Rizky Fauzi Widagdo 1 dan Agung Sugiri 2

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

PENDAMPINGAN DESA ALO ALO MELALUI KEGIATAN REHABILITASI MANGROVE DAN PENYUSUNAN PERATURAN DESA

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG LARANGAN DAN PENGAWASAN HUTAN MANGROVE DI KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan. Wawan Halwany Eko Priyanto

TINJAUAN PUSTAKA. didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

VI. SIMPULAN DAN SARAN

sangat penting saat ini. Fakta akan pentingnya ekosistem mangrove dan ancaman yang

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

9. PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. pantai km serta pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km 2, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

GUBERNUR SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ari Luqman, 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE UNTUK EKOWISATA DI KECAMATAN KUTA RAJA KOTA BANDA ACEH Syifa Saputra1, Sugianto2, Djufri3 1 ABSTRAK

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE UNTUK EKOWISATA DI KECAMATAN KUTA RAJA KOTA BANDA ACEH Syifa Saputra1, Sugianto2, Djufri3 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

Mitigasi Bencana di Permukiman Pantai dengan Rancangan Lanskap: Pembelajaran dari Jawa Barat Bagian Selatan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

Jurnal Teknik PWK Vol 3 No 2 Tahun 2014 Online : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/pwk KAJIAN PENGENDALIAN DALAM MENGATASI KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN PEKALONGAN Rizky Fauzi Widagdo 1 dan Agung Sugiri 2 1 Mahasiswa Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro 2 Dosen Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Email : Rizky_fauziw@rocketmail.com Abstrak: Mangrove merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir yang mempunyai beberapa fungsi dan peranan, bagi dari segi ekologi, sosial maupun ekonomi. Secara Ekologi Mangrove berperan sebagai habitat berbagai jenis organisme, penghasil bahan organik yang tinggi, sebagai penghasil oksigen atau paru-paru kota, pelindung pantai dari abrasi dan tsunami, serta penahan intrusi air laut ke darat. Hilang dan rusaknya kawasan tersebut akan dapat menimbulkan bencana besar, tidak saja terhadap kehidupan manusia di daratan, tetapi juga terhadap kehidupan keanekaragaman hayati di lautan. Tujuan dari studi ini adalah untuk merumuskan upaya pengendalian dalam hal mengatasi kerusakan mangrove di pesisir Kabupaten Pekalongan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan sasaran antara lain dengan menentukan area kerusakan mangrove, selanjutnya merumuskan upaya pengendalian dalam mengatasi kerusakan mangrove melalui rehabilitasi mangrove serta reklamasi habitat atau media tanam mangrove dan kemudian memberikan kesimpulan terhadap hasil analisis.temuan studi yang akan diperoleh dalam penelitian ini yaitu upaya pengendalian dalam mengatasi kerusakan kawasan mangrove pesisir Kabupaten Pekalongan. Kata Kunci: Kerusakan Mangrove, Rehabilitasi, Reklamasi Abstract : Mangrove ecosystems is one of the coastal areas that have multiple functions and roles, for in terms of ecological, social and economic. In Mangrove Ecology serves as habitat for many types of organisms, producing organic matter, as a producer of oxygen or lungs of the city, coastal protection from abrasion and tsunami, as well as retaining landward intrusion of seawater. Loss and destruction of the region would be catastrophic, not only for human life on the mainland, but also to the biodiversity of life in the oceans. The purpose of this study is to formulate control measures in terms of overcoming damage in coastal mangrove Kabupaten Pekalongan. To achieve these objectives, it is necessary to determine target areas such as mangrove destruction, formulate control measures to address mangrove destruction through mangrove rehabilitation and reclamation of mangrove habitats or planting medium and then give the conclusion of the study analisis.temuan results to be obtained in this study is damage control efforts in addressing coastal mangrove areas Kabupaten Pekalongan. Keywords: Mangrove Damage, Rehabilitation, Reclamation PENDAHULUAN Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daearah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh : tidak terpengaruh iklim, dipengaruhi pasang surut, tanah tergenang air laut, tanah rendah pantai, hutan tidak mempunyai struktur tajuk, jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari apiapi ( Avicenia sp.); pedada ( Sonneratia sp.); bakau (Rhizophora sp.); lacang (Bruguiera sp.); nyirih (Xylocarpus sp.); nipah ( Nypa sp.) (Soemodihardjo, dkk.. 1986). 285

Mangrove secara ekologis memiliki fungsi lindung lingkungan, baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna diantaranya: sebagai pencegah abrasi/ erosi, penahan gelombang/ angin kencang, pengendali intrusi (peresapan) air laut, sebagai tempat habitat berbagai jenis fauna, sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang baik berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, pembangunan lahan melalui prose sedimentasi, memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemaran air), penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan dengan hutan lain. Wilayah ekosistem mangrove merupakan wilayah yang sangat unik, baik dari sisi kondisi fisik dan sumber daya alam yang dimilikinya, maupun dari sisi fungsi dan perannya di dalam ekosistem kehidupan daratan dan lautan. Hilang dan rusaknya kawasan tersebut akan dapat menimbulkan bencana besar, tidak saja terhadap kehidupan manusia di daratan, tetapi juga terhadap kehidupan keanekaragaman hayati di lautan. Berikut merupakan gambaran kondisi eksisting keberadaan mangrove wilayah pesisir Kabupaten Pekalongan dalam bentuk peta persebaran kawasan mangrove. Sumber : Dppk Kabupaten Kabupaten Pekalongan, 2012 GAMBAR 1. PETA EKSISITING PERSEBARAN MANGROVE WILAYAH PESISIR KABUPATEN PEKALONGAN 286

KAJIAN LITERATUR Hutan mangrove termasuk tipe hutan tropika dan subtropika yang khas, juga merupakan komunitas vegetasi pantai tropis. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindungi dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya. Namun berbagai jenis mangrove juga dapat tumbuh di tanah berpasir atau berkoral yaitu Rhizophora stylosa, tanah lunak dan berlumpur yaitu Rhizophora spp., dan Avicennia spp., sedangkan Bruguiera spp., Sonneratia spp., dan Ceriops tumbuh baik pada tanah yang lebih keras dan lebih matang, biasanya mendekati daratan. Tanah di hutan mangrove memiliki ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, oksigen sedikit dan kaya akan bahan organik (Khazali dkk, 2002) dalam buku penanaman mangrove bersama masyarakat kondisi pantai yang baik untuk ditumbuhi mangrove adalah pantai yang mempunyai sifatsifat: air tenang / ombak tidak besar; air payau; mengandung endapan lumpur; lereng endapan tidak lebih dari 0.25 % - 0.50 %. Analisis area kerusakan mangrove digunakan untuk mengetahui jenis vegetasi yang tumbuh apakah telah sesuai fungsi dan perannya. Analisis dilakukan dengan dasar data dari informan pada instansi terkait. Analisis ini dilihat berdasarkan peta peserbaran mangrove, serta kondisi tingkat kerusakan mangrove. Dalam perkembangan penelitian yang dilakukan para peneliti terdahulu guna mengatasi kerusakan lahan ekosistem mangrove didapati teknik pemulihan dengan cara restorasi. Adapun konsepsi dasar pemulihan (Restorasi) kawasan mangrove dalam bidang konservasi dapat dilakukan melalui (Kusmana, 2004) : 1. Pemulihan lingkungan fisik secara ekologis baik terhadap habitat maupun kehidupannya, serta bentuk faktor penyebabnya 2. Mengharmoniskan perilaku lingkungan sosial untuk tujuan mengenal, mengetahui, mengerti, memahami hingga pada akhirnya merasa peduli dan ikut bertanggung jawab untuk mempertahankan, melestarikannya, serta 3. Meningkatkan akutabilitas kinerja institusi yang bertanggung jawab dan atau pihakpihak terkait lainnya. Dari sekitar 60 spesies pohon dan semak mangrove mayor dan minor, serta sekitar 20 spesies tumbuhan asosiasi, hanya 12 spesies yang biasa digunakan untuk restorasi, yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Bruguiera, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Excoecaria, Xylocarpus, Nypa, Cassurina, dan Hibiscus. Penentuan spesies yang dipilih tergantung pada tekstur tanah, kadar garam, dan lama penggenangan, serta iklim mikro lainnya (Setyawan, dkk.,2004). Teknik rehabilitasi mangrove pada tapak-tapak khusus ini meliputi beberapa tipe sebagai berikut: a. Tapak berarus/berombak besar Pada dasarnya mangrove dapat tumbuh di tanah mineral tidak hanya di lumpur laut. Adapun teknik penanaman dilakukan dengan cara menanam mangrove tanpa melepas polibagnya. b. Tapak dengan arus deras (bukan pinggir pantai seperti sungai) dapat dilakukan dengan cara menanam mangrove secara zigzag, jarak tanam rapat dan tanpa melepas polibagnya. c. Tapak dengan lumpur yang dalam Dapat dilakukan dengan cara mengikatkan mangrove pada tiang pancang kemudian ditanam. d. Tapak berbatu / berkerikil dapat dilakukan dengan cara memakai polibag yang cukup besar dimana substratnya digali terlebih dahulu kemudian dibuat parit untuk menanam mangrove tersebut. Atau dapat juga dengan cara menggali substrat dan dibuat parit, 287

masukan lumpur dan langsung tanam mangrove tanpa jarak. e. Tapak yang tertimbun pasir laut Dapat dilakukan dengan cara tanam mangrove menggunakan pola kluster (jarak tanam yang bergerombol) dimana polibag dari mangrove tersebut jangan dibuka. Atau dapat dilakukan dengan cara menggali lubang diantara kerikil, kemudian lubang tanam yang lebar dan dalam diisi lumpur. f. Tapak dengan air yang tergenang Dapat dilakukan dengan penanaman anakan mangrove di dalam gulugah tanah. Adapun tapak dengan genangan air yang dalam terdapat formulan tertentu yang berada dalam proses pematenan sehingga belum bisa dipublikasikan. Adapun langkah-langkah kongkrit yang dilakukan untuk pengendalian lingkungan fisik, antara lain dengan melakukan kegiatan (Waryono, 2002) : 1. Pembinaan dan peningkatan kualitas habitat, dan 2. Peningkatan pemulihan kualitas kawasan hijau melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, dan atau perkayaan jenis tetumbuhan yang sesuai, 3. Terhadap pemulihan habitat, dilakukan terhadap kawasan-kawasan terdegradasi atau terganggu fungsi ekosistemnya, untuk mengembalian peranan fungsi jasa bio-ekohidrologisnya dan dilakukan dengan cara: a. Rehabilitasi, dan atau b. Reklamasi habitat, 4. Sedangkan peningkatan kualitas kawasan mangrove dilakukan dengan pengembangan jenis-jenis tetumbuhan yang erat keterkaitannya dengan sumber pakan, tempat bersarang atau sebagai bagian dari habitat dan lingkungan hidupnya, 5. Hutan mangrove dapat memulihkan diri sendiri tanpa upaya restorasi melalui suksesi sekunder pada periode 15-30 tahun, apabila siklus hidrologi normal dan tersedia biji atau propagul dari ekosistem mangrove di sekitarnya, 6. Kegagalan melihat penyebab degradasi merupakan penyebab utama kegagalan restorasi mangrove Keberhasilan Restorasi Terdapat lima langkah penting bagi keberhasilan restorasi mangrove (Setyawan, dkk., 2004): (1)Pemahaman autekologi setiap spesies mangrove, meliputi pola reproduksi, distribusi propagul, dan pemantapan seedling. (2)Pemahaman pola hidrologi yang mempengaruhi distribusi, pemantapan, dan pertumbuhan spesies mangrove yang diinginkan. (3)Pemahaman perubahan lingkungan yang dapat mencegah suksesi sekunder secara alami. (4)Restorasi sifat hidrologi, dan bila memungkinkan penggunaan propagul alami. (5)Penanaman dilakukan apabila jumlah rekruitmen alami tidak mencukupi untuk penyembuhan. Keuntungan restorasi komunitas mangrove meliputi: (1) konservasi dan pengembalian spesies yang pernah ada, spesies yang memiliki daerah jelajah luas, dan burung-burung migran; (2) mendaur-ulang nutrien dan menjaga keseimbangan nutrisi pada muara sungai; (3) melindungi jaringjaring makanan pada hutan mangrove, muara, dan laut; (4) menjaga habitat fisik dan tempat pembesaran anakan berbagai spesies laut komersial; (5) melindungi lahan dari badai, menjaga garis pantai, dan mengendapkan lumpur; (6) meningkatkan kualitas dan kejernihan air dengan menyaring dan menjebak sampah dan sedimen yang dibawa air permukaan dari hulu sungai, (7) pada akhirnya, preservasi ekosistem mangrove membantu menjaga keseluruhan kondisi alami dan keindahan panorama muara sungai dan nilai ekonomi kawasan pesisir (Setyawan dkk., 2004). Salah satu contoh keberhasilan penanaman mangrove untuk mencegah abrasi ditemukan di kawasan Bulak-Semat, Jepara. Pada tahun 1980-an pantai di kawasan ini terabrasi akibat kerusakan terumbu karang dan pembabatan hutan mangrove. Pembuatan tanggul pemecah gelombang dan penanaman mangrove terbukti dapat mengurangi efek abrasi. Pada saat ini 288

Rhizophora yang ditanam langsung berbatasan dengan bibir laut, dan tanah dibawahnya ditutupi pasir putih, menunjukkan garis pantai berhenti di bawah tegakan komunitas ini (Setyawan dkk.., 2004). Kegagalan Restorasi Di Jawa, kegagalan restorasi mangrove dapat disebabkan oleh: (1) kesalahan pemahaman pola hidrologi, (2) perubahan arus laut, (3) tipe tanah, (4) pemilihan spesies, (5)penggembalaan hewan ternak, (6)sampah, (7)kelemahan manajemen, dan (8)ketiadaan partisipasi masyarakat (Setyawan dkk., 2004). METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan metode analisis data menggunakan gap analisis. Data yang didapat melalui observasi lapangan dengan data menurut lembaga terkait, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode gap analisis yang mengacu pada literatur sebagai aturan utama. Gap analisis digunakan untuk mendeskripsikan atau memaparkan kesenjangan antara kondisi eksisting dengan data yang diperoleh melalui survey instansi (instansional) melalui : 1.Penentuan area kerusakan tanaman mangrove yang mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku Dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove : TABEL I. KRITERIA KERUSAKAN MANGROVE Baik Kriteria Sangat Padat Penutupan (%) Kerapatan Pohon (pohon/ha) 75 1500 Sedang 50 - <75 1000 - <1500 Rusak Jarang < 50 < 1000 sumber : keputusan menteri negara lingkungan hidup no.201, 2004 Penentuan area kerusakan diamati melalui pengamatan langsung kondisi eksisiting mangrove yang nantinya dicocokkan dengan data dari intansi terkait. Data yang diambil dapat berupa pemetaan ataupun data tingkat luasan mangrove. 2.Penyebab serta pengendalian kerusakan mangrove Pengendalian kerusakan dimulai dengan melihat arah arus gelombang dalam setiap tahunnya agar didapati cara serta teknik pengendalian abrasi yang terkait dengan kawasan mangrove. 3.Rehabilitasi mangrove, analisis yang dilakukan meliputi : - Perubahan jenis pada mangrove yang masih ada tapi belum sesuai fungsi. - Penanaman kembali pada kawasan yang belum terdapat mangrove atau telah rusak. 4.Reklamasi Habitat, analisis dilakukan terhadap media tanam yang telah rusak atau pada area yang dapat ditumbuhi mangrove. ANALISIS PENGENDALIAN DALAM MENGATASI KERUSAKAN MANGROVE DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN PEKALONGAN Penentuan Area Kerusakan Mangrove Tentang Kriteria Baku Dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove menyebutkan bahwa Kerusakan Mangrove ditetapkan berdasarkan prosentase luas tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup (Kepmen LH No.201, 2004). Kriteria tersebut merupakan cara untuk menentukan kondisi mangrove yang diklasifikasikan antara lain kriteria mangrove baik (sangat padat dan sedang) yaitu dengan kerapatan pohon antara 1000 - <1500 pohon/ha kategori sedang dengan prosentase tutupan 50 - <75, serta mangrove kategori sangat padat dengan kerapatan 1500 pohon/ha prosentase tutupan 75% ; sedangkan mangrove dengan Kriteria klasifikasi mengalami kerusakan/ jarang yaitu mangrove dengan kerapatan <1000 pohon/ha dan prosentase <50%. Wilayah pesisir Kabupaten Pekalongan memiliki luas lahan mangrove eksisting sebesar 458 Ha, dalam tingkat kondisi baik (sedang) serta mangrove dalam kondisi rusak (jarang) yang disebutkan dalam program KBR (Kebun Bibit Rakyat) oleh dinas DPPK. Program KBR yang direncanakan yaitu penambahan lahan mangrove pesisir Kabupaten Pekalongan 289

sebesar 819 Ha. Kondisi mangrove pesisir Kabupaten Pekalongan dijelaskan pada tabel berikut : TABEL II. TINGKAT KERUSAKAN MANGROVE WILAYAH PESISIR KABUPATEN PEKALONGAN KECAMATAN EKSISTING TUTUPAN (%) KURANGAN TUTUPAN (%) KRITERIA KERUSAKAN I. TIRTO 9.77 90.23 Rusak (Jarang) II. WONOKERTO 68.25 31.75 Baik (Sedang) III. SIWALAN 21.98 78.02 Rusak (Jarang) Sumber, Dppk Kab.Kabupaten Pekalongan, 2012 Dan Hasil Analisis 2013 Pengendalian Kerusakan mangrove oleh Abrasi Kerusakan pesisir pantai di keseluruhan pesisir KabupatenPekalongan yang tercatat hingga 200 meter kearah daratan menjadi masalah yang serius, mengingat abrasi tersebut juga mengikis lahan mangrove. Kondisi perairan laut pesisir Kabupaten Pekalongan terutama arah arus gelombang menjadi dasar dalam analisis pengendalian kerusakan oleh abrasi. Arah arus dan kelerengan pesisir pantai Kabupaten Pekalongan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Jawa Tengah, tahun 2004, diuraikan sebagai berikut : Kelerengan dasar pantai, α = 1,70. Gelombang dominan berasal dari arah Utara yang membentuk sudut sebesar 62 terhadap garis pantai, dijelaskan pada gambar berikut : Arah Arus Gelombang Garis Pantai Sumber, Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah, 2004 GAMBAR 2. ARAH ARUS GELOMBANG LAUT PESISIR KABUPATEN PEKALONGAN Dari kondisi arus gelombang yang ada pada pesisir pantai Kabupaten Pekalongan maka diperlukan adanya pelindungan, baik untuk erosi dan khususnya untuk perlindungan tanaman mangrove yang masih muda. U Perlindungan yang saat ini mulai dikembangkan untuk melindungi bibit mangrove dari serangan gelombang yang lebih besar yaitu menggunakan alat pemecah ombak (APO). Bangunan APO terbuat dari tiang-tiang kayu yang dipancang ke dalam tanah. Untuk menambah efektifitas bangunan tersebut terhadap perlindungan pantai dari serangan gelombang, ditambahkan kayu melintang pada tiang pancang. Selain untuk melindungi bibit mangrove, APO juga diharapkan dapat mengurangi laju erosi pantai dan menangkap sedimen di daerah yang dilindungi. Bangunan APO sebagai pelindung bibit mangrove terhadap serangan gelombang menuntut sebuah perencanaan yang memperhitungkan kekuatan struktur dan stabilitas bangunan. Faktor eksternal yang dominan dalam perencanaan tersebut adalah gaya gelombang. Bibit mangrove perlu dilindungi terhadap serangan gelombang semasa pertumbuhannya. Ada beberapa cara perlindungan yang telah dilakukan saat ini. Cara yang umum yaitu dengan mengikat bibit pada ajir atau dengan menanam bibit dalam bambu bulat. Namun kedua cara tersebut hanya mampu melindungi tanaman terhadap serangan gelombang yang relatif kecil. Perlindungan yang saat ini mulai dikembangkan yaitu menggunakan alat pemecah ombak (APO). Fungsi alat ini adalah untuk melindungi tanaman bakau, mengurangi terjadinya erosi pantai serta menangkap sedimen di belakang bangunan. APO diletakkan di depan tanaman bakau yang akan dilindungi. Gelombang yang datang dari laut lepas menuju pantai mengalami difraksi dan refleksi setelah mcngenai APO. Gelombang yang terdifraksi ini diharapkan sebagai pembawa sedimen di daerah yang dilindungi. Gundukan pasir yang terbentuk pada akhirnya dapat ditanami bibit mangrove, sehingga luas areal mangrove yang terbentuk lebih besar. Terjadinya refleksi gelombang oleh APO menyebabkan berkurangnya energi gelombang menuju pantai. Dengan demikian tanaman bakau yang ada dapat terlindung dari 290

gelombang yang relatif besar. Selain itu alat ini diharapkan bisa lebih cepat membentuk endapan. Panjang alat ini sekitar 10 m dan diletakkan 20 m sampai 60 m dari garis pantai. Berikut gambaran APO yang dapat dilakukan pada pesisir pantai Kabupaten Pekalongan : Area Tanam Sumber: Proseding Pada Seminar Nasional Manajemen Sumberdaya Air Partisipatif, 2009 GAMBAR 3. BENTUK ALAT PEMECAH OMBAK (APO) Rehabilitasi Mangrove Luas Lahan/ Tutupan mangrove Usaha untuk memenuhi tutupan mangrove yang belum terlasana yaitu seluas 361 Ha atau 44,07% Dinas Perkebunan Pertanian dan Kehutanan setidaknya harus mencapai target penambahan tutupan 6,29% atau kurang lebih 52 Ha pertahun guna tercapainya tutupan mangrove sesuai program hingga tahun 2020. TABEL III. PENAMBAHAN TUTUPAN MANGROVE PROGRAM KBR (2010-2020) Tindakan Program KBR 2010-2020 (Kec.Tirto, Kec. TAHUN Wonokerto, Kec.Siwalan) KAB.KABUPATEN 2014-2010 2011 2012 2013 PEKALONGAN 2020 Prosentase Total 14.5 20 25 - - Tutupan (%) Sumber : Dppk Kabupaten Kabupaten Pekalongan, 2012 Jumlah/ Kerapatan pohon Program KBR dengan masa program 2010 hingga tahun 2020 telah berjalan selama kurun waktu kurang lebih 3 tahun. Dari data yang telah didapat maka pada tiap kecamatan masih harus diperlukan tindakan penambahan kerapatan. Tindakan penambahan kerapatan pada masing-masing kecamatan yaitu Kecamatan Tirto kurangan kerapatan 1.660 pohon/ha, diperlukan penambahan dengan target kurang lebih 238 pohon pertahun pada tiap hektarnya; Kecamatan Wonokerto kurangan kerapatan 1.450 pohon/ha, diperlukan penambahan dengan target kurang lebih 207 pohon pertahun pada tiap hektarnya; Kecamatan Siwalan kurangan kerapatan 1.580 pohon/ha, diperlukan penambahan dengan target 226 pohon pertahun pada tiap hektarnya. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan harus bertindak ekstra guna pencapaian program KBR hingga tahun 2020 TABEL IV. KERAPATAN MANGROVE PASCA KBR PESISIR KABUPATEN PEKALONGAN KECAMATAN TAHUN 2010 2011 2012 2013 2014-2020 I. TIRTO 150 270 340 340 - II. WONOKERTO 605 900 1050 1050 - III. SIWALAN 560 700 920 920 - sumber : dppk kabupaten kabupaten pekalongan, 2012 Reklamasi Habitat Tanam Mangrove Wilayah pesisir Kabupaten Pekalongan dengan tingkat abrasi lahan yang tinggi oleh gerusan gelombang laut saat ini haruslah diwaspadai. Laju abrasi hingga 3,300 Ha/tahun yang mengikis lahan pesisir hingga 200 meter menjadi masalah yang harus ditangani. Pemerintah Kabupaten Kabupaten Pekalongan dalam hal ini adalah Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan telah merancang dan melaksanakan program KBR (Kebun Bibit Rakyat) dari tahun 2010 dimana didalamnya juga mengatur tentang program reklamasi lahan khususnya pengembalian lahan mangrove. Pemerintah setempat memulai kegiatan reklamasi pada tanah rawa serta lahan tambak yang berada di wilayah pesisir Kabupaten Pekalongan. Lahan rawa yang kosong dan berisi semak belukar mulai ditanami dengan bibit-bibit mangrove serta pembuatan bedengan atau gundukan sebagai media tanam mangrove pada area rawa yang berair sedikit dalam dan susah dijangkau. Begitu pula pada area lahan tambak pemerintah setempat melakukan reklamasi media tanam mangrove dengan pembuatan bedengan serta gundukan di tengah tambak untuk ditanami mangrove. Selain pada lahan 291

tambak dan rawa pemerintah setempat juga melakukan reklamasi habitat tanam mangrove pada lahan tegalan. Program KBR pemerintah setempat merencanakan peningkatan program reklamasi dengan jangka waktu 2010-2020 yaitu 10% pelaksanaan untuk setiap tahunnya, baik itu pada lahan tambak, tegalan ataupun pada lahan yang berupa rawa. Tindakan reklamasi dikhususkan pada area pinggir pantai atau yang mendekati garis pantai, mengingat ancaman abrasi yang meningkat setiap tahunnya. Tindakan reklamasi lahan rawa yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat bekerjasama dengan warga masyarakat pesisir Kabupaten Pekalongan pada tahun 2010 yaitu dalam luasan area sebesar 1,44 Ha atau 8,1% dari seluruh jumlah luas rawa wilayah Pesisir Kabupaten Pekalongan. Kemudian pada tahun 2011 yaitu dalam luasan area 0.99 Ha atau 7,02%, serta pada tahun 2012 dalam area 1,7 Ha atau 12.05%. Total jumlah lahan rawa pesisir Kabupaten Pekalongan yang telah direklamasi dari tahun 2010 hingga tahun 2012 adalah dalam area seluas 3.83 Ha atau 27,16% dari total luas keseluruhan luas lahan rawa pesisir Kabupaten Pekalongan. Lahan tegalan wilayah pesisir Kabupaten Pekalongan yang telah direklamasi pada tahun 2010 yaitu dalam area seluas 3.38 Ha atau 6,26 % dari luas keseluruhan lahan tegalan pesisir Kabupaten Pekalongan, selanjutnya pada tahun 2011 dalam area seluas 3,92 Ha atau 7,27 % dari luas keseluruhan lahan tegalan pesisir Kabupaten Pekalongan, dan kemudian pada tahun 2012 yaitu pada area seluas 3,60 Ha atau 6,67 % dari luas keseluruhan lahan tegalan pesisir Kabupaten Pekalongan. Prosentase total lahan tegalan yang telah direklamasi hingga tahun 2012 yaitu 20,2 % dari luas keseluruhan lahan tegalan pesisir Kabupaten Pekalongan. Luas lahan Tambak yang telah direklamasi oleh pemerintah setempat melalui program KBR serta partispasi masyarakat para pemilik tambak pesisir Kabupaten Pekalongan pada tahun 2010 yaitu dalam area lahan seluas 23,76 Ha atau 3,45 % dari luas keseluruhan lahan tambak pesisir Kabupaten Pekalongan, dan pada tahun 2011 yaitu pada area seluas 27,71 Ha atau 4,03% dari luas keseluruhan lahan tambak, selanjutnya pada tahun 2012 yaitu dalam area seluas 17,80 Ha atau 2,59 % dari luas keseluruhan lahan tambak pesisir Kabupaten Pekalongan. d GAMBAR 4 PENAMPANG REKLAMASI LAHAN RAWA DAN TAMBAK Keterangan : a. Pintu air b. Saluran bebas pasang surut c. Tampungan air d. Gundukan (media tegakan mangrove) e. Bedengan/ pematang c d c d 292

TABEL V. KERAPATAN POHON MANGROVE WILAYAH PESISIR KABUPATEN PEKALONGAN KAB. KABUPATEN PEKALONGAN I. TIRTO - 9.39 149,60 II. WONOKERTO 6.65 29.55 91,00 III. SIWALAN 7.45 15.01 446,99 JUMLAH 14.10 53.95 687,59 KAB. KABUPATEN PEKALONGAN KBR PROGRAM REKLAMASI TAHUN 2010 IV. TIRTO - 0.88 8.63 V. WONOKERTO 0.41 1.52 4.45 VI. SIWALAN 0.73 0.98 10.68 JUMLAH 1.14 3.38 23.76 KAB. KABUPATEN PEKALONGAN KBR PROGRAM REKLAMASI TAHUN 2011 VII. TIRTO - 1.12 7.80 VIII. WONOKERTO 0.34 2.04 3.66 IX. SIWALAN 0.65 0.76 10.25 JUMLAH 0.99 3.92 27.71 KAB. KABUPATEN PEKALONGAN KBR PROGRAM REKLAMASI TAHUN 2012 X. TIRTO - 1.05 4.35 XI. WONOKERTO 0.75 2.00 2.25 XII. SIWALAN 0.95 0.55 11.20 JUMLAH 1.7 3.60 17.80 KAB. KABUPATEN PEKALONGAN KBR PROGRAM REKLAMASI TAHUN 2013 XIII. TIRTO - - - XIV. WONOKERTO - - - XV. SIWALAN - - - JUMLAH - - - Sumber : Dppk Peta Rencana Tanam Mangrove 2010-2020 Target tindakan reklamasi pada tahuntahun berikutnya hingga selesai masa program adalah sebagai pemicu dan penentu dasar kegiatan yang telah dilakukan, sehingga pada pelaksanaanya dapat lebih optimal dan terarah. Kesimpulan 1. Mangrove wilayah pesisir Kabupaten Pekalongan di tiap kecamatannya berada dalam kondisi baik (sedang) yaitu mangrove yang terdapat pada Kecamatan Wonokerto, dan kondisi mangrove rusak (jarang) yaitu mangrove pada Kecamatan Siwalan dan Kecamatan Tirto. Tingkat kerusakan dilihat berdasarkan prosentase tutupan mangrove di tiap-tiap Kecamatan pada wilayah pesisir Kabupaten Pekalongan. 2. Kerusakan mangrove di pesisir Kabupaten Pekalongan diperparah oleh laju abrasi gelombang laut serta dijadikannya lahan mangrove sebagai lahan tambak. Kondisi tersebut berada pada tiap kecamatan pesisir Kabupaten Pekalongan. 3. Upaya pemerintah setempat terkait dengan kerusakan mangrove yang terjadi di pesisir Kabupaten Pekalongan adalah dengan melakukan kegiatan Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang dilakasakan mulai tahun 2010 hingga tahun 2020. Upaya tersebut dilaksanakan bersama masyarakat baik masyarakat pesisir maupun masyarakat luar pesisir yang ingin ikut berpartisipasi. 4. Upaya pengendalian kerusakan mangrove pesisir Kabupaten Pekalongan disesuaikan pada tiap masing-masing area. Pada area tambak dan rawa upaya dilakukan dengan pembuatan bedengan serta gundukan guna penanaman mangrove, pada area tegalan pinggir pantai mangrove ditanam dengan membentuk segitiga ke arah laut serta diberikan alat pemecah ombak (APO) sebagai pelindung mangrove muda. 293

Daftar Pustaka Khazali, M, Bengen, D.G, dan Nikijuluw, V.P.H.. 2002. Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam pengelolaan Mangrove. Jurnal pesisir dan Lautan volume 4 No. 3. 2002. Pusat kajian sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Kusmana, C.2004. Tenik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor Setyawan, A.D., Kusumo. W., Purin, C.P. 2004. Ekosistem mangrove di Jawa:2. Restorasi. Biodiversitas 5(2):105-118. Soemodihardjo, dkk.. 1986. Pemikiran Awal Kriteria Penentuan Jalur Hijau Hutan Mangrove. Dalam Diskusi Panel Dayaguna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove (I. Soerianegara, S. Hardjowigeno, N. Naamin, M. Sudomo, dan Abdullah, Eds.). LIPI- Panitia Program MAB Indonesia, p:17-22. Waryono., T. 2002. Restorasi Ekologi Hutan Mangrove. Publikasi Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Bandung Kepmen LH No.201 Th 2004 Tentang Kriteria Mangrove. 294