BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadi antara usia 12 sampai dengan 21 tahun (Singgih D. Gunarsa & Yulia Singgih D.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menjadi yang terunggul dalam berbagai aspek kehidupan. Pembangunan sumber daya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa terjadinya perubahan-perubahan baik perubahan

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. data BkkbN tahun 2013, di Indonesia jumlah remaja berusia tahun sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek. tertentu.penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Periode perkembangan manusia terdiri atas tiga yaitu masa anak-anak,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN SIKAP REMAJA TENTANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Dewi Puspitaningrum 1), Siti Istiana 2)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun,

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan remaja di perkotaan. Dimana wanita dengan pendidikan yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan adolescence yang berasal

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kata Kunci : seksual remaja, berpacaran, sumber informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat cepat. Antara tahun 1970 dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan sosial-ekonomi secara total ke arah ketergantungan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Dalam masa ini remaja mengalami pubertas, yaitu suatu periode

BAB I PENDAHULUAN. petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2007). World Health

BAB I PENDAHULUAN. tampak pada pola asuh yang diterapkan orang tuanya sehingga menjadi anak

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

HUBUNGAN KEINTIMAN KELUARGA DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN POLTEKKES BHAKTI MULIA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. yang bisa dikatan kecil. Fenomena ini bermula dari trend berpacaran yang telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk memiliki. Pada masa ini, seorang remaja biasanya mulai naksir lawan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan fisik remaja di awal pubertas terjadi perubahan penampilan

HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA SISWA KELAS XI DI SMA N COLOMADU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meliputi kesejahteraan fisik, mental, dan sosial bukan semata-mata bebas

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Kelompok usia remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah kelompok umur tahun (Sarwono, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam istilah asing yaitu adolescence yang berarti tumbuh kearah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan zaman yang semakin pesat, menuntut. masyarakat untuk bersaing dengan apa yang dimilikinya di era

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja tertinggi berada pada kawasan Asia Pasifik dengan 432 juta (12-17 tahun)

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja dikenal sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan karakteristik..., Sarah Dessy Oktavia, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Siswa Kelas XI SMAN Y Yogyakarta Tahun 2017 (N=114)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual. Pada

Jurnal Obstretika Scientia ISSN HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN SEKSUAL PRANIKAH DENGAN PERILAKU SEKSUAL

BAB I PENDAHULUAN. dewasa yang meliputi semua perkembangannya yang dialami sebagai. persiapan memasuki masa dewasa (Rochmah, 2005). WHO mendefinisikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari 33 menjadi 29 aborsi per wanita berusia tahun. Di Asia

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun oleh : DYAH ANGGRAINI PUSPITASARI

Hubungan Peran Teman Sebaya Dengan Perilaku Seksual Remaja Di Smk Bina Patria 1 Sukoharjo

BAB II KAJIAN TEORI. A. Perilaku Seksual Pranikah. 1. Perilaku Seksual. Sarwono (2003), mendefinisikan perilaku seksual remaja sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah normanorma,

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA SMAN 8 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. dalam tubuh yang mengiringi rangkaian pendewasaan. Pertumbuhan organ-organ

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Tahun 2000 jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada

KORELASI SELF EFFICACY DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA TUNAGRAHITA

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. baik secara fisik maupun psikis. Menurut Paul dan White (dalam Santrock,

PERBEDAAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI SMA BERBASIS AGAMA DAN SMA NEGERI DI BANTUL NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa yang terjadi antara usia 12 sampai dengan 21 tahun (Singgih D. Gunarsa & Yulia Singgih D. Gunarsa, 2008 : 203). Menurut Robert M. Kliegman dkk. (2007 : 35), masa remaja terjadi berusia 10 sampai 20 tahun dan ditandai dengan perubahan bentuk dan ukuran tubuh, fungsi tubuh, psikologi, dan aspek fungsional. Masa remaja merupakan masa peralihan yang mencakup perubahan secara fisik dan psikologis dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Perubahan fisik yang terjadi berupa kematangan dan mulai berfungsinya organ seksual dengan baik. Perubahan psikologis yang terjadi yakni intelektual, kehidupan emosi, dan kehidupan sosial yang terjadi pada remaja (Sarwono dalam Harefa, 2013). Sumber lain menyatakan bahwa masa remaja sebagai periode perubahan atau masa peralihan juga terjadi perubahan hubungan sosial, bertambahnya kemampuan dan keterampilan, serta pembentukan identitas (Singgih D. Gunarsa & Yulia Singgih D. Gunarsa, 2008 : 204). Ditinjau dari segi umur, menurut Robert M. Kliegman dkk. (2007) remaja dapat dibagi menjadi remaja awal (early adolescent) pada umur 10 sampai 13 tahun, remaja menengah (middle adolescent) pada umur 14 sampai 16 tahun, dan remaja akhir (late adolescent) pada umur 17 sampai 20 tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa masa remaja awal (early adolescent) pada umur 12 sampai 15 tahun, remaja menengah (middle adolescent) pada umur 15 sampai 18 tahun, dan remaja akhir (late adolescent) pada umur 18 sampai 21 tahun (Singgih D. Gunarsa & Yulia Singgih D. Gunarsa, 2008). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, proporsi penduduk remaja berumur 12-18 10

11 tahun masuk dalam kategori anak usia sekolah yang mencapai 295.472 orang (47,43%). Proporsi remaja berusia 19-21 tahun masuk ke dalam kategori umur dewasa sebanyak 649.625 orang (11,8%) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Masa remaja identik dilalui seseorang dengan berpacaran. Berpacaran menurut Freud dalam Imran (1999) muncul pada masa awal pubertas yang terjadi sebagai akibat perubahan hormon dan mulai berfungsinya organ seksual. Pacaran merupakan masa pencarian pasangan, penjajakan, dan proses memahami berbagai sifat yang berbeda antara laki-laki dan perempuan (Setiawan & Nurhidayah, 2008). Di kalangan remaja sekarang ini, pacaran dianggap sebagai identitas. Umumnya, seorang remaja akan bangga dan percaya diri jika sudah memiliki pacar, sebaliknya remaja yang belum memiliki pacar dianggap kurang pergaulan (Alfiani, 2013). Dalam penelitian Nocentini dkk. (2010) yang berjudul Physical Dating Aggression Growth During Adolescence menemukan hasil bahwa perkembangan perilaku fisik saat berpacaran dari usia 16 sampai 18 tahun berhubungan dengan timeinvariant predictors dan time-varying effects. Time-invariant predictors meliputi jenis kelamin, pendidikan orang tua, komposisi keluarga, jumlah mitra. Time-varying effects tergantung dari perilaku dan persepsi remaja tentang adanya kekerasan yang dilakukan oleh pasangan (Nocentini et al., 2010). 2.2 Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Remaja Seksualitas merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin. Ruang lingkup seksualitas yakni seksual biologis, identitas seksual, identitas gender, dan perilaku seksual. Sejak masa remaja, terlihat adanya perubahan-perubahan yang berawal dari masa pubertas. Pada masa pubertas terjadi perubahan-perubahan fisik dan fungsi fisiologis. Perubahan tubuh ini disertai dengan perkembangan karakteristik

12 seksual primer dan karakteristik seksual sekunder. Karakteristik seksual primer mencakup perkembangan organ-organ reproduksi sedangkan karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan dalam bentuk tubuh sesuai dengan jenis kelamin. Karakteristik seksual sekunder tidak berhubungan langsung dengan fungsi reproduksi tetapi berhubungan dengan sex appeal (Imran, 1999 : 8-9). Dorongan seksual muncul dalam bentuk ketertarikan terhadap lawan jenis, keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual dan sebagainya. Bentuk perilaku/cara penyaluran dorongan seksual berbeda-beda tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut yakni pengalaman seksual, faktor-faktor kepribadian, pemahaman dan penghayatan nilai-nilai keagamaan, peran keluarga, dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (Imran, 1999 : 8-9). Remaja yang memiliki pemahaman secara benar tentang kesehatan reproduksi akibat perubahan karakteristik seksual primer, cenderung memahami risiko perilaku serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksual secara sehat dan bertanggung jawab (Imran, 1999 : 35). Kesehatan reproduksi merupakan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta prosesnya. Kesehatan reproduksi sangat penting karena persoalan kesehatan reproduksi berkaitan erat dengan kualitas hidup manusia di masa mendatang. Jika kesehatan reproduksi perempuan terganggu maka dalam jangka panjangnya akan mengganggu kualitas hidup manusia secara keseluruhan (BKKBN, 2011). Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini tidak hanya berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural (Asna, 2011).

13 Kekurangpahaman remaja terhadap masalah seputar seksualitas akan memunculkan perilaku seksual remaja yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab seperti melakukan hubungan seks dengan pasangan sebelum menikah. Dampak perilaku seksual intercourse pranikah yaitu hamil di luar nikah dan menikah di usia dini (Prihatin, 2014). Data Sensus Nasional pada tahun 2014 menunjukkan sebesar 48-51% perempuan yang hamil merupakan usia remaja (BKKBN, 2015). Data BKKBN juga menyebutkan bahwa terdapat 2.500.000 kasus aborsi setiap tahunnya. Sebanyak 800.000 kasus terjadi pada usia remaja 15-19 tahun yang berarti setiap hari ada 2.000 remaja yang melakukan aborsi (dalam berita Metro, 2016). Berdasarkan data dari PKBI Provinsi Bali pada tahun 2015 dari 29 kasus KTD sebanyak 89,7% terjadi pada kelompok umur 15-19 tahun. Data lain menyebutkan dari 1162 kasus IMS di Provinsi Bali sebanyak 7,7 % berasal dari kelompok umur 15-19 tahun (PKBI Provinsi Bali, 2015). Data Dinas Kesehatan Kota Denpasar (2016) menyebutkan bahwa temuan penyakit menular seksual di tahun 2015 yakni sebanyak 3.180 kasus sedangkan temuan di tahun 2014 sebanyak 2.931 kasus. Terjadi peningkatan kasus penyakit menular baik itu sifilis, gonorhoea, dan penyakit kelamin lainnya. Berdasarkan data lain dari KPA kota Denpasar hingga akhir Desember 2015 temuan kasus HIV/AIDS mencapai 13.319, kasus terbanyak ditemukan di kota Denpasar yakni sebesar 39,4%, sedangkan dari total kasus yang ditemukan sebanyak 2 % berasal dari kelompok umur 15-19 tahun (KPA Kota Denpasar, 2016). Jadi, dampak aktivitas dan perilaku seksual remaja tidak hanya hamil di luar nikah dan menikah usia dini tetapi juga penyakit seksual seperti IMS dan bahkan HIV/AIDS.

14 2.3 Perilaku Seksual Remaja Perilaku manusia dari segi biologis merupakan tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri seperti berjalan, berbicara, menangis, bekerja dan sebagainya. Skiner (dalam Notoadmodjo, 2014) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia terjadi melalui proses Stimulus Organisme Respon, sehingga teori Skiner ini disebut teori S-O-R (stimulus-organisme-respon). Selanjutnya teori Skiner menjelaskan adanya dua jenis respon yakni : 1. Respondent response atau reflexive response merupakan respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu yang disebut eliciting stimulus, karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Responden respon (Respondent behaviour) mencakup juga emosi respon dan emotional behaviour. 2. Operant respons atau instrumental respon yakni respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh stimulus atau rangsangan lain. Perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforce, karena berfungsi untuk memperkuat respon (Notoadmodjo, 2014). Berdasarkan teori S-O-R tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : 1. Perilaku tertutup (Covert Behavior) merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2. Perilaku terbuka (Overt Behavior) merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah

15 jelas dalam bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain (Notoadmodjo, 2014). Perilaku seksual merupakan perilaku yang didasari oleh dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku. Perilaku seksual sangat luas sifatnya bahkan termasuk aktivitas seksual dan hubungan seksual. Aktivitas seksual yakni kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi dorongan seksual dalam bentuk perilaku berfantasi, masturbasi, menonton atau membaca pornografi, cium pipi, cium bibir, petting dan intercourse (Imran, 1999 : 32-33). Beberapa tahapan perilaku seksual dari tingkatan rendah ke tingkatan yang lebih tinggi, yakni masturbasi/onani, berpegangan tangan, berpelukan, kissing, necking, petting, dan intercourse (Asna, 2011). PKBI Jawa Tengah pada bulan Juni sampai Juli 2013 melakukan survei perilaku seksual siswa diketahui bahwa aktivitas berpacaran yang dilakukan meliputi mengobrol (100%), berpegangan tangan (80%), mencium pipi atau kening (69%), mencium bibir (51%), mencium leher (28%), petting (22%), dan intercouse (6,2%) (dalam Alfiani, 2013). Perilaku seksual pranikah pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan sedangkan faktor eksternal yakni faktor dari luar diri seseorang. Apabila dikaitkan dengan Teori S-O-R menurut Skiner, faktor internal merupakan respon sedangkan faktor eksternal merupakan stimulus (Notoadmodjo, 2014). Menurut Sarwono dalam Darmasih (2011) faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual meliputi pengetahuan, aspek-aspek kesehatan reproduksi, sikap terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih lama bertahan daripada perilaku yang tidak didasari oleh

16 pengetahuan (Notoadmodjo, 2014). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Rosdarni, dkk (2015) yang menyatakan bahwa remaja yang memiliki pengetahuan yang rendah berpeluang lebih dari 1,5 kali untuk melakukan perilaku seksual pranikah berisiko dibandingkan remaja yang memiliki pengetahuan yang tinggi. Sikap menjadi faktor internal yang mendorong perilaku seksual karena seseorang yang sudah tahu akan berpikir dan berusaha sehingga muncul niat untuk berperilaku tertentu. Tanpa adanya sikap seseorang tidak memiliki kesiapan atau kesediaan untuk bertindak (Notoadmodjo, 2014). Remaja yang memiliki sikap negatif berpeluang 1,5 kali untuk melakukan perilaku seksual pranikah yang berisiko dibandingkan remaja yang memiliki sikap positif (Rosdarni et al., 2015). Dalam penelitian Kusumastuti (2015) disebutkan faktor internal lain yang juga mempengaruhi perilaku seksual remaja yakni efikasi diri. Hasil penelitian Kusumastuti (2015), diketahui bahwa dari 3 faktor internal yang diteliti faktor efikasi diri berpengaruh paling besar terhadap perilaku seksual remaja sebesar 0.237. Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah remaja yakni kelompok teman sebaya (peer group), sumber-sumber informasi, keluarga, sosialbudaya, religiutas, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu (Alfiani, 2013; Darmasih, 2011). Hasil penelitian Kusumastuti (2015) menyatakan bahwa teman sebaya berpengaruh positif sebesar 0.222 terhadap perilaku seksual. Disebutkan pula dalam penelitian Kusumastuti (2015) bahwa teman sebaya merupakan faktor penguat terhadap pembentukan perilaku remaja termasuk perilaku seksual. Teman sebaya memberikan pengaruh yang langsung terhadap remaja dalam berperilaku seksual pranikah yang berisiko. Remaja yang memiliki pengaruh dari teman sebaya yang tinggi berpeluang sebesar 1,7 kali untuk melakukan perilaku seksual pranikah yang

17 berisiko dibandingkan remaja yang memiliki pengaruh dari teman sebaya yang rendah (Rosdarni et al., 2015). Berdasarkan jenis kelamin SDKI tahun 2012 menyebutkan bahwa pria yang pernah melakukan hubungan seksual 8% lebih tinggi daripada wanita. Responden pria yang lebih tua (15%) cenderung lebih memiliki pengalaman seksual dibanding pria lainnya (5%). Pria dengan tingkat pendidikan SMA atau lebih tinggi cenderung pernah melakukan hubungan seksual dibandingkan dengan pria yang tingkat pendidikannya lebih rendah (Badan Pusat Statistik, 2012). Pernyataan dalam penelitian Rosdarni dkk. (2015) menyebutkan bahwa ketika remaja akan melakukan hubungan seksual bersama pasangannya, maka laki-laki adalah pihak pertama yang mengajak untuk melakukan hal tersebut. Jenis kelamin laki-laki lebih bersikap permisif/mendukung perilaku seksual pranikah dibandingkan perempuan. Data acuan penelitian ini menyebutkan bahwa laki-laki memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk melakukan hubungan seksual dibandingkan perempuan (Rosdarni et al., 2015). Dalam sebuah Prosiding Seminar Nasional Keperawatan (Prihatin,2014) dikemukakan mengenai alasan melakukan hubungan seksual pranikah dan dampak perilaku seksual intercourse pranikah. Alasan melakukan hubungan seksual pranikah karena sebagian besar ingin menunjukkan rasa sayang dan takut untuk ditinggalkan dan karena sudah mendapat persetujuan orang tua. Dampak perilaku seksual intercourse pranikah yaitu hamil di luar nikah dan menikah di usia dini. Akibat perilaku seksual intercourse pranikah muncul dampak psikologis yaitu perasaan malu dengan teman - teman dan sebagian yang lain mengalami dampak psikologis karena mendapatkan teguran dari instansi tempat menempuh pendidikan (Prihatin, 2014).

18 2.4 Pengetahuan Remaja Mengenai Kesehatan Reproduksi Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan seseorang dikumpulkan dan diterapkan mulai dari tahap-tahap, yakni : awarenes (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation (menimbang-nimbang), Trial (mulai mencoba melakukan sesuatu dengan apa yang dikehendaki stimulus), adoption (subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus) (Notoadmodjo, 2014). Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2014 : 27-28) proses perubahan pengetahuan melalui 6 tingkatan yakni sebagai berikut : 1. Tahu (know) berarti mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. 2. Memahami (comprehension) berarti suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). 4. Analisis (analysis) merupakan kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis (syntesis) menunjukkan kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6. Evaluasi (evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi sangat penting bagi remaja. Hal ini karena kesehatan reproduksi berkaitan erat dengan siklus hidup. Kesehatan reproduksi tercermin dalam kondisi kesehatan selama siklus kehidupan dimulai dari saat konsepsi,

19 masa anak-anak, masa remaja, dewasa hingga masa pasca usia reproduksi (BKKBN, 2011). Masa remaja adalah masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa itu remaja sering diliputi oleh banyak ketidaktahuan tentang perkembangan dirinya yang dapat menimbulkan problematika tersendiri. Problematika yang banyak dihadapi oleh remaja tidak lain bersumber pada kurangnya informasi tentang perubahan dalam dirinya terutama yang terkait dengan kesehatan reproduksi (Respati, 2012). Hasil penelitian Wijaya dkk. (2014) menyebutkan bahwa remaja SMA yang memiliki pengetahuan yang baik akan diikuti dengan aktivitas yang positif. Hal ini dibuktikan dengan data hubungan yang positif dan signifikan antara pengetahuan dengan aktivitas remaja SMA ditunjukkan dengan angka (P=0,000; r=0,284). Remaja mudah sekali terpengaruh informasi global melalui media audio-visual karena sedang berada pada masa sulit, tidak pasti dan cenderung labil. Namun, kemudahan dalam mengakses informasi masih belum didukung dengan kualitas informasi kesehatan reproduksi. Dengan informasi akan kesehatan reproduksi yang terbatas dan perkembangan emosi yang masih labil, secara tidak langsung akan mengarahkan remaja pada berbagai hal negatif salah satunya seks bebas. Dengan kata lain, hal ini akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengarahkan remaja pada kebiasaan berperilaku seksual yang beresiko tinggi (Respati, 2012). Pernyataan tersebut didukung hasil penelitian Rosdarni, dkk. (2015) yang menyatakan bahwa remaja yang memiliki pengetahuan yang rendah berpeluang lebih dari 1,5 kali untuk melakukan perilaku seksual pranikah berisiko dibandingkan remaja yang memiliki pengetahuan yang tinggi. Imran (1999) dalam modulnya berjudul Perkembangan Seksual Remaja menyebutkan bahwa dengan pengetahuan yang baik remaja memahami risiko perilaku

20 serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksual secara sehat dan bertanggung jawab. Hal yang sama juga disampaikan dalam penelitian Kusumastuti (2015) bahwa pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi, IMS dan HIV/AIDS berpengaruh positif sebesar 0,163 terhadap perilaku seksual. Dalam hasil penelitian Asna (2011) juga disebutkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (p = 0,028) dengan perilaku seksual pranikah pada pelajar SMA Negeri kelas XI. Penelitian Wijaya dkk. (2014) menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan juga antara variabel pengetahuan dengan sikap remaja SMA (p=0.000; r=0,383) sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja SMA yang memiliki pengetahuan yang baik akan diikuti dengan sikap yang baik. Hasil yang sama juga disampaikan dalam penelitian Dewi dan Lubis (2012) yang menemukan bahwa mayoritas responden dengan tingkat pengetahuan baik (98.6%) diikuti dengan sikap yang baik terhadap kehamilan dini (77,8%). Akan tetapi, dalam penelitian ini terdapat kesenjangan antara pengetahuan dan sikap. Dari jumlah responden remaja yang memiliki tingkat pengetahuan baik sebesar 98.6% justru jumlah responden yang memiliki sikap positif berkurang menjadi 77,8%. Maka dari itu, perlu dilakukan pemberian informasi dalam bentuk yang tepat. Pemberian informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan remaja tentang seks pranikah menurut hasil penelitian Jayanthi dkk. (2014) yakni dalam bentuk penyuluhan. 2.5 Sikap Remaja Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif baru (Notoadmodjo, 2014). Sikap dapat berupa respon

21 negatif dan respon positif yang akan dicerminkan dalam bentuk perilaku. Sikap terdiri atas 3 komponen pokok yakni : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek; 2. Kehidupan emosional atau terhadap suatu objek; 3. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave) (Notoadmodjo, 2014). Menurut Notoadmodjo (2014) sikap terdiri dari berbagai tingkatan : 1. Menerima (receiving) berarti orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). 2. Merespon (responding) berarti memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. 3. Menghargai dengan cara mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. 4. Bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala risiko. Berdasarkan analisis kualitatif dalam penelitian Rosdarni dkk. (2015) menyatakan bahwa sikap merupakan faktor yang memberikan risiko terbesar di dalam berperilaku seksual pranikah yang berisiko pada remaja. Hasil yang sama juga disampaikan dalam penelitian Wijaya dkk. (2014) bahwa remaja SMA yang memiliki sikap yang baik akan diikuti juga dengan aktivitas yang positif. Pernyataan ini dibuktikan dengan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara variabel sikap dengan aktivitas remaja SMA (p=0,000; r=0,269). Hasil penelitian Asna (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sikap terhadap kesehatan reproduksi (p = 0,032) dengan perilaku seksual pranikah pada remaja SMA kelas XI. Berdasarkan penelitian Kusumastuti (2015) terdapat pengaruh positif antara sikap terhadap seksualitas terhadap perilaku seksual sebesar 0,13.

22 Remaja yang memiliki sikap negatif berpeluang sebesar 1,5 kali untuk melakukan perilaku seksual pranikah yang berisiko dibandingkan remaja yang memiliki sikap positif (Rosdarni et al., 2015). 2.6 Efikasi Diri Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dapat dihasilkannya dalam menampilkan tindakan tertentu dan berpengaruh bagi kehidupan orang tersebut. Faktor yang mempengaruhi keyakinaan efikasi diri seseorang tergantung dari perasaan seseorang, pola pikir, cara memotivasi diri sendiri dan cara berperilaku. Keyakinan tersebut akan menghasilkan efek setelah melalui empat proses besar yang mencakup proses kognitif, proses motivasi, proses afektif, dan proses seleksi (Bandura, 1994). Efikasi diri dapat ditumbuhkan melalui sumber-sumber berikut : 1. Pengalaman Individu (enactive mastery experience) merupakan interpretasi individu terhadap keberhasilan yang dicapai pada masa lalu. Interpretasi tersebut akan mempengaruhi keyakinan diri terhadap kemampuan untuk melakukan suatu tugas-tugas selanjutnya. 2. Pengalaman keberhasilan orang lain (vicarious experience) berarti proses modeling atau belajar dari pengalaman orang lain. Hal ini akan mempengaruhi efikasi diri. Pengalaman yang dimiliki oleh orang lain menentukan persepsi akan keberhasilan atau kegagalan individu. 3. Persuasi verbal (verbal persuation) berasal dari orang-orang yang menjadi panutan atau yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan. Persuasi verbal yang diberikan kepada individu yakni mengenai kemampuan yang dimiliki individu

23 untuk melakukan tugas. Hal ini menyebabkan individu berusaha keras untuk menyelesaikan tugas tersebut. 4. Keadaan fisiologis dan emosional (physiological and affective states) yang sedang dihadapi individu akan mempengaruhi keyakinan individu dalam menjalankan tugas (Bandura, 1994). Efikasi diri tidak dapat muncul dengan sendirinya. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi efikasi diri. Proses pengembangan efikasi diri dimulai sejak bayi. Pengaruh efikasi diri pertama seseorang terjadi dalam keluarga (family influences). Dalam tahapan perkembangan seseorang, kelompok teman sebaya memiliki pengaruh yang makin penting dan peran keluarga dalam peningkatan efikasi diri kini mulai diwakili. Ketika seorang anak melihat teman sebayanya mampu maka ia akan merasa lebih percaya diri dan termotivasi untuk melakukan efikasi diri (social and cultural influences). Efikasi diri dapat ditingkatkan dengan cara memberikan memberikan kesempatan seseorang untuk melakukan praktik evaluasi diri dan intervensi instruksi melalui penyampaian informasi yang jelas tentang kemampuan seseorang atau kemajuan tahap pembelajarannya (educational influences) (Kathryn R. W. & Allan W., 2009). Hasil penelitian Musthofa dan Winarti (2010) menyatakan bahwa sikap lebih permisif/mendukung terhadap perilaku seksual pranikah dapat diproteksi dengan meningkatkan efikasi diri (self efficacy). Self efficacy merupakan kemampuan seseorang untuk menentukan perilaku seks pranikah berisiko tersebut sebagai tindakan yang tepat dan sesuai dengan harapan orang lain. Responden yang mempunyai efikasi diri tinggi cenderung akan melakukan proteksi untuk tidak melakukan perilaku seksual pranikah sebesar 0,192 dibandingkan responden yang mempunyai efikasi diri rendah (Musthofa & Winarti, 2010).

24 Penelitian Iskandar dkk. (2013) yang berjudul The Influence of Value Systems and Sexual Self-Regulation Towards Adolescent's Sexuality menyatakan bahwa efikasi diri merupakan salah satu strategi sexual self-regulation. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa efikasi diri (self-efficacy) dalam penetapan tujuan sebesar 46,10% dengan nilai p <0,00 (Iskandar et al., 2013). Hasil penelitian Wilujeng (2015) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah remaja SMA selain umur dan tingkat religiusitas. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 50,7% responden laki-laki dan 51,2% responden perempuan memiliki efikasi diri rendah. Penelitian Kusumastuti (2015) juga menyatakan terdapat pengaruh positif antara efikasi diri dengan perilaku seksual. Disebutkan pula bahwa efikasi diri memiliki pengaruh paling besar yang ditunjukkan dengan koefisien regresi 0,237 (Kusumastuti, 2015). Penelitian Musthofa dan Winarti (2010) menunjukkan bahwa responden dengan efikasi diri yang rendah (23,3%) memiliki persentase lebih besar dalam melakukan perilaku seks pranikah intercourse bila dibandingkan responden yang mempunyai efikasi diri tinggi (1,6%). Remaja yang memiliki efikasi diri yang rendah berpeluang untuk melakukan perilaku seksual pranikah yang berisiko sebesar 1,7 kali dibandingkan remaja yang memiliki efikasi diri yang tinggi (Rosdarni et al., 2015).