HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Klaten merupakan salah satu sentra produksi beras di Indonesia. Saat ini, lebih dari 8% hasil produksi pertanian pangan di kabupaten Klaten adalah beras. Budidaya padi dilakukan secara intensif. Umumnya pola tanam didaerah ini adalah padi-padi-palawija. Walaupun demikian, pada musimmusim kemarau basah, pola tanam menjadi padi-padi-padi (Istiaji 211). Faktor-faktor lingkungan dan praktik budidaya tanaman padi yang diduga memiliki pengaruh terhadap keparahan serangan wereng batang cokelat di kabupaten Klaten akan dibahas dalam bab ini. Dari 11 faktor yang diuji dengan uji khi kuadrat, 4 faktor menunjukkan pengaruh yang nyata dengan keparahan serangan wereng batang cokelat, yaitu populasi wereng batang cokelat, interval penyemprotan insektisida, dosis pupuk K dan jarak tanam. Populasi Wereng Batang Cokelat (WBC) Banyaknya populasi WBC dalam suatu rumpun tanaman akan menentukan tingkat kerusakan yang diakibatkannya. Hubungan antara populasi WBC dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui keseluruhan petak contoh terdapat populasi WBC kurang dari 2 ekor/rumpun. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 13 petak terdapat populasi WBC kurang dari 2 ekor/rumpun serta 2 petak terdapat populasi WBC lebih dari atau sama dengan 2 ekor/rumpun dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 9 petak terdapat populasi WBC kurang dari 2 ekor/rumpun dan 6 petak terdapat populasi WBC lebih dari atau sama dengan 2 ekor/rumpun.
9 9 8 7 6 5 2 < 2 ekor/rumpun 2 ekor/rumpun Gambar 1. Hubungan populasi WBC dengan keparahan serangan WBC di Kabupaten Klaten, 211. Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa ada pengaruh yang nyata antara populasi WBC dengan keparahan serangan WBC (nilai-p =,1). Data penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat keparahan serangan WBC maka akan semakin banyak ditemukan petak contoh yang populasi WBCnya lebih dari atau sama dengan 2 ekor/rumpun, nilai tersebut merupakan batas ambang ekonomi untuk WBC dapat menimbulkan kerugian ekonomis sehingga perlu dilakukan tindakan pengendalian (BPTP Jawa Barat 2). Tetapi walaupun keberadaan WBC kurang dari 2 ekor/rumpun, tetap harus dilakukan pengamatan populasinya secara intensif dikarenakan serangga WBC memiliki kemampuan perkembangan populasi yang tinggi dan daya adaptasi yang cepat. Peledakan populasi WBC yang merupakan peningkatan populasi secara eksplosif ada hubungannya dengan berubahnya lingkungan eksternal seperti perubahan cuaca, perubahan iklim dan penyemprotan pestisida (Heong & Hardy 29). Wereng batang cokelat adalah serangga bertipe strategi-r yang memiliki karakteristik kemampuan bermigrasi yang tinggi dari lahan yang telah dirusak ke lahan baru yang belum dirusaknya dan memiliki kemampuan berkembang biak yang cepat sehingga dapat menimbulkan kehilangan hasil panen yang tinggi dengan gejala yang ditimbulkan berupa hopper burn dan merupakan vektor virus kerdil rumput dan kerdil hampa (Pathak & Khan 1994).
Keragaman Jenis Musuh Alami Musuh alami merupakan faktor pembatas yang diduga paling berperan dalam menekan perkembangan populasi WBC sehingga keberadaan dan keragamannya perlu diketahui. Hubungan antara keragaman jenis musuh alami dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 3 jenis, 5 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 1 jenis dan 3 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 2 jenis. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 3 jenis, 5 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 2 jenis, 3 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 1 jenis serta 1 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 4 jenis dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 5 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 2 jenis, masing-masing 4 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 1 jenis dan 3 jenis, 1 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 4 jenis dan 1 petak diketahui tidak terdapat keberadaan musuh alami. 5 2 Tidak Ada 1 jenis 2 jenis 3 jenis 4 jenis Gambar 2. Hubungan keragaman jenis musuh alami dengan keparahan serangan WBC di kabupaten Klaten, 211.
11 Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara keragaman jenis musuh alami dengan keparahan serangan WBC (nilai-p =,76). Musuh alami WBC dalam agroekosistem padi memiliki jumlah total 167 spesies yang terbagi dalam 9 kelompok inverteberata dan 5 kelompok verteberata. Predator dari kelompok inverteberata yang paling banyak jenisnya berasal dari ordo Araneae dan Hemiptera (Heong & Hardy 29). Dalam penelitian ini keragaman jenis musuh alami tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap keparahan serangan WBC, hal ini mungkin saja terjadi karena musuh alami yang berpindah ke petak lainnya ketika populasi WBC dalam petak tersebut menurun sedangkan jika diketahui keberadaan telur WBC dalam jaringan tanaman padi banyak maka setelah melewati stadia telur akan muncul nimfa WBC yang perkembangannya dapat dengan cepat dikarenakan berkurangnya faktor pembatas yaitu musuh alami. Selain itu diketahui keberadaan musuh alami dipengaruhi oleh umur tanaman. Berdasarkan penelitian Defaosandi (2) populasi Cyrtorhinus lividipennis yang merupakan salah satu musuh alami WBC yang ditemukan dalam penelitian ini lebih banyak terdapat pada tanaman padi yang berumur muda dibandingkan tanaman padi yang berumur lebih tua. Hal tersebut terjadi karena pada tanaman yang sudah mulai tinggi dan rindang predator lain mulai bermunculan dan juga menjadi predator bagi C. lividipennis. Varietas Padi Hubungan antara varietas padi dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 198-1998, 5 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 2-26, 3 petak tidak menggunakan VUTW dan 1 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 28-29. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 198-1998, 4 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 2-26, 3 petak tidak menggunakan VUTW serta 2 petak menggunakan VUTW yang dilepas
12 antara tahun 28-29 dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak tidak menggunakan VUTW, 4 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 198-1998, 3 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 28-29 dan 2 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 2-26. Dalam penelitian ini diketahui varietas padi yang tidak memiliki ketahanan terhadap WBC adalah Situ Bagendit, Luk Ulo dan Umbulumbul. VUTW yang dilepas antara tahun 198-1998 terdiri dari varietas Cisadane, IR-64 dan Way Apo Buru. VUTW yang dilepas antara tahun 2-26 terdiri dari varietas Bondhoyudho, Ciherang, Mekongga serta Mira 1 dan VUTW yang dilepas antara tahun 28-29 terdiri dari varietas Inpari 1, Inpari 6 dan Inpari 13. 2 Bukan VUTW VUTW 198-1998 VUTW 2-26 VUTW 28-29 Gambar 3. Hubungan varietas padi dengan keparahan serangan WBC di kabupaten Klaten, 211. Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara varietas padi dengan keparahan serangan WBC (nilai-p =,63). Penggunaan varietas padi bukan VUTW maupun semua jenis VUTW tetap terserang WBC. Selain itu data penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bukan VUTW ditemukan dua kali lebih banyak pada petak dengan keparahan serangan WBC berat dibandingkan petak dengan keparahan serangan WBC ringan dan sedang. Penggunaan VUTW yang banyak digunakan pada petak contoh dapat menyebabkan gen dari populasi WBC akan beradaptasi sehingga akan muncul biotipe pada WBC yang resisten terhadap VUTW (Heong & Sogawa
13 1994). Inovasi teknologi dan introduksi VUTW telah menyebabkan pergantian secara dinamis status dari hama WBC. Sejak tahun 1979 sampai dengan 198an, WBC menjadi hama epidemik di selatan dan tenggara Asia, dimana ketika varietas lokal diganti dengan VUTW merupakan salah satu penyebabnya (Rombach & Gallagher 1994). Pada tahun 1973, IR 26 merupakan varietas padi resisten pertama yang dilepas di Asia. IR 26 resisten terhadap WBC biotipe 1 dan setelah pelepasannya terjadi penurunan populasi WBC secara signifikan akan tetapi dalam waktu 2 tahun ketahanan varietas IR 26 terhadap WBC biotipe 1 terpatahkan dan kepadatan populasi WBC mulai meningkat kembali. Tahun 1976 para ilmuwan melepas varietas IR 36 yang resisten terhadap WBC biotipe 2 tetapi pada akhir 197an ketahanannya kembali terpatahkan. IR 56 yang mengandung gen ketahanan WBC biotipe 3 telah tersebar sejak tahun 1982 tetapi kerusakan akibat serangan WBC tetap terjadi di berbagai wilayah (Gallagher et al. 1994). Keragamaan Jenis Hama lain Hubungan antara keragaman jenis hama lain dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 4 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 2 jenis, masing-masing 3 petak terdapat keragaman hama lain 1 jenis dan 3 jenis, 2 petak diketahui tidak terdapat keragaman hama lain, 2 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 4 jenis dan 1 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 7 jenis. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 2 jenis, 3 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 1 jenis, masing-masing 2 petak terdapat keragaman hama lain 3 jenis dan 4 jenis serta masing-masing 1 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 5 jenis dan 7 jenis dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 4 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 3 jenis, 3 petak diketahui tidak terdapat keragaman hama lain, masing-masing 2 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 1 jenis, 2 jenis dan 5 jenis serta masing-masing 1 petak terdapat keragaman hama lain 4 jenis dan 6 jenis.
14 2 Tidak Ada 1 jenis 2 jenis 3 jenis 4 jenis 5 jenis 6 jenis 7 jenis 8 jenis Gambar 4. Hubungan keragaman jenis hama lain dengan keparahan serangan WBC di Kabupaten Klaten, 211. Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara keragaman hama lain dengan keparahan serangan WBC (nilai-p =,67). Keragaman dan peningkatan populasi serangga dalam ekosistem padi berkaitan dengan menghilangnya faktor pembatas (Heong et al. 27). Dalam hal ini tanaman inang dapat menjadi faktor pembatas perkembangan populasi hama lain karena untuk memperolehnya harus berkompetisi dengan WBC. Rotasi Tanaman Hubungan antara rotasi tanaman dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 13 petak tidak melakukan rotasi tanaman dan 2 petak melakukan rotasi tanaman. Sedangkan untuk kategori sedang dan kategori berat dari masing-masing 15 petak contoh yang diamati, diketahui 14 petak tidak melakukan rotasi tanaman dan hanya 1 petak yang melakukan rotasi tanaman.
15 9 8 7 6 5 2 Rotasi Tidak Rotasi Gambar 5. Hubungan rotasi tanaman dengan keparahan serangan WBC di kabupaten Klaten, 211. Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara rotasi tanaman dengan keparahan serangan WBC (nilai-p =,76). Tersedianya air pengairan yang cukup mendorong petani untuk menanam padi secara terus-menerus menyebabkan tersedianya pakan dan tempat berkembang biak WBC secara berkesinambungan. Sehingga populasi WBC akan terus meningkat, untuk tujuan pengendalian perlu diusahakan agar fakta tersebut tidak sesuai lagi bagi perkembangan WBC (DBPT 1992). Banyaknya Bahan Aktif Insektisida Hubungan antara banyaknya bahan aktif insektisida yang digunakan dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak menggunakan lebih dari atau sama dengan 3 jenis bahan aktif insektisida, 5 petak tidak menggunakan insektisida dan 3 petak menggunakan 2 jenis bahan aktif insektisida. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak menggunakan lebih dari atau sama dengan 3 jenis bahan aktif insektisida, 3 petak menggunakan 1 jenis bahan aktif insektisida, 3 petak menggunakan 2 jenis bahan aktif insektisida serta 2 petak tidak menggunakan insektisida dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak menggunakan lebih dari atau sama
16 dengan 3 jenis bahan aktif insektisida, 4 petak menggunakan 1 jenis bahan aktif insektisida, 3 petak menggunakan 2 jenis bahan aktif insektisida dan 1 petak tidak menggunakan insektisida. 2 Jenis 1 Jenis 2 Jenis 3 Jenis Gambar 6. Hubungan banyaknya bahan aktif insektisida dengan keparahan serangan WBC di kabupaten Klaten, 211. Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara banyaknya bahan aktif insektisida yang digunakan dengan keparahan serangan WBC (nilai-p =,32). Pemilihan jenis bahan aktif insektisida yang akan digunakan merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam usaha pengendalian WBC karena penggunaan jenis bahan aktif insektisida yang tidak tepat dapat menyebabkan resurjensi terhadap WBC. Menanggapi terjadinya fenomena resurjensi WBC karena penggunaan insektisida pada pertanaman padi, Inpres 3/1986 menetapkan kebijakan teknis yaitu jenis insektisida yang dapat menimbulkan resurjensi, resistensi, atau dampak lain yang merugikan dilarang digunakan untuk tanaman padi. Inpres 3/1986 merupakan tonggak sejarah penerapan PHT di Indonesia karena melalui instruksi ini, pemerintah mulai memberikan dukungan politik dan legal terhadap PHT. Berdasarkan pengamatan dilapangan petani juga sudah banyak yang menggunakan insektisida yang dewasa ini dinilai sangat efektif untuk mengendalikan hama WBC stadium telur dan nimfa yaitu Apllaud WP yang mengandung bahan aktif buprofezin (Untung 27).
17 Interval Penyemprotan Insektisida Hubungan antara interval penyemprotan insektisida dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan lebih dari 15 hari, 5 petak tidak diberi insektisida, 2 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan 3-7 hari dan 1 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan kurang dari atau sama dengan 2 hari. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 8 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan 8-15 hari, 2 petak tidak diberi insektisida, 2 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan kurang dari atau sama dengan 2 hari, 2 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan 3-7 hari serta 1 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan lebih dari 15 hari dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan 3-7 hari, 4 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan kurang dari atau sama dengan 2 hari, 3 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan 8-15 hari, 1 petak tidak diberi insektisida dan 1 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan lebih dari 15 hari. 6 5 2 Tidak Diberi 2 hari 3-7 hari 8-15 hari > 15 hari Gambar 7. Hubungan interval penyemprotan insektisida dengan keparahan serangan WBC di kabupaten Klaten, 211.
18 Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa ada pengaruh yang nyata antara interval penyemprotan insektisida dengan keparahan serangan WBC (nilaip =,1). Data penelitian ini menunjukkan bahwa petak yang lebih sering dilakukan penyemprotan insektisida yaitu kurang dari atau sama dengan 2 hari sekali dan interval 3-7 hari sekali lebih banyak ditemukan pada petak dengan keparahan serangan WBC berat dibandingkan petak dengan keparahan serangan WBC ringan dan sedang. Seperti halnya dengan jenis bahan aktif insektisida, interval penyemprotan insektisida juga merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Dalam Inpres 3/1986 juga telah ditetapkan kebijakan teknis yaitu jenis dan cara aplikasi insektisida harus memperhatikan kelestarian musuh alami hama WBC. Penyemprotan insektisida yang dilakukan secara terus menerus dapat menyebabkan tingginya mortalitas musuh alami dan menyebabkan resistensi pada WBC sehingga populasi WBC akan meningkat dan mengakibatkan tingkat kerusakan yang lebih tinggi (Untung 27). Permasalahan WBC di Asia memiliki karakteristik yang sama yaitu penggunaan pestisida yang berlebihan. Pada tahun 197-an dan 198-an, WBC telah menimbulkan kerusakan yang parah pada lahan pertanaman padi (IRRI 1979, Heinrichs & Mochida 1984), tetapi saat ini, beberapa negara di Asia Tenggara telah menerapkan Integrated Pest Management (IPM) dan penggunaan insektisida telah dikurangi dengan cara sosialisasi melalui media massa sehingga permasalahan WBC telah berkurang secara signifikan (Matesson 2). Dosis Pupuk N Hubungan antara penggunaan dosis pupuk N dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 8 petak diberikan dosis pupuk N sebanyak kurang dari atau sama dengan 25 kg/ha setara urea, 4 petak diberikan dosis pupuk N lebih dari 25 kg/ha setara urea dan 3 petak tidak diberi pupuk N. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui petak diberi dosis pupuk N kurang dari atau sama dengan 25 kg/ha setara urea, 4 petak diberi dosis pupuk N lebih dari 25 kg/ha setara urea serta 1 petak tidak diberi pupuk N dan untuk
19 kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 9 petak diberi dosis pupuk N kurang dari atau sama dengan 25 kg/ha setara urea dan 6 petak diberi dosis pupuk N lebih dari 25 kg/ha setara urea. 7 6 5 2 Tidak diberi 25 kg > 25 kg Gambar 8. Hubungan penggunaan dosis pupuk N dengan keparahan serangan WBC di Kabupaten Klaten, 211. Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara penggunaan dosis pupuk N dengan keparahan serangan WBC (nilai-p =,36). Menurut Doberman dan Fairhust (2) N merupakan penyusun asam amino, asam nukleat, nukleotida dan klorofil sehingga nitrogen berfungsi dalam mendukung pertumbuhan vegetatif tanaman yang cepat, yaitu dalam meningkatkan tinggi tanaman dan meningkatkan jumlah anakan sawah. Penggunaan pupuk N selain memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan tanaman juga dapat menyebabkan dampak negatif jika dosis yang digunakan melebihi dosis anjuran. Aplikasi pupuk N yang tinggi tidak akan berdampak pada biologi serangga tetapi akan merubah morfologi, biokimia dan fisiologi dari tanaman inang sehingga akan meningkatkan kondisi nutrisi untuk serangga pemakan tumbuhan (Bernays 199, Simpson & Simpson 199) dan dapat menyebabkan penurunan resistensi tanaman inang terhadap serangga pemakan tumbuhan (Barbour et al. 1991). Pertanaman padi dengan pemupukan nitrogen yang tinggi akan menciptakan habitat yang disukai oleh lebih dari 2 spesies serangga pemakan tumbuhan, beberapa diantaranya adalah serangga hama
2 penting. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab status WBC berubah dari hama sekunder menjadi hama utama padi pada tahun 197an (Dyck et al. 1979). Terdapat berbagai macam pupuk N diantaranya pupuk urea merupakan pupuk tunggal yang memiliki kadar minimal N sebesar 45-46% dalam bentuk NH + 4 dengan rumus kimia CO(NH 2 ) 2. Pupuk ZA juga merupakan pupuk tunggal dengan rumus kimia (NH 4 ) 2 SO 4 dengan kadar N sebesar 21% (Sianipar 26). Dosis Pupuk P Hubungan antara penggunaan dosis pupuk P dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 9. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak diberikan dosis pupuk P lebih dari kg/ha setara SP 36, 5 petak tidak diberi pupuk P dan 3 petak diberi dosis pupuk P kurang dari atau sama dengan kg/ha setara SP 36. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 9 petak diberi dosis pupuk P lebih dari kg/ha setara SP 36, 4 petak diberi dosis pupuk P kurang dari atau sama dengan kg/ha setara SP 36 serta 2 petak tidak diberi pupuk P dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 8 petak diberi dosis pupuk P lebih dari kg/ha setara SP 36, 5 petak diberi dosis pupuk P kurang dari atau sama dengan kg/ha setara SP 36 dan 2 petak tidak diberi pupuk P. 7 6 5 2 Tidak diberi kg > kg Gambar 9. Hubungan penggunaan dosis pupuk P dengan keparahan serangan WBC di Kabupaten Klaten, 211.
21 Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara penggunaan dosis pupuk P dengan keparahan serangan WBC (nilai-p =,6). Menurut Doberman dan Fairhust (2) P merupakan penyusun ATP, nukleotida, asam nukleat, fosfolipid, penyimpan energi dan transfer energi. Fosfor berperan dalam pembagian sel, pembentukan lemak dan albumin, mempengaruhi kematangan tanaman, melawan pengaruh buruk nitrogen, perkembangan akar halus dan akar rambut, meningkatkan kualitas tanaman dan ketahanan terhadap penyakit (Soepardi 1983 didalam Sianipar 26). Berdasarkan penelitian Sianipar (26) pupuk fosfor yang sering digunakan petani saat ini adalah SP-36 karena pupuk TSP peredarannya sedikit di pasar. Pupuk ini merupakan pupuk superfosfat yang mengandung P 2 O 5 sebesar 36 %. Dosis Pupuk K Hubungan antara penggunaan dosis pupuk K dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 9 petak tidak diberi pupuk K, 2 petak diberi dosis pupuk K kurang dari atau sama dengan 75 kg/ha setara KCl dan 4 petak diberi dosis pupuk K lebih dari 75 kg/ha setara KCl. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui petak diberi dosis pupuk K lebih dari 75 kg/ha setara KCl, 3 petak diberi dosis pupuk K kurang dari atau sama dengan 75 kg/ha setara KCl serta 2 petak tidak diberi pupuk K dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui petak diberi dosis pupuk K lebih dari 75 kg/ha setara KCl, 4 petak diberi dosis pupuk K kurang dari atau sama dengan 75 kg/ha setara KCl dan 1 petak tidak diberi pupuk K.
22 7 6 5 2 Tidak diberi 75 kg > 75 kg Gambar. Hubungan penggunaan dosis pupuk K dengan keparahan serangan WBC di Kabupaten Klaten, 211. Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa ada pengaruh yang nyata antara penggunaan dosis pupuk K dengan keparahan serangan WBC (nilai-p =,1). Serapan tanaman akan unsur K dipengaruhi oleh jumlah K tersedia bagi tanaman. Semakin besar jumlah K tersedia, maka akan semakin besar pula jumlah K yang diserap oleh tanaman. Kecenderungan ini disebut konsumsi berlebihan (luxury consumption), yaitu pada kondisi serapan yang besar pada tanaman tidak diikuti oleh peningkatan produksi. Kalium dalam jumlah yang cukup akan menjamin ketegaran tanaman dan merangsang pertumbuhan akar. Kalium cenderung meniadakan pengaruh buruk nitrogen serta dapat mengurangi pengaruh kematangan yang dipercepat oleh fosfor (Soepardi 1983 didalam Sianipar 26). Jarak Tanam Hubungan antara jarak tanam dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 11. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 12 petak menggunakan jarak tanam antara 2-25 cm, 2 petak menggunakan jarak tanam kurang dari 2 cm dan 1 petak menggunakan jarak tanam lebih dari 25 cm. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui
23 petak menggunakan jarak tanam kurang dari 2 cm dan 5 petak menggunakan jarak tanam antara 2-25 cm dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 14 petak menggunakan jarak tanam antara 2-25 cm dan 1 petak menggunakan jarak tanam kurang dari 2 cm. 9 8 7 6 5 2 < 2 cm 2-25 cm > 25 cm Gambar 11. Hubungan jarak tanam dengan keparahan serangan WBC di Kabupaten Klaten, 211. Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa ada pengaruh yang nyata antara jarak tanam dengan keparahan serangan WBC (nilai-p =,1). Penggunaan jarak tanam sedang (2-25 cm) lebih banyak ditemukan pada petak dengan keparahan serangan WBC berat dibandingkan petak dengan keparahan serangan WBC sedang dan ringan. Sedangkan penggunaan jarak tanam rapat yaitu kurang dari 2 cm lebih banyak ditemukan pada petak dengan keparahan serangan WBC sedang dibandingkan petak dengan keparahan serangan WBC ringan dan berat. Jarak tanam yang rapat disertai dengan penggunaan varietas unggul yang mempunyai anakan banyak, tumbuh subur dan rimbun akan menciptakan keadaan iklim mikro yang sangat sesuai untuk perkembangan WBC (DBPT 1992).
24 Hasil pengolahan data pengaruh berbagai faktor terhadap keparahan serangan WBC. No. Faktor Nilai-p 1. Populasi WBC,1 2. Keragaman jenis musuh alami,76 3. Varietas padi,63 4. Keragaman hama lain,67 5. Rotasi Tanaman,76 6. Banyaknya bahan aktif insektisida,32 7. Interval penyemprotan insektisida,1 8. Dosis Pupuk N,36 9. Dosis Pupuk P,6. Dosis pupuk K,1 11. Jarak tanam,1