BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam beberapa peristiwa kehidupan sering dipandang sebagai kondisi yang mengganggu bagi individu, yang memaksa mereka untuk mengubah tujuannya (Santrock, 2002). Individu yang mengalami penurunan kondisi hidup merupakan tantangan untuk dihadapi dan diatasi. Individu memang tidak memiliki kendali terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya seperti kecelakaan, bencana alam, kejahatan, penyakit, keadaan ekonomi, serta keadaan yang lain (Tugade & Fredrikson, 2004). Dalam ragam kondisi hidup, individu harus menata ulang pola hidup dan penyesuaian diri, dan itu adalah masalah biasa. Akan tetapi, ketika individu harus menghadapi perubahan hidup dramatis dan membutuhkan penyesuaian diri relatif besar (www.femina.co.id, 12 Desember 2013). Perubahan hidup dapat menjadi hal yang berpotensi menimbulkan stres karena keadaan ini membutuhkan penyesuaian diri bagi individu (Nevid & Rathus, 2005). Penyesuaian diri merupakan interaksi individu yang secara terus-menerus dengan dirinya, orang lain, dan dengan dunianya (Landis, dalam Hapsariyanti, 2009). Schneiders (1964) menjelaskan penyesuaian diri adalah proses yang meliputi respon mental dan perilaku yang merupakan usaha individu untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan 1
2 -ketegangan, frustasi, dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan antara tuntutan dari dalam dirinya dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan di tempat tinggalnya. Jadi penyesuaian diri adalah interaksi individu secara terus menerus yang meliputi respon mental dan perilaku yang merupakan usaha individu untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan-kebutuhan, frustasi, dan konflik agar terdapat keselarasan terhadap pribadinya, orang lain dan lingkungannya. Salah satu contoh dari penyesuaian diri yang dialami oleh Ferrasta Soebadi alias Pepeng seorang pembawa acara Talk Show, selama empat tahun pepeng terbaring dengan lumpuh setengah badan karena penyakit multiple sclerosis, Sudah empat tahun saya tidur di gua (kamar) ini, ngga bisa ngapa-ngapain,saya ngga bisa kencing sendiri, buang air besar sendiri, turun dari ranjang juga ngga bisa, Pepeng beruntung ada istri Tami, yang setia mendampingi hingga kini, setiap saat Tami harus ada saat Pepeng membutuhkan. Entah untuk membersihkan luka, membantunya ke kamar mandi, atau sekadar mengambilkan makanan. Luka saya di bawah ada enam. Dia yang mengguntingi (perban), lalu membersihkan. Padahal dia bukan suster. Apalagi dia ngga kuat lihat darah. Tapi dipaksakan, terang Pepeng. Dukungan kayak begitu ngga main-main (www. tabloidbintang.com, 10 September 2013). Di Amerika, pasangan Ronald Reagan dan Nancy yang setia mendampingi di saat sakit Nancy setia mendampingi suaminya yang mantan presiden AS hingga akhir hayat digerogoti usia tua dan Alzheimer. Dan pasangan mendiang Patrick
3 Swayze dan Lisa Niemi, sementara itu Niemi setia mendampingi suaminya yang mantan bintang Ghost itu terkena kanker pankreas stadium IV (www. tabloidbintang.com, 10 September 2013). Para peneliti dari Washington University, Seattle, Amerika menemukan bahwa suami lebih banyak meninggalkan istrinya yang sakit kronis hingga 7 kali lipat dibanding istri yang meninggalkan suami karena penyakit kronis. Peneliti menganalisis data dari 500 pasangan menikah yang salah satu pasangannya didiagnosa memiliki penyakit serius seperti kanker, tumor dan lainnya. Dan hasilnya adalah suami ternyata lebih tega meninggalkan istri mereka yang sedang sakit karena faktor fisik dan seks (www.health.detik.com, 10 September 2013). Di dalam penelitian tersebut dari 23 kasus perceraian dimana salah satu pasangannya mengidap penyakit multiple sclerosis (penyakit rusaknya sistem saraf otak), 22 kasus diantaranya terjadi karena suami yang meninggalkan istri dan hanya 1 kasus dimana istri yang meninggalkan suami, sama halnya dengan penyakit kanker. Kasus perceraian disebabkan karena suami sudah tidak tahan lagi dengan kondisi istrinya yang sakit parah, sang istri ditinggalkan sendiri dalam kondisi menyedihkan dan harus berjuang melawan penyakitnya sendiri. Dan untuk kasus tumor otak, dari 23 pasangan yang bercerai, 18 istri tinggalkan suami dalam kondisi sakit berat. Hal itulah yang membuat suami memiliki keinginan untuk bercerai dengan sang istri. Selain karena faktor fisik, penyebab lainnya yaitu karena berkurangnya intensitas hubungan seksual suami istri. Peneliti mengatakan faktor ini menjadi penyebab yang paling banyak ditemukan pada
4 pasangan suami istri yang bercerai karena sakit (www.health.detik.com, 10 September 2013). Beberapa fenomena yang telah diuraikan diatas cenderung terjadi pada penyesuaian diri istri sebagai caregiver terhadap pasangannya yang menderita penyakit kronis. Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degenerative yang berkembang atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari enam bulan (Sarafino, 2012). World Health Organization (dalam Sarafino, 2012) menjelaskan masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab kematian pada manusia adalah penyakit kronis. Penyakit kronis yang sering terjadi seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, kanker, Parkinson, multiple sclerosis dan penyakit arteri (Christianson, 1998). Keadaan fisik yang berubah dari normal menjadi sakit ini juga dapat menurunkan motivasi seseorang dalam memenuhi target hidup. Selain itu, penderita penyakit kronis cenderung lebih merasa putus asa karena berbagai penanganan medis yang tidak kunjung membantu (Sarafino, 2012). Menurut Rolland (dalam Herfianti, 2001) seseorang yang menderita suatu penyakit umumnya tidak hanya menimbulkan penderitaan atau kesulitan pada diri pasien itu sendiri saja, namun juga keluarganya, terutama orang yang memiliki ikatan emosi yang erat dengan penderita, misalnya pasangan atau anak. Individu yang gagal dalam menyesuaikan diri akan menjadi tidak tenang bila menghadapi suatu masalah, tidak mampu mengendalikan emosi, mengalami frustasi, konflik atau kecemasan. Individu yang mampu menyesuaikan diri akan mampu menyeimbangkan antara kebutuhan internal dan eksternal, mampu memecahkan
5 masalah dengan rasio dan emosi yang terkendali serta bersikap realistis dan objektif (Sundari, 2005). Moos (dalam Sarafino, 2012) mengemukakan beberapa strategi dalam mengatasi stress yang dapat dilakukan oleh penderita gangguan kesehatan, yaitu : mengingkari atau meminimalisasi keseriusan situasi, mempertahankan kebiasaan rutin sebisa mungkin, memperkirakan kejadian dan keadaan stress yang mungkin muncul dimasa yang akan datang, mencoba memiliki pandangan baru tentang masalah kesehatan tersebut dan perawatannya dengan menemukan tujuan jangka panjang atau makna dari pengalaman tersebut, mencari informasi tentang masalah kesehatan tersebut dan prosedur perawatannya, mencari dukungan instrumental dan emosional dari keluarga, teman dan praktisi kesehatan yang terlibat dengan menunjukkan kebutuhan dan perasaan. Dimatteo & Dinicola (dalam Sarafino, 2012) mengemukakan individu yang merasa menerima penghiburan, perhatian dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis. Dalam situasi menjadi caregiver bagi suami yang terkena penyakit kronis, penyesuaian merupakan hal yang harus dilakukan. Pasangan penderita penyakit kronis seringkali berada pada situasi dilematis yang menyebabkan timbulnya frustasi, depresi, masalah hubungan (Kuyper & Wester, 1998). Kemampuan seseorang dalam menghadapi penderitaan atau kemalangan dalam hidup yang berpengaruh terhadapnya tetapi ia dapat bangkit kembali dari situasi tersebut. Dengan kata lain, ia tetap terlibat di dalam peristiwa atau kejadian buruk
6 yang dialami, mengatasinya, serta kembali melaksanakan aktivitasnya yang lain dan melanjutkan hidup. Tidak hanya itu, ia pun tetap dapat mengembangkan potensi dirinya, memiliki tujuan dalam hidup, dan memiliki kepercayaan terhadap kekuatan dirinya dalam menghadapi permasalahan (Wagnild & Young, 2009). Dalam Mui (1995) mengungkapkan ketika pasangan berada dalam suatu kondisi yang menyebabkan mengalami ketidakmampuan, maka pada umumnya pasangannya mengambil peran sebagai primary caregiver dan memberikan perawatan untuknya. Beberapa budaya juga menempatkan wanita sebagai natural caregiver, seperti misalnya budaya cina yang menempatkan wanita dalam keluarga secara otomatis sebagai caregiver bagi keluarganya (Man Wah & Doris, 2007). Wanita dipandang sebagai seseorang yang sentimental, penurut, yang memiliki sifat hangat, ekspresif, dan sensitif. Wanita belajar untuk memantau dan khawatir tentang hubungan mereka, untuk mengubah kemarahan, kelelahan, atau depresi, dan mencoba mempengaruhi perilaku orang lain dengan cara tidak langsung atau ekstrim (Crawford, M & Unger, R, 2012). Caregiver merupakan bantuan yang sifatnya melebihi batas normal atau umum dan perawatan yang luar biasa (www.litbangkes.go.id, 20 Januari 2014). Caregiver juga dapat didefinisikan individu yang bertanggung jawab untuk merawat orang lain yang menderita masalah kesehatan mental, memiliki cacat fisik atau kesehatan yang buruk, karena menderita penyakit atau usia (Duci, 2012). Caregiver dapat dibedakan kedalam dua kelompok, yaitu caregiver formal dan caregiver informal. Caregiver formal adalah individu yang menerima bayaran untuk memberikan perhatian, menyediakan kebutuhan fisik, maupun bantuan atau
7 kenyamanan, serta perlindungan dan pengawasan kepada individu lain. Sedangkan caregiver informal adalah caregiver yang menyediakan bantuan pada individu lain yang memiliki hubungan pribadi dengannya, seperti pada hubungan keluarga, teman, ataupun tetangga (www.caregiver.org, 5 Desember 2013). Dalam Womenhealth (2010) mengemukakan bahwa stres yang dialami oleh caregiver lebih banyak dialami wanita dibandingkan pria. Dimana sekitar dari 75 % caregiver wanita melaporkan merasa sangat tegang secara emosional fisik dan financial. Peran istri dalam caregiver membuatnya terbatasi oleh lingkungan rumah akibat tugas perawatan yang dilakukan sehingga membuatnya merasa terisolasi dari dunia luar mengalami kesulitan dalam domain fisik dan financial, mengalami beban fisik yang berat akibat peran yang dijalani, merasa pesimis, lelah dan takut, mengalami kesulitan dalam proses kognitif dan memori, serta merasakan adanya penurunan dalam kualitas hidupnya (Khan, Phallant, & Brand, 2007). Berdasarkan fenomena yang dihadapi oleh istri dalam proses penyesuaian diri ketika menjalani perannya sebagai caregiver terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya, suami, keluarga dan lingkungan sekitarnya akibat suami menderita penyakit kronis maka pertanyaannya yang muncul adalah Bagaimana Gambaran Penyesuaian Diri Istri Sebagai Caregiver Dari Suami yang menderita penyakit kronis. Penelitian akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Istri yang akan menjadi subjek penelitian ini adalah istri dari pasien penderita penyakit kronis dan juga berperan sebagai caregiver terhadap suaminya. 1.2. Rumusan Masalah
8 Rumusan masalah penelitian : Bagaimanakah Gambaran Penyesuaian Diri Istri Sebagai Caregiver Dari Suami yang Menderita Penyakit Kronis? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Penyesuaian Diri Istri Sebagai Caregiver Dari Suami yang Menderita Penyakit Kronis. 1.4. Manfaat Penelitian A. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk perkembangan ilmu psikologis, yang bermanfaat menjadi salah satu sumber informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut masalah yang berkaitan dengan Penyesuaian Diri Istri sebagai Caregiver dari suami yang menderita penyakit kronis. B. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai masalah-masalah yang dialami dalam penyesuaian diri sebagai caregiver dan masukan bagi istri untuk dapat mengetahui cara-cara yang dilakukan sebagai bentuk usaha penyesuaian diri istri sebagai caregiver dari suaminya yang menderita penyakit kronis.