BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan SDM yang optimal demi meningkatkan pembangunan. pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Hal ini di karenakan tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PADA IBU-IBU AISYIYAH MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN PARTISIPATIF BERORIENTASI KECAKAPAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan laki-laki, ataupun dengan lingkungan dalam konstruksi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. kemudahan dalam memasuki dan meraih peluang kerja, kesempatan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, perkembangan zaman sudah semakin modern terutama pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pengasuhan anak merupakan kebutuhan pokok bagi orang tua dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan perempuan dalam masyarakat, sebagai contoh perempuan tidak lagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hampir semua orang mendapatkan pendidikan dan melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tingkat pekerjaan yang sesuai. Serta mengimplementasikan pilihan karir

BAB 1 PENDAHULUAN. rumah adalah ayah, namun seiring dengan berkembangnya zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN. kesuksesan dalam karir. Terkadang beberapa orang tidak melakukan UKDW

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tujuan yang ingin dicapai oleh anak dapat terwujud. Motivasi anak dalam meraih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang dan karenanya kita dituntut untuk terus memanjukan diri agar bisa

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-hari. Akan tetapi wanita sendiri juga memiliki tugas

Bab I Pendahuluan. dengan identitas ego (ego identity) (Bischof, 1983). Ini terjadi karena masa remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. Teknologi pada era globalisasi saat ini berkembang dengan sangat pesat. UKDW

BAB 1 PENDAHULUAN. pesatnya. Segala sesuatunya dapat dikerjakan dengan seperangkat alat yang

BAB I PENDAHULUAN. sudut pandang saja. Sehingga istilah pacaran seolah-olah menjadi sebuah

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wilayahnya masing-masing. Budaya sebagai tuntunan kehidupan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. perempuan yang bekerja di luar rumah sepertinya tidak jauh berbeda. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional. Atas dasar. pembangunan dan pertumbuhan sosial ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi pekerja perempuan di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Jika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendidikan merupakan suatu proses menyiapkan individu untuk mampu

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

BAB I PENDAHULUAN. tanpa terkecuali dituntut untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang. kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES KERJA PADA GURU WANITA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KEBONARUM KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

BAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

I. PENDAHULUAN. Di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak menuntut seseorang untuk

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai negara yang masih berkembang, pendidikan di Indonesia masih. sangat rendah dari segi Sumber Daya Manusia (SDM)

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB IV INTERPRETASI TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENENTUKAN PENDIDIKAN ANAK. dibahas dengan menggunakan perspektif teori pengambilan keputusan.

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan teknologi pemrosesan data telah mengalami perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. menghendaki berbagai penyelenggaraan pendidikan dengan program-program

PELIBATAN TENAGA KEPENDIDIKAN DALAM IMPLEMENTASI SATUAN PENDIDIKAN BERWAWASAN GENDER

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibuktikan dari hasil penelitian Institute of Management Development (dalam

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Siswoyo (2007) mahasiswi adalah individu yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. sekolah atau perguruan tinggi tertentu saja. Sejalan dengan perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. bagi mahasiswa-mahasiswi sangat beragam. Mereka dapat memilih jurusan sesuai

BAB I PENDAHULUAN. usaha manusia dalam rangka memajukan aktivitas. Pendidikan sebagai suatu

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan bagi bangsa. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dalam segi

BAB 1 PENDAHULUAN. dipenuhi dari kebutuhan pokok hingga kebutuhan yang lainnya karena itulah

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SIKAP TERHADAP KARAKTERISTIK PEKERJAAN DENGAN KETAKUTAN AKAN SUKSES PADA WANITA KARIR SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mutia Faulia, 2014

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan bersatunya seorang laki-laki dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan negara di segala bidang. Agar mendapatkan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik sendiri dalam pelaksanaan pembangunan yang menuntut semua

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

HASIL. Karakteristik Remaja

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah membuat sebagian besar wanita ikut

BAB VI PENUTUP. terutama pada posisi jabatan struktural. Hal ini dapat diindikasikan bahwa terdapat

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan yang harus dihadapi. Melalui pendidikanlah seseorang dapat memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kualitas hidup. Istilah kualitas hidup digunakan untuk mengevaluasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa saat ini diharapkan menjadi sosok manusia yang berintelektual

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diri dan lingkungan sekitarnya. Cara pandang individu dalam memandang dirinya

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan Yang Maha Esa (UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974). Perkawinan pada pasal 6 menyatakan bahwa Untuk

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat mendasar bagi perkembangan bangsa suatu negara. Melalui. pada negara dengan potensi dan bakat yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang dalam Undang- undang Republik Indonesia No. 20 tahun tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. begitu ketat menuntut setiap perusahaan untuk mengoptimalkan seluruh aspek

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu ciri kehidupan modern dapat dilihat dari semakin kompleknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menciptakan berbagai hal seperti konsep, teori, perangkat teknologi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. akan berkiprah dalam dunia kerja adalah sarjana ekonomi, khususnya dari jurusan

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sepeda, sepeda motor, becak, mobil dan lain-lain. Dari banyak

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial, yaitu berupa kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara

BAB 1 PENDAHULUAN. kerja wanita menunjukkan jumlah yang signifikan, baik di sektor formal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah perannya sebagai seorang mahasiswa. Ada banyak sekagli pekerjaan,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perempuan memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis didalam keluarga dan masyarakat. Sayangnya, banyak yang tidak bisa memainkan peran dan fungsinya dengan baik karena faktor kemiskinan dan salah satu penyebab terjadinya kemiskinan ini adalah rendahnya tingkat pendidikan perempuan. Oleh karena itu menurut Khayati (2002), ada dua aspek yang menjadi kunci utama untuk lebih memberdayakan perempuan, yaitu pendidikan dan ekonomi. Kebijakan di bidang pendidikan dan ekonomi bagi perempuan sangat perlu diperhatikan sebab jika ekonomi perempuan itu kuat, maka peran mereka dalam keluarga maupun masyarakat juga akan kuat. Begitu pula dengan pendidikannya, apabila perempuan memiliki pengetahuan yang luas dan tingkat pendidikan yang tinggi, maka peran mereka secara mikro dalam keluarga akan tinggi, bahkan peran sosial perempuan dalam masyarakat juga tinggi. Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. (Notoatmodjo, 2003). Menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan 1

2 Nasional (2002), Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. Sekalipun pendidikan merupakan hak seluruh rakyat Indonesia, namun kenyataannya masih terdapat kesenjangan pendidikan. Kesenjangan perempuan dan laki-laki masih nampak ada. Data BPS pada tahun 1999 menunjukkan bahwa pada kelompok usia 20 44 tahun, laki-laki buta huruf sebesar 4 per 100 orang, sedangkan perempuan sebesar 9 per 100 orang. Menurut Worth Education Report (1995), banyak anak perempuan yang meninggalkan sekolah ditingkat dasar pertama pada usia 11 tahun. Ini disebabkan kesulitan faktor ekonomi. Hasil penelitian Sagala (2008), menunjukkan bahwa pada tahun 2006 Angka Partisipasi Sekolah (APS) laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Nampaknya pendidikan masih menjadi tantangan bagi kaum perempuan dan anak di Indonesia. Faktor penyebabnya, seperti masalah geografis, lingkungan, kemiskinan dan konstruksi sosial budaya antara laki-laki dan perempuan yang belum seimbang (Linda, 2011). Menurut Linda, dampak dari kebijakan dan program pendidikan yang buta gender akan lebih dirasakan oleh kaum perempuan dibandingkan kaum laki-laki karena kurangnya akses perempuan terhadap sumber daya, informasi dan pengambilan keputusan. Data dari Kementrian

3 Pendidikan menunjukkan perbedaan gender yang signifikan dalam hal rata-rata siswa yang putus sekolah, baik di tingkat sekolah dasar atau pun di sekolah menengah pertama. Lebih banyak anak perempuan yang putus sekolah dibandingkan dengan laki-laki. Di sekolah dasar, dari 10 siswa yang keluar 6 diantaranya adalah perempuan dan sisanya laki-laki. Hal ini sama juga terjadi di tingkat sekolah menengah pertama. Perbedaan gender agak melebar di sekolah menengah atas menjadi 7 siswa perempuan yang putus sekolah di setiap 3 siswa laki-laki yang putus sekolah (Kementrian Pendidikan Nasional, 2002). Sementara itu di Negara Latin, jumlah rata-rata perempuan Latin yang lulus sekolah menengah atas lebih rendah dari pada perempuan atau kelompok etnis lain. Serta kemungkinannya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi sangatlah kecil (National Center for Education Statistics, 2001). Meskipun pendidikan bagi masyarakat Latin penting, kebutuhan keluarga dan tekanan teman sebaya sering kali bertentangan dengan harapan perempuan Latin mengenai sekolah. Sebagai contoh, banyak perempuan Latin menghadapi tekanan dari pacar atau tunangan jika mereka kuliah, karena pacar atau tunangannya mengharapkan mereka tidak terlalu berpendidikan (Sutedja, 2001).

4 Nampaknya bukan hanya di Negara Latin yang memiliki stereotype tentang perempuan yang tidak perlu berpendidikan tinggi, di salah satu suku di Indonesia yaitu di Jawa ada gambaran stereotype tentang perempuan dengan sifat-sifat yang paling khas yaitu nrimo dan pasrah. Gambaran tersebut diyakini sebagai gambaran ideal mengenai perempuan Jawa pada umumnya, dan juga pola pendidikan yang diperuntukkan bagi perempuan Jawa (Sadli, 1984). Secara umum sebagian besar orang tua di Indonesia saat ini sudah mulai menyadari akan pentingnya sekolah bagi putra-putrinya namun ada sebagian yang masih memiliki pandangan yang timpang terhadap pendidikan anak perempuannya. Jika ditelusuri ketimpangan pendidikan perempuan di Indonesia ini dikarenakan oleh beberapa hal antara lain masyarakat masih berpandangan male oriented atau lebih mengutamakan pendidikan anak laki-laki daripada anak perempuannya. Male oriented juga berkaitan dengan budaya yang mengakar kuat dengan anggapan bahwa perempuan tidak sepantasnya berpendidikan tinggi karena nantinya hanya akan di dapur. Persepsi ini tidak diluruskan dan tidak disadari bahwa sesungguhnya peran di dapur pun menuntut ilmu dan pengetahuan. Keyakinan bahwa perempuan adalah konco wingking, dan tidak perlu menempuh pendidikan yang lebih tinggi, serta faktor

5 kemiskinan atau keterbatasan penghasilan orang tua terkadang juga dapat memarginalkan pendidikan perempuan (Khayati, 2002). Didalam bukunya, Handayani dan Novianto (2009), menyatakan bahwa seorang perempuan Jawa memang tidak diharapkan untuk berperan dalam sektor-sektor publik seperti jabatan lurah, atau pemimpin masyarakat seperti pemuka agama, atau melaksanakan profesi tertentu seperti menjadi guru, karena peran perempuan hanyalah di sektor domestik. Hal-hal yang menyangkut perilaku akan stereotype tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor pendidikan dari orang tua (Hofstede, 1991). Salah satu contoh nyata yang dapat menggambarkan adanya stereotype pada masyarakat Jawa adalah tuntutan dari orang tua bahwa seorang perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, karena perempuan Jawa nantinya hanya akan bekerja di dapur sebagai ibu rumah tangga yang melayani suami atau sering disebut oleh masyarakat sekitar sebagai konco wingking (Mayling, 2002). Seringkali masyarakat Jawa memandang perempuan dengan sebelah mata, yakni mereka berpendapat bahwa perempuan itu lemah dan selalu berada di bawah lakilaki. Menurut Koentjoro (1990), para orang tua Jawa memiliki jalan pikirannya sendiri tentang anak perempuan mereka, seperti nikah di usia dini yaitu diusia belasan tahun,

6 tidak melanjutkan pendidikan dan hanya bekerja di rumah mengurus suami dan anak-anaknya kelak. Di era modern seperti sekarang, banyak orang memandang tingkat pendidikan tidak hanya menunjukan kecerdasan tetapi juga pride. Tidak hanya itu, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka ia dianggap bisa menghadapi suatu masalah dengan lebih baik. Pendidikan yang tinggi juga mendukung kinerja profesionalitas seseorang. Banyak orang yang berlomba meraih pendidikan setinggi mungkin (Zahra, 2012). Alasan yang melatarbelakangi seseorang dalam mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikan strata 2 yaitu untuk peningkatan jenjang pendidikan, perbaikan karir, kenaikan jabatan, kenaikan tunjangan dan pendapatan, investasi jangka panjang, hingga peningkatan reward atau harga diri pribadi dalam hubungan sosial atau kemasyarakatan (Sudani, 2008). Sehingga dari alasan tersebut nampak bahwa pendidikan strata 2 penting bagi seseorang baik yang sudah bekerja maupun mahasiswa strata 1. Melihat kenyataan diatas, di Indonesia sekarang ini banyak kita jumpai seseorang mahasiswi strata 1 yang memiliki motivasi. Menurut Mc. Donald (2003), motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Dengan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa motivasi

7 adalah sesuatu yang kompleks. Dan menurut Sardiman (2005), motivasi melanjutkan pendidikan strata 2 dapat juga diartikan sebagai serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelak perasaan tidak suka itu. Oleh karena itu, motivasi sering kali diartikan sebagai faktor pendorong perilaku seseorang. Setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia pasti memiliki sesuatu faktor yang mendorong perbuatan tersebut. Dalam hal ini, motivasi atau dorongan yang dibahas adalah dorongan untuk melanjutkan studi atau sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi khususnya program S2. Selanjutnya motivasi melanjutkan pendidikan strata 2 adalah dorongan yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan dan mengarahkan perilakunya untuk mencapai tujuannya yaitu melanjutkan pendidikan strata 2 agar dapat mencapai tujuan. Motivasi seseorang sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Dimana faktor internal mencakup Persepsi individu mengenai diri sendiri, Harga diri dan prestasi, Harapan, Kebutuhan dan Kepuasan. Sementara itu faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar diri individu terdiri dari kelompok dimana individu tersebut tergabung, situasi lingkungan pada

8 umumnya, dan sistem timbal balik yang diterima (Soemanto, 1987). Widoyoko (2008) menyebutkan bahwa di era globalisasi ini, dunia bisnis akan menjadi dunia yang digerakkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge and technology based industry). Bahkan tidak jarang beberapa perusahaan besar di Indonesia tanpa basa-basi langsung menempatkan tingkat pendidikan diurutan yang paling atas dalam persyaratan pencarian SDM. Hal ini begitu diyakinkan karena salah satu cara untuk mengukur kompetensi dan kualitas Sumber Daya Manusia dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang dimilikinya. Kualitas pendidikan dan SDM di Indonesia juga tidak akan pernah lepas dari peran penting orang tua dimana orang tua mempunyai tanggung jawab besar serta menjadi pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Hal ini dapat dilihat semenjak anak berada dalam kandungan seorang ibu melalui sikap, kebiasaan, dan contoh perilaku orang tua yang ditanamkan sejak dini (Dewi, 2005). Selain itu, apa yang dilakukan oleh orang tua akan di contoh oleh anaknya atau dengan kata lain orang tua adalah model bagi para anaknya. Dalam mendidik anak agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan, dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu diantaranya adalah latar belakang pendidikan, orang tua yang

9 memberikan dampak bagi pola pikir dan pandangan mereka terhadap cara mengasuh dan mendidik anaknya. Sehubungan dengan tingkat pendidikan orang tua akan memberikan pengaruh terhadap pola berfikir dan orientasi pendidikan yang akan diberikan kepada anaknya. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh orang tua maka akan semakin memperluas dan melengkapi pola berfikirnya dalam mendidik anaknya (Dewi, 2005). Oleh karena itu, apabila orang tua tidak memiliki pengetahuan atau tingkat pendidikan yang cukup baik dan luas maka pendidikan yang diperoleh anak akan berkurang. Namun sebaliknya, apabila orang tua memiliki pengetahuan atau pendidikan yang cukup tinggi maka dalam memberikan pendidikan kepada anak akan baik pula sesuai dengan apa yang dimilikinya (Palupi, 2007). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Hossler & Coopersmith yang dikutip oleh Adams (dalam Kartono dan Supramono, 2005) tingkat pendidikan orang tua berhubungan positif terhadap keinginan anak untuk melanjutkan sekolah. Orang tua dituntut harus memiliki pendidikan dan proses pembelajaran pada tatanan tertinggi agar mengarahkan pendidikan anaknya (Shochib, 1998). Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki orang tua dapat mengarahkan dan

10 memotivasi anak untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi. Dalam era globalisasi seperti saat ini banyak masyarakat Jawa khususnya remaja puteri yang sedang duduk di bangku perkuliahan ingin dan mempunyai niat untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi yaitu S2. Hal tersebut tidak terlepas dari motivasi pribadi maupun dorongan dari orang tua (Setyorini, 2011). Nampaknya hal tersebut menjadi bukti bahwa perempuan Jawa masa kini memiliki pandangan yang jauh lebih kedepan dan memiliki keinginan untuk tidak mau dianggap remeh atau dianggap rendah dari laki-laki. Beberapa dari mereka yang berada dalam keluarga yang kurang mampu, memutuskan untuk mencari beasiswa agar dapat melanjutkan pendidikannya dan mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik daripada orangtuanya, karena ia menganggap bahwa kehidupan yang ia jalani sekarang kurang nyaman, kurang dapat memberikan banyak hal yang ia inginkan, sehingga ia termotivasi untuk melanjutkan pendidikan strata 2. Namun ada pula dan sering kita jumpai seseorang khususnya remaja puteri yang memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya karena melihat dan mencontoh perilaku orang tua terkhusus perilaku ibu, karena ia menganggap bahwa seorang anak perempuan dan seorang ibu memiliki kesamaan yang lebih banyak dibanding dengan ayah. Ia menganggap bahwa

11 pekerjaan sebagai seorang ibu rumah tangga sangat mulia sehingga ia mendedikasikan hidupnya kelak hanya untuk keluarga (Soehartono, 2008). Selanjutnya dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setyorini, (2011) tentang hubungan tingkat pendidikan orang tua dan prestasi belajar dengan minat siswa melanjutkan studi keperguruan tinggi, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan orang tua dengan minat untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Artinya tingkat pendidikan formal yang bersifat umum dari orang tua berpengaruh secara langsung terhadap minat anak dalam melanjutkan studinya kejenjang yang lebih tinggi. Banyaknya masalah-masalah yang dapat kita jumpai diluar, membuat penulis tergerak untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Yaitu apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu terhadap motivasi untuk melanjutkan pendidikan strata S2 pada mahasiswi suku Jawa Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Alasan penulis melakukan penelitian tersebut dikarenakan fenomena stereotype yang menyatakan bahwa seorang perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi atau berpendidikan tinggi, karena nantinya hanya akan berperan sebagai konco wingking. Hal tersebut merupakan fenomena gunung es,

12 yang tidak banyak terkuak oleh masyarakat luas sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut. B. Rumusan masalah Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan motivasi untuk melanjutkan pendidikan strata 2 pada mahasiswi suku Jawa Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga? C. Tujuan Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan motivasi untuk melanjutkan pendidikan strata 2 pada mahasiswi suku Jawa Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. D. Manfaat 1. Manfaat teoritis Dapat memberikan sumbangan dalam dunia pendidikan dan sosial, terutama dalam hal motivasi belajar pada mahasiswi Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. 2. Manfaat praktis a. Bagi orang tua, dapat memberi masukan kepada para orang tua baik yang memiliki pendidikan tinggi maupun rendah agar dapat memotivasi anaknya untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

13 b. Bagi mahasiswi, dapat memberikan masukan bahwa tinggi rendahnya tingkat pendidikan orang tua kiranya tidak menjadi alasan untuk berkurangnya motivasi dalam melanjutkan pendidikan strata 2. c. Bagi institusi pendidikan, dapat memberikan dorongan bagi peserta didik supaya termotivasi untuk melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi.