POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

STRATEGI PERDAGANGAN TUNA INDONESIA KE PASAR UNI EROPA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Rekomendasi Kebijakan 2013

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

ANALISIS ATURAN PERDAGANGAN UNI EROPA DALAM PEMBERANTASAN ILLEGAL, UNREPORTED, UNREGULATED FISHING CUT SYARIFATTUL JANNAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Irawati

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

3 METODOLOGI. (check list) dan negara. aturan hukum. analisis deskriptif mengacu dari. Jakarta, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

FAO, 2001.International Guidelines For The Management Of Deep-Sea Fisheries In The High Seas. FAO, 2012.The State of World Fisheries and Aquaculture.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

D. Bambang Setiono Adi, Alfan Jauhari. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

BAB III PRASARANA DAN SARANA Pasal 7

PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ARTIKEL

IMPLEMENTASI PERATURAN INTERNASIONAL TENTANG ILLEGAL UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING OLEH INDONESIA SEBAGAI NEGARA BENDERA SHARIFA AYU RAISA MAGIS

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

2 Mengingat b. bahwa untuk itu perlu menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kelautan dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

LAPORAN AKHIR RIA Seri: PERMENKP NO. 57 Tahun 2014 BALITBANG-KP, KKP

IV METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur.

Garis-Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) MK DASAR KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP (PSP-301 )

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. maka perlu dilengkapi dengan berbagai sarana penunjang sebagai sarana pokok, melalui suatu perencanaan pengembangan

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC)

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

Oleh: Rachma Indriyani. Abstract

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.28/MEN/2009 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis SWOT untuk menentukan Strategi Pengembangan Industri. Biofarmaka Daerah Istimewa Yogyakarta

III. METODE KAJIAN. Data kajian ini dikumpulkan dengan mengambil sampel. Kabupaten Bogor yang mewakili kota besar, dari bulan Mei sampai November

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Analisis SWOT (strengths-weaknessesopportunities-threats)

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 69 TAHUN 2012 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DI KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAMPIRAN II HASIL ANALISA SWOT

Strategi Kebijakan Pengelolaan Nelayan Andon Sebagai Upaya Pelestarian Sumberdaya Ikan di Kota Tegal... (Sujiyanto)

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAPORAN AKHIR ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG

BAB VII FORMULASI DAN PEMILIHAN STRATEGI. oleh perusahaan. Pengidentifikasian faktor-faktor eksternal dan internal dilakukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1

Penguatan Minapolitan dan Merebut Perikanan Selatan Jawa

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Mulya Kencana Kecamatan Tulang Bawang

PERUMUSAN STRATEGI PERUSAHAAN PT X MENGGUNAKAN MATRIKS EVALUASI FAKTOR

5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA

EVALUASI KINERJA PENYULUH DAN PENENTUAN PENGEMBANGAN STRATEGI KINERJA PENYULUH PERTANIAN ORGANIK ATAS DASAR FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL KOTA BATU

Transkripsi:

V - 954 POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO Akhmad Solihin 1), Eko Sri Wiyono 2) 1) a.solihin1979@gmail.com, 08156217120, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK IPB 2) eko_ipb@yahoo.com, 081291169149, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK IPB ABSTRAK Perikanan dunia dihadapkan pada isu kelangkaan global, termasuk perikanan tuna. Hal ini dicerminkan dengan terjadinya penurunan produksi tangkapan perikanan laut dunia. Salah satu penyebab ancaman krisis perikanan dunia tersebut adalah Illegal Unreporetd and Unregulated Fishing (IUU Fishing), sehingga FAO mengeluarkan beberapa hukum internasional baik soft law maupun hard law dan pembentukan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) melalui berbagai konvensi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis konvensi-konvensi pembentukan RFMO dan implementasinya dalam peraturan perundang-undangan nasional serta menyusun strategi Indonesia dalam pengelolaan perikanan tuna di laut lepas. Penelitian dilaksanakan di kawasan industri Pelabuhan Benoa- Bali dan Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman - Jakarta pada Bulan Mei Oktober 2013. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa hukum meliputi analisa yuridis normatif, yuridis komparatif dan pendekatan kasus, sementara analisa kebijakan menggunakan AWOT yang merupakan analisa gabungan antara Analytical Hierarchy Process dan SWOT Analysis. Analisa hukum mengungkapkan beberapa hal yang harus diperhatikan adalah wilayah penerapan, pendekatan kehati-hatian, kewajiban negara anggota, kewajiban negara bendera, kewajiban negara pelabuhan, program pengamat, pemindahan muatan antar kapal. Sementara analisa perbandingan hukum internasional dengan peraturan perundang-undangan Indonesia mengungkapkan bahwa Indonesia sudah sesuai dengan perkembangan hukum internasional yang berlaku yang dicerminkan dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan, meliputi UU No. 31 Tahun 2004, UU No. 21 Tahun 2009, Permen KP No. Per.1/Men/2009, Permen KP No. Per.12/Men/2009, Permen KP No. Per.18/Men/2010, Permen KP No. Per.8/Men/2012 Permen KP No. Per.12/Men/2012, Permen KP No. Per.30/Men/2012. Analisa AWOT menghasilkan strategi, yaitu: perlunya pembenahan pendataan perikanan tuna, peningkatan sistem pengawasan dan penegakkan hukum, serta penguatan kelembagaan kelompok kerja RFMO. Kata kunci: krisis perikanan, IUU Fishing, RFMO, tuna PENDAHULUAN Perikanan dunia dihadapkan pada isu kelangkaan global, yang dicerminkan dengan penurunan produksi tangkapan laut dunia. FAO (2010) melaporkan bahwa produksi perikanan laut dunia berfluktuasi antara 77 dan 86 juta ton dengan catatan tertinggi 86,8 juta ton pada tahun 2000 dan menurun menjadi 79,9 juta ton pada tahun 2009. Ancaman kelangkaan perikanan dunia diperkuat dengan penelitian Worm et.al (2006), yang mengungkapkan bahwa pada tahun 2048 akan terjadi kehancuran perikanan global. Namun demikian, penelitian Worm tersebut dibantah oleh Branch (2008), karena dianggap mengabaikan berbagai faktor, salah satunya adalah regulasi internasional dan nasional dalam mewujudkan perikanan dunia yang berkelanjutan. Terlepas dari perdebatan para pakar perikanan dunia tersebut, peningkatan konsumsi ikan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia telah meningkatkan negara produsen ikan untuk meningkatkan teknologinya dalam menciptakan alat penangkap ikan yang efektif dan efisien, sehingga semakin menekan kelestarian sumberdaya ikan. Laporan FAO 1998 memperkirakan akan terjadinya kekurangan pasokan ikan sebesar 62,4 juta ton pada tahun 2020 karena permintaan terhadap protein ikan yang semakin meningkat (Wahyuni, 2007).

V - 955 Ancaman krisis perikanan dunia tersebut juga dihadapkan pada permasalahan Illegal Unreported Unregulated Fishing (IUU Fishing). Hal ini dikarenakan, FAO memperkirakan kontrbusi illegal fishing mencapai 30% dari total tangkapan dunia, sedangkan Komisi Uni Eropa memperkirakan 15-20% (EFTEC, 2008). Sementara MRAG (2008) memperkirakan nilai global IUU Fishing mencapai US$ 11 milyar (MRAG, 2008) dan Komisi Uni Eropa juga memperkirakan setiap tahun nilai global IUU Fishing sebesar US$ 30 juta. Dampak IUU Fishing sebagaimana dipaparkan diatas, menuntut masyarakat global untuk mengatasi masalah ini. Untuk mewujudkan perikanan dunia yang berkelanjutan, maka ditetapkan berbagai instrumen internasional, baik yang mengikat (hardlaw) maupun tidak mengikat (softlaw), yaitu UNCLOS 1982, FAO Compliance Agreement 1993, UNIA 1995, PSM Agreement 2009, CCRF 1995, dan IPOA to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2001. Enam instrumen internasional tersebut diatas menjadi landasan berbagai negara untuk bergabung dalam suatu organisasi pengelolaan perikanan regional (regional fisheries management organization, RFMO) dalam mengatur kegiatan perikanan berkelanjutan di laut lepas. Konvensi pembentukan RFMO mengatur hak dan kewajiban setiap Negara anggota dalam menangkap ikan di laut lepas yang sudah dikelola RFMO, diantaranya adalah pengaturan perdagangan ikan yang bebas dari praktik-praktik IUU Fishing. Berdasarkan paparan diatas, perlu lakukan penelitian terhadap hukum internasional yang berlaku dalam rangka terhindar dari jebakan aturan IUU Fishing. Adapun tujuan peneltin adalah: (1) Menganalisis kovensi pembentukan RFMO yang mengatur pemberantasan IUU Fishing yang berdampak pada larangan perdagangan tuna di pasar internasional; (2) Memetakan bentuk harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan kovensi pembentukan RFMO terkait dengan pemberantasan IUU fishing di Indonesia; dan (3) menyusun strategi perdagangan tuna Indonesia di pasar internasional berdasarkan hukum internasional yang berlaku. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan industri Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, DKI Jakarta dan kawasan industri Pelabuhan Perikanan Nusantara Benoa, Bali. Penelitian ini dilaksanakan sepanjang bulan Mei-Oktober 2013. Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan tiga analisis, yaitu: Pertama, analisis hukum. Analisis hukum menggunakan pendekatan yuridis normatif yang dilengkapi dengan pendekatan kasus (case approach). Metode pendekatan yuridis-normatif maksudnya adalah bahwa penelitian ini menekankan pada ilmu hukum dan menitikberatkan pada pengumpulan data sekunder yang merupakan bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier (Marzuki, 2008). Kedua, analisis kebijakan. Analisis kebijakan menggunakan analisis AWOT yang menggabung analisis SWOT dengan Analytical Hierarchy Process (AHP). Analytical Hierarchy Process merupakan teknik pengambilan keputusan yang pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. AHP pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu kala preferensi diantara berbagai alternatif (Saaty, 1993). HASIL DAN PEMBAHASAN Konvensi Pembentukan RFMO Organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO) yang daerah pengelolaannya berdampingan atau berhadapan dengan perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) ada tiga, yaitu:

V - 956 (1) Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Dasar hukum CCSBT adalah Convention for the Conservation of the Southern Bluefin Tuna (CCSBT Convention) yang ditandatangani di Kanbera, Australia pada tanggal 10 Mei 1993 dan mulai berlaku efektif pada tanggal 20 Mei 1994. (2) Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). Dasar hukum IOTC adalah Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission (IOTC Conventioan) yang ditandatangani di Roma, Italia pada tanggal 25 November 1993 dan mulai berlaku efektif pada tanggal 27 Maret 1996. (3) Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Dasar hukum IOTC adalah Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC Conventioan) yang ditandatangani di Honolulu, Amerika Serikat pada tanggal 4 September 2000 mulai berlaku efektif pada tanggal 19 Juni 2004. Kesamaan aturan yang harus diperhatikan oleh Indonesia selaku negara peratifikasi, yaitu: Wilayah penerapan, pendekatan kehati-hatian, kewajiban negara anggota, kewajiban negara bendera, kewajiban negara pelabuhan, program pengamat (observer), pemindahan muatan antar kapal (transhipment). Secara lebih jelas, peta aturan Konvensi RFMO disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Aturan Kewajiban RFMO yang berada di sekitar Indonesia IOTC CCSBT WCPFC a. Menjamin kegiatan yang dilakukan, sesuai dengan aturan di negaranya, termasuk pemberlakuan sanksi yang memadai yang mungkin diperlukan untuk membuat efektif ketentuan dalam Persetujuan ini dan untuk mengimplementasikan langkah konservasi dan pengelolaan yang akan mengikat anggota. b. Mengirimkan sebuah pernyataan tahunan tentang tindakan yang telah dilakukan. Peryataan tersebut dikirimkan kepada sekretaris komisi tidak lebih dari 60 hari sebelum tanggal pelaksanaan sidang komisi berikutnya. c. Anggota Komisi harus bekerja sama, melalui Komisi, dalam pembentukan suatu sistem yang memadai untuk selalu meninjauimplementasi langkah- langkah konservasi dan pengelolaan yang diadopsi berdasarkan Ayat 1 Pasal IX, dengan memperhatikan peralatan dan teknik yang tepat serta efektif untuk memantau kegiatan penangkapan ikan dan mengumpulkan informasi ilmiah yang diperlukan untuk maksud persetujuan ini. d. Anggota komisi harus bekerja sama dalam pertukaran informasi tentang setiap kegiatan penangkapan ikan bagi stok yang dicakup oleh persetujuan ini oleh warga negara dari setiap negara atau kesatuan yang bukan anggota komisi. e. Atas dasar permohonan komisi, anggota Komisi, menyediakan data statistik dan data serta informasi lain yang mungkin diperlukan oleh Komisi untuk maksud persetujuan ini. a. Setiap pihak wajib mengambil semua tindakan yang perlu untuk memastikan penegakan Konvensi ini dan pematuhan terhadap langkah yang akan mengikat. b. Para pihak wajib dengan cepat menyediakan kepada komisi Tuna Sirip Biru Selatan informasi ilmiah, statistik hasil tangkapan dan upaya penangkapan dan data lain yang berhubungan dengan konservasi tuna sirip biru selatan dan, apabila dibutuhkan, spesies terkait secara ekologi. c. Para pihak wajib bekerjasama dalam pengumpulan dan pertukaran secara langsung, apabila dibutuhkan, data perikanan, sampel biologis dan informasi lain yang berhubungan dengan penelitian ilmiah tuna sirip biru selatan dan spesies terkait secara ekologis. d. Para pihak wajib bekerjasama dalam 1. Setiap anggota komisi wajib : (i) Setiap tahun memberikan data statistik, biologis, dan data lain dan informasi sesuai dengan Lampiran I dan, sebagai tambahan, data dan informasi yang mungkin dibutuhkan oleh komisi. (ii) memberikan kepada komisi dengan cara dan dengan jangka waktu sebagaimana dibutuhkan oleh komisi, informasi mengenai aktivitas penangkapan ikannya di wilayah konvensi, termasuk wilayah penangkapan ikan dan kapal perikanan untuk memfasilitasi penghimpunan statistik tangkapan dan upaya yang dapat dipercaya; dan (iii)memberikan kepada komisi dengan jangka waktu yang mungkin dibutuhkan informasi mengenai tahapan yang diambil untuk melaksanakan langkah konservasi dan pengelolaan yang telah diterima oleh komisi. 2. Para anggota komisi wajib senantiasa memberitahu Komisi mengenai langkah-langkah yang telah mereka terima untuk konservasi dan pengelolaan sediaan ikan beruaya jauh di wilayah di dalam lingkup wilayah konvensi di bawah yurisdiksi nasionalnya. Komisi wajib secara berkala mengedarkan informasi tersebut kepada seluruh anggota. 3. Setiap anggota komisi wajib f. Setiap anggota komisi wajib pertukaran informasi menyediakan copy Undang-undang, tentang setiap senantiasa memberitahu Komisi

V - 957 peraturan-peraturan dan instruksi administratif yang berlaku atau ringkasannya, menurut keperluan, berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan stok yang dicakup oleh persetujuan ini dan menginformasikannya kepada komisi setiap amandemen atau pencabutan undang-undang, peraturan dan instruksi administratif tersebut. penangkapan ikan tuna sirip biru selatan oleh warga negara, penduduk dan kapal-kapal dari setiap negara atau entitas bukan pihak dari konvensi ini. mengenai langkah-langkah yang telah diterimanya untuk mengatur aktivitas kapal perikanan berbendera negaranya yang menangkap ikan di wilayah konvensi. Komisi wajib secara berkala mengedarkan informasi tersebut kepada seluruh anggota. 4. Setiap anggota komisi wajib mengambil langkah untuk memastikan warga negara dan kapal perikanannya tunduk pada ketentuan Konvensi ini. Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan Nasional dengan Kovensi Pembentukan RFMO Sebagaimana kewajiban-kewajiban negara peratifikasi yang dipaparkan diatas, setidaknya terdapat tujuh hal penting yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan aturan yang dituangkan dalam Konvensi pembentukan RFMO. Adapun peraturan perundang-undangan Indonesia yang akan dianalisis, terkait dengan aturan konvensi pembentukan RFMO, yaitu: UU No. 31/2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan UU No. 45/2009, UU No. 21/2009 tentang Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS 1982 Relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks, Permen KP No. Per.1/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, PERMEN KP No. Per.18/Men/2010 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Permen KP No. Per.8/Men/2012 tentang Kepelabuhanan Perikanan, Permen KP No. Per.12/Men/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas, Permen KP No. Per.30/Men/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP-NRI, dan Kepmen KP No. Kep.45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di WPP-NRI. Hasil analisa yuridis komparatif, mengungkapkan bahwa Indonesia sudah mengatur sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi pembentukan RFMO. Hal ini dikarenakan, Indonesia sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan perikanan di laut lepas. Secara lebih jelas, analisa yuridis komparatif kesesuaian hukum Indonesia dengan Konvensi pembentukan RFMO ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Analisis Yuridis Komparatif Hukum Indonesia dengan Konvensi Pembentukan RFMO No Tentang Implikasi Hukum Bagi Indonesia 1 Wilayah penerapan UU 31/2004 Permen KP No. Per.1/MEN/2009 Permen KP No. Per.12/Men/2012 2 Penerapan pendekatan kehati-hatian UU 31/2004 UU 21/2009 Kepmen KP No. Kep.45/Men/2011 3 Kewajiban anggota komisi Permen KP No. Per.18/Men/2010 Permen KP No. Per.12/Men/2012 Permen KP No. Per.30/Men/2012 4 Kewajiban negara bendera UU 31/2004 Permen KP No. Per. 12/Men/2012 Permen KP No. Per.30/Men/2012 5 Langkah yang diambil oleh negara pelabuhan Permen KP No. Per.8/Men/2012 6 Program pengamat regional Permen KP No. Per.12/Men/2012 Permen KP No. Per.30/Men/2012

V - 958 7 Pemindahan muatan antar kapal (transhipment) Permen KP No. Per.12/Men/2012 Permen KP No. Per.30/Men/2012 Strategi Kebijakan Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, maka dapat disusun matriks IFE yang berisi kekuatan dan kelemahan serta matriks EFE yang berisi peluang dan ancaman disertai dengan bobot dan rating. Tabel matriks IFE strategi kebijakan perdagangan tuna dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Matriks IFE efektivitas strategi kebijakan perdagangan tuna No Kekuatan Bobot Skala Skor 1 Indonesia menjadi anggota RFMO 0,0729 3,800 0,2771 2 Landasan hukum yang kuat 0,0729 2,000 0,1458 3 RPP Tuna, Cakalang, Tongkol 0,1250 2,800 0,3500 4 Dukungan P4KSI 0,0625 1,400 0,0875 Total 0,8604 No Kelemahan Bobot Skala Skor 1 Pendataan masih lemah 0,1354 2,800 0,3792 2 Kekurangan SDM observer 0,1667 4,000 0,6667 3 VMS belum optimal 0,1667 3,800 0,6333 4 Pendataan kapal ikan di bawah 30 GT 0,1146 2,600 0,2979 5 Pokja RFMO belum optimal 0,0417 1,800 0,0750 Total 2,0521 Tabel 4. Matriks IFE efektivitas strategi kebijakan perdagangan tuna No Peluang Bobot Skala Skor 1 Kebutuhan protein ikan 0,0938 1,600 0,1500 2 Pasar tuna internasional masih terbuka 0,1875 3,000 0,5625 3 Sistem logistik ikan nasional 0,1250 1,400 0,1750 1 2 3 4 Total 0,8875 Ancaman Bobot Skala Skor Perkembangan aturan CMM dan Resolusi 0,1250 2,400 0,3000 Illegal Fishing 0,2031 3,200 0,6500 Kurang kesadaran asosiasi 0,1250 1,800 0,2250 Overfishing 0,1719 2,600 0,4469 Total 1,6219 Setelah melakukan analisis terhadap faktor internal dan eksternal, selanjutnya dapat diformulasikan alternatif strategi dengan menggunakan matriks SWOT, yang merupakan kombinasi dari strategi SO, WO, ST, dan WT. perumusan strategi dilakukan dengan mempertimbangkan keempat faktor yaitu kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang telah diidentifikasi. Strategi yang dihasilkan merupakan kombinasi SO (strength-opportunities), ST (strength-threats), WO (weakness-opportunities), dan WT (weakness-threats) yang dirangkum dalam matriks SWOT. Perumusan strategi pemasaran yang dibangun dengan menggunakan matriks SWOT dapat pada Tabel 4.

Tabel 4. Matrik SWOT untuk Perumusan Kebijakan Perdagangan Tuna Kekuatan (Strengths) S1. Indonesia menjadi anggota IFAS RFMO S2. Landasan hukum yang kuat S3. RPP Tuna, Cakalang, Tongkol EFAS (TCT) S4. Dukungan P4KSI Peluang (Opportunities) O1. Kebutuhan protein ikan O2. Pasar tuna internasional masih terbuka O3. Sistem logistik ikan nasional Ancaman (Threats) T1. Perkembangan aturan CMM dan Resolusi T2. Illegal Fishing T3. Kurang kesadaran asosiasi T4. Overfishing SO SO1. Optimalisasi produksi tuna di WPP-NRI (S1, S2, S3, S4, O1, O2, O3) SO2. Pelaksanaan roadmap RPP TCT (S3, O1, O2, O3) SO3. Penguatan peran P4KSI (S4, O1, O2, O3) ST ST1. Diplomasi pengaturan penangkapan ikan di laut lepas (S1, S2, S3, S4, T1) ST2. Implementasi penegakan hukum (S1, S2, S3, S4, T2, T3, T4) SO3. Penguatan peran P4KSI (S4, T1, T2, T3, T4) Kelemahan (Weaknesses) W1. Pendataan masih lemah W2. Kekurangan SDM observer W3. VMS belum optimal W4. Pendataan kapal ikan di bawah 30 GT W5. Pokja RFMO belum optimal WO WO1. Pembenahan pendataan perikanan tuna (W1, W2, W4, O1, O2, O3) WO2. Peningkatan sistem pengawasan (W3, W4, O1, O2, O3) WT WT1. Pembenahan pendataan perikanan tuna (W1, W2, W4, T2, T3, T4) WT2. Peningkatan sistem pengawasan dan penegakkan hukum (W3, W4, T2, T3, T4) WT3. Penguatan kelembagaan Pokja RFMO (W5, T1, T2, T3, T4) V - 959 Analisa SWOT Tabel 3 dan 4 dapat dihitung nilai IFAS yang merupakan selisih total nilai pengaruh faktor internal (kekuatan dan kelemahan) yakni sebesar 0,8604 2,0521= -1,1916, sedangkan nilai EFAS yang merupakan selisih total nilai pengaruh faktor eksternal (peluang dan ancaman) yakni sebesar 0,8875 1,6219= -0,7344. Nilai IFAS negatif berarti secara kumulatif faktor kekuatan lebih kecil dibandingkan faktor kelemahan, dan nilai EFAS negatif berarti secara kumulatif faktor peluang lebih kecil dari faktor ancaman. Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS tersebut dibuat diagram Matrik SPACE seperti pada Gambar 1. Gambar 1. Matriks SPACE Perdagangan Tuna Berdasarkan Gambar 1 di atas, dapat dilihat bahwa strategi kebijakan perdagangan tuna berada pada kuadran 4. Oleh karena itu, strategi yang terpilih, yaitu: (1) alternatif A (pembenahan pendataan perikanan tuna); (2) alternatif B: (peningkatan sistem pengawasan dan penegakkan hukum); dan (3) alternatif C (penguatan kelembagaan Pokja RFMO). Setelah

V - 960 mengidentifikasi strategi dan alternatif program, langkah selanjutnya adalah menentukan strategi prioritas. Hal ini karena tidak mungkin semua alternatif program tersebut dapat dimplementasikan dalam waktu dan intensitas yang sama, karena faktor keterbatasan anggaran dan waktu para pengambil kebijakan. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dibuat struktur hierarki seperti dapat dilihat pada Gambar 2. Dari struktur hierarki tersebut diperoleh bobot kepentingan yang menunjukkan prioritas dari empat alternatif strategi dalam kebijakan perdagangan tuna. Sementara itu, strategis prioritas pengelolaan terumbu karang dapat ditampilkan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil analisis A WOT didapatkan bahwa pembenahan pendataan perikanan tuna dengan nilai bobot 43,9%; penguatan kelembagaan Pokja RFMO merupakan prioritas kedua dengan nilai 35,4%; dan prioritas ketiga adalah peningkatan sistem pengawasan dan penegakkan hukum dengan nilai bobot 21%. Gambar 2. Struktur Hierarki Strategi Kebijakan Perdagangan Tuna Synthesis with respect to: Goal: Strategi Kebijakan Perdagangan Tuna Overall Inconsistency =,05 Pembenahan pendataan perikanan tuna,439 Peningkatan sistem pengawasan dan penegakkan,210 huk Penguatan um kelembagaan Pokja RFMO,351 Gambar 3. Strategi Prioritas Kebijakan Perdagangan Tuna

V - 961 Kesimpulan 1) Kovensi pembentukan RFMO mengatur tujuh hal penting, yaitu: wilayah penerapan, pendekatan kehati-hatian, kewajiban negara anggota, kewajiban negara bendera, kewajiban negara pelabuhan, program pengamat (observer), dan pemindahan muatan antar kapal (transhipment) 2) Harmonisasi hukum Indonesia diatur dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009, UU No. 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS 1982 Relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks, Permen KP No. Per.1/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, PERMEN KP No. Per.18/Men/2010 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Permen KP No. Per.8/Men/2012 tentang Kepelabuhanan Perikanan, Permen KP No. Per.12/Men/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas, Permen KP No. Per.30/Men/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, dan Kepmen KP No. Kep.45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. 3) Strategi yang harus dilakukan oleh pemerintah, yaitu: pembenahan pendataan perikanan tuna (43,9%); penguatan kelembagaan Pokja RFMO (35,4%); dan peningkatan sistem pengawasan dan penegakkan hukum (21%). Daftar Pustaka Branch, T.A. 2008. Not all fisheries will be collapsed in 2048. Marine Policy, vol 32 (2008), pp 38-39. EFTEC (Economic for the Environment Concultancy). 2008. Cost of Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in Eropa Union Fisheries. London. FAO. 1998. The State of World Fisheries and Aquaculture 2010. Roma, Italy. FAO. 2010. The State of World Fisheries and Aquaculture 2010. Roma, Italy. Marzuki, P.M. 2008. Penelitian Hukum. Prenada Media Group. Jakarta.. MRAG. 2008. The Global Extent of Illegal Fishing. London. Saaty, T L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka Binaman Pressindo: Jakarta Wahyuni, M. et.al. 2007. Program Gemar Makan Ikan: sebagai Strategi Membangun Anak Bangsa Berkualitas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Worm, B., Edward, B.B., Nicola, B., J. Emmett Duffy, Carl, F., Benjamin S.H., Jeremy B.C.J., Heike, K.L., Fiorenza, M., Stephen, R.P., Enric, S., Kimberley A.S., John J.S., Reg, W. 2006. Impact of Biodiversity Loss on Ocean Ecosystem Services. Science, vol 314, pp.787-790.