BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat menjadi penyebab kematian peringkat ketiga dan penyebab utama kecacatan berat jangka panjang. Sekitar 750.000 kasus stroke terjadi pertahun dengan angka kematian lebih dari 150.000 kasus. Kecacatan yang ditimbulkan oleh stroke dapat berupa kecacatan jangka panjang dimana lebih dari 40% penderita tidak dapat diharapkan untuk mandiri dalam aktifitas kesehariannya dan 25% menjadi tidak dapat berjalan secara mandiri. 1 Menurut The GlobalBurden of Disease Study, bila tidak segera diambil upaya preventif yang efektif, pada tahun 2020 stroke akan menjadi penyebab kematian utama baik di negara maju maupun negara berkembang. 2 Data di Indonesia, penyakit stroke menduduki posisi ketiga dari kelompok penyakit degeneratif setelah penyakit jantung dan keganasan. Menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh nomor satu di Rumah Sakit Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. 3 Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan Riskesdas tahun 2008, adalah mencapai 8,3 per 1.000 populasi di Indonesia. Dengan populasi sekitar 211 juta jiwa berarti terdapat sekitar 1,7 juta penderita stroke di Indonesia. Menurut Yastroki, terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah penyandang stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Dari jumlah total penderita stroke di Indonesia sekitar 2,5 persen atau 250 ribu orang meninggal dunia dan sisanya cacat ringan maupun berat. Pada tahun 2020 mendatang diperkirakan 7,6 juta orang akan meninggal karena stroke. 4,5
Berdasarkan data dari Departeman Neurologi FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2011, dari seluruh penderita yang dirawat di bangsal rawat inap bagian Neurologi sebanyak 661 orang dimana sebanyak 281 orang (43%) diantaranya adalah stroke iskemik. 6 Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak. Iskemik dapat disebabkan oleh tiga macam mekanisme yaitu trombosis, emboli dan pengurangan perfusi sistemik umum. 7 Diagnosis stroke iskemik didasarkan pada riwayat penyakit, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan radiologis dan laboratorium. Penentuan jenis stroke secara klinis biasanya dilakukan dengan menggunakan beberapa sistem skoring, diantaranya dengan Siriraj Stroke Score. Diagnosis awal kejadian stroke iskemik saat di UGD memungkinkan dimulainya terapi yang intensif sehingga angka kecacatan, defisit neurologis akibat infark jaringan otak dan angka kematian dapat dikurangi. 8,9 Diagnosis stroke iskemik untuk mengetahui adanya lesi infark di otak dapat ditentukan dengan gold standard (baku emas) menggunakan pemeriksaan CT-scan kepala, yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.akan tetapi di Indonesia alat CT-scan ini hanya terdapat di kota-kota besar terutama di beberapa ibukota provinsi karena harga alat dan biaya perawatannya yang mahal. 10,11,12 Meski CT-scan menunjukkan gambaran stroke iskemik pada banyak pasien dengan stroke sedang hingga berat yang diperiksa 2 hari setelah kejadian, tanda awal iskemik dalam 3-6 jam sulit dikenali pada CT-scan, terlebih lagi banyak pasien dengan stroke ringan tidak pernah menunjukkan gambaran infark yang tampak pada pemeriksaan CT-scan. Selain itu pemeriksaan CT-scan juga mempunyai
keterbatasan lain yaitu tidak semua rumah sakit memiliki, mahal, ketergantungan pada operator dan ahli radiologi, memiliki efek radiasi dan tidak untuk pemeriksaan rutin skrining stroke iskemik. Adanya keterbatasan tersebut, maka diperlukan suatu petanda lain yang bersifat non invansif, sensitif, spesifik, memiliki stabilitas tinggi, lebih mudah dan murah untuk mendeteksi adanya trombus yang merupakan penyebab adanya stroke iskemik. 13,14,15,16 Tahun 1952, Ferry menjelaskan proses polimerisasi pembentukan fibrin yang merupakan komposisi trombus. Maerde (1983) menemukan skema pemecahan fibrin dimana fibrinogen diubah menjadi fragmen X dengan memindahkan ikatan C- terminal pada 42 asam amino di rantai β, yang selanjutnya terpecah dan membentuk fragmen Y, fragmen D dan fragmen E. Ikatan dimer antara satu fragmen E dan dua fragmen D inilah yang selanjutnya dikenal dengan nama D-dimer. 17,18 D-dimer adalah produk degradasi cross-linked yang merupakan hasil akhir dari pemecahan bekuan fibrin oleh plasmin dalam sistem fibrinolitik.pemeriksaan D- dimer secara tidak langsung dapat dipakai untuk menilai adanya abnormalitas kejadian trombotik, secara langsung dapat menilai adanya proses fibrinolisis. 19,20 Fibrinolisis adalah proses penghancuran deposit fibrin oleh sistem fibrinolitik sehingga aliran darah akan terbuka kembali. Sistem fibrinolitik adalah sistem enzim multikomponen yang menghasilkan pembentukan enzim aktif plasmin. Plasmin merupakan enzim fibrinolitik utama yang berfungsi memecah fibrinogen dan fibrin yang menghasilkan bermacam-macam produk degenerasi fibrinogen (FibrinDegradation Product / FDP). Jika plasmin melisiskan unsoluble fibrin, maka akan meningkatkan jumlah produk degradasi fibrin yang terlarut. Fibrin degradationproduct yang dihasilkan berupa fragmen X, Y, D dan E. Dua fragmen D dan satu fragmen E akan berikatan dengan kuat membentuk D-dimer. D-dimer
adalah salah satu fase reaktan akut pada fungsi hemostasis. Pada fase akut stroke iskemik terjadi perubahan jaringan otak, neurotransmiter, biomolekular (imunologik), sejumlah produk metabolit yang merusak, radikal bebas yang menyebabkan jaringan otak terganggu. Proses peradangan yang dominan pada stroke iskemik akut berlangsung pada hari ke-2 sampai hari ke-3 setelah serangan stroke. 20 D-dimer diperkirakan dapat menurunkan jumlah pemeriksaan stroke iskemik dengan CT-scan atau pencitraan yang lain sehingga menurunkan biaya perawatan.banyak penelitian dilakukan untuk melihat peningkatan kadar D-dimer yang dapat digunakan untuk diagnosis, prediktor perkembangan, stratifikasi risiko, prognosis dan pemantauan terapi penderita stroke iskemik dengan obat-obat antikoagulan dan trombolisis. 18,21,22 Penelitian yang dilakukan oleh Ustundag dkk terhadap 91 pasien stroke iskemik akut, menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara peningkatan kadar D-dimer dengan mortalitas dan perburukan neurologi / neurologicaldisability. Kadar D-dimer yang meningkat tiga kali dari nilai normal dapat meningkatkan mortalitas pasien stroke iskemik (1,39 ± 1,36 ng/ml vs 4,50 ± 2,80 ng/ml ; p=0,003). Dijumpai pula kadar D-dimer yang meningkat tiga kali dari nilai normal pada pasien stroke iskemik dengan perburukan neurologi yang berat (2,85 ± 1,69 ng/ml ; p=0,000). 23 Barber dkk mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang kuat pada pengukuran kadar D-dimer dalam menilai progresifitas stroke iskemik dengan menggunakantiga metoda yang berbeda yaitu metoda Elisa, metoda automated latex particel base immunoassay dan metoda automated enzyme linked fluorescent assay. Dengan menggunakan metoda automated latex particel base immunoassay dijumpai peningkatan kadar D-dimer pada stroke iskemik yang progresif
dibandingkan non progresif (597 ng/ml vs 348 ng/ml ; p<0,05). Begitujuga dengan metoda automated enzyme linked fluorescentassaydijumpai peningkatan kadar D- dimer pada stroke iskemik yang progresif dibandingkan non progresif (863 ng/ml vs 407 ng/ml ; p<0,05). Stroke iskemik yang berkembang secara progresif berhubungan dengan tingginya angka kesakitan dan angka kematian. 21 Agenodkk, mengungkapkan bahwa pemeriksaan kadar D-dimer dapat digunakan untuk penilaian awal subtipe stroke iskemik apakah kardioemboli atau non kardioemboli. Dengan cut-off point200 ng/ml didapatkan sensitivitas 59,3%, spesifisitas 93,2% dalam menentukan stroke iskemik lakunar. Sedangkan dengan cut-off point500 ng/ml didapatkan sensitivitas 61,32%, spesifisitas 96,2% dalam menentukan stroke iskemik kardioemboli. 24 Hasil penelitian Park dkkmenunjukkan terdapat korelasi positif antara peningkatan D-dimer dengan volume infark pada CT-scan. Terdapat perbedaan kadar D-dimer antara fokal infark, multipel emboli infark, volume infark 1-19cc, 20-49cc, 50-199cc dan > 200cc (215,3 μg/l vs 385,7 μg/l vs 566,2 μg/l vs 668,8 μg/l vs 702 μg/l vs 844,0 μg/l). 25 Pemeriksaan D-dimer saat ini dilakukan dengan metoda latex agglutinationdan prinsip immunoturbidimetri dimana memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik untuk mendeteksi kadar D-dimer. Nilai cut offd-dimer dengan metoda ini adalah 500 ng/ml. 26,27 Namun demikian belum banyak penelitian dilakukan di Indonesia, khususnya di Medan, sehingga peneliti ingin mengetahui kadar D-dimer plasma sebagai alat diagnostik untuk mendiagnosa stroke iskemik akut. Uji diagnostik yang dilakukan akan mendapatkan hasil berupa sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, negativepredictive value, prevalens dan likelihood ratio.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Berapakah nilai diagnostik pemeriksaan kadar D-dimer terhadap CT-scan pada stroke iskemik akut? 1.3. Hipotesa Penelitian akut. Kadar D-dimer plasma 500 ng/ml adalah diagnosa untuk stroke i skemik 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Menentukan nilai diagnostik pemeriksaan kadar D-dimer pada diagnosis stroke iskemik akut. 1.4.2. Tujuan Khusus Mengukur sensitivitas pemeriksaan D-dimer terhadap CT-scan Mengukur spesifisitas pemeriksaan D-dimer terhadap CT-scan Menentukan Positive Predictive Value(PPV)pemeriksaan D-dimer terhadap CT-scan Menentukan Negative Predictive Value(NPV) pemeriksaan D-dimer terhadap CT-scan Menentukan prevalens stroke iskemik Menentukan likelihood ratio pemeriksaan D-dimer
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi: Klinisi tentang pemeriksaan non invansif yang lebih mudah dan murah sebagai parameter diagnosis stroke iskemik sehingga dapat dilakukan penanganan yang lebih cepat dan tepat untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Dapat dipergunakan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya