BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2 dan O2 di atmosfer akan terganggu. Umumnya CO2 merupakan produk fotosintesis tersimpan dalam biomassa vegetasi, baik diatas permukaan maupun didalam tanah serta bahan organik tanah dalam ekosistem hutan (Arief, 2005). Indonesia terletak pada daerah tropis yang merupakan tempat yang tepat untuk tumbuhnya tanaman. Sebagai Negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak potensi sumberdaya hutan dan salah satunya adalah hutan mangrove. Potensi hutan mangrove Indonesia cukup besar, Indonesia memiliki luas hutan mangrove terbesar di dunia. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove Asia Tenggara, dan dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang ada didunia, sekitar 27% atau sekitar 4.293 juta ha (Kusmana, 1996). Ekosistem mangrove Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi didunia, dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, banyak ditemukan antara lain jenis api-api (Avecennia sp), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera sp), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp). Sebaran mangrove di Indonesia terutama berada di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan lain-lain, (Nontji 1987 dalam Anwar 2007). Luasan hutan mangrove Indonesia menurun dari luas awal sekitar 4.5 juta ha menjadi 1.9 juta ha. Penurunan luas hutan mangrove terjadi paling dominan karena kerusakan yang disebabkan oleh faktor manusia, seperti alih tat guna lahan
mangrove menjadi lahan tambak, ekploitasi kayu mangrove untuk kayu bakar dan arang khususnya untuk jenis Rhizopora spp dan Bruguiera spp. Jenis Rhizopora spp dan Bruguiera spp sering dimanfaatkan sebagai arang dan kayu bakar, karena arang dari jenis-jenis tersebut memiliki nilai kalor yang tinggi yaitu sekitar 4.400 kkal/kg 7.300 kkal/kg (FAO, 1994). Isu pemanasan global masih menjadi ancaman yang besar bagi kehidupan manusia, yaitu berupa gangguan kesehatan, ketahanan pangan, dan kerusakan lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan terjadi, peningkatan suhu di atmosfer, disebabkan oleh naiknya konsentrasi CO2 di udara, yang rata-rata disebabkan oleh aktivitas manusia seperti kegiatan industri, penggunaan kertas berlebihan, ataupun kegiatan rumah tangga yang tidak ramah lingkungan. Dalam menghadapi isu perubahan lingkungan, hal terpenting adalah menurunkan kandungan C02 di atmosfer. Berbagai hal dilakukan dalam usaha pengendaliannya, yaitu dalam meningkatkan proyek teknologi rendah emisi, seperti kendaraan minim emisi, atau pun pembuatan alat-alat rumah tangga yang berbasis ramah lingkungan. Akan tetapi perkembangan proyek ini tidak bisa dilakukan di semua negara tentunya, setiap negara mempunyai kebijakan yang berbeda- beda dalam menyikapi isu pemanasan global yang semakin marak terjadi, hal ini juga berhubungan dengan dana yang dimiliki di setiap negara berbeda-beda. Pemanasan global terjadi akibat adanya radiasi matahari yang masuk ke bumi dalam bentuk gelombang pendek yang menembus atmosfer bumi kemudian berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang di pantulkan kembali ke atmosfer, namun sayangnya tidak semua gelombang panjang yang di pantulkan kembali oleh bumi dapat menembus atmosfer menuju angkasa luar karena di hadang dan diserap oleh gas-gas yang berada di atmosfer yang di sebut Gas Rumah Kaca (GRK). Peristiwa alam ini di kenal dengan Efek Rumah Kaca. Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca secara segnifikan, sehingga menyebabkan akumulasi panas di
atmosfer yang mempengarui sestem iklim global. Hal itu menyebabkan naiknya temperatur rata-rata bumi yang di kenal sebagai pemanasan global. Pemanasan global pada akhirya menyebabkan terjadinya perubahan iklim, atau tepatnya perubahan beberapa variabel iklim suhu udara dan curah hujan (http://acehpedia.org). Permasalahan klimatik tersebut oleh United Nations for Climate Change Convention (UNFCCC) telah dicari solusi untuk mengurangi dampak emisi gas buang GRK. Pertemuan yang diselenggarakan di Bali pada tahun 2007 pada pertemuan UN Conference of Parties ke 13 (COP 13) mengeluarkan suatu program Reduced Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) yang bertujuan untuk mendukung negara-negara berkembang di dalam mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (www.unfccc.int). Program REDD ini diharapkan negara berkembang berpartisipasi aktif untuk menjaga kelestarian hutannya sebagai bentuk sumbangsih alami dalam menciptakan mesin penyerap karbon untuk mengurangi emisi gas buang GRK (Gas Rumah Kaca). Bali Road Map yang lalu diharapkan akan menuntun ke arah sebuah kesepakatan di Kopenhagen dengan komitmen untuk menstabilkan iklim dengan kenaikan suhu tidak melampaui 2 C, setara dengan konsentrasi CO2 atmosfer di bawah 450 parts per million (ppm). REDD akan menitikberatkan pada penanganan sumber emisi gas rumah kaca, GRK (greenhouse gas) yang lebih besar dari sektor transportasi di seluruh dunia. Program REDD merupakan salah satu skema yang memungkinkan negara berkembang untuk menjaga hutannya dan mendapatkan insentif dari hasil penyerapan karbon atau berkurangnya emisi akibat kerusakan hutan. Konsep REDD mewajibkan negara yang mendapatkan dana menjaga hutannya dari deforestasi dan degradasi agar dapat menyerap karbon (carbon sink) dan menahan karbon (carbon stock) yang dihasilkan dari pola produksi dan konsumsi di tempat lain di dunia. Skema REDD merupakan pemberian insentif yang diajukan kepada negara-negara maju agar memberikan imbalan atas upaya
negara berkembang mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. Usaha penurunan kandungan CO2 di atmosfer, juga perlu diimbangi dengan peningkatan penyerapan kandungan CO2 di atmosfer. Cara efektif penyerapan kandungan CO2 di udara adalah melalui fotosintesis yang dilakukan oleh vegetasi berklorofil. Melalui fotosintesis, CO2 diserap dan diubah oleh vegetasi menjadi karbon organik yang disimpan dalam bentuk biomassa, di mana kandungan karbon yang disimpan dalam biomassa pada jangka waktu tertentu disebut dengan istilah stok karbon, dengan mengikuti aturan 46% dari biomassa adalah stok karbon (Mudiyarso et al, 2009). Terdapat dua istilah pada karbon, yaitu green carbon dan blue karbon. Green karbon adalah kandungan karbon yang dimiliki oleh vegetasi di darat seperti pada hutan, rumput, belukar, dan jenis jenis vegetasi berklorofil lainnya. Sedangkan blue karbon merupakan kandungan karbon yang dimiliki oleh tumbuhan di pesisir, yaitu seperti pada mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Lautan sebagai blue carbon sink dapat menyerap karbon di atmosfer lebih tinggi daripada di darat, memiliki kemampuan dalam menyimpan karbon hingga jutaan tahun melebihi hutan tropis di daratan ( Kawaroe,2009). Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa di indentifikasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Letak geografi ekosistem mangrove yang berada pada daerah peralihan darat dan laut memberikan efek perekaman yang khas jika dibandingkan obyek vegetasi darat lainnya. Efek perekaman tersebut sangat erat kaitannya dengan karakteritik spektral ekosistem mangrove, hingga dalam identifikasi memerlukan suatu transformasi tersendiri. Pada umumnya untuk deteksi vegetasi digunakan transformasi indeks vegetasi (Danoedoro., 1996). Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra satelit, untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil. Atau lebih praktis, indeks vegetasi adalah merupakan suatu
transformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus untuk menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam menyajikan aspek-aspek yang berkaitan dengan vegetasi (Danoedoro, 1996). Penginderaan jauh adalah ilmu yang mempelajari tentang objek yang berada di permukaan bumi, tanpa bersentuhan langsung dengan objek yang dipelajari. Perkembangan teknologi penginderaan jauh saat ini semakin maju seiring dengan bertambah banyaknya data penginderaan jauh dalam berbagai sistem dan wahana, yang memungkinkan untuk memperoleh informasi objek semakin banyak, serta memungkinkan untuk melakukan penelitian lebih banyak lagi. Berkembangnya teknologi penginderaan jauh ini menyebabkan penginderaan jauh semakin umum digunakan dalam berbagai macam penelitian dan juga memberikan manfaat yang semakin banyak bagi kehidupan masyarakat. Salah satu manfaat dari penginderaan jauh adalah dalam membantu memecahkan permasalahan lingkungan sering terjadi di permukaan bumi. Adanya konsep dalam penginderaan jauh yang menerangkan bahwa masing-masing objek dimuka bumi ini memiliki karakteristik pantulan spektral yang khas terhadap sumber energi yang datang, memungkinkan studi vegetasi ini dilakukan. Studi vegetasi (dengan pendekatan penginderaan jauh ini) dan sector kehutanan telah dan terus dilakukan pada areal hutan. Howard (1996), menjelaskan bahwa saat ini hampir tidak mungkin inventarisasi hutan dilakukan tanpa menggunakan data penginderaan jauh. Pengumpulan data langsung di lapangan dapat lebih akurat namun membutuhkan waktu yang lama, sehingga untuk tujuan yang lebih praktis dapat dilakukan dengan menggabungkan data penginderaan jauh, data lapangan, dan uji silang hasil analisis citra dengan hasil lapangan. Metode estimasi stok karbon pada hutan mangrove didasarkan pada pengukuran di lapangan pada tingkat plot. Stok karbon dapat diestimasi melalui biomassanya, dengan mengikuti aturan 46% biomassa adalah karbon (Mudiyarso
et al, 2009). Metode pengukuran biomassa yang masih sering dilakukan adalah dengan metode alometrik. Metode ini sudah sering banyak dilakukan dalam pengukuran stok karbon pada berbagai tipe vegetasi di Indonesia (van Noordwijk et al., 2002; Roshetko et al., 2002; Hairiah et al., 2001; Komiyama et al., 2005, 2008). Perubahan stok karbon yang terdapat pada suatu ekosistem berubah secara fluktual bergantung terhadap pemanfaatan manusia terhadap ekosistem tumbuhan tersebut. Perubahan yang terjadi seiring dengan berkurang atau bertambahnya luasan dari ekosistem tumbuhan tersebut, semakin bertambah luasan dari suatu ekosistem tumbuhan maka asumsinya ekosistem tersebut memiliki jebakan karbon yang lebih besar. Perubahan yang terjadi secara fluktual tersebutlah yang mengharuskan adanya data yang dapat digunakan untuk memantau perubahan tersebut secara multi temporal. Teknologi penginderaan jauh saat ini sudah banyak dilakukan dan selalu mengalami kemajuan di berbagai macam penelitian yang dapat dihubungkan dengan spasial. Kemampuan dari citra dengan berbagai macam transformasi dalam mengkaji berbagai macam objek yang ada di permukaan bumi saat ini banyak digunakan sebagai alat utama maupun alat bantu dalam analisisnya. Terdapat 3 komponen utama di permukaan bumi yang dapat disadap melalui citra penginderaan jauh, yaitu tanah, vegetasi, dan air. Berhubungan dengan penelitian yang dilakukan, mangrove merupakan tipe vegetasi yang dapat disadap oleh citra penginderaan jauh. Pendugaan terhadap stok karbon hutan mangrove dapat dibantu dengan menggunakan ilmu penginderaan jauh. Saat ini kemampuan teknologi penginderaan jauh dalam mendukung penelitian mengenai pendugaan stok karbon mangrove belum banyak dilakukan. Untuk itu peneliti mencoba untuk menggunakan penginderaan jauh dalam penelitan yang akan dilakukan, apakah hasil yang diberikan menggunakan bantuan penginderaan jauh dengan
menggunakan metode alometrik dalam kegiatan lapangannya dapat memberikan akurasi yang baik. 1.2. Rumusan Masalah Besaranya karbon yang dapat diserap vegetasi hutan dapat diperoleh dengan menggunakan cara perhitungan konvensional, akan tetapi cara ini membutuhkan waktu yang lama, biaya besar, dan belum mampu mengimbangi permintaan informasi yang cepat dan akurat apabila dalam skala intensitas yang lebih tinggi, oleh karena itu metode penaksiran karbon melalui penginderaan jauh ini dilakukan, sehingga dapat memperoleh informasi yang cepat dan akurat dengan wilayah cakupan kajian yang relatif luas, termasuk didalamnya perubahan yang terjadi dapat dipantau menggunakan data multi temporal. Dari beberapa pernyataan diatas, muncul beberapa pertanyaan yang akan mendasari penelitian ini yaitu: 1. Bagaimanakah kondisi hutan mangrove dan perubahannya dari tahun 2003 sampai 2015 pada daerah penelitian? 2. Bagaimana menentukan kawasan rehabilitasi mangrove sebagai bagian dari strategi pengelolaan wilayah pesisir di daerah penelitian? 3. Bagaimana pengaruh perubahan hutan mangrove tersebut terhadap stok karbon di daerah penelitian? 3.3. Tujuan Penelitian 1. Memperoleh informasi perubahan hutan mangrove 2. Menentukan lokasi kawasan rehabilitasi yang sesuai untuk tumbuhan mangrove.
3. Melakukan analisis dari data yang digunakan untuk memperoleh informasi perubahan stok karbon pada daerah kajian 3.4.Kegunaan Penelitian Penelitian analisis perubahan stok ini diharapkan dapat memberikan masuukan terhadap pemanfaatan penginderaan jauh dalam aplikasinya untuk melakukan estimasi stok karbon untuk tumbuhan mangrove dan monitoring perubahan stok karbon yang terjadi pada periode perekaman data dan juga diharapkan dapat menjadi masukan untuk pemerintah daerah dalam upaya pengelolaan atau konservasi hutan mangrove pada daerah kajian.