak 1.484 orang bekerja sebagai nelayan dan sebanyak 758 orang bekerja sebagai buruh nelayan. Disini alat tangkapa cantrang dikenal dengan pukat layang. Adapun mata pencaharian lain yang terdapat di kelurahan ini antara lain : pedagang, supir transportasi, karyawan swasta, buruh harian lepas, buruh peternakan/tambak, pembantu rumah tangga, sol sepatu, tukang jahit, tabib, imam mesjid, dan wiraswasta. Nelayan tradisional Belawan Medan resah atas aktivitas kapal pukat harimau atau trawl yang kerap menangkap ikan hingga ke sekitar pesisir perairan daerah itu. Pengoperasian pukat harimau di wilayah tangkapan nelayan tradisional tersebut bertentangan dengan peraturan pemerintah, karena alat tangkap yang digunakan pukat trawl itu hanya boleh dioperasikan pada kawasan perairan di atas 10 mil dari 8

garis pantai (http://www.antaranews.com/berita/278801/pukat-harimau-resahkannelayan-belawan di akses pada tanggal 14 Juni 2016 pukul 21.49 WIB) Metode menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap cantrang dengan cara membabi buta, menggunakan perahu/kapal dengan jaringnya yang berkantong, bersayap dan mempunyai mulut jaring yang lebar, panjang dan dalam. Sehingga lebih banyak ikan yang ditangkap dalam jangka waktu singkat. Tentu ini secara ekonomi adalah efisien dan efektif. Namun efek dari jaring cantrang itu, banyak juga ikan-ikan kecil maupun ikan yang tidak bisa dikonsumsi ikut tertangkap. Ikan-ikan yang tidak berguna ini biasanya mati begitu saja dan dibuang kembali ke laut. Banyaknya praktik penangkapan ikan ilegal dan merusak biota laut menyebabkan berkurangnya jumlah populasi ikan di wilayah Indonesia. Hal itu berdampak pada menurunnya jumlah ikan hasil tangkapan nelayan dan daerah penangkapan yang semakin meluas kelaut lepas. Akibat sulitnya mendapatkan ikan, banyak nelayan tradisional yang beralih menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti pukat dan cantrang (http://kkp.go.id/index.php/pers/indonesiapasok-30-persen-produk-perikanan-dunia/?print=print di akses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 16.42 WIB). Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, mengeluarkan kebijakan yang salah satunya tentang larangan penggunaan alat tangkap cantrang pada nelayan berlaku keseluruhan pada September 2015. World Wide Fund for Nature (WWF) juga mendukung kebijakan Menteri, khususnya dalam pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang untuk menangkap ikan. Sebab, alat tangkap tersebut berkontribusi besar terhadap rusaknya habitat dan eksploitasi kekayaan laut. Pro dan kontra membayangi setiap kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi 9

Pudjiastuti. Kebijakan pelarangan menggunakan cantrang sangat menyusahkan nelayan. Mayoritas nelayan masih menggunakan cantrang karena tidak ada alternatif lain (http://www.lensaterkini.web.id/2015/02/5-alasan-tetap-dukung-kebijakanmenteri.html di akses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 17.40 WIB). Bagi nelayan tradisional, yang tidak memiliki alat tangkap ikan yang modern akan menyebabkan kehidupan mereka makin terpuruk tatkala sumber daya laut makin langka. Nelayan tradisional ini, mereka umumnya adalah kelompok masyarakat pesisir yang paling miskin dan tidak berdaya. Dikatakan tidak berdaya karena mereka rawan menjadi korban eksploitasi para tengkulak. Kondisi ekonomi keluarga nelayan tradisional seringkali hidup serba paspasan, relatif kekurangan atau bahkan sangat kekurangan. Dengan kondisi musim ramai ikan yang hanya sekitar tiga bulan dalam setahun, memang suling berharap keluarga nelayan tradisional bisa memperoleh penghasilan rutin yang memadai, apalagi menabung. Nelayan tradisional disini penghasilan mereka pas-pasan karena hasil tangkapan ikan setiap harinya memang sedikit atau bahkan sama sekali kosong saat musin paceklik ikan tiba. Bagi warga masyarakat disini seperti keluarga nelayan tradisional, tekanan krisis memang terasa makin berat tatkala jumlah ikan yang ada di perairan sekitar mereka makin lama makin langka semenjak ada nya alat tangkap cantrang yang di gunakan oleh nelayan modern. Nelayan tradisional yang hanya mengandalkan teknologi sederhana, sebagian besar mengaku hasil tangkapan mereka makin lama makin menurun. Ratusan nelayan yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Tradisional Pantai Timur Sumatera Utara menyatakan dukungan atas Peraturan Menteri KKP No. 02 10

tahun 2015, juga meminta kepada aparat keamanan laut agar benar-benar melaksanakan peraturan tersebut. Karena selama ini, nelayan kecil di Belawan dari tahun ke tahun terus jadi korban pembiaran bagi kapal-kapal ikan pengusaha dengan alat tangkap mirip trawl (http://kompasiana.com/teddy_syamsuri/relawan-gantipantura-tetap-pada-posisi-dukung-kebijakanpemerintah_54f33e837455139f2b6c6d74 di akses pada tanggal 7 April 2016 pukul 14.12 WIB). Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengangkat permasalahan ini sebagai objek penelitian dengan judul Dampak Implementasi Kebijakan Larangan Penggunaan Alat tangkap Cantrang Terhadap Sosial Ekonomi Keluarga Nelayan Tradisional di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan 11

1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah Peraturan Menteri tentang Larangan Penggunaan Alat Tangkap Cantrang dilaksanakan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan? 2. Apa dampak dari larangan penggunaan alat tangkap cantrang terhadap sosial ekonomi keluarga nelayan tradisional? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui implementasi Kebijakan Larangan Penggunaan Alat Tangkap Cantrang. 2. Mengetahui dampak-dampak dalam implementasi kebijakan larangan penggunaan alat tangkap cantrang terhadap sosial ekonomi keluarga nelayan tradisional di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan. 1.3.2 Manfaat Penelitian 1. Secara akademis, dapat memberikan sumbangan positif terhadap khasanah keilmuan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, mengenai dampak implementasi kebijakan larangan penggunaan cantrang bagi nelayan tradisional di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan. 2. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dan informasi bagi peneliti untuk meningkatkan lagi pemahaman mengenai 12

kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh menteri tentang larangan penggunaan alat tangkap cantrang terhadap keluarga nelayan tradisional. 3. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan ini agar memberi solusi kepada para nelayan. 13

1.4 Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan uraian konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, dan definisi konsep. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan tentang gambaran lokasi penelitian yang berhubungan dengan objek yang diteliti. BAB V : ANALISIS DATA Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisisnya. BAB VI : PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang dilakukan. 14