BAB I PENGANTAR. Pertunjukan wayang atau biasa disebut pakêliran sudah. populer di kalangan masyarakat Jawa. Menurut data historis,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI KESIMPULAN. Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan. salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu

Pagelaran Wayang Ringkas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana. Pertunjukan berlangsung selama dua jam sepuluh menit dan

MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema

Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde

menganggap bahwa bahasa tutur dalang masih diperlukan untuk membantu mendapatkan cerita gerak yang lebih jelas.

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Bali secara umum memiliki peran di dalam keberlangsungan

MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan)

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal

pergelaran wayang golek. Dalam setiap pergelaran wayang golek, Gending Karatagan berfungsi sebagai tanda dimulainya pergelaran.

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. negara yang kaya dalam berbagai hal, termasuk dalam segi kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. dengan dewasa, di dalam lingkungan sekolah, rumah dan di masyarakat,

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan

MATERI STUDI RELIGI JAWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. semua peristiwa itu aktivitas menyimak terjadi. Dalam mengikuti pendidikan. peristiwa ini keterampilan menyimak mutlak diperlukan.

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV PENUTUP. Banyumas. Jemblung berawal dari dua kesenian rakyat yaitu Muyèn dan Menthièt.

BAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai

Cover Page. The handle holds various files of this Leiden University dissertation

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lilis Melani, 2014 Kajian etnokoreologi Tari arjuna sasrabahu vs somantri di stsi bandung

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan yang terjadi pada zaman kerajaan masa lampau, yang merupakan

PADEPOKAN DAN GEDUNG PERTUNJUKAN WAYANG ORANG DI SURAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR NEO VERNAKULER

BAB I PENGANTAR. Pertunjukan wayang merupakan sebuah media untuk. menuturkan cerita yang hebat. Hal ini dikarenakan cerita

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. Peranan Panakawan dan Denawa (Buta) pada pertunjukan seni tradisi Wayang

DALANG ANAK DALAM PERTUNJUKAN WAYANG

BAB I PENDAHULUAN. Peneliti mengenal penari-penari wayang topeng di Malang, Jawa Timur sejak

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesenian pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, yakni dengan penggunaan handphone

BAB I PENGANTAR. Pertunjukan wayang kulit hingga sekarang tetap populer serta sering

1.1 BAB I 1.2 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kental kehidupannya

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

MUSEUM WAYANG NUSANTARA DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. lain termasuk teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilakukan secara lisan maupun tertulis. Melalui bahasa, manusia berinteraksi

PEMBINAAN PEMBELAJARAN CATUR PAKELIRAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa

2014 TARI WAYANG HIHID DI SANGGAR ETNIKA DAYA SORA KOTA BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts.

BAB I PENDAHULUAN. Budaya tersebut terbagi dalam beberapa daerah di Indonesia dan salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

2015 TARI MAKALANGAN DI SANGGAR SAKATA ANTAPANI BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat.

MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. 2008:73). Pada jaman dahulu dongeng disampaikan secara lisan sebelum

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diandalkan adalah produk budaya terutama kesenian. Bangsa Indonesia banyak

BAB II LANDASAN TEORI. tradisi slametan, yang merupakan sebuah upacara adat syukuran terhadap rahmat. dan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan

PEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia dikenal dengan keberagaman tradisinya, dari

BAB I PENDAHULUAN. dilukiskan dalam bentuk tulisan. Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2015 PERKEMBANGAN KESENIAN BRAI DI KOTA CIREBON TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT

BAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas dan bermanfaat untuk kemajuan bangsa. Di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

ANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN HIPERBOLA LAGU-LAGU JIKUSTIK DALAM ALBUM KUMPULAN TERBAIK

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

Transkripsi:

BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pertunjukan wayang atau biasa disebut pakêliran sudah populer di kalangan masyarakat Jawa. Menurut data historis, pertunjukan wayang sudah ada pada abad IX dalam Prasasti Kuti 840 M yang didalamnya terdapat istilah haringgit yang berarti wayang. 1 Istilah ringgit juga terdapat Kakawin Arjuna Wiwaha, bait 59 sebagai berikut. Hanânonton ringgit manangis asêkêl mudha hidêpan huwus wruh towin yan walulang inukir molah angucap hatur ning wang trêsnèng wisaya malah tan wihikana tatwan jan maya sahan-haning bawa siluman. (Ada orang melihat wayang menangis, kagum serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit dipahat dibentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang itu umpamanya orang yang bernafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa semua ini hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semu saja.) 2 Wayang mempunyai berbagai jenis diantaranya wayang gêdhog, wayang golèk, wayang bèbèr, wayang kulit purwa, wayang 1Timbul Haryono, Seni Pertunjukan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni (Surakarta: ISI Press, 2008), 334 2Hazeu, Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami Ing Jaman Kina (Jakarta:Depdikbud, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1979), 41.

2 wahyu, dan lain sebagainya. Pertunjukan wayang kulit purwa lah yang masih mendapat tempat di hati masyarakat pendukungnya. Ada beberapa alasan di antaranya, cerita yang diambil lebih populer di kalangan masyarakat Indonesia, jumlah tokohnya lebih banyak dibanding jenis wayang lain, alur dan garapan isi cerita dapat mengakomodasi dengan keadaan yang berkembang di masyarakat, dan cerita wayang kulit purwa menjadi cermin acuan dalam kehidupan sehari-hari. 3 Berbagai acara yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, swasta, maupun perorangan menghadirkan pertunjukan wayang sebagai puncak acara. Ada pula pertunjukan wayang kulit purwa yang diselenggarakan dalam sebuah acara festival. Selain peningkatan pementasan wayang kulit purwa dalam berbagai acara, banyak bermunculan dalang-dalang muda. Pertumbuhan dalang mengalami perkembangan yang signifikan. Dalang-dalang muda dari berbagai kota di Indonesia mulai menunjukkan kemampuan dalam memainkan wayang, bahkan pertumbuhan dalang tidak hanya pada orang dewasa tetapi juga anak-anak mulai tampil menyajikan pertunjukan wayang. Berdasarkan pengalaman empiris, akhir-akhir ini banyak generasi muda yang mulai belajar dan mementaskan wayang. 3Bambang Murtiyoso, Waridi, Suyanto, Kuwato, dan Harijadi Tri Putranto, Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang (Surakarta: Citra Etnika, 2004), 2-11.

3 Muncul fenomena dalang anak atau dalang cilik yang mementaskan wayang kulit sehingga mengobati kegelisahan akan hilangnya generasi penerus yang mencintai budaya tradisional. Istilah dalang cilik dikarenakan isih cilik atau masih anak-anak. Aristoteles menggambarkan anak-anak ialah mereka yang berusia dari 7 sampai 14 tahun. 4 Selain dalang cilik, ada pula sebutan dalang bocah. Pertumbuhan dalang tampak pada data yang diperoleh yakni pada saat Festival Temu Dalang Cilik Nusantara selanjutnya disingkat TDCN yang diprakarsai oleh Sanggar Sarotama di Surakarta. Sanggar Sarotama menyelenggarakan Festival Temu Dalang Cilik Nusantara sejak tahun 2005. Festival dalang anak sudah diadakan mulai dari tingkat daerah maupun nasional. Adapun dalam festival TDCN ini merupakan tingkat nasional. Penelitian ini didasari pengamatan festival sejak tahun 2005 sampai tahun 2011. Selama kurun waktu itu terdapat empat peristiwa festival TDCN yang menyajikan pertunjukan wayang kulit dengan dalang anak. Pertama, TDCN I pada tanggal 1-6 Juli 2005 bertempat di Taman Budaya Jawa Tengah, diikuti 29 dalang anak. Kedua, TDCN II pada tanggal 21-26 Juli 2007 diikuti 34 dalang anak. Ketiga, TDCN III tanggal 15-20 Juli 2009 diikuti 41 4Syamsu Yusuf LN., Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cetakan kedua, Mei 2001), 20.

4 dalang anak. Keempat, TDCN IV pada tanggal 4-9 Juli 2011 diikuti 77 dalang anak. Satu dari empat peristiwa tersebut yang menarik, yaitu peristiwa yang digelar pada tahun 2011 : Temu Dalang Cilik Nusantara IV. Festival tersebut mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia atas penyelenggaraan festival dengan peserta dalang anak terbanyak yaitu 77 peserta. Data ini menunjukkan jika wayang masih dicintai oleh masyarakat pendukungnya terutama anak-anak. Jika dilihat lebih lanjut, perkembangan anak-anak yang mulai berani mementaskan wayang merupakan sebuah prestasi pada generasi muda. Ada fenomena yang menarik berkenaan dengan pertumbuhan dalang anak yang semakin kian marak. Pertunjukan wayang kulit purwa yang digelar semalam suntuk biasanya menampilkan dalang dewasa kini bermunculan dalang anak tampil dalam sebuah festival. Seiring dengan perkembangan jaman, wayang ditantang untuk tetap menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sudah barang tentu, dalang sebagai tokoh sentral memegang fungsi yang sangat penting. Dalang anak sebagai peserta festival mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh panitia. Peraturan festival diterapkan untuk mengekfektifkan pertunjukan selama kegiatan berlangsung. Peraturan atau tata tertib meliputi sajian pertunjukan maupun

5 teknis dalam kegiatan. Dalam festival, seluruh peserta juga mendapat penghargaan berdasarkan pengamatan dan penilaian dari pengamat yang mengacu pada kaidah estetika pedalangan. Penghargaan ini diberikan sesuai dengan kemampuan dan sajian pertunjukan yang ditampilkan. Sebagai bentuk pertunjukan festival, tidak diberikan penjuaraan dengan urutan nomor dikarenakan ajang festival merupakan sebuah bentuk atau wadah menyalurkan kesenangan yang dalam hal ini adalah festival dalang anak dengan menyajikan pertunjukan wayang kulit purwa. Mengingat keterbatasan usia anak yang rentangannya dimulai dari usia 7 sampai 14 tahun, maka kajian ini dibatasi untuk dalang cilik yang masih berusia anak. Sebagai bahan kajian difokuskan pertunjukan dalang anak Bima Anggoro usia 11 tahun dari Nganjuk Jawa Timur pada Temu Dalang Cilik IV tahun 2011. Pemilihan dalang anak Bima Anggoro didasari atas pertimbangan lakon yang disajikan, prestasi pada saat festival, dan latar belakang anak. Adapun lakon yang ditampilkan adalah lakon Wahyu Cakraningrat yang bersumber dari epos Mahabarata yang merupakan lakon baku dengan bentuk pakêliran ringkas. Pada festival tersebut, dalang anak Bima Anggoro mendapat predikat tiga Dalang Dadi yang dalam penyajiannya ada beberapa hal yang menonjol yaitu unsur penyuaraan tokoh wayang yang mampu dibedakan, ada nilai keselarasan nada atau tidak bléro dalam

6 sulukan, karawitan pakêliran dilaksanakan oleh anak-anak yang masih menggunakan gêndhing-gêndhing dalam pakêliran. Latar belakang Bima Anggoro adalah anak dalang. Proses mendalang ia diperoleh dari lingkungannya sejak dini. 1.2 Rumusan Masalah Adapun penelitian ini menitikberatkan permasalahan yang menarik diungkapkan berkenaan dengan topik yang diambil sebagai berikut: 1. Apa yang melatarbelakangi Bima Anggoro mendapat predikat Dalang Dadi dalam festival? 2. Bagaimana sajian pertunjukan wayang kulit purwa yang ditampilkan oleh dalang anak Bima Anggoro? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian yang berjudul Pertunjukan Wayang Kulit Purwa oleh Dalang Anak Bima Anggoro pada Festival Temu Dalang Cilik Nusantara IV di Surakarta bertujuan untuk mencari jawaban dari permasalahan yang disebutkan pada rumusan masalah. Sebuah fenomena pakêliran wayang kulit purwa yang lazimnya dimainkan oleh dalang dewasa kini bermunculan anak-anak yang mementaskan wayang kulit. Kajian ini untuk memberikan

7 gambaran sajian pertunjukan wayang kulit purwa yang disajikan oleh dalang anak dalam bentuk pakêliran ringkas pada sebuah festival serta kaidah estetika pedalangan yang diterapkan selama pertunjukan. Adapun fokus kajian pada sajian pertunjukan wayang kulit purwa yang disajikan oleh dalang anak Bima Anggoro dalam festival Temu Dalang Cilik Nusantara IV. Kedua, mengenai proses belajar mendalang Bima Anggoro hingga motivasi untuk tampil sebagai dalang anak dalam sebuah festival. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan khasanah pengetahuan dalam bidang kajian seni pedalangan khususnya dan seni pertunjukan pada umumnya. Ditemukannya sajian pertunjukan wayang kulit purwa oleh dalang anak pada saat festival sebagai upaya meningkatkan profesionalisme dalang anak di kemudian hari. Proses mendalang melalui pewarisan dapat dipakai sebagai acuan belajar anak-anak ketika berlatih untuk menjadi dalang. 1.4 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka memberi gambaran berbagai tulisan yang bersinggungan dengan topik penelitian. Hal tersebut dimaksudkan untuk membuktikan keaslian sebuah penelitian, apakah topik terkait pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya atau tidak. Kajian mengenai pertunjukan wayang telah banyak dilakukan peneliti

8 sebelumnya. Beberapa tulisan yang menyangkut pertunjukan wayang yang pernah dijumpai. Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko, dalam bukunya Sejarah Pedalangan (2007), memuat asal usul pertunjukan wayang dan berbagai jenis wayang yang muncul mulai zaman prakemerdekaan sampai dewasa ini. Di samping itu, menguraikan mengenai aspek-aspek di dalam pertunjukan wayang kulit, misalnya repertoar wayang, peralatan, dan boneka wayang. Pemahaman mengenai sebuah pertunjukan wayang telah dikupas dalam buku ini. Soetarno dalam Wayang Kulit : Perubahan Makna Ritual dan Hiburan (2004) membahas asal mula dan perkembangan wayang sampai pada nilai-nilai tradisional versus nilai baru dalam pertunjukan wayang kulit pada masa kini. Perubahan nilai pertunjukan wayang yang mulanya sebagai sarana ritual, pada masa kini pertunjukan wayang kulit sebagai hiburan sosial pula. James R. Brandon, James R. Yang berjudul On Thrones of Gold: Three Javanese Shadow Plays (1970), membicarakan tiga lakon pewayangan Jawa. Brandon memberikan pengantar yang berisi sejarah wayang kulit purwa, jenis-jenis wayang, lakon, teknik pementasan, dan peralatan pendukung pertunjukan wayang. Pembicaraan mengenai lakon yaitu Wahyu Purbasejati, Irawan Rabi, Karna Tanding. Pembahasan yang telah

9 dipaparkan merupakan unsur pokok untuk diketahui dan dikuasai oleh seorang dalang. Victoria M. Clara van Groenendael dalam bukunya Dalang di Balik Wayang (1987), berisi pemaparan peranan dalang dan sekaligus pertunjukan wayang kulit di dalam masyarakat Jawa pada tahun 1976-1978. Dari penelitian lapangan pada waktu itu ia menemukan bahwa terjadi perubahan peranan dalang dan pola pertunjukan wayang sebagai respon atas keterlibatan dalang dan wayang dalam konteks masyarakat yang lebih luas. Perubahan itu tidak berlangsung secara penuh dan bahkan masih dibingkai oleh peranan tradisional mereka. Secara tradisional dalang mempunyai peranan sosio-religius, yaitu sebagai penghubung antara manusia dengan kekuatan-kekuatan adikodrati dalam rangka memelihara harmoni antara kedua unsur tersebut sebagai aktualisasi dari tertib semseta. Dalang yang dipandang sabagai penghubung manusia dengan jagad besar atau antara komunitas dan dunia spiritual. Pembicaraan dalang dan pertunjukan wayang meliputi pendidikan dalang, arti penting silsilah dalang, gaya tradisi dalang, transaksi dalang dan penanggap, kesempatan dalang pentas, dan pergelaran. Berbagai pembahasan dalam tulisan ini, objek pertunjukannya adalah dalang dewasa sebagai contoh Ki Anom Suroto dan belum menyinggung mengenai dalang anak.

10 Disertasi Junaidi yang berjudul Pakeliran Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta oleh Dalang Anak. Disertasi untuk meraih derajat Sarjana S-3, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2010, membahas pakeliran wayang kulit purwa oleh dalang anak yang ditampilkan oleh dalang anak Anggit Laras Prabowo dengan lakon Anuman Dhuta dan Doni Siswanto dengan lakon Aji Narantaka dengan mengamati struktur lakon, format wayang, panggungan, dan motivasi tampilnya seorang anak menjadi dalang. Disertasi Junaidi dapat membantu untuk memberi gambaran pakêliran wayang kulit purwa yang disajikan oleh dalang anak. Nuksma dan Mungguh: Estetika Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta disertasi yang ditulis oleh Sunardi. Disertasi untuk meraih derajat Sarjana S-3, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2012, membahas unsur estetika pedalangan, proses pembentukan konsep nuksma dan mungguh, perwujudannya dalam pertunjukan, serta sebagai orientasi estetik pertunjukan wayang kulit purwa gaya Surakarta. Nuksma dan mungguh diartikan sebagai ketepatan dan kesesuaian dalam menjiwakan pertunjukan wayang. perwujudannya dapat dijelaskan melalui ketepatan dan kesesuaian ekspresi garap catur, sabêt, dan karawitan pakêliran yang menghasilkan kesan rasa

11 rêgu, grêgêt, prênes, dan sedih. Nuksma dan mungguh menjadi dasar penjiwaan pertunjukan wayang dan petunjuk kualitas dalang dan menjadi acuan penilaian pertunjukan wayang. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas, tidak ditemukan hasil penelitian atau buku yang secara khusus membahas tentang sajian pertunjukan wayang kulit purwa yang ditampilkan dalam bentuk festival yang terikat dengan peraturanperaturan selama festival. Pemilihan fokus kajian dalang anak Bima Anggoro belum disentuh oleh peneliti sebelumnya. Oleh karena itu penelitian ini dipandang orisinil. 1.5 Landasan Teori Dalam penelitian seni dapat dimungkinkan tidak hanya diperlukan satu disiplin ilmu saja untuk memecahkan beberapa permasalahan yang dikemukakan. Untuk menyikapi kajian tersebut maka pendekatan multidisiplin digunakan dalam penelitian ini. Pendekatan multidisiplin bukan terbatas pada analisisnya, akan tetapi juga pada pencarian dan pengumpulan datanya. 5 Estetika dalam struktur pergelaran wayang digunakan oleh para dalang dalam pakêliran mempertunjukkan pertunjukan yang artistik estetik. Pertunjukan artistik estetik merupakan 5 R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 16.

12 pertunjukan yang digarap dengan apik sehingga dapat menyajikan pertunjukan yang memiliki nilai-nilai dan keindahan. Estetika pedalangan merupakan kegiatan dari filsafat yang mempersoalkan mengenai keindahan suatu karya seni yang dalam hal ini adalah pedalangan. 6 Estetika pedalangan digunakan untuk menganalisa pertunjukan wayang kulit purwa lakon Wahyu Cakraningrat. Lakon yang disajikan dalam pertunjukan wayang kulit purwa gaya Surakarta disusun tiga babak atau pathêt yaitu pathêt nem, pathêt sanga, pathêt manyura. Masing-masing pathêt terdiri dari adegan yang di dalamnya terdapat struktur deskripsi, dialog, dan tindakan yang tercermin pada unsur garap catur, sabêt, dan karawitan pakêliran. 7 Rincian konsep estetika pedalangan dalam serat Sastramiruda sebagai berikut: 1) Amardawagung, artinya: dalang harus memahami dan atau menguasai gending maupun tembang kawi yang dipergunakan untuk suluk pakeliran. 2) Amardibasa, artinya: dalang harus menguasai bahasa dalam pewayangan serta mampu membedakan warna suara masing-masing tokoh wayang yang disebut antawacana. 6Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, Estetika Pedalangan (Surakarta: ISI Surakarta bekerjasama dengan CV. Adji Surakarta 2007), 21-22. 7 Soetarno, 2004, 106-110.

13 3) Awicarita, artinya: dalang harus menguasai banyak cerita atau lakon wayang. 4) Paramakawi, artinya: dalang harus menguasai kosakata Jawa Kuna dan sinonimnya. 5) Paramasastra, artinya: dalang harus memahami pengetahuan tentang buku-buku pedalangan atau tidak buta huruf. 6) Sabêt, artinya: dalang harus terampil dalam menggerakkan boneka wayang sesuai dengan karakter tokoh wayang. 8 Buku Gêgêbêngan Panjangmas menyatakan bahwa penyajian wayang kulit yang dianggap berbobot jika sesuai dengan konsep estetik seperti di bawah ini. 1) Grêgêt, artinya bahwa dalang dalam menyajikan pertunjukan wayang harus memiliki semangat hidup, yaitu semangat berkesenian. 2) Sêngguh, artinya bahwa dalang harus sadar diri dan lepas dari kesombongan dan selalu mengaktualisasikan diri (belajar secara terus menerus). 3) Nyawiji, diartikan bahwa dalang harus manunggal sebagai bibit gerak seninya (menyatu dan total), terus mendalami 8 Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, 74.

14 sampai tuntas sehingga penyajian wayangnya merupakan satu kesatuan. 4) Nora mingkuh, artinya dalang harus konsisten dan setia kepada nilai-nilai anutan gêndhing. 5) Mungguh, artinya bahwa apa yang disajikan oleh dalang pada pertunjukan wayang harus mantap. 9 Penyajian sabêt sebagai syarat keindahan perlu diperhatikan oleh para dalang. Adapun syarat-syarat keindahan dalam sabêt yang disajikan dalang yaitu: 1. Grêgêt, artinya gerak-gerak wayang yang ditampilkan harus terkesan hidup. 2. Sabêt, artinya setiap gerak wayang yang ditampilkan dapat dikemas secara rapi. 3. Cancut, artinya bahwa gerak-gerak wayang harus tampil secara resik dan trampil. 4. Runtut, artinya bahwa gerak-gerak wayang yang disajikan harus menurut kaidah yang berlaku dalam dunia pedalangan. 5. Pangguh, artinya bahwa setiap gerak wayang harus serba pantas. 6. Nalar, artinya bahwa dalang harus dapat menguasai kesulitan dalam menggerakkan wayang. 10 9 Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, 77.

15 Selain persyaratan estetik pada unsur sabet, persyaratan estetik dalam unsur catur, yaitu: 1. Tutug, artinya cerita yang disajikan dari awal, tengah, sampai akhir dapat menyatu dan konsisten. 2. Tanduk, artinya bahwa dalang harus pandai dan terampil dalam mengucapkan janturan, pocapan, dan ginem, sehingga terasa enak didengarkan dan mudah dipahami oleh penonton. 3. Sabda, yakni bahasa maupun ucapan tokoh yang digunakan dalam suatu adegan ataupun keseluruhan lakon tidak diulang-ulang. 4. Lêbda, artinya dalang harus cakap dalam menggunakan bahasa pedalangan. 5. Wêwèka, artinya dalang dituntut mengetahui seluk beluk pengetahuan wayang maupun lakon. 6. Mungguh, memiliki arti patut, sesuai, tepat azas, relevan. 7. Lungguh, dalam ginem wayang harus sesuai dengan status dan kedudukan sosial tokoh dalam dunia wayang. 8. Cucut, diartikan bahwa dalam dialog dapat memunculkan humor yang segar. 9. Nuksma atau langgut, berarti dalam mengekspresikan emosi harus pas dan mantap, baik narasi, maupun 10 Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, 77-78.

16 percakapan wayang terkesan mantap dan seolah-olah hidup. 10. Tatas, artinya bahwa narasi (janturan dan pocapan) ditampilkan dengan jelas, urut, dan tidak tumpangtindih. 11. Micara, artinya bahwa dalang harus pandai menyusun kata-kata serta terampil dalam dialog wayang. 11 Dalang anak adalah mereka yang berusia 7-14 tahun yang masih dalam tahap tumbuh kembang. Perkembangan anak tentu akan sangat berbeda dari perkembangan orang dewasa. Perkembangan suatu proses yang kekal dan tetap yang menuju ke arah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan proses pertumbuhan, kemasakan dan belajar. 12 Setiap tingkah laku tentu mempunyai motif yang mendasari perbuatan. Setiap perbuatan dan tindakan mempunyai dasar atau mempunyai motif. Untuk menganalisis proses belajar mendalang anak perlu diketahui motivasi yang mendorong anak melakukan tindakan mementaskan wayang. Motivasi dapat dibedakan antara lain motivasi yang internal dan motivasi yang eksternal. Motivasi yang internal berarti bahwa sesuatu perbuatan memang diinginkan karena seseorang senang melakukannya, di sini datang dari dalam diri orang itu sendiri. Orang tersebut senang 11 Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, 78. 12 Syamsu Yusuf LN., 2001, 11-16.

17 melakukan perbuatan itu demi perbuatan itu sendiri. Sebaliknya motivasi eksternal berarti bahwa sesuatu perbuatan dilakukan atas dasar dorongan atau paksaan dari luar. Orang melakukan perbuatan itu karena ia didorong atau dipaksa dari luar. Suatu motif mempunyai 3 macam unsur : 1. Motif mendorong terus, memberikan energi pada satu tingkah laku (merupakan dasar energetic). 2. Motif menseleksi tingkah laku, menentukan arah apa yang akan dan tidak akan dilakukan. 3. Motif mengatur tingkah laku artinya bila sudah memilih salah satu arah perbuatan maka arah itu akan tetap dipertahankan. 13 1.6 Metode Penelitian Studi penelitian ini bersifat kualitatif dengan pengamatan secara menyeluruh dan mendalam terhadap suatu objek kajian yang dalam hal ini adalah penelitian dalang anak yang difokuskan pada dalang anak Bima Anggoro. 13F.J. Monks, A.M.P. Knoers, dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan, Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cetakan keenam belas, 2006), 188-190.

18 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan baik dari sumber pustaka maupun video rekaman pada saat pementasan. Sumber pustaka baik dari buku-buku, laporan penelitian, dokumen, arsip dan naskah lakon pertunjukan wayang kulit purwa terutama pertunjukan wayang kulit purwa yang disajikan oleh dalang anak. Sumber-sumber pustaka tersebut dijadikan sebagai data tertulis, sedangkan data video rekaman pada saat pementasan ditranskripsikan untuk mendapatkan teks tulis sehingga memudahkan pada saat analisis data pertunjukan. Pengumpulan data tidak cukup hanya dengan studi pustaka saja, untuk memperoleh data yang berupa sumber lisan perlu dilengkapi wawancara. Wawancara dilakukan untuk melengkapi bahan tertulis guna menjaring informasi. Sebelum dilakukan wawancara penentuan informan kunci penting dalam sebuah penelitian. Wawancara dilakukan dengan dalang anak, orang tuanya, dan pelatih. Adapun narasumber dalam penelitian ini sebagai berikut: Bima Anggoro (Dalang Anak), Ranulin Dartutik (Orang tua), Bambang Her Budiman (Pelatih), Ki Cahyo Kuntadi (Dalang,penyusun naskah), Sukesi Rahayu (Seniwati), Mudjiono (Penyelenggara Festival).

19 Pada saat melakukan kegiatan wawancara dibantu dengan catatan dan tape recorder agar informasi yang disampaikan dapat tersimpan dengan baik. Informasi yang diperoleh baik dari rekaman maupun tulisan ditranskripsikan dalam tulisan latin sebagai bahan analisis. Adapun wawancara yang berbahasa Jawa dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia untuk memudahkan analisis. Namun, untuk istilah-istilah yang khas atau sulit diterjemahkan, tidak diterjemahkan melainkan hanya diberikan padanan katanya saja. Selanjutnya dilakukan pengamatan tak langsung terhadap video pementasan dalang anak Bima Anggoro dengan lakon Wahyu Cakraningrat pada video rekaman Temu Dalang Cilik IV 4-9 Juli 2011 di Taman Budaya Jawa Tengah. Pengamatan tidak langsung ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran nyata bentuk pertunjukan. Data-data yang sudah terkumpul tersebut dikelompokkan ke dalam file-file khusus dan disimpan pada komputer. Untuk menghindari terjadinya kerusakan pada saat analisis, maka semua data dibuat dua copy. Pembagian file-file berdasarkan jenis data yang ditemukan, diantaranya bentuk pertunjukan serta informasi dari informan. Dengan demikian diharapkan lebih memudahkan saat melaksanakan analisis data hingga merumuskan kesimpulan.

20 2. Analisis Data Setelah data terkumpul secara lengkap, langkah selanjutnya adalah mengalisis seluruh data. Data yang dikumpulkan dipilahpilah kemudian dianalisis dengan pendekatan multidisiplin. Transkripsi video rekaman pertunjukan wayang kulit purwa lakon Wahyu Cakraningrat dianalisis menggunakan kaidah estetika pedalangan sedangkan untuk proses belajar mendalang digunakan teori psikologi perkembangan anak yang memuat mengenai motivasi. Hasil penelitian berupa temuan satu model struktur pertunjukan wayang kulit purwa dalam bentuk ringkas yang disajikan dalang anak Bima Anggoro pada festival Temu Dalang Cilik Nusantara IV dan temuan proses belajar mendalang seorang dalang anak. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini akan dibagi ke dalam lima bab, yaitu: Bab I Pengantar. Berupa latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

21 Bab II Festival Temu Dalang Cilik Nusantara. Pada bab ini dijelaskan mengenai penyelenggaraan festival, peserta, dan penilaian dalam festival. Bab III Proses Belajar Mendalang Dalang Anak Bima Anggoro. Bab ini memaparkan mengenai latar belakang dan proses belajar mendalang Bima Anggoro. Bab IV Praktek Mendalang di Festival dan Kaidah Estetika Pedalangan. Bab ini berisi mengenai praktek mendalang Bima Anggoro pada saat festival dan meninjau pakeliran yang disajikan dengan menggunakan kaidah estika pedalangan. Bab V Kesimpulan. Berisikan ringkasan yang diperoleh dari penelitian sekaligus sebagai jawaban atas rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini. Dilampirkan pula sejumlah data pendukung yang berkaitan dengan kajian ini pada akhir tulisan laporan penelitian.