II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Imun Udang

dokumen-dokumen yang mirip
PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terutama ikan air tawar. Ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus)

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. *Tanda titik dibaca sebagai desimal

PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR

II. TINJAUAN PUSTAKA Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tawar yang cukup digemari masyarakat Indonesia. Ikan ini memiliki nilai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

I. PENDAHULUAN. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas air tawar yang

BAB I PENDAHULUAN. Budidaya udang merupakan salah satu komuditas perikanan dengan

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang 70% alamnya merupakan perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infectious Myonecrosis Virus

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi udang

pakan -1 pakan dengan protokol pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan

I. PENDAHULUAN. Ikan lele sangkuriang (C. gariepinus) merupakan salah satu komoditas perikanan

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar

BAB I PENDAHULUAN. adalah lele dumbo (C. gariepinus). Ikan ini memiliki pertumbuhan yang cepat,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Budidaya udang merupakan salah satu industri skala besar dengan tingkat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

I. PENDAHULUAN. Bidang perikanan memegang peranan penting dalam penyediaan protein

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Imun Tubuh Udang

Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. KUALITAS BIOLOGIS dan MANIPULASI MIKROBA: Probiotik

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Pertahanan Tubuh Udang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang 70 % dari wilayahnya terdiri dari

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balik Diwa Makassar ABSTRAK

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB I PENDAHULUAN. di Jawa Tengah (Purwanti et al., 2014). Lele dumbo merupakan jenis persilangan lele

BAB I PENDAHULUAN. Sistem imunitas didalam tubuh manusia merupakan satu kesatuan yang

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia). Penyakit ini juga dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. relatif mudah, dapat memanfaatkan berbagai jenis bahan sebagai makanannya,

I. PENDAHULUAN. tinggi. Budidaya ikan mas telah lama berkembang di Indonesia, karena selain

I. PENDAHULUAN. Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup tinggi karena sebagian besar kawasannya berupa perairan. Nontji (2002)

LC 50. *Penulis Korespondensi: (Diterima Oktober 2016 /Disetujui Januari 2017)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare merupakan penyebab yang banyak menimbulkan kesakitan

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

Budidaya Perairan Mei 2014 Vol. 2 No. 2: Respon imun krustase (Crustacean immune response) Henky Manoppo, Magdalena E.F. Kolopita.

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. terutama untuk beberapa pasar lokal di Indonesia. Ikan mas atau yang juga

I. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Potensi budidaya ikan air tawar di Indonesia sangat baik, mengingat

I. PENDAHULUAN. budidaya karena memiliki nilai ekonomis tinggi ( high economic value) serta

BAB I PENDAHULUAN meningkat menjadi 31,64 kg per kapita per tahun (KKP, 2012).

PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama ( )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyakit akibat tubuh tidak mampu melawan zat asing yang masuk ke dalam

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan dilakukan pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi ancaman dalam usaha budidaya ikan air tawar (Zonneveld, et al

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL

PENDAHULUAN. terdiri atas penyakit bakterial dan mikotik. Contoh penyakit bakterial yaitu

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan protein hewani dapat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pendapatan perkapita masyarakat, kebutuhan bahan makanan semakin

I. PENDAHULUAN. Udang vannamei merupakan salah satu jenis udang yang potensial untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan komoditas perikanan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang

BAB I PENDAHULUAN. menjaga keseimbangan ekosistem perairan (Komarawidjaja, 2005).

Transkripsi:

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Imun Udang Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Sedangkan sistem imun merupakan gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi (Baratawidjaja, 2006). Resistensi dapat dilihat dari kelangsungan hidup maupun respon imun yang diberikan berupa reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya (Baratawidjaja, 2006). Pengetahuan tentang sistem imun udang diawali dari pemahaman sistem imun pada krustasea, dimana udang merupakan bagian dari krustasea (avertebrata). Sistem imun krustasea (avertebrata) dalam hal ini juga udang merupakan sistem imun non spesifik (berperan besar). Seperti vertebrata, garis pertahanan pertama berupa physico-barriers yang sangat efektif juga dimiliki avertebrata. Misalnya skeleton eksternal yang kokoh yang mencegah masuknya agen penyakit (Ratcliffe, 1985). Kebanyakan avertebrata mempunyai sirkulasi yang terbuka, sel darah disebut dengan hemosit atau coelomocytes. Berbeda dengan vertebrata, imunitas avertebrata tidak berdasarkan pada imunoglobulin dan interaksi subpopulasi limfosit (Ratcliffe, 1985) dalam hal ini tidak memproduksi antibodi spesifik atau antibodi sangat sedikit pada krustasea. Namun imunitas avertebrata efisien dan adanya interaksi komponen selular dan humoral. Sejak dulu dikatakan bahwa imunitas avertebrata dipengaruhi oleh interaksi sel fagositosis dengan patogen, bersamaan dengan sejumlah faktor humoral seperti lisosim. Organisme krustasea akuatik yang hidup pada lingkungan budidaya (akuakultur) baik pada habitat air tawar, air laut mupun payau sering rentan terkena infeksi baik oleh parasit maupun patogen lainnya. Oleh karena itu krustasea tersebut harus mampu meningkatkan pertahanan yang efisien untuk melawan organisme penyerang. Pertahanan krustasea sebagian besar berdasarkan pada aktifitas sel darah atau hemosit. Sel ini bisa menghilangkan partikel asing pada tubuh krustasea akuatik melalui aktifitas fagositosis atau enkapsulasi. Selain itu juga penutupan luka yang cepat untuk mencegah keluarnya hemolim dan juga untuk mencegah mikroorganisme menempel pada luka, juga ada reaksi pada pertahanan krustasea yang disebut clotting (Söderhäll and Cerenius, 1992). Hemosit penting dalam menghilangkan partikel asing yang masuk tubuh udang. Terdapat tiga tipe hemosit pada hemolim udang (krustasea) yaitu sel hialin, semi granular dan granular. Ketika sel ini mempunyai morfologi dan fungsinya masing-masing (Söderhäll and Cerenius, 1992). Sel hialin dicirikan dengan tidak memiliki sitoplasmik yang merupakan agranular, berukuran lebih kecil diantara sel hemosit (Cornick and Stewart, 1978). Sel ini melakukan fungsinya yaitu aktifitas fagositosis. Sel semi granular dicirikan dengan adanya sejumlah kecil granul. Sel ini tidak stabil in vitro cepat lisis dan melepaskan isinya. Aktifitas fagositosis

(terbatas), enkapsulasi, propo dan sitotoksitas merupakan fungsi dari sel ini (Thörnqvist et al. 1994; Kobayashi et al. 1990; Johansson and Söderhäll 1985). Granular memiliki sejumlah besar granul, dan melakukan fungsi sebagai propo dan sitotoksis. Skema mekanisme bagaimana faktor-faktor pada sistem pertahanan udang berperan penting dalam respon terhadap partikel non self dapat dilihat pada Gambar 1. Pada mekanisme pertahanan udang terlihat bahwa hemosit yang bersirkulasi berperan sangat penting tidak hanya secara langsung menghambat dan membunuh agen infeksi tetapi juga melalui sintesis dan eksositosis sejumlah molekul biaktif yang aktif (Smith et al. 2003). Menurut Dugger and Jory (1999), fagosit hemosit merupakan salah satu sistem imun non spesifik pada udang. Bagaimana sel ini mengenali stimulan adalah sebagian besar tergantung pada tipe dari permukaan molekul protein dan karbohidrat yang ditemukan pada permukaan patogen dan bagaimana tipe molekul ini berbeda dari permukaan sel inang. Pengenalan sel itu sendiri meliputi sejumlah struktur kompleks pada permukaan sel inang dimana hemosit dapat mengenalinya dan menginterpretasikan. Gambar 1. Diagram alur sederhana sistem pertahanan krustasea (Smith et al. 2003).

Proses pertama yang penting adalah pengenalan mikroorganisme yang masuk tubuh udang yang dimediasi oleh hemosit dan protein plasma (Van de Braak, 2002). Pengenalan patogen melalui pola molekular, dilakukan oleh beberapa protein pengenal yang disebut pattern recognition protein (PRPs). Protein ini bisa mengenali karbohidrat dari komponen dinding sel mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) atau peptidoglikan (PG) bakteri (Van de Braak, 2002). Secara singkat dikatakan bahwa hemosit melakukan reaksi inflammatory-type seperti fagositosis, penggumpalan hemosit, menghasilkan reactive oxgygen metabolites dan melepaskan protein mikrobisidal (Smith et al. 2003). Selain itu reaksi imun yang maksimal dicapai melalui koordinasi dan interaksi antara tipe hemosit atau produknya (Gambar 1). Protein kunci dalam sistem imun adalah peroxinectin. Hemosit udang berperan penting pada awal dan memelihara respon imun non spesifik. Fagosit hemosit (makrofage pada hewan tingkat tinggi) merupakan sel kompoten immunology yang tertua dan sangat konsisten. Untuk mengaktifkan imunologi, hemosit ini harus melewati keadaan aktifasi dimana termasuk perubahan morfologi tertentu. Hemocyte yang tidak diaktifkan cenderung untuk terlihat halus dan membulat, sementara hemocyte yang aktif berserat (crenellated) dan may extrude pseudopods (mempunyai kaki semu) yang digunakan untuk menangkap dan fagositosis (mencerna) patogen. Juga yang sangat penting bahwa nyatanya sel ini memproduksi sejumlah rangkaian perubahan metabolik yang hasilnya berupa diproduksinya sejumlah sitosin dan komponen penting lainnya, yang berperan sebagai pengaturan bagian dalam dari sistem imun. Pengaktifan dapat diawali dengan beberapa rangsangan, seperti endotoxins, bakteri dan virus, dan juga oleh bahan kimia seperti polisakarida. Pengecualian bagi polisakarida, kebanyakan stimulan imun dapat bersifat racun atau patogenik untuk digunakan dalam praktek budidaya (Dugger and Jory, 1999). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa imunostimulan tertentu misalnya β-glukan, polisakarida dan peptidoglikan (Vargas-Albores and Yepiz-Plascencia, 2000; Cheng et al. 2004) mengaktifkan aktifitas phenoloxidase (PO). Phenoloxidase merupakan suatu enzim yang paling penting yang terlibat dalam sistem imun alami avertebrata (Cerenius and Söderhäll, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan aktifnya sistem propo (prophenoloxidase) bisa lebih meningkatkan mekanisme sistem pertahanan udang ((Vargas-Albores and Yepiz-Plascencia, 2000). Menurut Johansson dan Söderhäll, 1989, Prophenoloxidase (propo) dan phenoloxidase dilibatkan dalam encapsulation, cell-adhesion, degranulation, cytotoxic, melanization, serta fagositosis selain itu juga berfungsi sebagai sistem non-self recognition. Hal ini dikarenakan dengan aktifasi sistem propo maka dihasilkan beberapa protein seperti peroxincetin, transglutamin dan clotting protein. Udang yang sakit terlihat lemah dan sensitif terhadap stress, berenang dekat permukaan air dan berada pada pinggir kolam. Rangkanya menjadi lunak, buram dan gelap, bekuan hemolim lambat dan bakteri terlihat dengan pengamatan langsung menggunakan dark field mikroskop. Infeksi dari bakteri vibrio pada udang penaeid biasanya berasosiasi juga dengan bakteri Gram-

negatif batang lainnya (Costa et al. 1998). Infeksi bakteri pada udang dapat menempati tiga tempat (bentuk) yaitu: spots pada cutikula (disebut penyakit bacterial shell), lokasi infeksi pada usus atau hepatopancreas dan generalized septicemia. Parameter imun udang antara lain haemocyte count, phenoloxidase activity, respiratory burst, superoxidase dismutase activity, phagocytic activity dan clearance efficiency dari Litopenaeus vannamei dan kerentanan terhadap Vibrio spp. ketika udang diberi (disuntik) dengan imunostimulan (Cheng et al. 2004). 2.2 Budidaya Udang vaname Lingkungan budidaya sering merupakan hal yang sangat berpengaruh pada produksi udang vaname. Dissolved oxygen (DO) merupakan faktor pembatas dalam budidaya. Air pada dasar kolam dimana udang berada, dapat menjadi hypoxic atau bahkan anoxic karena respirasi organisme dan dekomposisi bahan organik dari sisa pakan dan feces, terutama pada malam hari. Kondisi hypoxic dapat membahayakan hidup udang. Nilai DO diatas 5 mg l -1 sering direkomendasikan untuk budidaya intensif (Zhang et al. 2006). Kekurangan oksigen menyebabkan udang mudah terserang bakteri vibriosis dan dapat menyebabkan kematian hingga 48% dari populasi udang (Le Moullac et al. 1998). Budidaya pembesaran udang di beberapa negara menggunakan oxytetracycline (OTC), oxolinic acid (OXA), chloramphenicol dan furazolidone yang dicampur dalam pakan buatan sebagai perlakuan untuk melawan vibriosis luminous (Cruz-Lacierda et al. 2000). Obat yang digunakan berakibat langsung pada pemberian pakan yang berlebih dan menurunkan nafsu makan organisme yang dibudidayakan. Akibat tidak langsung yaitu adanya agen antimikroba dengan konsentrasi rendah mengakibatkan berkembangnya strain yang resisten (Tendencia and dela Pena, 2002). Selanjutnya Tendencia dan dela Pena (2001) melaporkan bahwa berkembangnya resistensi antibiotik dapat dihubungkan dengan penggunaan antimikrobial pada kolam udang. Penggunaan antibiotik secara berlebihan menyebabkan strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik (Goarant et al, 2006). Bakteri vibrio yang terdapat pada kolam/air/sedimen dan bagian kolam lainnya pada budidaya udang yang menggunakan antibiotik oxytetracycline menunjukkan resistan terhadap antibiotik tersebut (Tendencia and dela Pena, 2002). Abraham et al (1997) mengisolasi strain V. harveyi yang resisten terhadap antibiotik yang digunakan dalam sistem akuakultur, dari udang yang sakit. Lebih lanjut Hameed and Balasubramaniam (2000) menemukan bahwa bakteri resisten yang diisolasi dari Artemia nauplii resisten terhadap erythromycin, nitrofurazone dan oxytetracycline. Penggunaan obat yang berlebihan dalam mengendalikan penyakit pada udang dapat beresiko pada kesehatan manusia, akibat dari residu dalam udang dan berdampak pula pada lingkungan dengan adanya residu antibiotik (Reed et al. 2003). Antimikroba yang digunakan di Jepang berupa oxolinic acid dan oxytetracycline (Uno, 2004). Meskipun oxytetracycline belum

disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk digunakan dalam budidaya udang, di USA obat ini telah digunakan dan sukses dalam treatment vibriosis septicemia (Mohney et al. 1997), namun bersifat residu pada L. vannamei. 2.3 Vibrio spp. Spesies vibrio merupakan bagian dari autochthonous flora dari organisme laut dan merupakan salah satu kelompok yang penting dalam lingkungan laut, sekitar 80% populasi bakteri pada permukaan air (Tsukamoto et al. 1993). Vibrio dapat menyebabkan kematian pada larva udang pada lingkungan budidaya yang berbeda. Beberapa jenis spesies vibrio yang merupakan patogen utama pada udang penaid antara lain V. vulnificus, V. alginolyticus, V. campbellii, V. splendidus, V. damsela, V. parahaemolyticus, dan V. harveyi (Lightner, 1996). Menyebabkan penyakit vibriosis yang terjadi pada semua level pembesaran, mulai pada tangki hatchery hingga kolam pembesaran. Walaupun demikian spesifikasi telah dilaporkan baik pada spesies maupun fase perkembangan, sehingga strain vibrio berbeda walaupun pada spesies yang sama. Kematian yang tinggi pada hatchery udang P. monodon biasanya disebabkan oleh V. campbellii. Sedangkan pada L. vannamei biasanya disebabkan oleh V. harveyi dan V. parahaemolyticus (Robertson et al. 1998). Bakteri vibrio juga dapat ditemukan pada udang penaeid yang sehat. Vibrio opportunistic dapat menyebabkan masalah serius pada larva ketika terdapat tekanan karena lingkungan yang tidak stabil, kepadatan yang tinggi dan manajemen yang buruk (Hameed et al. 2003). Vibriosis merupakan masalah utama pada budidaya udang, menyebabkan kematian tinggi dan berdampak pada ekonomi, biasanya penyebab utama terjadinya penyakit oleh highly virulent strains Vibrio sp. (de la Pena et al. 1993). Ciri-ciri Vibrio spp. merupakan bakteri Gramnegatif, motile, oxidase-positive, lurus atau lengkung rod-shaped, anaerobic fakultatif. Merupakan bentuk dari bagian indigenous microflora, habitat aquatic dari berbagai salinitas (Colwell, 1984). Terjadinya penyakit dihubungkan dengan meningkatnya proporsi spesies potensial patogenik vibrio pada kolam budidaya (Sung et al, 2001). Meskipun demikian patogenik populasi dari komuniti mikrobial cenderung berubah, dalam respon terhadap tekanan lingkungan, dalam lingkungan yang alami, sulit untuk mengetahui tekanan (stress) secara tepat, terutama jika definisi kondisi stressful bervariasi dari satu organisme dengan organisme lain (Goarant et al. 1998). Beberapa penelitian tentang identifikasi dan karakteristik toksin dari V. alginolyticus, V. parahaemolyticus dan V. harveyi (Lee et al. 1999) telah dilakukan. Racun yang dihasilkan oleh Vibrio adalah hemolisin yang menyebabkan terjadinya hemolisis pada hemolim udang (Zhang et al. 2001). V. harveyi merupakan patogen yang utama pada udang, yang dapat menyebabkan vibriosis pada beberapa udang budidaya di daerah tropis, dimana daerah ini merupakan wilayah produksi udang dunia (Jiravanichpaisal et al. 1994; Liu et al. 1996).

2.4 Imunostimulan Imunostimulasi merupakan cara untuk memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut (Baratawidjaja, 2006). Menurut Treves- Brown (2000) imunostimulan merupakan bahan yang bisa meningkatkan resistensi organisme terhadap infeksi patogen. Pemberian imunostimulan secara luas dengan maksud untuk mengaktifkan sistem imun non spesifik sel seperti makrofag pada vertebrata dan hemocyte pada avertebrata (Dugger and Jory, 1999). Imunostimulan penting untuk mengontrol penyakit ikan dan berguna pada budidaya ikan. Penggunaan imunostimulan dilakukan pada budidaya ikan karena kemoterapi yang diberikan pada ikan menyebabkan resistensi pada bakteri tertentu. Imunostimulan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, bukan karena meningkatnya respon imun spesifik tapi oleh meningkatnya mekanisme pertahanan non spesifik (Sakai, 1999). Penggunaan imunostimulan, dengan ditambahkan pada agen kemoterapi dan vaksin, telah diterima luas oleh petani ikan. Ikan yang diberikan imunostimulan biasanya menunjukkan peningkatan aktifitas sel fagositik. Aktifitas sel fagositik dapat dideteksi dengan fagositosis, killing dan chemotaxis. Meningkatnya genetik yang terbunuh adalah sangat penting pada makrofag dari ikan yang diberi imunostimulan. Killing mechanism makrofage dapat dikategorikan sebagai oxygen-dependent atau oxygen-independent. Oxygen-dependent killing mechanism dimediasikan oleh reactive oxygen species (ROS) dapat dideteksi dengan chemiluminescence dan uji NBT (Kajita et al. 1990). Limfosit juga diaktifkan oleh imunostimulan, aktifitas lisozim juga dipengaruhi oleh pemberian imunostimulan (J Ø rgensen et al. 1993). Imunostimulan digunakan untuk meningkatkan mekanisme pertahanan non spesifik pada hewan, termasuk udang (Song and Sung, 1990). Imunostimulan seperti beta 1,3 D glucan dapat digunakan sebagai nutrisi yang dapat mendukung sistem imun non spesifik dari udang laut pada kondisi budidaya. Pemberian imunostimulan dapat dilakukan dengan (Dugger and Jory, 1999): 1. Penyuntikan Penyuntikan beta glucan dan stimulant imun lainnya dapat memberikan respon non spesifik yang kuat, tetapi biasa tidak praktis dan efektif dalam hal biaya dalam usaha budidaya, kecuali untuk juvenile yang besar dan dewasa untuk tujuan memperbaiki individu seperti induk atau genetik. 2. Perendaman Memberikan respon imun non spesifik yang sedikit, tetapi lebih efektif dalam hal biaya daripada dengan penyuntikan. Namun dapat menimbulkan stress pada udang karena meningkatnya penanganan dan kepadatan dalam perendaman. Makrofag dan hemosit dapat diaktifkan pada fase larva ikan, dan ini sama juga pada udang muda.

3. Oral Memberikan respon imun non spesifik yang baik dan merupakan metode yang lebih efektif. Namun beta glucan yang diberikan secara oral memiliki jalur dan fungsi yang berbeda dengan bahan pakan. Konfigurasi beta glucan merupakan acid resistant, jadi lewat begitu saja dalam saluran pencernaan tanpa melalui perubahan. Sehingga penyerapan beta glucan pada dinding usus menggunakan mekanisme phagocytic transport. 2.5 Rumput laut Secara taksonomi seaweed atau rumput laut digolongkan ke dalam Divisio Thallophyta dengan empat kelas besar dalam Divisio ini, yaitu: Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat), Rhodophyceae (alga merah) dan Cyanophyceae (alga biru-hijau). Rumput laut sudah dikenal berabad lampau sebagai makanan dan obat tradisional (Angadiredja et al. 1996). Jenisjenis rumput laut yang telah dibudidayakan di Indonesia antara lain Eucheuma denticulatum, Kapaphycus alvarezii, Gracilaria verrucosa, G. gigas, G. lichenoides dan G. confervoides. Sedangkan jenis Ulva sp., Hypnea sp., Sargassum sp., Enteromorpha sp. dan Turbinaria sp. terdapat berlimpah pada musim tertentu namun pemanfaatannya belum optimal (Angadiredja et al. 1996). Struktur molekul agar terdiri dari susunan agarose yang tidak bermuatan dan agaropectin yang bermuatan. Agarose digunakan sebagai media kultur (mikroba, kultur sel dan kultur jaringan), dan digunakan juga dalam proses elektroforesa, tehnik imobilisasi, khromatografi serta immunologi (Angadiredja et al. 1996). Penerapan teknologi ekstraksi, memberikan kemungkinan melakukan isolasi metabolit sekunder dari rumput laut. Hasil penelitian farmasi-kimia menunjukkan pula, bahwa rumput laut menghasilkan banyak jenis metabolit sekunder, dengan variasi struktur senyawa yang unik dan secara biologi aktif. Pemeriksaan farmakologi dan mikrobiologi dari ekstrak dan isolate, memberikan gambaran yang lebih jelas akan manfaat rumput laut dalam bidang farmasi (Angadiredja et al. 1996). Dikemukakan oleh Castro et al. (2006) bahwa dinding sel rumput laut berisi matrix polisakarida yang berlimpah yang dibentuk oleh gula netral dan gula asam yang juga ditemukan pada tumbuhan darat. Namun rumput laut juga mengandung polisakarida bersulfat, yang tidak terdapat pada tumbuhan darat (Percival 1979; Kloareg and Quatrano, 1988). Dengan demikian gula terbentuk dan dengan adanya kelompok sulfat diikuti pembentukan sejumlah molekul dengan bentuk dan fungsi biologis yang berbeda termasuk antiviral, antikoagulasi, antitumor dan aktifitas immunomodulatory pada mamalia (Castro et al. 2006). Kegunaan struktur molekul polisakarida dalam aktifitas immunomodulatory telah diketahui dari beberapa penelitian. Polisakarida dari beberapa spesies rumput laut dapat menstimulasi aktifitas respiratory burst dari fagosit turbot, proses yang berperan penting dalam membunuh mikroba (Castro et al. 2006). Ditambahkan juga bahwa metabolit primer yang umumnya

merupakan senyawa polisakarida dan bersifat hidrokoloid seperti karaginan, agar, alginate dan furcelaran digunakan sebagai senyawa additive dalam industri farmasi. Metabolit primer asamasam amino sebagai sumber gizi, serta metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioactive substances dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai obat (Angadiredja et al. 1996). Ekstrak Gracilaria verrucosa dapat menstimulasi fagositosis dan respiratory burst pada makrofage tikus baik secara in vitro maupun in vivo (Yoshizawa et al. 1996). Karagenan, polisakarida bersulfat yang diperoleh dari alga merah, memicu lekosit tikus untuk memproduksi TNF-α sebagai respon terhadap lipopolisakarida bakteri (Ogata et al. 1999). Walaupun demikian beberapa tipe dari karagenan terlihat merusak fungsi dari makrofag (Schmidt et al. 1993). Agar merupakan polisakarida campuran yang terdapat dalam matrix sel dari alga merah (Rhodophyta). Agar terdiri dari dua komponen yang berbeda: agarose dan agaropectin (Marinho-Soriano and Bourret, 2005). Gracilaria diketahui juga mempunyai aktifitas antimicrobial pada ikan terhadap beberapa jenis bakteri (Bansemir et al. 2006) G. verrucosa merupakan jenis alga merah yang mempunyai nilai ekonomis (Gambar 2) dan telah dibudidayakan. Identitas rumput laut ini ditandai dengan Thallus silindris, licin, berwarna kuning coklat atau kuning hijau. Percabangan berselang seling tidak beraturan, kadang-kadang berulang-ulang memusat ke bagian pangkal. Ciri yang membedakan G. verrucosa dari G. gigas maupun jenis Gracilaria lainnya adalah cabang-cabang lateralnya yang memanjang menyerupai rambut. Ukuran panjang sekitar 25 cm dan diameter thallus sekitar 0,5-1,5 mm. Habitat rumput laut ini menempel pada substrat batu atau benda lainnya. Alga ini banyak ditemukan di tambak budidaya yaitu di daerah Takalar, Sulawesi Selatan (Dirjen, 2005), serta telah dibudidayakan di tambak Karawang Jawa Barat. Gambar 2. Gracilaria verrucosa (koleksi pribadi)

Rhodophyceae termasuk juga didalamnya G. verrucosa mengandung beberapa zat yang penting antara lain: floridin starch, mannoglycerate, dan floridosida. Alga merah menghasilkan komponen utama kimianya yaitu karagenan dan agar (Dirjen, 2005). G. verrucosa merupakan penghasil agar, setiap jenis Gracilaria spp. menghasilkan agar dengan persentase kandungan dan kekuatan gelnya yang berbeda. Agar merupakan koloid hidropilik yang diekstrak dari alga merah. Komponen kimia ini mengandung polisakarida bersulfat, yang formasinya dengan senyawa lainnya dalam agar membentuk sejumlah molekul yang salah satunya berperan dalam immunomodulatory. Polisakarida pada alga merah biasanya berisi galaktosa maupun galaktan bersulfat (Naidu, 2000).