II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan. Limbah : Feses Urine Sisa pakan Ternak Mati

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Kelayakan Ekonomi Alat Pengolah Sampah Organik Rumah Tangga Menjadi Biogas

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013

MEMBUAT BIOGAS DARI KOTORAN TERNAK

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI

III KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN SAPI PERAH DAN PEMANFAATAN LIMBAH UNTUK MENGHASILKAN BIOGAS DAN PUPUK KOMPOS

Ketua Tim : Ir. Salundik, M.Si

BIOGAS. KP4 UGM Th. 2012

PEMANFAATAN KOTORAN HEWAN (TERNAK SAPI) SEBAGAI PENGHASIL BIOGAS

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia

LAMPIRAN. Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Penelitian TNI

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas

Industri petemakan dituding usaha pencemar lingkungan hidup

BAB I PENDAHULUAN. dan energi gas memang sudah dilakukan sejak dahulu. Pemanfaatan energi. berjuta-juta tahun untuk proses pembentukannya.

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

ANALISIS KELAYAKAN TEKNIS DAN EKONOMIS BIOGAS SEBAGAI BAHAN BAKAR PADA HOME INDUSTRY KRIPIK SINGKONG.

Program Bio Energi Perdesaan (B E P)

PENGARUH PERLAKUAN BAHAN BAKU, JENIS MIKROBA, JUMLAH MIKROBA RELATIF, RASIO AIR TERHADAP BAHAN BAKU, DAN WAKTU FERMENTASI PADA FERMENTASI BIOGAS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alat Pengolahan Padi 1.2. Penggilingan Padi

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) yang dilaksanakan pada Mei 2010 penduduk

EVALUASI TEKNO-EKONOMI PEMANFAATAN BIOGAS SKALA RUMAH TANGGA SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN

ENERGI BIOMASSA, BIOGAS & BIOFUEL. Hasbullah, S.Pd, M.T.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Populasi Ternak di Indonesia (000 ekor) * Angka sementara Sumber: BPS (2009) (Diolah)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

ANALISIS KELAYAKAN USAHA INSTALASI BIOGAS DALAM MENGELOLA LIMBAH TERNAK SAPI POTONG (PT. WIDODO MAKMUR PERKASA, CIANJUR) Oleh Muzayin A

OUTLINE Prinsip dasar produksi biogas. REAKTOR BIOGAS SKALA KECIL (Rumah Tangga dan Semi-Komunal) 4/2/2017

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN. Oleh : NUR ARIFIYA AR F

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PANDUAN TEKNOLOGI APLIKATIF SEDERHANA BIOGAS : KONSEP DASAR DAN IMPLEMENTASINYA DI MASYARAKAT

I. PENDAHULUAN. Kelangkaan sumber bahan bakar merupakan masalah yang sering melanda

MODUL PENERAPAN TEKNOLOGI BIOGAS MELALUI DAUR ULANG LIMBAH TERNAK

PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PEMANFAATAN LIMBAH DARI KOTORAN SAPI UNTUK MENGHASILKAN BIOGAS

Chrisnanda Anggradiar NRP

TEKNOLOGI PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK MENJADI BIOGAS SKALA RUMAH TANGGA (Oleh: ERVAN TYAS WIDYANTO, SST.)

I. PENDAHULUAN. LPG. Tujuan diberlakukannya program ini adalah untuk mengurangi subsidi

PROFIL PENGEMBANGAN BIO-ENERGI PERDESAAN (BIOGAS)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN (JERAMI) DAN KOTORAN SAPI MENJADI BIOGAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam negeri sehingga untuk menutupinya pemerintah mengimpor BBM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hewani yang sangat dibutuhkan untuk tubuh. Hasil dari usaha peternakan terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

TINJAUAN LITERATUR. Biogas adalah dekomposisi bahan organik secara anaerob (tertutup dari

TINJAUAN PUSTAKA Kuda (Equus caballus)

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan) yang disebabkan oleh kehadiran benda-benda asing (seperti sampah,

METODE PENELITIAN. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juli-Desember 2012 bertempat di

Modifikasi Biogester Tipe Vertikal Menggunakan Pengaduk dengan Teknik Pengelasan

PENGELOLAAN LIMBAH TERNAK SAPI MENJADI BIOGAS

BAB III PERANCANGAN ALAT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

MAKALAH PENGOLAHAN LIMBAH B3 PADA SAPI PERAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

METODOLOGI PENELITIAN

BIOGAS SKALA RUMAH TANGGA. Kelompok Tani Usaha Maju II. Penerima Penghargaan Energi Prakarsa Kelompok Masyarakat S A R I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. molekul komplek yang memiliki bentuk rigid dan struktur berkayu dari tanaman dimana bakteri

I. PENDAHULUAN. Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia yang terjadi

EXECUTIVE SUMMARY SURVEY PENDAHULUAN BIOGAS RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. dan/atau kegiatan wajib melakukan pengolahan limbah hasil usaha dan/atau

kemungkinan untuk ikut berkembangnya bakteri patogen yang berbahaya bagi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN BIOGAS DARI KOTORAN SAPI SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF

TEKNOLOGI PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK SEBAGAI SUMBER BIOGAS

Oleh : Rita Nurmalina dan Selly Riesti Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU MENJADI BIOGAS SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

Studi Potensi Pemanfaatan Biogas Sebagai Pembangkit Energi Listrik di Dusun Kaliurang Timur, Kelurahan Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

I. PENDAHULUAN. sebagai salah satu matapencaharian masyarakat pedesaan. Sapi biasanya

IV METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

PENGEMBANGAN BIOGAS BERBAHAN BAKU KOTORAN TERNAK UPAYA MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI DI TINGKAT RUMAH TANGGA 1

2015 POTENSI PEMANFAATAN KOTORAN SAPI MENJADI BIOGAS SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF DI DESA CIPOREAT KECAMATAN CILENGKRANG KABUPATEN BANDUNG

PENDAHULUAN. Latar Belakang

1. Pendahuluan. 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Bel akang

VII. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

BATAM, 9 MEI 2014 SUPRAPTONO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Keadaan Umum Kecamatan Cisarua

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu jenis ternak yang banyak dipelihara di. Berdasarkan data populasi ternak sapi perah di KSU

VII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Di tengah krisis energi saat ini timbul pemikiran untuk keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari

Analisa Hasil Penyimpanan Energi Biogas Ke Dalam Tabung Bekas

SNTMUT ISBN:

III. METODOLOGI. Penelitian dan pengambilan data dilakukan di Desa Bumi Jaya Kec, Anak

TEKNOLOGI BIOGAS PADA PETERNAK SAPI DI DESA KOTA KARANG KECAMATAN KUMPEH ULU

Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA POUCOWPANTS TEMAN SETIA PENELITI ILMU NUTRISI DALAM PENGUMPULAN FESES BIDANG KEGIATAN : PKM-KARSA CIPTA

PROSPEK PEMANFAATAN LIMBAH KOTORAN MANUSIA DI ASRAMA TPB-IPB SEBAGAI PENGHASIL ENERGI ALTERNATIF BIO GAS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan salah satu dari bentuk bioenergi (biological energy) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

Majalah INFO ISSN : Edisi XVI, Nomor 1, Pebruari 2014 BIOGAS WUJUD PENERAPAN IPTEKS BAGI MASYARAKAT DI TUNGGULSARI TAYU PATI

Transkripsi:

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah Usaha peternakan sapi perah merupakan sebuah usaha dimana input utama yang digunakan adalah sapi perah untuk menghasilkan susu sebagai output utamanya. Output berupa susu tersebut, kemudian diperjualbelikan baik dalam bentuk segar atau melalui proses pengolahan sebelumnya. Menurut Erwidodo diacu dalam Wulandari (2007), usaha peternakan sapi perah pada umumnya terbagi kedalam tiga skala, yaitu : 1. Peternak skala kecil yang memiliki jumlah ternak kurang dari empat ekor. 2. Peternak skala menengah yang memiliki jumlah ternak empat sampai tujuh ekor. 3. Peternak skala besar yang memiliki jumlah ternak lebih dari tujuh ekor. 2.2. Limbah Peternakan Ternak yang diusahakan pada umumnya menghasilkan output, berupa daging, telur, susu, dan kulit. Namun, selain itu ternak juga menghasilkan output sampingan (by-product) dan limbah (waste). Output dari ternak ini dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil Sampingan : Bulu dan Rambut Tulang Darah Saluran pencernaan & organ Dll Peternakan Limbah : Feses Urine Sisa pakan Ternak Mati Hasil Utama : Daging Telur Susu Kulit Gambar 1. Produk yang Dikeluarkan dari Usaha Peternakan Sumber : Salundik, dkk (2005)

Menurut Salundik, dkk (2005) limbah adalah hasil buangan pada suatu kegiatan yang tidak diperlukan lagi. Sebagian besar limbah merupakan komponen penyebab pencemaran, yang terdiri dari bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi bagi masyarakat. Sifat dan karakteristik limbah ternak dapat dikelompokan berdasarkan bentuk dan sifat limbah. Berdasarkan bentuk-nya limbah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Bentuk Padat Bentuk padat adalah semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat. Contoh : feses, sisa pakan, isi rumen atau perut dan ternak mati. 2. Bentuk Cair Bentuk cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau berada dalam fase cair. Contoh : urine dan air cucian ternak, alat serta kandang. 3. Bentuk Gas Bentuk gas adalah semua limbah yang berbentuk gas atau berada dalam fase gas. Contoh : NH 3, H 2 S, CH 4, dll, yang berkaitan dengan bau. Limbah yang berada diantara bentuk limbah padat dan cair adalah suatu fase yang disebut lumpur. Sedangkan, berdasarkan sifat-nya, limbah ternak dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : 1. Sifat fisik Sifat fisik adalah jumlah limbah dari kandungan padatannya (tersuspensi dan terlarut), selain itu temperatur, warna, bau, berat jenis, dan ukuran partikel. 2. Sifat kimia Sifat kimia adalah sifat yang banyak berkaitan dengan kandungan nutrisi atau hara seperti N, P, K, C, Ca, dll, juga kandungan biokimianya seperti oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimia (BOD), kebutuhan oksigen kimia (COD), dan PH. 3. Sifat biologis Sifat biologis adalah sifat yang berkaitan erat dengan kandungan mikroorganisme dalam limbah seperti E.colli, Bacillus sp, dll.

Jumlah limbah ternak yang dihasilkan, sifat fisik maupun kimianya bergantung pada umur, spesies ternak, ukuran ternak, dan sistem pemeliharaannya. 2.3. Sejarah Perkembangan Biogas Perkembangan biogas telah dimulai pada kebudayaan Mesir, China, dan Roma kuno, dimana mereka memanfaatkan gas alam dengan cara dibakar dan digunakan sebagai penghasil panas. Namun, orang pertama yang mengaitkan gas bakar dengan proses pembusukan sayuran adalah Alessandro Volta (1770). Hasil identifikasi terhadap gas yang dapat dibakar berupa gas metana, dilakukan oleh William Henry pada tahun 1806 dan Becham pada tahun 1868. Sementara itu, murid Louis Pasteur dan Tappeiner, memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan metana pada tahun 1882. Pada akhir abad ke-19 beberapa riset dilakukan oleh Jerman dan Perancis pada masa antara dua Perang Dunia. Selama Perang Dunia II, banyak petani di Inggris dan Benua Eropa yang membuat alat penghasil biogas kecil yang digunakan untuk menggerakkan traktor. Karena harga BBM semakin murah dan mudah didapatkan, pemakaian biogas ini pun mulai ditinggalkan. Biogas bukan merupakan teknologi baru. Sejumlah negara di berbagai belahan dunia telah mengaplikasikannya sejak puluhan tahun yang lalu, seperti Rusia dan Amerika Serikat. Berbagai negara yang memiliki populasi ternak cukup besar seperti India, Taiwan, Korea, dan Cina, juga telah memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan baku dalam pembuatan biogas. Di Benua Asia, India merupakan negara pelopor penggunaan biogas, yaitu sejak abad ke-19. Sedangkan, Indonesia baru mulai mengadopsi teknologi pembuatan biogas pada awal tahun 1970. 2.4. Reaktor Biogas Prinsip terjadinya biogas adalah melalui fermentasi anaerob bahan organik yang dilakukan oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan gas yang mudah terbakar. Secara kimia, reaksi yang terjadi pada pembuatan biogas meliputi tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik (Simamora, dkk, 2005).

Menurut Wahyuni (2008), proses fermentasi anaerob akan menghasilkan biogas yang nilainya dapat dibandingkan dengan bahan bakar lain dalam setiap meter kubiknya (Tabel 5). Tabel 5. Perbandingan Biogas 1 m 3 Lain Keterangan 1 m 3 Biogas Sumber : Sri Wahyuni (2008) Dibandingkan dengan Bahan Bakar Bahan Bakar Lain Elpiji 0,46 kg Minyak Tanah 0,62 liter Minyak Solar 0,52 liter Bensin 0,80 liter Gas Kota 1,50 m 3 Kayu Bakar 3,50 kg Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa, setiap 1 m 3 kubik biogas yang dihasilkan setara nilainya dengan penggunaan gas elpiji sebanyak 0,46 kg, minyak tanah sebanyak 0,62 liter, minyak solar 0,52 liter, bensin 0,80 liter, gas kota 1,50 m 3 serta kayu bakar 3,50 kg. Dalam melakukan pembuatan biogas diperlukan instalasi khusus berupa reaktor yang dilengkapi lubang pemasukan limbah ternak (kotoran ternak), pengeluaran gas, penampung gas, serta penampung limbah sisa buangan. Menurut Prihandana dan Hendroko (2008), terdapat dua tipe alat pembangkit biogas, yaitu jenis kubah tetap (Fixed-dome type) dan reaktor terapung (Floating type). 1. Reaktor kubah tetap (Fixed-dome) Reaktor ini disebut juga reaktor cina, karena reaktor ini dibuat pertama kali di Cina sekitar tahun 1980-an, kemudian sejak saat itu reaktor ini berkembang dengan berbagai model. Reaktor kubah tetap dibangun dengan menggali tanah, kemudian dibuat bangunan dengan batu bata, pasir, semen yang berbentuk seperti rongga yang ketat udara dan berstruktur seperti kubah (bulatan setengah bola). Reaktor kubah tetap dapat dilihat pada Gambar 2. Jenis reaktor ini merupakan sebuah konstruksi tetap kontinu, dimana sumur pencerna dan penampung gas menjadi satu, sedangkan pengisian bahan organik kontinu dan dapat dibuat sesuai dengan kapasitas tampung kotoran

ternak dan jumlah biogas yang ingin dihasilkan. Reaktor ini membutuhkan modal yang lebih besar, tetapi usia ekonominya lebih lama, perawatannya mudah, dan pengoperasiannya lebih sederhana (Simamora, dkk, 2008). Gambar 2. Reaktor Jenis Fixed Dome Sumber : www.thinksmartbrain.blogspot.com Reaktor ini terdiri dari beberapa bagian utama, bagian pertama adalah lubang pemasukan kotoran yang disebut dengan inlet, bagian kedua adalah saluran yang mengalirkan kotoran dari lubang pemasukan kedalam sumur digester yaitu bagian empat. Sementara itu, bagian ketiga merupakan lubang tempat keluarnya limbah yang dihasilkan dari proses anaerobik pembentukan biogas yang disebut sebagai outlet. Bagian kelima merupakan kran tempat keluarnya biogas yang dihasilkan. Kran inilah yang akan menghubungkan antara reaktor dengan kompor biogas. Bagian keenam merupakan kran pengatur keluar masuknya biogas, sesuai dengan volume yang diinginkan. Proses fermentasi secara anaerobik terjadi didalam sumur digester yaitu bagian empat. Sementara itu, bagian sepuluh merupakan kumpulan gas bio yang dihasilkan, dan bagian tujuh merupakan lumpur biogas yang merupakan sisa limbah proses anaerobik. 2. Reaktor terapung (floating Type) Reaktor jenis terapung pertama kali dikembangkan di india pada tahun 1937 sehingga dinamakan dengan reaktor India. Reaktor ini terdiri atas sumur pencerna dan diatasnya terdapat drum terapung yang terbuat dari besi terbalik

dan berfungsi untuk menampung gas yang dihasilkan oleh reaktor. Reaktor terapung dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Reaktor Jenis Floating Type Sumber : www.fao.org Sumur pada reaktor terapung dibangun dengan menggunakan bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membuat fondasi rumah, seperti batu bata, dan semen. Pengumpul biogas yang terapung di atas sumur pencerna menyebabkan kapasitas gas naik turun sesuai dengan produksi gas yang dihasilkan dan pemanfaatan gas untuk memasak (Simamora, dkk, 2008). Seperti halnya, reaktor kubah tetap, reaktor jenis floating tetap juga memiliki bagian-bagian berupa, lubang pemasukan input kotoran ternak (mixing pit) yang selanjutnya dialirkan melalui pipa pemasukan (inlet pipe) menuju saluran yang akan mengalirkan kotoran kedalam sumur pencerna dimana proses fermentasi terjadi. Saat biogas terbentuk, biogas tersebut akan mengalir melalui partition wall menuju gas holder dan selanjutnya akan dialirkan menuju kompor melalui pipa gas. Sementara itu, limbah yang dihasilkan berupa lumpur akan dialirkan menuju outlet yang akan menampung seluruh limbah yang dihasilkan. Lubang pengeluaran ini terletak diatas permukaan tanah.

2.5. Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian mengenai pemanfaatan biogas pada usaha peternakan sapi perah telah dilakukan sebelumnya, namun antara penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan tersendiri. Penelitian Inda Wulandari pada tahun 2007 menganalisis kelayakan proyek instalasi biogas dalam mengelola limbah ternak sapi perah (kasus di Kelurahan Kebon Pedes Bogor). Penelitian ini hanya membahas instalasi biogas dan tidak mencakup keseluruhan usaha peternakan dan hanya dilakukan untuk satu unit instalasi biogas karena diasumsikan biaya pembuatan instalasi biogas lainnya sama, instalasi yang dibangun merupakan skala rumah tangga. Penelitian ini menganalisis kelayakan secara finansial dan non finansial. Pada kelayakan finansial didapatkan hasil untuk instalasi biogas kapasitas 3,5 m 3, dengan tingkat diskonto 16 persen menunjukkan bahwa nilai NPV positif sebesar Rp. 10.797.029,96, Net B/C Ratio sebesar 1,41, nilai IRR sebesar 24,71 persen dan Payback Period selama 10,5 tahun. Hasil analisis switching value dengan tingkat diskonto 16 persen menunjukkan bahwa proyek tidak layak jika terjadi penurunan penjualan sebesar 3 persen dan peningkatan biaya variabel sebesar 5 persen. Muzayin (2008), melakukan analisis terhadap kelayakan usaha instalasi biogas dalam mengelola limbah ternak sapi potong (PT. Widodo Makmur Perkasa, Cianjur). Penelitian ini hanya membahas mengenai instalasi biogas yang dikonversi ke energi listrik dan tidak mencakup keseluruhan usaha peternakan dan hanya dilakukan untuk satu unit pembangkit listrik biogas, karena diasumsikan biaya pembuatan instalasi pembangkit listrik biogas lainnya sama. Instalasi pembangkit listrik biogas ini dibangun untuk skala industri dan digunakan untuk kebutuhan pengganti sumber energi listrik di PT. Widodo Makmur Perkasa dan industri sekitar lokasi. Analisis kelayakan usaha ini dilakukan secara finansial dan non finansial. Berdasarkan analisis secara non finansial, usaha ini layak untuk dijalankan. Sedangkan berdasarkan perhitungan secara finansial, didapatkan hasil bahwa proyek instalasi biogas dengan populasi sapi minimal 5000 ekor dengan tingkat diskonto 9 persen menunjukkan nilai NPV positif sebesar Rp.11.401.465.948, nilai Net B/C sebesar 2,727, nilai IRR yang diperoleh sebesar 19 persen dan payback period selama 3,048 tahun. Hasil analisis sensitivitas

menunjukkan bahwa proyek instalasi biogas tidak layak untuk dilaksanakan jika terjadi penurunan jumlah output (feces) sebesar 10 persen disertai dengan penurunan captive market sebesar 10 persen dan kenaikan biaya tetap sebesar 20 persen. Pada kondisi penurunan captive market sebesar 10 persen disertai kenaikan biaya tetap sebesar 20 persen dan kenaikan biaya variabel sebesar 20 persen usaha masih layak untuk dilaksanakan. Penelitian yang dilaksanakan Yosi Kumala Santi Siregar pada tahun 2009, menganalisis mengenai kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos (studi kasus : UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan, IPB). Penelitian ini difokuskan kepada kelayakan usaha peternakan sapi perah yang fokus utamanya adalah susu segar, sedangkan limbahnya digunakan untuk menghasilkan biogas dan pupuk organik atau pupuk kompos. Instalasi biogas pada UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan bertipe Fixed Dome. UPP Darul Fallah memiliki kapasitas 18 m 3 yang dirancang untuk 10 ekor sapi, sedangkan Fakultas Peternakan memiliki kapasitas 32 m 3 yang dirancang untuk 20 ekor sapi. Tingkat kelayakan usaha peternakan Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB dilakukan melalui analisis secara non finansial dan finansial. Berdasarkan aspek non finansial pengusahaan tersebut layak dan menguntungkan untuk dijalankan oleh kedua perusahaan. Berdasarkan aspek finansial dengan menggunakan discount rate sebesar 8,75 persen, usaha peternakan UPP Darul Fallah memperoleh NPV sebesar Rp.202.456.789,33, Net B/C 1,74, IRR sebesar 26,13 persen dan payback period selama lima tahun sepuluh bulan tujuh belas hari. Hasil analisis switching value diketahui bahwa sebesar 17,46 persen merupakan usaha yang paling sensitif terhadap perubahan jumlah produksi. Batas maksimal perubahan harga jual adalah sebesar 25,08 persen. Kenaikan biaya operasional tidak memberikan pengaruh besar pada usaha. Jenis pengusahaan yang paling memberikan keuntungan adalah usaha peternakan sapi perah pada Fakultas Peternakan. Hal ini terlihat dari nilai NPV usaha peternakan Fakultas Peternakan > NPV UPP Darul fallah. Nia Rosiana pada tahun 2008 melakukan analisis mengenai kelayakan dari usaha pengembangan akar wangi dengan memperhatikan kondisi risiko yang

mempengaruhi usaha tersebut. Fokus utama dari penelitian ini adalah usaha akarwangi dengan usaha penyulingan akar wangi. Usaha akarwangi bergerak pada proses budidaya akarwangi, sedangkan usaha penyulingan merupakan usaha yang bergerak di bidang pengolahan akar wangi, yakni dengan melakukan penyulingan terhadap hasil produksi akar wangi yang dihasilkan. Tingkat kelayakan usaha akarwangi dianalisis melalui dua pendekatan yakni analisis finansial serta non finansial, dimana pada analisis finansial dilakukan perhitungan terhadap risiko yang dialami petani akarwangi selama jalannya umur usaha. Berdasarkan perhitungan aspek finansial pada kondisi tanpa risiko, didapatkan hasil bahwa usaha budidaya akarwangi memiliki nilai NPV pada kondisi normal mencapai Rp.1.394.179; IRR 13 %; Net B/C 1,08 serta payback period selama 2 tahun 5 bulan, sehingga menyatakan bahwa usaha budidaya akarwangi pada kondisi tanpa risiko layak untuk dijalankan. Kelayakan budidaya akarwangi pada kondisi risiko, diperhitungkan berdasarkan nilai kriteria investasi pada masing-masing kondisi (skenario). NPV terbesar berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi mencapai Rp. 38.512.313. NPV terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yang mencapai -Rp. 35.259.949. Selain itu, IRR tertinggi terdapat pada kondisi produksi dan harga output tertinggi sebesar 202 % dan IRR terendah berada pada kondisi produksi terendah yaitu sebesar -19 %. Net B/C tertinggi berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yaitu sebesar 6,20 dan Net B/C terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yaitu 0,05. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan budidaya pada kondisi risiko tidak layak untuk dijalankan. Payback periode tercepat ketika berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yaitu 1 tahun 2 bulan. Penilaian risiko dalam investasi diukur dengan tiga hal yaitu NPV yang diharapkan, standar deviasi, dan koefisien variasi. NPV yang diharapkan dari ketiga kondisi yang paling tinggi adalah NPV yang diharapkan pada kondisi produksi dan harga output yaitu sebesar Rp. 2.220.063 selama umur proyek. Standar deviasi yang paling tinggi yaitu pada kondisi risiko produksi dan harga output yaitu sebesar 22.427.661 selama umur proyek. Koefisien variasi paling tinggi berada pada kondisi risiko harga output yaitu 31,02. Berdasarkan ketiga

jenis risiko yang memiliki tingkat risiko paling rendah yaitu ketika kegiatan budidaya akarwangi dihadapkan pada risiko produksi. Analisis kelayakan penyulingan akarwangi pada kondisi tanpa risiko menghasilkan NPV pada kondisi normal mencapai Rp.1.030.118.304. IRR pada kondisi normal mencapai 99 %; Net B/C pada kondisi normal mencapai 4,98, serta payback period yaitu 3 tahun 6 bulan. Pada kondisi risiko nilai NPV terbesar berada pada kondisi produksi dan harga output tertinggi yang mencapai Rp.5.444.740.425. NPV terendah berada pada kondisi produksi dan harga output terendah yang mencapai -Rp.6.542.335.597. Net B/C tertinggi berada pada kondisi normal yaitu sebesar 4,9. Net B/C terendah berada pada kondisi produksi terendah dan kondisi produksi dan harga output terendah yaitu 0. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan penyulingan tidak layak untuk dijalankan. Payback periode tercepat ketika berada pada kondisi harga output tertinggi yaitu satu tahun sembilan bulan. Penilaian risiko pada penyulingan akar wangi diukur dengan tiga hal yaitu yang pertama adalah NPV yang diharapkan dimana dari ketiga jenis risiko yang paling tinggi adalah NPV yang diharapkan pada risiko harga output yaitu sebesar Rp. 1.033.605.013 selama umur proyek. Kedua adalah pengukuran standar deviasi, dimana nilai paling tinggi yaitu pada kondisi risiko produksi dan harga output yaitu sebesar 3.382.306.905 selama umur proyek. Ketiga adalah koefisien variasi. Koefisien variasi paling tinggi berada pada kondisi risiko produksi dan harga output yaitu 14,81. Semakin besar nilai koefisien variasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang dihadapi. Jadi, dari ketiga jenis risiko yang memiliki tingkat risiko paling rendah yaitu ketika kegiatan penyulingan akarwangi dihadapkan pada risiko harga output. Berdasarkan penelitian terdahulu, penulis menggunakan beberapa komponen yang terdapat pada penelitian tersebut untuk digunakan pada penelitian ini. Pada penelitian yang dilaksanakan oleh Wulandari (2007), penulis menggunakan informasi mengenai usaha peternakan sapi perah, dimana pada usaha tersebut terdapat pembagian skala usaha, baik skala usaha kecil, menengah, dan besar. Sementara, pada penelitian yang dilaksanakan oleh Muzayin (2008) dan Siregar (2009) peneliti menggunakan konsep dan informasi mengenai

pemanfaatan limbah ternak sapi perah untuk menghasilkan biogas yang dianalisis secara finansial sedangkan analisis mengenai risiko yang dihitung dengan menggunakan analisis skenario diacu penulis dari penelitian yang dilaksanakan oleh Rosiana (2008) guna mengetahui tiga kondisi skenario yang terjadi pada lokasi penelitian.