Dr. AGUNG IRIANTORO,SH.,MH. Edisi Revisi, Jakarta:Pradnya Paramita, 1996.

dokumen-dokumen yang mirip
Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

Bab XII : Pemalsuan Surat

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Pengakkan hukum yang terjadi

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA BAGI NOTARIS YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017. surat yang dimaksud adalah akte-akte autentik. Kata kunci: Tindak Pidana, Pemalsuan, Akta Autentik.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam setiap hubungan hukum kehidupan masyarakat, baik dalam

SANKSI TERHADAP NOTARIS YANG MENJADI PIHAK TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA SENDIRI

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

Lex et Societatis, Vol. III/No. 7/Ags/2015. PROSES PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN DALAM PEMBUATAN AKTA OLEH NOTARIS 1 Oleh: Gian Semet 2

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 2

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya dunia bisnis di Indonesia, juga turut berpengaruh pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015. AKIBAT HUKUM BAGI NOTARIS DALAM PELANGGARAN PENGGANDAAN AKTA 1 Oleh: Reinaldo Michael Halim 2

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut pihak-pihak sebaiknya dituangkan dalam suatu surat yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

STUDI KASUS TINDAK PIDANA TERKAIT JABATAN NOTARIS ROMLI ATMASASMITA 1

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB II LANDASAN TEORI

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hidup manusia dalam bermasyarakat. Didalam kehidupan

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23

BAB I PENDAHULUAN. profesional yang tergabung dalam komunitas tersebut menanggung amanah. yang berat atas kepercayaan yang diembankan kepadanya.

BAB I PENDAHULUAN. 2009, hlm Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA MENYURUH MENEMPATKAN KETERANGAN PALSU DALAM AKTE OTENTIK

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB I PENDAHULUAN. maupun hukum tidak tertulis. Hukum yang diberlakukan selanjutnya akan

BAB I PENDAHULUAN. Paramita, Jakarta, 1978, Hlm Rudhi Prasetya, Maatschap Firna dan Persekutuan Komanditer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PENYEROBOTAN TANAH. A. Aturan Hukum Tindak Pidana Penyerobotan Tanah

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEJABAT NOTARIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA AUTENTIK

BAB I PENDAHULUAN. sosial, tidak akan lepas dari apa yang dinamakan dengan tanggung jawab.

BAB III PENUTUP. pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan tersebut diatur

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN TAHUN 2014

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam

Bab XXV : Perbuatan Curang

BAB I PENDAHULUAN. ke 17 yaitu didirikannya Oost Ind. Compagnie yang mengangkat. Melchior Kelchen seorang sekertaris College van Schenpenen sebagai

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT

BAB I PENDAHULUAN. Akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris bersifat autentik dan

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana

TINJAUAN PUSTAKA. akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam. kerjasama yang mengikat antara dua individu atau lebih.

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap; b. Para pihak (siapa-orang) yang menghadap pada Notaris;

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

BAB I PENDAHULUAN. jaminan akan kepastian hukum terhadap perbuatan dan tindakan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan sektor pelayanan jasa publik yang saat ini semakin berkembang,

BAB III MENYURUHLAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PASAL55 KUHP DAN MENURUT HUKUM ISLAM. A. Delik Menyuruh lakukan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN. untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada warga. organ pemerintah yang melaksanakan tugas dan kewenangannya agar

BAB I PENDAHULUAN. tertulis untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial di masyarakat. Notaris

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Notaris sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat terlebih

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

Notaris dan PPAT di Kota Bandung Hilda Sophia Wiradiredja. Abstract

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

KESAKSIAN NOTARIS TERKAIT PEMALSUAN SURAT DI BAWAH TANGAN A NOTARY WITNESS IN RELATION TO UNDERHAND CONTERFEITING LETTER.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

Transkripsi:

KUPAS TUNTAS TENTANG PEMALSUAN DAN MEMASUKAN DOKUMEN DALAM AKTA OTENTIK DAN PEMAHAMAN PASAL 263, PASAL 264, PASAL 266 DAN PASAL 55 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Dr. AGUNG IRIANTORO,SH.,MH. A. PENDAHULUAN Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014tentang Jabatan Notaris (UUJN), Notaris didefinisikan sebagai pejabat umum yangberwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atauberdasarkan Undang-Undang lainnya.. Definisi yang diberikan olehuujn tersebut, merujuk pada tugas danwewenang yang dijalankan oleh Notaris. Artinya Notaris memiliki tugassebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN dan Undang-Undang lainnya Akte otentik yang dimaksud di atas, menurut Pasal 1868 KitabUndangundang Hukum Perdatamenyebutkan bahwa: Suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawaipegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. 1 Jabatan Notaris mengandung kepercayaan publik yang besar. Namun dibalik kepercayaan publik yang besar tersebut, terdapat tanggungjawab dan resiko pekerjaan yang besar, karena berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya tindak pidana yang dilakukan Notaris antara lain meliputi: (a) pemalsuan dokumen atau surat (Pasal 263 dan 264 1 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang Hukum Perdata(Burgerlijk Wetboek), Edisi Revisi, Jakarta:Pradnya Paramita, 1996. 1

KUHP); (b) menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP) biasanya dihubungkan dengan Pasal 55 KUHP. Diskripsi di atas, menunjukkan tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263, Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP, menunjukkan juga bahwa Notaris memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan berbagai penyedia jasa lainnya terutama mengenai risiko hukum yang harus dihadapi apabila tidak menerapkan prinsip kehati-hatian karena itu, dalam upaya meminimalkan risiko dan dalam upaya memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, menjadi penting untuk membahas pemalsuan dan memasukan dokumen dalam otentik danpemahaman terhadap Pasal 263, Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP serta Pasal 55 KUHP. 2

B. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 1. Pasal 263 KUHP Tentang perbuatan Notaris melakukan tindak pidana pemalsuan atau memalsukan surat, dalam UU Jabatan Notaris tidak diatur secara khusus tentang ketentuan pidana tersebut. Tetapi diatur dalam Bab XII dari Buku ke-ii KUHP. 2 Sebagaimana yang tercantum Pasal 263 KUHP, berbunyi: (1) Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsukan suatu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, suatu perikatan atau suatu pembebasan utang, ataupun yang dimaksud untuk membuktikan sesuatu kenyataan, dengan maksud untuk untuk menggunakannya sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan surat tersebut, maka jika dari penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian, karena bersalah melakukan pemalsuan surat, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun. (2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja menggunakan surat tersebut sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan, jika dari penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian. Unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP meliputi: a. unsur subjektif : dengan maksud untuk menggunakannya sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan surat tersebut; b. unsur objektif : 1. barangsiapa; 2 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus (Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum Terhadap Surat, Alat Pembayaran, Alat Bukti, dan Peradilan), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. hlm : 6-8 3

2. membuat secara palsu atau memalsukan; 3. suatu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, suatu perikatan aau suatu pembebasan utang atau; 4. suatu surat yang dimaksud untuk membuktikan suatu kenyataan; dan 5. penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian. Di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP tersebut, pembentuk undang-undang ternyata tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan atau unsur opzet pada diri pelaku, sehingga timbul pertanyaan apakah tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP harus dilakukan dengan sengaja atau tidak? Dengan demikian, untuk dapat menyatakan seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP, harus memenuhi unsur pidana dari tindak pidana pemalsuan, meliputi: 3 a. pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan; b. penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata dapat maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup; c. yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga sengaja menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang digunakan itu palsu. Jika tidak tahu akan hal itu, tidak dihukum. Sudah dianggap mempergunakan misalnya menyerahkan 3 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar -Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,Bogor: Politea, 1976, hlm196 4

surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan; d. dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian. Jika kehendak pengetahuan dan maksud terdakwa tersebut atau salah satu dari kehendak, pengetahuan dan maksud terdakwa tersebut ternyata tidak dapat dibuktikan, maka tidak ada alasan untuk hakim atau penuntut umum menyatakan terdakwa terbukti telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya dan hakim harus memberikan putusan ontslag van rechtsvervolging atau bebas dari tuntutan hukum ataupun lepas dari tuntutan hukum bagi terdakwa. Bentuk pemalsuan surat, dilakukan dengan cara: 4 a. membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar); b. memalsu surat: mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari surat itu; c. memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat; dan/atau d. menempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak (mi salnya foto dalam ijazah sekolah). 2. Pasal 264 KUHP Ketentuan dalam Pasal 264 KUHP, berbunyi: 4 Ibid, hlm. 195 5

(1) Orang yang bersalah melakukan pemalsuan surat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya delapan tahun, jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap: a. akta-akta otentik; b. surat-surat utang atau setifikat-sertifikat utang dari sesuatu negara atau bagian dari negara tersebut atau dari sesuatu lembaga umum; c. saham-saham atau surat-surat utang atau sertifikatsertifikat saham atau utang dari sesuatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai; d. talon-talon, bukti-bukti dividen atau bunga dari salah satu surat seperti yang dimaksudkan dalam dua nomor yang terdahulu atau bukti-bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat tesebut; e. surat-surat kredit atau surat-surat dagang yang diperuntukan guna diedarkan. (2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja menggunakan salah satu pemalsuan surat palsu atau yang dipalsukan seperti yang dimaksud dalam ayat pertama seolah-olah surat tersebut merupakan sepucuk surat yang asli dan tidak dipalsukan, jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 264 KUHP tersebut, merupakan lex specialis dari ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 263 KUHP. Disamping itu, tindak pidana pemalsuan suratsebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP merupakan tindak pidana pemalsuan surat dengan kualifikasi atau suatu gequalificeerde valsheid in geschriften. Pengertian Gekwalificeerde delicten yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang memberatkan. 5 Hakim harus dapat membuktikan: a. adanya kehendak para pelaku untuk menggunakan salah satu surat palsu atau yang dipalsukan seperti yang dimaksud dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP seolah -olah surat tersbeut merupakan surat yang asli dan tidak dipalsukan; 5 Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. hlm. 102 6

b. adanya pengetahuan pada pelaku bahwa surat yang digunakan merupakan salah satu surat seperti yang dimaksud dalam Pasal 264 ayat (1) KUHP yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu. Frasa pemalsuan surat dalam rumusan Pasal 264 ayat (1) KUHP mempunyai makna yang sama dengan frasa pemalsuan surat dalam rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHP, meliputi perbuatan membuat secara palsu atau memalsukan. Rumusan Pasal 264 ayat (2) KUHP melarang orang menggunakan akta otentik dan lain-lain yang dipalsukan, segera orang akan dapat mengetahui bahwa unsur subyektif dengan sengaja oleh pembentuk undang-undang telah ditempatkan di depan unsur menggunakan salah satu surat palsu atau yang dipalsukan seperti yang dimaksud dalam ayat pertama seolah-olah merupakan surat yang asli dan tidak dipalsukan, yang berarti bahwa hakim harus membuktikan mengenai kesengajaan pelaku untuk menggunakan salah satu surat palsu atau yang dipalsukan yang seolah-olah surat tersebut merupakan surat yan asli atau tidak dipalsukan. Frasa dapat menimbulkan suatu kerugian sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 264 ayat (2) KUHP, tidakperlu wajib benar-benar muncul sebab yang dipersyaratkan hanyakemungkinan potensi munculnya kerugian. 3. Pasal 266KUHP Ketentuan dalam Pasal 266 KUHP, berbunyi: (1) Barang siapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hal didalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut dengan maksud untuk menggunakannya atau untuk menyuruh orang lain menggunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian. 7

(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja menggunakan akta tesebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian. Unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP tersebut, meliputi: a. unsur subjektif: dengan maksud untuk menggunakannya atau untuk menyuruh orang lain menggunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran; b. unsur-unsur objektif : 1. barang siapa; 2. menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hal, yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut; 3. di dalam suatu akta otentik; 4. jika penggunaannya dapat menimbulakan sesuatu kerugian. Merujuk pada rumusan Pasal 266 ayat (1) KUHP, ternyata tidak mensyaratkan keharusan dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja, sehingga perlu dipertanyakan apakah tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja atau bukan. Dengan disyaratkannya suatu maksud lebih lanjut berupa maksud untuk menggunakannya atau untuk menyuruh orang lain menggunakan seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran di dalam rumusan Pasal 266 ayat (1) KUHP, maka sudah jelas tindak pidana yang dilakukan harus dengan sengaja (opzettelijk delict).karena itu, penuntut umum maupun hakim harus dapat membuktikan adanya unsur kesengajaan terhadapseseorang yang telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalampasal 266 ayat (1) KUHP. Pembuktian yang harus dibuktikan olehpenutut umum dan hakim sebagaimana yang telah disebutkan di atas, mengenai bukti: 8

a. adanya kehendak pada terdakwa untuk menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai sesuatu hal didalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta otentik tersebut; b. adanya pengetahuan pada terdakwa, bahwa akta tersebut merupakan suatu akta otentik; dan c. adanya maksud pada terdakwa untuk menggunakannya atau untuk menyuruh orang lain menggunakannya seolah-olah keterangannya yang tercantum dalam akta tersebut sesuai dengan kebenaran. Rumusan Pasal 266 KUHP tersebut, mengenai akta otentik yang didalamnya seseorang menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam akta otentik tentang hal yang kebenarannya harus dibuktikan oleh akta itu dengan tujuan untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangan itu benar. Merujuk pada rumusan yang tercantum dalam Pasal 266 KUHP tersebut, Notaris ketika melaksanakan tugas dan kewajiban membuat akta, maka secara materiil tidak dapat dituduh sebagai pihak yang turut serta terhadap terjadinya tindak pidana. Kebenaran materiil atas suatu akta pada dasarnya merupakan tanggung jawab dari para pihak sedangkan kebenaran formil dari akta tersebut menjadi tanggung jawab notaris. Jika ingin mengimplementasikan Pasal 266 KUHP maka harus ada keterkaitan antara materi akta dengan notaris, sebab itu secara teoritis notaris dapat terlepas dari tuntutan pidana kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. 4. Pasal 55 KUHP Apabila rumusan dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dengan Pasal 55 ayat (1) KUHP yang menyebutkan: 9

Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: (a) yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; dan (b) yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Merujuk pada Pasal 55 KUHP di atas, meununjukanterdapat empat golongan yang dapat dipidana: a. pelaku atau pleger; b. menyuruh melakukan ataudoenpleger; c. turut serta atau medepleger; d. penganjur atau uitlokker. Unsur turut serta atau medepleger sebagaimana diatur Pasal 55 ayat (1) KUHP jika dihubungan dengan Pasal266 ayat (1) KUHP, maka kontruksi hukumnya adalah seorang Notaris dinyatakan sebagai orang yang melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik..., adalah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang Notaris, karena: 6 1. akta yang dibuat berupa akta partie/akta pihak, yaitu akta yang dibuat olehnotaris berdasarkan atas permintaanpara pihak untuk mencatat ataumenuliskan segala sesuatu hal yangdibicarakan oleh pihak berkaitandengan tindakan hukum; 2. orang yang menyuruh melakukan menurut Pasal 55 ayat (1) KUHPadalah yang melakukansemua unsur tindak pidana, maknanya: 6 Hilda Sophia Wiradiredja, Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Pembuatan Akta Yang Didasarkan Pada Keterangan Palsu Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dan KUHP. Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015. 10

a. jika dikaitkan dengan kedudukanseorang notaris yang membuatakte partie, adalah suatu hal yangberlebihan dan tidak mungkinbisa dilakukan, sebab tidak mungkin notaris akan menyuruhpara pihak untuk menempatkanketerangan palsu di dalam aktaotentik yang dibuat oleh notaristersebut, melainkan hal itumerupakan keinginan para pihakyang menyuruh notaris membuat akta; b. jika Notaris, dinyatakan sebagai orang yang menyuruh melakukan menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu aktaotentik..., tidak mungkin dilakukan Notaris, karena ke dua belahpihak yang datang kepada Notarisuntuk membuatkan akta tersebut,dan hal tersebut merupakankesepakatan ke dua belah pihakuntuk dituangkan di dalam akta,serta suatu hal yang aneh juga notaris sebagai pejabat yangberwenang merupakan orang yangmempunyai kehendak melakukantindak pidana menyuruh ke duabelah pihak untuk menempatkanketerangan palsu pada akta yangmereka kehendaki bersama,karena keterangan yang adadi dalam akta merupakankesepakatan ke dua belah pihak. 11

C. PENUTUP Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa memidanakan Notaris berdasarkan unsur-unsur sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 263, Pasal 264, Pasal 266 dan Pasal 55 KUHP harus melakukanpembuktian yang mendalam dengan mencari unsur kesalahan ataukesengajaan dari Notaris, tanpa pembuktian yang mendalam merupakan suatu tindakan yang tidak mempunyai dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Menafsirkan atau menerapkan Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, yaitu Notaris sebagai pelaku turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik, merupakan suatu kekeliruan. 12

DAFTAR PUSTAKA G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1992. Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008., Menjalin Pemikiran-Pendapat Tentang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012. Hartati Sulihandari & Nisya Rifani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta, 2013. Hilda Sophia Wiradiredja, Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Pembuatan Akta Yang Didasarkan Pada Keterangan Palsu Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dan KUHP. Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 32, No. 1, Februari 2015. P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus (Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum Terhadap Surat, Alat Pembayaran, Alat Bukti, dan Peradilan), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar - Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,Bogor: Politea, 1976. Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, 2011. 13