BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L

RANCANGAN KRITERIA KLASIFIKASI PELAYANAN PELABUHAN

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH K E P E L A B U H A N A N KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN,

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KETAPANG dan BUPATI KETAPANG MEMUTUSKAN :

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN BELITUNG

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DI PELABUHAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara

BAB I PENDAHULUAN. serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.

BAB II STUDI PUSTAKA

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDOl\IESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Pesawat Polonia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BIDANG PERHUBUNGAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN KABUPATEN 1. Perhubungan Darat. 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERHUBUNGAN, INFORMASI DAN KOMUNIKASI PROVINSI BALI

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PELABUHAN DI KOTA TANJUNGPINANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEBIJAKAN PEMANFAATAN PELABUHAN PERIKANAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846]

PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR 77 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN PROVINSI RIAU


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

G U B E R N U R L A M P U N G

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN KATA PENGANTAR

BAB 5 ANALISIS DAN EVALUASI

G. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PERHUBUNGAN

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan.

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

Badan Litbang Perhubungan telah menyusun kegiatan penelitian yang dibiayai dari anggaran pembangunan tahun 2010 sebagai berikut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Studi Master Plan Pelabuhan Bungkutoko di Kendari KATA PENGANTAR

P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAU RANCANGAN KRITERIA TRAYEK TETAP DAN TERATUR, SERTA TIDAK TETAP DAN TIDAK TERATUR

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TERMINAL TOPIK KHUSUS TRANSPORTASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun Tentang

BAB III METODE PENELITIAN

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN TERMINAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

TERMINAL. Mata Kuliah : Topik Khusus Transportasi Pengajar : Ir. Longdong Jefferson, MA / Ir. A. L. E. Rumayar, M.Eng

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN

eresli::>en REP1.JOLIt< INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLlK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 82 TAHUN 2008

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2016, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 3 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015, No ruang wilayah Kabupaten Manggarai Barat sebagaimana yang direkomedasikan oleh Bupati Manggarai Barat melalui surat Nomor BU.005/74/IV

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI JEPARA NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG TRANSPORTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PENYEBERANGAN SINABANG KABUPATEN SIMEULUE

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Transkripsi:

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersial dan Non Komersial a. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersial 1) Memiliki fasilitas utama dan pendukung, baik di perairan dan daratan yang sesuai dengan kegiatan operasional pelabuhan. 2) Memiliki SDM yang mempunyai kompetensi, pengalaman dan bersertifikat dan selalu dilakukan training untuk meningkatkan kompetensi SDM untuk mendukung operasional pelabuhan. 3) Dikelola oleh badan usaha pelabuhan yang memiliki kompetensi dan izin di bidang pelabuhan dengan dukungan SDM yang handal. b. Kriteria Pelabuhan Yang dapat Diusahakan Secara Non Komersial 1) Memiliki fasilitas utama dan pendukung, baik di perairan dan daratan yang sesuai dengan kegiatan operasional pelabuhan. 2) Berfungsi melayani angkutan barang dan penumpang pada daerah terpencil dan terbatas. Dan memiliki volume kegiatan angkutan barang dan penumpang dengan skala kecil dan tidak dilayani oleh angkutan reguler. 3) Memiliki SDM yang mencukupi dalam mendukung kegiatan pelabuhan. 2. Kriteria Trayek Angkutan Laut dan Lintas Penyeberangan a. Kriteria Trayek Angkutan Laut 1) Dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional yang memiliki ruang lingkup usaha dan memiliki Laporan Akhir VI - 1

pengalaman sesuai. Kegiatan tersebut dilaporkan secara berkala kepada pihak yang berwenang. 2) Trayek tetap (Liner) ditetapkan oleh Pemerintah secara terintegrasi berdasarkan kebutuhan barang dan dalam rangka meningkatkan perekonomian. Trayek tersebut ditetapkan dengan memperhatikan dengan pelabuhan awal dan akhir, moda transportasi dan keselamatan pelayaran. 3) Trayek tidak tetap (Tramper) utamanya mengangkut muatan barang curah kering dan curah cair, barang sejenis, atau barang tidak sejenis melalui pengelompokan jenis muatan, kemampuan menangani jenis muatan dan memiliki sistem prosedur penanganan serta dapat menentukan pelabuhan yang dapat disinggahi. b. Kriteria Trayek Lintas Penyeberangan 1) Kewenangan pemerintah dalam menetapkan trayek. Kewenangan dalam menetapkan trayek tetap dan teratur serta mempunyai kesesuaian dengan perencanaan dan penerapan keterpaduan angkutan intra dan antarmoda. 2) Fasilitas moda lintas penyeberangan, menyediakan sarana tranportasi penyeberangan yang aman dan fasilitas bongkar muat penumpang dan kendaraan serta fasilitas lainnya. 3) Memiliki jaringan trayek tetap dan teratur dengan dilengkapi standar minimal pelayanan. 3. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Dioperasikan 24 jam Dalam Sehari dan 7 hari Dalam Seminggu 1) Memiliki fasilitas utama dan pendukung, baik di perairan dan daratan yang sesuai dengan kegiatan operasional pelabuhan dan dapat dioperasikan selama 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu. 2) Memiliki SDM yang mempunyai kompetensi, pengalaman dan bersertifikat dan selalu dilakukan training untuk meningkatkan kompetensi SDM untuk mendukung operasional pelabuhan selama 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu. 3) Dikelola oleh badan usaha pelabuhan yang memiliki kompetensi dan izin di bidang pelabuhan dengan dukungan SDM yang handal. Laporan Akhir VI - 2

4. Kriteria Terminal yang Dapat Melayani Angkutan Peti Kemas, Angkutan Curah Cair/Curah Kering, Kapal Penumpang dan Kapal Ro-Ro a. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Angkutan Peti Kemas 1) Dikelola oleh pengelola yang berkompeten, memiliki sistem dan prosedur pelayanan yang dibuat secara tertulis; 2) Memiliki SDM dengan jumlah yang memadai dan memiliki sertifikat keahlian; 3) Memiliki kesiapan fasilitas tambat untuk kapal petikemas yang dilengkapi dengan alat bongkar muat dan dioperasikan oleh SDM yang memiliki sertifikat keahlian. Dan memiliki lapangan penumpukan dan gudang CFS sesuai kebutuhan yang senantiasa dijaga keamanannya. 4) Tersedianya alur masuk kapal dengan kedalaman tertentu sesuai kapasitas pelayanan terminal yang dimilikinya dengan selalu dilakukan monitoring terhadap kedalaman alur tersebut dalam jangka waktu inspeksi yang ditetapkan. b. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Angkutan Curah Cair/Curah Kering 1) Memiliki kesiapan fasilitas tambat, peralatan bongkar muat curah, yaitu belt conveyor dan bucket elevator, tangki minyak dalam jumlah dan kapasitas yang memadai. 2) Memiliki SDM dengan jumlah dan kualitas yang memadai 3) Dioperasikan oleh pengelola pelabuhan yang berkompeten dan memiliki keandalan sistem operasi. c. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Kapal Penumpang 1) Memiliki fasilitas penanganan turun naik penumpang, ruang tunggu, keberangkatan dan kedatangan, yang memadai yang dilengkapi dengan toilet fasilitas hiburan, kantin, dan musholla; 2) Memiliki SDM dengan jumlah dan kualitas yang memadai yang dapat dibagi menjadi beberapa shift; 3) Memiliki kesiapan fasilitas tambat permanen yang khusus untuk kapal penumpang. Laporan Akhir VI - 3

d. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Kapal RoRo 1) Terminal harus memiliki fasilitas peralatan penanganan untuk naik turun penumpang dan kendaraan, ruang tunggu yang memadai, baik untuk keberangkatan maupun kedatangan, yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk kenyamanan penumpang, seperti fasilitas hiburan, mini kantin, toilet dan ruang ibadah; 2) Memiliki fasilitas parkir dan tempat antrian kendaraan saat akan masuk atau keluar kapal dengan kapasitas yang memadai dan memiliki ketahanan beban jalan serta tersedia tempat istirahat bagi penumpang dan para pengemudi; 3) Memiliki SDM denga jumlah dan kualitas yang memadai untuk melayani penumpang, barang dan kendaraan. 5. Kritera Wilayah Tertentu di Daratan (dry port) yang Dapat Berfungsi sebagai Pelabuhan a. Pembangunan dry port sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Memiliki aksesibilitas terhadap hinterland pelabuhan, baik untuk jaringan jalan, rel maupun ketersediaan moda transportasi darat/ka; b. Memperhatikan rencana induk pelabuhan nasional untuk mengetahui perubahan setiap tahun dari fasilitas prasarana maupun sarana transportasi; c. Memiliki tanah sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan dengan luasan yang memadai dan sesuai peruntukannya serta mendapat rekomendasi dari kepala daerah stempat. d. Memenuhi persyaratan kelayakan ekonomi, dimana lokasi merupakan tempat kegiatan ekonomi yang selalu dalam keadaan aktif; 6. Kriteria Terminal Khusus yang Terbuka untuk Perdagangan Luar Negeri a. Memenuhi persyaratan administrasi, yaitu rekomendasi dari pejabat fungsi keselamatan pelayaran di pelabuhan dan rekomendasi dari Gubernur atau Bupati/Walikota; b. Menangani jenis komoditi khusus yang dilengkapi dengan fasilitas dan peralatan untuk pelayanan kapal dan pelayanan komoditi khusus serta SOP penanganan komoditi khusus dan dioperasikan oleh operator yang memiliki keahlian; Laporan Akhir VI - 4

c. Memenuhi aspek ekonomi, bahwa terminal tersebut mampu mendukung pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional, melayani kegiatan lintas provinsi dan internasional, terletak pada jalur pelayaran internasional; d. Memiliki fasilitas utama dan pendukung, baik di perairan dan daratan yang sesuai dengan kegiatan operasional pelabuhan serta menerapkan ISPS Code. 7. Kriteria Alur Pelayaran yang Dapat Dikomersialkan a. Alur pelayaran harus diatur dan dijaga terkait dengan kedalaman, putaran dan lebar dari alur dalam rangka keselamatan pelayaran. Alur tersebut juga harus didukung oleh sarana bantu navigasi, pemanduan dan telekomunikasi serta didukung oleh perlindungan lingkungan maritim sebagaimana diamanatkan dalam peraturan dan perundangan yang berlaku. b. Memiliki izin prinsip dan izin operasional yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan kementrian yang bertanggung jawab. Penetapan izin untuk alur pelayaran yang dikomersilkan dengan memperhatikan faktor teknis, keselamatan pelayaran, finansial dan hinterland. c. Pembangunan dan penyelenggaraan alur dilakukan dengan memperhitungkan konsesi kepemilikan, aksesabilitas dan kecepatan, jumlah dan kapasitas kapal yang menggunakan alur, jenis kapal dan operasional penyelenggaraan alur pelayaran. Penyelenggaraan keamanan dan keselamatan pelayaran dilakukan oleh Pemerintah. d. Pengelolaan alur pelayaran di kelola oleh badan usaha yang mempunyai kompetensi dan pengalaman serta memiliki SDM yang mempunyai kompetensi dan berpengalaman dalam pengelolaan alur pelayaran. Dan dilakukan pelatihan secara berkala untuk meningkatkan kompetensi SDM. 8. Kriteria Badan Usaha yang Dapat Bergerak di Bidang Pencucian Tangki Kapal a. Badan usaha harus memiliki surat ijin usaha pendirian perusahaan dari instansi terkait dan memiliki SOP pencucian tangki kapal; b. Badan Usaha harus memiliki tenaga ahli yang memahami AMDAL dan mencegah penggunaan bahan pencucian tangki yang berbahaya ayng dituangkan dalam SOP; c. Badan usaha tersebut memiliki peralatan penanggulangan pencemaran (seperti oilboom, dispersant, dan absorbent) yang dilengkapi dengan manual book dan dioperasikan oleh Laporan Akhir VI - 5

SDM yang memiliki keahlian pencucian tangki kapal dan K3; d. Memahami lokasi pencucian tangki kapal yang direkomendasikan, yakni tidak mengganggu alur pelayaran, tidak merusak lingkungan, lokasi memiliki tinggi gelombang dan kekuatan angin yang kecil serta mendapat ijin dari instansi yang berwewenang. 9. Kriteria Lokasi Perairan yang Dapat Ditetapkan Sebagai Pembuangan Limbah dari Kapal di Laut a. Tidak berada di kawasan suaka alam atau taman nasional yang meliputi lokasi, keselamatan pelayaran, jenis limbah yang dibuang, SOP, instasi pengawasan serta fasilitas dan SDM untuk penanggulangan kerusakan. b. Tidak berada di alur pelayaran yang meliputi lokasi, keselamatan pelayaran, jenis limbah yang dibuang, SOP, instasi pengawasan serta fasilitas dan SDM untuk penanggulangan kerusakan. c. Jarak dari garis pantai lebih dari 12 Mil laut pantai meliputi lokasi pembuangan, jenis limbah, perijinan, SOP, instansi pengawas, ambang mutu dan fasilitas serta SDM 10. Kriteria Lokasi Perairan yang Dapat Dimanfaatkan untuk Bangunan atau Instalasi di Laut a. Memenuhi persyaratan penempatan, pemendaman, dan penandaan dari instalasi di laut; b. Tidak menimbulkan kerusakan terhadap bangunan atau instalasi SBNP dan fasilitas telekomunikasi pelayaran;tidak berada dalam alur pelayaran dan berada di luar perairan wajib Pandu dan Tidak berada dalam lingkungan perairan pelabuhan dan Tidak berada pada daerah terumbu karang yang dilestarikan; c. Tidak berada pada daerah rawan gelombang dan arus laut yang ekstrim. B. SARAN-SARAN Berdasarkan kesimpulan yang diambil, maka beberapa hal dapat disarankan untuk penyempurnaan pekerjaan dimasa mendatang, sebagai berikut: 1. Penyusunan kriteria di bidang transportasi laut harus tetap mengacu pada peraturan dan perundangan yang berlaku yang ada, baik nasional maupun internasional; Laporan Akhir VI - 6

2. Penetapan kriteria setidaknya menjelaskan persyaratan dan tata cara yang harus dipenuhi; 3. Untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif, dapat dilakukan studi standarisasi yang lebih difokuskan pada pembahasan untuk masing-masing kriteria. Laporan Akhir VI - 7