BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan Restorative Justice,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan hukum (Rechtstaats),

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. proses evolusi kapasitas selaku insan manusia, tidak semestinya tumbuh sendiri

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan hak asasi yang menderita. 1 Korban kejahatan yang pada

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK

BAB I PENDAHULUAN. keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah : Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. penerus cita-cita perjuangan bangsa dan juga merupakan sumber daya manusia bagi

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 ayat (1), Bangsa

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kemudian hari. Apabila mampu mendidik, merawat dan menjaga dengan baik,

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB V PENUTUP. 1. Mekanisme Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan : mediasi penal dikenal dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB I PENDAHULUAN. maupun anak. Penangannanya melalui kepolisian kejaksaan Pengadilan

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG

Konsep Pemidanaan Anak Dalam RKUHP. Purnianti Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB III PENJATUHAN SANKSI HUKUM TERHADAP ANAK. A. Asas-Asas dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemeriksaan oleh Ankum yang menangani pelanggaran disiplin.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Presiden, kepolisian negara Republik Indonesia diharapkan memegang teguh nilai-nilai

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak.

BAB I PENDAHULUAN. tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

PP 2/2002, TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan. mengalami proses tumbuh kembangnya. 1

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyidik Polri diberi kewenangan yang bersifat personal, berdasarkan

Tindak Kekerasan dan Pemidanaan Anak ditinjau dari Perspektif HAM

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Suporter sepakbola merupakan kerumunan di mana diartikan sebagai

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus

BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang-

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang Undang Dasar 1945 amandemen keempat, khususnya Pasal 28 B ayat (2) berisi ketentuan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28 G ayat (1) berisi ketentuan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman kekuatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 1 Kedua pasal tersebut dipergunakan sebagai konsideran, bagian mengingat Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan Restorative Justice, yang merupakan bagian dari Diversi. Substansi yang diatur dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak antara lain, mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang Undang tersebut adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan Restorative Justice dan Diversi, yang dimaksudkan untuk menghindari 1 Sekretariat Jenderal, Unsdang Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekretarian Jenderal, 2003, hlm. 116 dan 118.

2 dan menjauhkan Anak dari proses peradilan, sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum, dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Deversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban. Anak dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan 2 Restorativ Justice dan Diversi khusus penanganan perkara Anak yang Berhadapan Dengan Hukum merupakan kewenangan Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim. Polri dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut UU No. 2 Tahun 2002, di antaranya bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 14 huruf g UU No. 2 Tahun 2002. Polri selaku penyidik dalam melaksanakan tugas penyidikan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian 2 Lihat Penjelasan umum Undang undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dalam Undang undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dan Undang undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Ana, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2012, hlm. 49-50.

3 Negara Republik Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan. Terkait dengan tugas Polri di bidang proses pidana Polri diberi kewenangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002. Tugas dan kewenangan yang diberikan kepada Polri selaku Penyidik dalam proses tindak pidana merupakan tindakan hukum dalam kerangka penegakan hukum terhadap semua tindak pidana yang terjadi melalui criminal justice system. Sebagai suatu tindakan hukum, penyidik dalam melaksanakan tugas dan menggunakan kewenangannya dibatasi dengan hukum. Hal ini mengandung pengertian bahwa hanya penegakan hukum yang berdasarkan peraturan perundang-undangan saja yang dibenarkan dilakukan oleh Polri selaku penyidik. Penegakan hukum yang menyimpang dari aturan yang telah digariskan bukan saja akan menimbulkan persepsi negatif terhadap Polri, tetapi juga akan menimbulkan permasalahan sesama penegak hukum. Persepsi negatif tersebut dapat diwujudkan dengan tuntutan baik secara keperdataan maupun Praperadilan serta melaporkan penyidik yang melakukan penyidikan kepada fungsi pengawasan Polri. Kenyataan penegakan hukum, tidak berada di ruang hampa, penegakan hukum dipengaruhi banyak faktor. Lawrence dalam bukunya sistem hukum perspektif ilmu sosial bahwa penagakan hukum dipengaruhi oleh tiga unsur yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. 3 Ketiga variabel tersebut saling mempengaruhi, betapun sempurnanya hukum dibuat tanpa ada 3 Lawrence, System Hukum Perspektif Ilmu social,nusa media, bandung 2011 hlm 15-18..

4 aparat penegak hukum yang mengerti dan memahami bagaimana hukum tersebut harus ditegakkan, maka hukum yang baik tidak akan menjamin tercapainya tujuan hukum, demikian juga dengan budaya masyarakat tidak sadar hukum maka akan sulit menegakan hukum yang baik. Orang akan selalu mengkaitkan hukum dengan keadilan, sebaik apapun hukum kalau tidak dapat memberi keadilan bagi masyarakat, maka hukum itu dianggap tidak baik. Kasus kecil yang membuat berita besar di berbagai mass media cetak maupun elektronik baik lokal maupun nasional yang sempat menghebohkan dunia penegakan hukum. Kasus pencurian semangka, pencurian kapuk, pencurian sandal, pencurian setandan pisang dan masih banyak kasuskasus kecil yang penegakan hukum menunai kontra di masyarakat. Respon masyarakat terhadap kasus-kasus tersebut memberi sinyal bahwa penegakan hukum tidak hanya melihat dari kaca mata peraturan prundang-undangan saja, tetapi harus melihat rasa keadilan yang ada di masyarakat. Pemikiran penegakan hukum untuk mencapai keadilan substantif dengan tujuan terlaksanakannya tugas pokok Polri sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat perlu diupayakan. Hal ini perlu mengingat proses pidana yang menuai protes masyarakat diakibatkan tidak pekanya aparat penegak hukum dalam menyelesaikan masalah. Sistem peradilan pidana belum memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak korban secara porposional, keberadaan korban dalam sistem peradilan pidana hanya dibutuhkan oleh penyidik atau penuntut umum untuk lebih membuat

5 terang suatu perkara guna menentukan kesalahan tersangka atau terdakwa.semestinya korban diberi peran aktif untuk ikut menentukan keadilan macam apa yang diinginkan. Penyidik Polri sebagai pintu masuk proses peradilan pidana (Criminal Justice System) harus mampu menyembatani kepentingan pencari keadilan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, yang dalam salah satu pasalnya mewajibkan perkara Anak diselesaikan dengan terlebih dahulu dilakukan secara Diversi yaitu pengalihan penyelesaian di luar pengadilan. Diversi menginspirasi para penegak hukum menyelesaikan perkara tindak pidana di luar Sistem Peradilan Anak ( pidana biasa/orang dewasa )dengan menerapkan Restorative Justice. Seperti halnya tindak pidana penipuan, penganiayaan dan penggelapan yang terjadi ada yang diselesaikan dengan Restorative Justice. Tindak pidana tersebut merupakan delik biasa yang tentunya berdasarkan peraturan perundandang-undangan tidak dapat diselesaikan dengan Restorative Justice. Penyelesaian perkara selain perkara anak yang dillakukan melalui diversi atau dengan program Restorative justice juga ditemukan di wilayah hukum Polres Bantul. Penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan yang dilakukan oleh Polres Bantul tersebut, dapat menimbulkan reaksi pro kontra di masyarakat. Hal itu terjadi akibat belum adanya payung hukum yang menjadi dasar tindakan polisi selaku penyidik. Tindakan penyelesaian perkara dengan program restorative justice dianggap sebagai penyimpangan bagi mereka yang berpikir legalistik. Kelompok ini mendalilkan

6 bahwa semua perkara pidana harus sampai pengadilan, karena memang seperti itulah penegakan hukumnya. Tidak adanya dasar hukum yang pasti untuk melakukan restorative justice terhadap semua tindak pidana biasa, maka penyelesaian melalui program itu dianggap illegal. Walaupun penyelesaian perkara dengan mekanisme program restorative justice belum ada payung hukumnya, tetapi dalam praktik hampir semua Polres/Polresta sejajaran Polda DIY pernah melaksanakan program ini. Sebagai pelayan terkadang Polri mengikuti dinamika yang berkembang dimasyarakat, tidak terkecuali Polri selaku penyidik. Program restorative justice dalam hukum modern sebagai hal yang baru apalagi di Indonesia, mengingat pengaturan ini belum ada dalam hukum positif kita. Penyelesaian perkara pidana model program restorative justice sebenarnya sering dilakukan oleh tetua-tetua kampung,dengan mendamaikan antara pelaku dan korban dengan melibatkan tokoh-tokoh kampung.penyelesaian tersebut kemudian dibuatkan kesepakatan yang ditandatangani para pihak dan saksi. Polres Bantul yang merupakan bagian dari Polda DIY,tidak luput dari praktik penerapan program restorative justice sebagaimana Polres yang lain,tetapi mengingat karakteristik wilayah dan masyarakatnya maka dalam penelitian ini mengambil tempat wilayah hukum Polres Bantul. Kelanjutan proses penyidikan dalam hal telah dilakukan penyelesaian dengan program restorative justice juga menjadi permasalahan tersendiri, apakah perkara dihentikan, apa alasan penghentikan penyidikan yang dilakukan oleh polri selaku penyidik. Kalau perkara tersebut dilanjutkan ke penuntutan,apa

7 gunanya diselesaikan secara restorative justice, dan masih banyak lagi permasalah yang harus dipikirkan dan perlu pemecahan. B. Rumusan Masalah Dengan mencermati latar belakang tersebut maka terdapat permasalahan yang ingin dibahas sebagai berikut : 1. Dalam perkara apa saja yang dapat diselesaikan dengan program restorative justice oleh Penyidik Polres Bantul? 2. Bagaimana tindakan penyidik apabila program restorative justice yang telah disepakati, tidak dilaksanakan oleh para pihak atau salah satu pihak? C. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan Rumusan Masalah maka tujuan penelitian atau penulisan tesis ini adalah untuk: 1. mengetahui, menganalisa perkara apa saja yang dapat diselesaikan secara restorative justice oleh Polres Bantul. 2. mengetahui tindakan penyidik apabila program restorative justice yang telah disepakati, tidak dilaksanakan oleh para pihak atau salah satu pihak. D. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu : a. Manfaat Teoritis

8 Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran yang positif dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum yang tidak bisa lepas dari lingkungan sosialnya dimana hukum itu berada. Dengan demikian penelitian ini akan memberikan kontribusi terhadap upaya penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan di Polres Bantul dan dasar hukumnya dalam rangka melayani masyarakat. b. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi para penegak hukum khususnya polri sebagai penyidik dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dibidang penegakan hukum dan upaya percepatan penyelesaian perkara guna mengurangi penumpukan perkara serta pencari keadilan terutama korban dalam pemenuhan hak-haknya E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penulusuran dan pengamatan yang penulis lakukan terdapat karya tulis yang berkaitan dengan Program Restorative Justice berupa tesis, tetapi penelitian yang dilakukan penulis berbeda dengan penelitian atau karya tulisan sebelumnya. Beberapa tesis yang berkaitan dengan program Restorative Justice dapat dikemukakan penulis sebgai berikut : 1. Farida Tri Yugo Astuti, No. Mhs. 09/291434/Phk/05905, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, tahun 2012. Judul tesis adalah Penerapan Konsep Restorative Justice Dalam Perkara Pidana Anak Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Purwokerto.

9 Rumusan Masalahnya adalah Bagaimanakah penerapan konsep restorative justice dalam perkara pidana anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto? dan apa saja kendala yang dihadapi dalam penerapan konsep restorative justice pada perkara pidana anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto?. Hasil Penelitiannya adalah penerapan restorative justice pada perkara anak meliputi: a. Penerapan restorative justice 1) Pada tingkat Penyidikan, penerapan restorative justice dilakukan penyidik dengan menggunakan kewenangan yang dimiliki berupa diskresi melalui diversi. Pendekatan restorative justice dilakukan oleh penyidik dalam tindak pidana ringan seperti pencurian ringan, dimana penyidik sebagai mediator dengan memberikan alternatif solusi dan menawarkan kepada pihak korban/keluarga korban dan kepada pihak pelaku/keluarga pelaku agar supaya dilakukan upaya damai. Dasar hukum yang dijadikan penyidik dalam melakukan diskresi adalah Pasal 5 ayat 1 a angka 4 dan Pasal 7 ayat 1 huruf j KUHAP dan Pasal 16 ayat 1 huruf ( l ) Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian yang kemudian diperluas oleh Pasal 18 ayat 2. 2) Pada tingkat Kejaksaan, restorative justice tidak diterapkan karena jaksa penuntut umum tidak memiliki kewenangan diskresi sebagaimana yang dimiliki oleh pihak Kepolisian. Kewenangan yang dimiliki untuk melakukan" penghentian penuntutan demi kepentingan umum" tidak dapat digunakan sebagai upaya melakukan diversi dengan

10 pendekatan restorative justice, karena kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat, dan bukan untuk kepentingan pribadi. Selain itu, kewenangan tersebut juga hanya dimiliki oleh Jaksa Agung dan bukan oleh setiap jaksa penuntut umum. 3) Pada tingkat Pengadilan, penerapan konsep restorative justice untuk memulihkan keseimbangan tujuan hukum pidana sudah diterapkan yaitu dengan menjatuhkan tindakan, tetapi untuk kejahatan yang sifatnya serius tetap dikenakan sanksi pidana tetapi tidak menutup kemungkinan dipertimbangkan restorative justice sebagai ultimum remidium. b. Kendala yang dihadapi dalam penerapan restorative justice adalah anak kurang terbuka (takut, malu) dalam memberikan keterangan sehingga akan menyulitkan penyidik dalam mencari informasi tindak pidana tersebut. Selain itu, belum adanya peraturan yang spesifik dalam bentuk undang-undang sebagai alternatif mekanisme penerapan restorative justice yang jelas untuk bisa menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Kendala lainnya adalah sangat sulit untuk menghindarkan anak dari pemidanaan secara retributive justice apabila anak melakukan pelanggaran yang sangat serius karena tidak setiap perkara dapat diselesaikan secara restorative justice. 2. Tesis yang ditulis oleh Nofita Dwi Wahyuni Nomor Mahasiswa1106031740 dari Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia dengan judul Penerapan Restorative Justice dalam Putusan Pengadilan

11 Sebagai Tujuan Pemidanaan ( Studi Kasus Terhadap Perkara yang Telah diselesaikan Secara Adat, Analisa Putusan No. 21/PID.B/2009/PN.Srln Dan No.223/PID.B/2009?.PN.Srln). Dalam tesis tersebut permasalahan yang dibahas : a. Bagaimana eksistensi Restorative Justice di Pengadilan? dan apakah Restorative Justice dapat sebagai tujuan pemidanaan? b. Bagaimana sistem penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme adat? dan apakah ada hubungannya restorative justice dengan nilai hukum adat? c. Bagaimana penerapan Restorative Justice dalam Putusan Pengadilan terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat? Tujuan penelitian dalam tesis ini adalah : a. Untuk mengetahui dan menganalisa esksistensi Restorative Justice dalam praktek di Pengadilan dan untuk mengetahui dan menganalisa apakah retorative justice dapat menjadi tujuan pemidanaan; b. Untuk mengetahui dan menganalisa sistem penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme adat dan untuk mengetahui dan menganalisa hubungan restorative justice dengan nilai hukum adat; c. Untuk mengetahui dan menganalisa penerapan restorative justice dalam putusan pengadilan terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat.

12 Dengan melihat beberapa tesis yang telah ditemukan terdapat perbedaan penelitian yang penulis lakukan difokuskan kepada tindak pidana yang dapat dilakukan penyelesaian dengan program restorative justice di tingkat penyidikan dan yang menjadi latar belakang penyelesaian itu dan hukum yang menjadi dasar peneyelesaian perkara tersebut serta bagaimana tindakan penyidik apabila para pihak tidak melaksanakan kesepakatan yang telah dibuatnya.