II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Tanaman Kecubung Kecubung termasuk tumbuhan perdu yang tersebar luas di daerah yang beriklim kering. Umumnya tumbuh liar di tempat terbuka pada tanah berpasir yang tidak begitu lembab, seperti semak, padang rumput, tepi sungai, atau ditanam di pekarangan sebagai tumbuhan obat. Kecubung hidup di daerah dataran rendah sampai ketinggian 800 meter dari permukaan laut (dpl) (Dalimartha, 2000). Kecubung yang mempunyai pokok batang kayu, keras dan tebal, bercabang banyak, tumbuh dengan tinggi kurang dari 2 meter. Daun kecubung berwarna hijau berbentuk bulat telur, tunggal, tipis, dan pada bagian tepinya berlekuk lekuk tajam dan letaknya berhadap-hadapan. Ujung dan pangkal daun meruncing dan pertulangannya menyirip (Tampubolon, 1995). Panjang daun 6 25 cm dan lebar 4,5 20 cm. Bunga kecubung menyerupai terompet dan berwarna putih atau lembayung. Buahnya hampir bulat yang salah satu ujungnya didukung oleh tangkai tandan yang pendek dan melekat kuat. Bagian luar buah dihiasi duri-duri dan didalamnya berisi biji-biji kecil yang berwarna kuning kecoklatan (Dalimartha, 2000; Thomas, 2003)
9 Ilustrasi 1. Tanaman Kecubung Taksonomi tanaman kecubung menurut Tjitrosoepomo (1994) sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub kelas : Sympetalae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Datura Spesies : Datura metel L Daun kecubung (Datura metel L.) telah diketahui mengandung alkaloid turunan tropan (Katno dan Pramono, 2006) yang merupakan bahan yang dapat digunakan untuk membius dan juga dapat digunakan sebagai obat (Kartasapoetra, 1988). Kandungan alkaloid tanaman kecubung dalam masing-masing organ bervariasi, pada daun muda 0,813 %, daun tua 0,038 % dan bunga 0,2 % (Heyne, 1987). Kandungan senyawa alkaloid tropan berupa atropin, skopolamin dan hyosiamin (Thomas, 2003). 2.2 Itik Itik asli Indonesia termasuk jenis Indian Runner (Anas plathyryncos). Secara morfologis Indonesia memiliki beberapa jenis itik lokal berdasarkan tempat berkembangnya (Simanjuntak, 2002). Bangsa itik domestikasi dibedakan menjadi tiga yaitu: pedaging, petelur dan hiasan. Itik-itik yang ada sekarang merupakan
10 keturunan dari Mallard berkepala hijau (Anas plathyrhynchos plathyrhynchos). Klasifikasi itik menurut Srigandono (1997) adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Aves Ordo : Anseriformes Familia : Anatidae Sub Famili : Anatinae Genus : Anas Species : Anas Platyrhyncos Itik termasuk dalam unggas air (water fowl) yang menghasilkan produk berupa telur dan daging yang bermanfaat serta menguntungkan bagi kehidupan manusia (Srigandono, 1997). Itik merupakan unggas air yang memiliki ciri-ciri kaki relatif lebih pendek dibandingkan tubuhnya dan jarinya dihubungkan dengan selaput renang, paruhnya ditutupi oleh selaput halus yang sensitif, bulu berbentuk cekung, tebal ke arah tubuh, dan berminyak, itik dewasa memiliki lapisan lemak di bawah kulit, daging itik tergolong daging gelap (dark meat), dan tulang dada itik datar seperti sampan (Suharno dan Setiawan, 2001). 2.3 Sel Darah Merah Sel darah merah berbentuk cakram bikonkaf dan dibentuk di sumsum tulang (Hoffbrand dan Pettit 1996). Cakram bikonkaf tersebut mempunyai permukaan yang relatif luas untuk pertukaran oksigen melintasi membran sel (Guyton dan Hall, 1997). Panjang dan lebar diameter sel darah merah pada itik yaitu 12,8 dan 6,6 µm (Groebbels, 1932 dalam Sturkie, 1976). Sel darah merah pada unggas berbeda dengan mamalia, yaitu memiliki inti dan ukuran yang besar. Sel darah merah yang dewasa berbentuk elips, inti berbentuk
11 oval dan bergerak di tengah (Mitruka dkk, 1977). Sel darah merah bertugas mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh (Soeharsono dkk, 2010). Sel-sel darah merah dibentuk di dalam organ pembuat darah dan prosesnya disebut erytropoesis (Soeharsono dkk, 2010). Pembentukan sel darah merah berlangsung secara terus menerus seimbang dengan proses penghancuran sel darah merah. Sel darah merah baru yang diproduksi setiap hari sangat banyak sehingga membutuhkan precursor mensintesis sel tersebut (Hoffbrand dan Pettit 1996). Jumlah sel darah merah dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin (Suprijatna dkk, 2008). Selain itu jumlah sel darah merah dipengaruhi oleh spesies, aktivitas, status nutrisi, bangsa, suhu lingkungan dan faktor iklim. (Swenson, 1984). Jumlah sel darah merah itik (Anas platyrhynchos domesticus) berkisar antara 1,80-3,82 10 6 /μl (Mitruka dkk, 1977). 2.4 Hemoglobin Hemoglobin merupakan zat padat dalam sel darah merah yang menyebabkan warna merah, serta merupakan molekul protein pada sel darah merah (Frandson, 1992). Molekul hemoglobin terdiri atas heme dan globin, heme mengandung 4 molekul porfirin yang masing-masing dapat mengikat satu molekul oksigen, sehingga 1 molekul hemoglobin dapat mengikat 4 molekul oksigen (Soeharsono dkk, 2010). Adanya hemoglobin dalam sel darah merah mampu untuk mengangkut oksigen. Hemoglobin bergabung dengan oksigen dengan ikatan yang labil berbentuk oksihemoglobin yang selanjutnya melepaskan oksigen ke sel-sel jaringan di dalam tubuh (Frandson, 1992), setelah oksigen lepas disebut deoxyhemoglobin (Soeharsono dkk, 2010).
12 Jumlah hemoglobin di dalam darah dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, keadaan fisik, cuaca, tekanan udara, dan jumlah sel darah merah. Kadar hemoglobin berbanding lurus dengan jumlah sel darah merah, semakin tinggi jumlah sel darah merah maka akan semakin tinggi pula kadar hemoglobin dalam sel darah merah tersebut (Haryono, 1978). Kadar hemoglobin itik (Anas platyrhynchos domesticus) berkisar antara 9-21 g/dl (Mitruka dkk, 1977). 2.5 Hematokrit Hematokrit ialah volume sel darah merah didalam 100 ml darah dan dinyatakan dalam persen (%) (Hoffbrand dan Pettit, 1987). Pada hewan normal nilai hematokrit berbanding lurus dengan jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin. Semua faktor yang mempengaruhi proses produksi dan jumlah sel darah merah seperti jenis kelamin, kondisi dan aktivitas fisik, nutrisi dan sebagainya berpengaruh pula terhadap nilai hematokrit (Sturkie, 1976). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh jumlah sel dan ukuran sel. Volume sel mungkin mengalami perubahan akibat peningkatan air plasma (hemodilution) atau penurunan air plasma (hemoconcentration) tanpa mempengaruhi jumlah sel sepenuhnya (Sturkie dan Griminger, 1976). Rataan nilai hematokrit normal pada unggas adalah 30-33 % (Swenson, 1984). Nilai hematokrit itik (Anas platyrhynchos domesticus) berkisar antara 32,6-47,5 % (Mitruka dkk, 1977). 2.6 Transportasi Ternak dan Potensi Stres Transportasi ternak merupakan suatu kegiatan yang umum dilakukan pada komoditas peternakan, yang berpotensi menimbulkan stres akibat pengaruh lingkungan yang tidak sesuai dengan proses fisiologisnya selama perjalanan (Aberle
13 dkk, 2001). Faktor penyebab stres akibat transportasi pada unggas, diantaranya yaitu ketika penangkapan, penanganan ternak yang kasar, pemuatan unggas ke dalam kendaraan, kepadatan unggas, lingkungan kendaraan dan musim (Voslarova, 2007). Stres dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi pada ternak yang menyebabkan meningkatnya suhu atau stresor lain yang berasal dari luar ataupun dari dalam tubuh ternak (Ewing dkk. 1999), sedangkan Moberg (2000) mendefinisikan stres sebagai setiap respons biologis yang dapat menimbulkan ancaman dan mengganggu homeostasis pada hewan, bahkan setiap stressor yang berdampak negatif pada kesejahteraan binatang dapat dikategorikan sebagai stres.