Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

dokumen-dokumen yang mirip
PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN 1 Oleh: Agung Akbar Lamsu 2

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIIK INDONESIA,

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

DRAFT REVISI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Oleh Helios Tri Buana

SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN Oleh: Mashuri, S.Ag., M.H.

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

4 Lihat UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan. 5 Lihat UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan suatu. dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan. Pihak ini disebut penggugat.

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. keperdataan. Dalam hubungan keperdataan antara pihak yang sedang berperkara

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN SYSTEM COURT CONNECTED MEDIATION DI INDONESIA. memfasilitasi, berusaha dengan sungguh-sungguh membantu para pihak

PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF MELALUI MEDIASI. Oleh : Prof. Rehngena Purba, SH., MS.

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

Lex Administratum, Vol. V/No. 3/Mei/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dikodratkan oleh sang pencipta menjadi makhluk sosial yang

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING/ IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS) DI INDONESIA

3 Lihat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa. Keuangan (Bab VI). 4 Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.

Lex et Societatis, Vol. III/No. 5/Juni/2015

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

PENERAPAN PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI DALAM PERSIDANGAN DI PENGADILAN AGAMA Oleh : H. Sarwohadi, SH, MH (Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MELALUI PERDAMAIAN MEDIASI

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Pogram Studi Strata 1 pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Oleh : ANGGA PRADITYA C

Bahan Ajar Mata Kuliah PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Kepercayaan masyarakat kepada Lembaga Yudisial. untuk memperoleh keadilan melalui kewenangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan

Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok Kerja telah melakukan kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan proses penyusunan revisi PERMA tersebut.

PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET

BAB I PENDAHULUAN. lembaga Pengadilan dalam penyelesaian sengketa, di samping Pengadilan

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DALAM KEBERHASILAN MEDIASI DI PENGADILAN

BAB II PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. saseorang pasti mendapatkan sesuatu, baik dalam bentuk uang maupun barang

BAB III TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA PANDEGLANG

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

KEKUATAN HUKUM DARI HASIL MEDIASI DI PENGADILAN

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017. KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT MENURUT HUKUM ACARA PERDATA 1 Oleh: Fernando Kobis 2

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAHAN KULIAH KD 3 HUKUM ACARA PERDATA. Hukum Acara Perdata, FH UNS

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

TINJAUAN HUKUM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA TANAH SECARA MEDIASI OLEH PENGADILAN NEGERI LIMBOTO

A. Proses Mediasi dalam Pembatalan Pekawinan di Pengadilan Agama Lamongan (Studi Kasus Putusan Nomor 1087/Pdt.G/2012/Pa.Lmg)

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

PENERAPAN AZAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA MELALUI MEDIASI BERDASARKAN PERMA NO

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kembali hak-haknya yang dilanggar ke Pengadilan Negeri

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

Oleh : YUDI PRASETYO

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

Transkripsi:

PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara perdata di Pengadilan dan bagaimana bentuk serta kekuatan hukum putusan mediasi perkara perdata. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif sehingga dapat disimpulkan: 1. Mediasi sebagai salah satu cara alternatif penyelesaian sengketa dan diatur dengan undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, diintegrasikan dengan Perdamaian (Dading) sebagaimana diatur dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg, yang melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tidak hanya memperkuat Perdamaian menurut HIR/RBg, melainkan juga menarik salah satu alternatif penyelesaian sengketa yakni mediasi yang sebelumnya sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, menjadi penyelesaian perkara secara mediasi di pengadilan. Dengan kewajiban menempuh prosedur mediasi telah dapat meningkatkan dan mempertegas bahwa prosedur mediasi di pengadilan adalah bersifat wajib, bukan lagi bersifat sukarela sebagaimana yang diatur oleh HIR/RBg. Perdamaian yang dikukuhkan dengan penetapan Akta Perdamaian telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menutup peluang bagi upaya hukum lainnya seperti banding dan kasasi. 2. Kedudukan Mediator dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 telah menjadi bagian pentingdan baru sebagai pengakuan mediator selaku profesi hukum dalam sistim peradilan di Indonesia. Mediator menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tampil sebagai pengganti Ketua Pengadilan Negeri sebagai pihak penengah dalam perdamaian diantara para pihak. Kata kunci: Penyelesaian perkara, mediasi, Pengadilan Negeri. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkara perdata di Indonesia dapat diselesaikan melalui Pengadilan dan di luar Pengadilan. Penyelesaian perkara perdata melalui Pengadilan adalah cara penyelesaian perkara melalui hakim di Pengadilan Negeri yakni dengan membuat surat gugatan. Jika para pihak yang bersengketa tidak dapat mendamaikan persengketaanya upaya yang dapat ditempuh ialah dengan menyelesaikan pokok persengketaannya melalui hakim. Abdulkadir Muhammad mengemukakan: Untuk mendapatkan penyelesaian melalui hakim, penggugat harus mengajukan permohonan gugatan kepada ketua Pengadilan negeri. Gugatan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tersebut disebut perkara perdata (burgerlijkvordering, civil suit). 3 Pengajuan gugatan ke Pengadilan adalah rangkaian atau tahapan proses beracara di Pengadilan yang menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan bahwa Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. (Pasal 11 ayat (1). Rangkaian kegiatan beracara tersebut berintikan pada kegiatan dan fungsi hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang dapat menimbulkan bunyi putusan Pengadilan ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang. Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan selain Perdamaian, ialah penyelesaian sengketa berdasarkan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Munir Fuady menjelaskan, institusi arbitrase bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan. Masih banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan. 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan rumusan-rumusannya 1 Artikel Tesis. Dosen Pembimbing : Dr. Abdurahman Konoras, SH, MH; Dr. Rodrigo Elias, SH, MH 2 Mahasiswa pada Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado 3 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hal. 55 4 Munir Fuady, Arbitrase Nasional. Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 33 66

bahwa Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. (Pasal 1 angka 1). Kemudian dirumuskan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara berkonsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. (Pasal 1 angka 10). Berdasarkan beberapa pertimbangan dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008, latar belakang masalahnya karena acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundangundangan (Huruf c), dapat diasumsikan bahwa permasalahannya karena peraturan perundangundangan itu sendiri yang tidak mengatur acara peradilan yang mengintegrasikan Perdamaian dengan mediasi. Masalah ini akan berkait erat dengan legalitas PERMA sebagai produk hukum Mahkamah Agung, sedangkan kedudukan PERMA di bawah kedudukan hierarki peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 79 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, ditentukan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam penjelasan atas Pasal 79 tersebut dijelaskan Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan Undang-Undang ini MahkamahAgung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Substansi yang melatarbelakangi terbitnya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 bertolak dari adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam ketentuan dan proses beracara menurut HIR/RBg di satu pihak, serta mediasi yang merupakan salah satu cara dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Peraturan perundang-undangan tersebut belum cukup mengatur tentang proses beracara yang lebih maksimal sehingga dengan pengintegrasian proses mediasi, maka kekosongan hukum dapat teratasi, dan hal ini bukan merupakan kesenjangan hukum melainkan bentuk kekosongan hukum. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara perdata di Pengadilan? 2. Bagaimana bentuk serta kekuatan hukum putusan mediasi perkara perdata? C. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini adalah tentang penyelesaian sengketa melalui cara mediasi di Pengadilan Negeri. Konsekuensi logis dari aspek di atas, tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, diartikannya bahwa yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. 5 Jenis data dalam penelitian ini hanya data sekunder. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, data yang diperoleh dari bahanbahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder. 6 Sumber data sekunder diperoleh dari beberapa bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu: 7 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan diperoleh dari peraturan perundang-undangan antara lainnya di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 5 SoerjonoSoekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 23 6 SoerjonoSoekanto dan Sri Mamudji, Op Cit, hal. 12 7 Ibid, hal. 13 67

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan lain-lainnya. 2. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang dapat menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini diperoleh dari literatur, hasil-hasil penelitian dan tulisan dalam jurnal yang berkaitan dengan penyelesaian perkara dengan cara mediasi di Pengadilan Negeri. 3. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang dapat menjelaskan arti atau pengertian tertentu yang diperoleh dari kamus atau ensiklopedia yang relevan. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Prosedur dan Pelaksanaan Mediasi Perkara di Pengadilan Prosedur mediasi adalah ketentuanketentuan tentang tahapan dan tata cara atau langkah-langkah melaksanakan atau menyelenggarakan sesuatu. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 mengatur tahapan dan tata cara penggunaan mediasi dalam tiga konteks. Konteka pertama, penggunaan mediasi pada awal persidangan sebagai penguatan upaya perdamaian berdasarkan Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Konteks kedua, penggunaan mediasi setelah upaya mediasi awal gagal dan perkara telah memasuki tahap pemeriksaan oleh hakim. Konteks ketiga, penguatan hasil mediasi di luar pengadilan. Oleh hakim. Namun, sebagian besar ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 lebih berkaitan denggan penggunaan mediasi dalam konteks pertama. Prosedur mediasi dapat dibedakan atas enam ketentuan-ketentuan, yaitu: a. Tahap pra mediasi. Tahap pra mediasi meliputi langka-langka berikut. Pertama, hakim atau ketua majelis hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi pada sidang yang dihadiri oleh para pihak sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1). Kedua, hakim ketua menjelaskan kepada para pihak tentang prosedur mediasi berdasarkan Peraturan Mahkama Agung Nomor 1 Tahun 2008 sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (6). Ketiga, para pihak dalam waktu paling lama tiga hari melakukan pemilihan seorang atau lebih mediator di antara pilihan-pilihan yang tersedia sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1). Keempat, jika setelah dalam waktu tiga hari para pihak tidak dapat bersepakat dalam memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa perkara yang bukan bersertifikat mediator dan jika tidak ada hakim bukan pemeriksa perkara bersertifikat, hakim pemeriksaan perkara dengan atau tanpa sertifikat wajib menjalankan fungsi mediator. b. Tahap proses mediasi. Tahap proses mediasi meliputi langkah-langkah berikut. Pertama, para pihak menyerahkan resume perkara satu sama lainnya dan kepada mediator. Penyiapan resume perkara oleh para pihak secara timbal balik dan kepada mediator memang tidak bersifar wajib, tetapi bersifat anjuran atau pilihan sesuai rumusan ketentuan Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. kata dapat dalam Pasal 13 ayat (1) mengandung arti anjuran atau pilihan para pihak. Tujuan penyiapan dan penyerahan resume adalah untuk mempermudah dan membantu para pihak dan mediator dalam memahami posisi dan kepentingan para pihak, serta pokok masalah sengketa atau perkara, sehingga para pihak dan mediator dapat hemat waktu dalam mencari berbagai kemungkinan pemecahan masalah. c. Proses mediasi yang menghasilkan. Akhir dari proses mediasi menghasilkan dua kemungkinan, yaitu para pihak mencari kesepakatan perdamaian atau gagal mencari kesepakatan perdamaian. Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan perdamaian, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 mewajibkan para pihak untuk: 1) Merumuskan kesepakatan perdamaian secara tertulis dan menandatanganinya; 2) Menyatakan persetujuan secara tertulis akan kesepakatan perdamaian jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum; 3) Menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang ditentukan untuk 68

memberitahukan kesepakatan perdamaian. 8 d. Proses mediasi yang gagal menghasilkan kesepakatan perdamaian. Konteks Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, kegagalan mediasi dapat terjadi karena dua kemungkinan atau kondisi. Pertama, mediasi di anggap gagal jika setelah batas waktu mksimal yang ditentukan, yaitu empat puluh hari atau waktu perpanjangan empat belas hari telah dipenuhi, namun para pihak belum juga menghasilkan kesepakatan. Jika kondisi ini terjadi, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan itu kepada hakim pemeriksa. Selanjutnya, hakim memeriksa perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Kedua, mediator juga memiliki kewenangan untuk menyatakan mediasi telah gagal meskipun batas waktu maksimal belum terlampaui jika mediator menghadapi situasi, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) Peraturan Mahkama Agung Nomor 1 Tahun 2008, yaitu: 1) Jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturutturut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut; 2) Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak itu tidak menjadi pihak dalam proses mediasi yang berjalan. 1. Bentuk Serta Kekuatan hukum Putusan Mediasi Perkara Perdata Prosedur mediasi perkara perdata di Pengadilan sebagaimana yang diatur dalam 8 Ibid, Pasal 17 ayat (1), (2), (4). PERMA Nomor 1 Tahun 2008, menunjukkan keinginan kuat bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menjadikan mediasi sebagai suatu langkah baru dan maju dalam sistem peradilan di Indonesia. Mediasi yang menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ditentukan sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa secara alternatif di luar pengadilan, oleh Mahkamah Agung dikombinasikan dengan Perdamaian (Dading) dan dimasukkan sebagai prosedur penyelesaian sengketa secara mediasi di Pengadilan. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 juga telah memperkenalkan dan mempertegas kehadiran mediator selaku bagian dari penegak hukum dalam penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri. Kedudukan dan fungsi mediator telah mendorong para mediator berperan baik pada tahap pra-mediasi maupun pada tahap-tahap proses mediasi sehingga upaya perdamaian tetap senantiasa terbuka pada bagian tahapannya. Peran mediator telah menunjukkan langkah terobosan hukum baru oleh karena upaya dan lembaga Perdamaian berdasarkan ketentuan HIR/RBg selama ini kurang maksimal. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 juga menentukan, jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. (Pasal 17 ayat (2). Demikian pula ditentukan bahwa, sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kepentingan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat itikad tidak baik. (Pasal 17 ayat (3). Dalam rangka pemeriksaan materi kesepakatan perdamaian tersebut, peran mediator lebih menonjol dibandingkan peran Hakim pada perdamaian menurut HIR/RBg. Tercapainya kesepakatan perdamaian di antara para pihak adalah suatu perbuatan hukum di antara para pihak yang merupakan perjanjian, dan harus dibuat secara tertulis tetapi masih membutuhkan penguatannya oleh hakim. Pasal 1851 ayat (2) KUH. Perdata, menentukan Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis. Menurut M. Yahya Harahap, memperhatikan ketentuan 69

tersebut, undang-undang melarang menerima persetujuan perdamaian yang disampaikan secara lisan oleh para pihak. Tidak dibenarkan menerima persetujuan secara lisan untuk dikukuhkan lebih lanjut dalam penetapan akta perdamaian. 9 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 menentukan bahwa, para pihak wajib menghadapi kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian, (Pasal 17 ayat (4). Suatu kesepakatan perdamaian di antara para pihak belum mempunyai kekuatan hukum yang sempurna apabila belum dibuatkan dalam penetapan akta perdamaian oleh hakim. Akta perdamaian dimaksud adalah berbentuk penetapan hakim dan bukan sebagai putusan hakim atau putusan Pengadilan. Hal tersebut karena prosedur perdamaian menurut HIR dan RBG maupun prosedur mediasi menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008 berasal dari kehendak atau inisiatif para pihak, dan bukan bersifat putusan (ajudikatif) sebagaimana halnya putusan Pengadilan. Penetapan Akta Perdamaian dengan kekuatan hukum yang sama dengan putusan Pengadilan berarti dalam prosedur mediasi yang mencapai kesepakatan dan tertuang dalam penetapan Akta Perdamaian, berarti perkara yang bersangkutan secara hukum sudah selesai. Tidak ada lagi upaya hukum lain seperti yang dikenal dalam prosedur penyelesaian perkara biasa yang dilakukan melalui jalur yang bersifat memutus (ajudikatif). Kekuatan mengikat penetapan Akta Perdamaian yang sama dengan kekuatan putusan hakim (Putusan Pengadilan), bahwa kekuatan mengikat (bindendekracht), yaitu suatu putusan hakim yang tidak bisa ditarik kembali walaupun ada verzet, banding atau kasasi, berarti putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, artinya sudah mengikat. 10 Menurut Sudikno Mertokusumo terdapat beberapa teori yang memberi dasar kekuatan mengikat dari putusan Hakim, yakni: (a) Teori Hukum Materiil; (b) Teori Hukum Acara; (c) Teori Hukum Pembuktian; (d) 9 M. Yahya Harahap, Ibid, hal. 275-276 10 R. Soepromo, Op Cit, hal. 148 Terikatnya para pihak pada putusan; dan e kekuatan hukum yang pasti. 11 Tentang teori hukum materiil yang mencoba memberi dasar bagi kekuatan mengikat putusan Hakim, kekuatan mengikat putusan lazimnya disebut gezag van gewijsde mempunyai sifat hukum materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan: menetapkan, menghapuskan atau mengubah. Menurut teori ini, putusan dapat menimbulkan atau meniadakan hubungan hukum. Jadi putusan merupakan sumber hukum materiil. 12 Perihal Teori Hukum Acara, menentukan bahwa menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukum materiil, melainkan sumber dari wewenang prosesial. Siapa yang dalam putusan diakui sebagai pemilik, maka ia dengan sarana prosesual terhadap lawannya dapat bertindak sebagai pemilik. Baru apabila undang-undang mensyaratkan adanya putusan untuk menimbulkan keadaan hukum baru, maka putusan itu mempunyai arti hukum materiil. Akibat putusan itu bersifat hukum acara, yaitu Diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesual. Ajaran ini sangat sempit, sebab suatu putusan bukanlah sematamata hanya sumber wewenang prosesual, karena menuju kepada penetapan yang pasti tentang hubungan hukum yang merupakan pokok sengketa. 13 Tentang Teori Hukum Pembuktian, menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di dalamnya sehingga mempunyai kekuatan mengikat, oleh karena menurut teori pembuktian ini pembuktian pihak lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan. Teori ini termasuk teori kuno yang sudah tidak banyak penganutnya. Sedangkan terikatnya para pihak pada putusan, dapat mempunyai arti positif maupun arti negatif. Dalam arti positif kekuatan mengikat suatu putusan ialah, bahwa apa yang telah diputus di antara para pihak berlaku sebagai positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar:res judicata 11 SudiknoMertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 171-174 12 LocCit 13 SudiknoMertokusumo, Loc Cit. 70

pro veritatehabetur. 14 Dalam arti negatif kekuatan mengikat suatu putusan, ialah bahwa hukum tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama. Ulangan dari tindakan itu tidak akan mempunyai akibat hukum:nebis in idem (Pasal 134 Rv). Ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tersebut di atas terjadi apabila pada Pengadilan Tingkat Pertama tidak tercapai kesepakatan perdamaian di antara para pihak, atau tidak mencapai kesepakatan sehingga proses penyelesaiannya dilakukan bersifat memutus (ajudikatif) yakni sampai pada tarafadanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Tidak tercapainya kesepakatan perdamaian, berarti salah satu pihak mempunyai peluang hukum berupa upaya hukum banding dan kasasi, bahkan upaya hukum yang bersifat luar biasa yakni peninjauan kembali, sepanjang putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap, terbuka kemungkinan ditempuhnya kesepakatan perdamaian, yang kemudian dituangkan dalam bentuk penetapan Akta Perdamaian. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 menentukan bahwa, kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili (Pasal 21 ayat (2)). Kemudian ditentukan bahwa, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili segera memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang berwenang atau Ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian (Pasal 21 ayat (3)). Selanjutnya ditentukan, jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali, wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian (Pasal 21 ayat (4)). Berikutnya ditentukan bahwa, jika berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali belum dikirimkan, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan wajib menunda pengiriman 14 LocCit berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali untuk memberi kesempatan para pihak mengupayakan perdamaian (Pasal 21 ayat (5)). KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a. Mediasi sebagai salah satu cara alternatif penyelesaian sengketa dan diatur dengan undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, diintegrasikan dengan Perdamaian (Dading) sebagaimana diatur dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg, yang melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tidak hanya memperkuat Perdamaian menurut HIR/RBg, melainkan juga menarik salah satu alternatif penyelesaian sengketa yakni mediasi yang sebelumnya sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, menjadi penyelesaian perkara secara mediasi di pengadilan. Dengan kewajiban menempuh prosedur mediasi telah dapat meningkatkan dan mempertegas bahwa prosedur mediasi di pengadilan adalah bersifat wajib, bukan lagi bersifat sukarela sebagaimana yang diatur oleh HIR/RBg. Perdamaian yang dikukuhkan dengan penetapan Akta Perdamaian telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menutup peluang bagi upaya hukum lainnya seperti banding dan kasasi. b. Kedudukan Mediator dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 telah menjadi bagian pentingdan baru sebagai pengakuan mediator selaku profesi hukum dalam sistim peradilan di Indonesia. Mediator menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tampil sebagai pengganti Ketua Pengadilan Negeri sebagai pihak penengah dalam perdamaian diantara para pihak. 2. Saran a. Dalam rangka pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia, perlu diatur prosedur 71

mediasi di Pengadilan sebagaimana yang telah dirintis oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Kehadiran PERMA Nomor 1 Tahun 2008 antara lainnya ialah ada kekosongan hukum sehingga sambil menunggu peraturan perundangan (Hukum Acara Perdata) yang baru mengatur tentang prosedur mediasi di Pengadilan, maka diberlakukan PERMA tersebut. b. Perlu upaya sosialisasi, pelatihan, pendidikan, sertifikasi serta penyusunan Pedoman Perilaku Mediator dalam rangka implementasi prosedur mediasi di Pengadilan. DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni: Bandung, 1982 Munir Fuady, Arbitrase Nasional. Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 SoerjonoSoekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982 72