8 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Andriani yang telah diterjemahkan oleh Santoso Brotodiharjo (Waluyo,2003:3): Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang adalah wajib membayar menurut peraturan-peratura, dengan tidak mendapatprestasi-prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan. Tentang pengertian pajak, ada beberapa pendapat dari para ahli antara lain menurut Rochmat Soemitro (2008:1) : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat langsung dapat ditujukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum). B. Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2006: 35) ada dua fungsi pajak: 1. Pajak sebagai fungsi penerimaan (Budgeter) Maksudnya adalah pajak berfungsi sebagai sumber dana ynag diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yaitu pajak dalam APBN sebagai penerimaan negara. 8
9 2. Pajak sebagai fungsi mengatur (Regulator) Maksudnya adalah pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakannya kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakan pajak yang lebih tinggi untuk minuman keras. C. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai PPN merupakan pajak atas konsumsi (consumption tax) yang dikenakan pada setiap tingkatan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak. Meskipun demikian pemungutan secara bertingkat ini menimbulkan efek ganda (casade effect) karena adanya pengkreditan atas Pajak Masukan yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. Sebagai persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sesuai dengan tarif yang berlaku. Dalam pelaksanaan Reformasi Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak tidak langsung lainnya Tahun 2000 bertujuan untuk menciptakan suatu sistem pajak yang sederhana dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat serta untuk dapat meningkatkan dan mengamankan penerimaan negara. Bertitik tolak pada tujuan reformasi, arah kebijakan yang diambil dalam pelaksanaan reformasi undang-undang pajak pertambahan nilai dan pajak tidak langsung lainnya Tahun 2000 adalah sebagai berikut:
10 a) Simplicity Secara umum, sistem yang ada tidak diubah yang dilakukan adalah penyempurnaan prosedur, namun tidak mengabaikan pengawasan dan penerimaan negara. b) Kepastian Hukum Agar tidak timbul kerancuan dalam pelaksanaannya. c) Meningkatkan dan mengamankan penerimaan negara Pajak tetap diutamakan sebagai sumber penerimaan negara, fungsi reguleren yang sudah ada tetap dipertahankan. 2. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai Menurut Gustian Djuanda (2002: 31) Pajak Pertambahan Nilai memiliki beberapa karakteristik: a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak (destinataris pajak) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Apabila terjadi penyimpangan pemungutan pajak pertambahan nilai, administrasi pajak (fiskus) akan meminta pertanggungjawaban kepada penjual barang kena pajak atau pengusaha kena pajak tersebut, bukan pembeli, walaupun pembeli kemungkinan juga berstatus sebagai pengusaha kena pajak.
11 Sebagai pajak tidak langsung, pengertian pajak pertambahan nilai dapat dirumuskan berdasarkan dua sudut pandang (Gustian Djuanda,2006:31) sebagai berikut: 1) Sudut pandang Ekonomi, beban pajak dialihkan pada pihak lain. 2) Sudut pandang Yuridis, tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas negara tidak berada ditangan pihak yang memikul beban pajak. 3) Pajak Objektif Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif yaitu adanya taatbestand (adalahkeadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dikenakan pajak yang juga disebut objek pajak). b. Multi Stage Tax Multi Stage Tax adalah karakteristik pajak pertambahan nilai yang dikenakan pada setiap masa rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. c. PPN terutang untuk dibayar ke kas negara dihitung menggunakan metode pengurangan tidak langsung/metode pengkreditan/metode faktur. PPN terutang yang wajib dibayar ke kas nagara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar kepada PKP lain yang dinamakan Pajak Masukan (input tax) dengan PPN yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan Pajak Keluaran (output tax). Pola ini dinamakan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction method). Pajak Masukan yang dikurangkan dengan Pajak
12 Keluaran untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibayar ke kas negara dinamakan credit tax, pola ini disebut metode pengkreditan (credit method). Untuk mendeteksi kebenaran jumlah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang terlibat dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti, dokumen ini dinamakan faktur pajak (tax invoice) disebut metode faktur (invoice method). d. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi umum dalam negeri. Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas BKP dan JKP yang dilakukan dalam negeri. Oleh karena itu, komoditi import dikenakan pajak pertambahan nilai dengan persentase yang sama dengan produk domestik. Pajak Pertambahan Nilai mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi (a tax on consumption expenditure) baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh badan baik badan swasta maupun badan pemerintahan dalam bentuk barang atau jasa yang dibebankan pada anggaran belanja negara. e. Pajak Pertambahan Nilai bersifat netral Netralitas dibentuk dengan dua faktor yaitu independen dan professional.
13 f. Dalam pemungutannya, Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip tempat tujuan (detination principle). Dalam mekanisme pemungutannya PPN mengenal dua prinsip pemungutan yaitu: 1. Prinsip tempat asal (origin principle) adalah PPN dipungut ditempat asal barang atau jasa yang dikonsumsi. 2. Prinsip tempat tujuan (destination principle) adalah PPN dipungut ditempat barang atau jasa dikonsumsi. g. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa. h. Pajak Pertambahan Nilai tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda. 3. Sifat Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Gustian Djuanda (2006: 33) PPN mempunyai sifat pemungutan yaitu: a. Menghilangkan pajak berganda b. Tarif tunggal c. Menghindari penyelundupan pajak d. Netral dalam perdagangan Internasional e. Nertal dalam pola konsumsi f. Mendorong ekspor.
14 4. Subjek Pajak Pertambahan Nilai Penjelasan mengenai subjek PPN terdapat pada pasal 1 ayat 15 UU No.18 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas UU No.18 Tahun1983 tentang PPN barang dan jasa serta PPnBM. Pada pasal 1 ayat 14 disebutkan bahwa: Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. Sementara itu pada pasal 1 ayat 15 dinyatakan: Pengusaha Kena Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. 5. Objek Pajak Pertambahan Nilai Objek PPN sebagaimana diatur di dalam pasal 4 ayat 1 dalam UU No.42 Tahun 2009 dikenakan atas: 1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. 2. Impor Barang Kena Pajak
15 3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. 4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. 5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. 6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. 7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. 8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. 6. Penyerahan Barang dan Jasa Kena Pajak Pengertian penyerahan Barang Kena Jasa (BKP) dirumuskan dalam pasal 1 angka 4 UU PPN No.42 Tahun 2009 yaitu: Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak. Selain itu juga yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak dalam pasal 1A ayat 1 UU No.42 Tahun 2009 yaitu: a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian b. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing) c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
16 d. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan f. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang g. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan h. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak. Pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dirumuskan dalam pasal 1 angka 7 UU PPN No.42 Tahun 2009 yaitu: Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak. Namun pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak baik sebelum maupun sesudah perubahan 1 Januari 2001 adalah setiap pemberian jasa kena pajak, jasa kena pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri, dan jasa kena pajak yang diberikan secara cuma-cuma.
17 7. Faktur Pajak a. Dasar hukum Pasal 1 huruf t UU PPN 1984 yang telah diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 menjadi pasal 1 angka 23 merumuskan: Faktu Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang dan jasa kena pajak atau bukti pungutan pajak karena import barang kena pajak yang digunakan oleh direktorat jenderal Bea dan Cukai. b. Fungsi dan Kewajiban Membuat Faktur Pajak Berdasarkan pada penjelasan pasal 13 ayat 1 dan pasal 1 huruf t UU PPN 1984, Faktur Pajak berfungsi sebagai: 1. Bukti pungutan pajak bagi pengusaha kena pajak yang menyerahkan barang atau jasa kena pajak dan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 2. Bukti pembayaran pajak ditinjau dari sisi pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak atau orang pribadi atau badan yang mengimpor barang kena pajak. 3. Sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Ketentuan tentang Faktur Pajak berdasarkan perubahan ketiga UU PPN 1989 dengan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 yang mengubah pasal 13 ayat 1 UU PPN 1989 yang mengatur tentang Kewajiban PKP membuat Faktur Pajak untuk setiap:
18 a. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 huruf a dan f serta pasal 16D. b. Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 huruf c. c. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 huruf g d. Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 huruf h. Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus dibuat pada saat: 1. saat penyerahan barang atau jasa kena pajak 2. saat penerimaan pembayaran 3. saat penerimaan pembayaran termin 4. saat lain yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan c. Jenis Faktur Pajak Dengan adanya perubahan UU No.8 Tahun 1983 menjadi UU No.18 Tahun 2000 memori penjelasan pasal 13 ayat 1 UU PPN 1984 mengalami perubahan juga dengan menegaskan bahwa faktur pajak terdiri dari: 1. Faktur Pajak Standar Faktur pajak standar adalah faktur pajak yang dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 5 UU PPN
19 Tahun 2000. Faktur pajak standar mengakibatkan PPN yang tercantum didalamnya tidak dapat dikreditkan. 2. Faktur Pajak Gabungan Faktur Pajak Gabungan adalah faktur pajak standar yang cara penggunaannya diperkenakan kapada PKP yang memuat lebih dari satu bulan takwim atas penyerahan BKP/JKP kepada pembeli atau penerima jasa yang sama dan harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak. 3. Faktur Pajak Sederhana Faktur Pajak Sederhana adalah dokumen yang disamakan fungsinya dengan faktur pajak, yang diterbitkan oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir atau kepada pembeli atau penerima jasa yang diketahui identitasnya secara lengkap. Faktur pajak sederhana data berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuintansi yang dipakai sebagai bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan BKP/JKP oleh PKP yang bersangkutan.
20 8. Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif PPN Pasal 1 angka 17 UU PPN N0.42 Tahun 2009 merumuskan : Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Tarif PPN berdasarkan perubahan ketiga UU PPN 1984 dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 yang mulai berlaku 1 April 2010 yang tedapat dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 adalah sebagai berikut: 1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen) 2. Tarif PPN sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: a. ekspor BKP Berwujud b. ekspor BKP Tidak Berwujud c. ekspor JKP Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (limabelas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. D. Pengembalian Kelebihan Pembayaran (Restitusi) PPN Restitusi PPN adalah pengembalian kelebihan pajak masukan yang disebabkan oleh adanya kelebihan pembayaran pajak. Dasar hukum Restitusi PPN adalah rumusan dalam pasal 9 ayat 44 dikembalikan pada rumusan semula sebelum 1 Januari 1995 yaitu sebelum UU No.8 Tahun 1983 diubah dengan UU
21 No.11 Tahun 1994. Apabila sejak tahun 1995 sampai Januari 2000 kelebihan pembayaran pajak masukan dalam masa pajak pada dasarnya hanya boleh dikompensasikan, maka sejak 1 Januari 2001 boleh memilih untuk dikembalikan (Untung Sukardji,2002). Sebab-sebab terjadinya kelebihan pembayaran pajak yaitu karena: 1. Jumlah pajak masukan yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa pajak. 2. Kekeliruan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak, peristiwa ini dinamakan kelebihan pembayaran pajak karena terjadi pembayaran pajak yang salah dipungut. E. Mekanisme Restitusi PPN Secara garis besar mekanisme Restitusi PPN menurut Untung Sukardji (2000:222) adalah sebagai berikut : 1. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak masukan dilakukan atas dasar ketentuan. 2. Permintaan pengembalian kelebihan pembayaran pajak masukan yang dapat dilakukan pada akhir masa pajak meliputi kelebihan pembayaran pajak masukan. 3. Restitusi pada akhir tahun buku pajak masukan yang dapat diminta kembali adalah seluruh pajak masukan yang dibayarkan untuk perolehan BKP dan/atau
22 JKP yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha yang menghasilkan penyerahan kena pajak. Setiap PKP mempunyai hak untuk memperoleh pengembalian pajak yang telah dibayarkan sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan. Proses Restitusi ini dimulai dari disampaikannya SPT baik dalam bentuk SPT Masa maupun SPT Tahunan. Dalam SPT tersebut PKP melaporkan penyerahan dan pembelian BKP dan JKP selama periode tertentu. Pada mekanisme yang umum, Restitusi terjadi karena pajak yang dibayarkan lebih besar daripada pajak yang dipungut sehingga apabila dilakukan pengkreditan antara Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran menghasilkan Pajak yang lebih bayar. SPT yang didalamnya menyatakan bahwa Wajib Pajak mengalami kelebihan pembayaran pajak selanjutnya dilakukan pemeriksaan, baik berupa pemeriksaan sederhana lapangan maupun pemeriksaan sederhana kantor. Hal ini sesuai dengan kebijaksanaan pemeriksaan pada Dirjen Pajak yang mendahulukan SPT yang menyatakan lebih bayar untuk memperoleh prioritas untuk dilakukan pemeriksaan. Jumlah Pajak Masukan yang dikembalikan adalah sebanyak-banyaknya sebesar 7 %.dari nilai ekspor atau nilai penyerahan kepada pemungut PPN yang dibuktikan oleh SSP yang sudah terlampir dalam masa pajak yang diajukan permintaan restitusi atau pada masa pajak terakhir dari tahun buku.
23 F. Jangka Waktu Penyelesaian Restitusi Berdasarkan peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-122/PJ/2006 Tentang jangka waktu penyelesaian Restitusi PPN adalah: 1. Jangka waktu penyelesaian restitusi dipercepat dan memiliki kepastian hukum sebagai berikut: a. Satu bulan sejak permohonan diterima, dalam hal permohonan diajukan oleh PKP Wajib Pajak Patuh. b. Dua bulan sejak permohonan diterima lengkap, dalam hal ini permohonan diajukan oleh PKP eksportir dan yang melakukan penyerahan kepada pemungut PPN. c. Empat bulan sejak permohonan diterima lengkap, dalam hal ini permohonan diajukan oleh PKP yang melakukan kegiatan tertentu selain PKP pada huruf b. d. Duabelas bulan sejak permohonan diterima lengkap, dalam hal ini permohonan diajukan oleh PKP lainnya. 2. Jangka waktu untuk melengkapi bukti dan dokumen yang dipersyaratkan adalah satu (1) bulan sejak permohonan diterima. Permohonan dapat disampaikan dengan mengisi kolom yang tersedia pada SPT Masa PPN, atau dengan Surat Permohonan tersendiri. Dalam hal PKP tidak melengkapi bukti/dokumen dalam jangka waktu satu bulan sejak permohonan, maka permohonan diproses berdasarkan data yang ada/diterima.
24 3. PKP yang melakukan kegiatan tertentu yang merupakan Produsen adalah PKP yang melakukan penyerahan BKP paling sedikit 75% dari total penyerahannya adalah produksi yang dihasilkan dari mesin/pabrik milik sendiri. 4. Permohonan Restitusi yang telah diajukan PKP sebelum berlakunya PER- 122/PJ/2006 harus diselesaikan KPP dalam 12 bulan. 5. Untuk mengawasi penyelesaian tunggakan restitusi tersebut maka KPP meminta membuat rencana penyelesaiannya. Pelaksanaan penyelesaian diawasi oleh Ka Kanwil dan dilaporkan ke DirJen Pajak. G. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) 1. Pengertian SPT Masa Pengertian SPT menurut pasal 1 angka 10 UU No.16 Tahun 2000 adalah sebagai berikut : Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak, dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan atau kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sedangkan pengertian SPT Masa sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka 11 disebutkan bahwa: Surat Pemberitahuan Masa adalah surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak.
25 2. Fungsi SPT Fungsi SPT bagi pengusaha kena pajak adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan barang mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: 1. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran. 2. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh pengusaha kena pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 3. Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. 3. Jenis-jenis SPT SPT Masa adalah surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak (jangka waktu 1 bulan paling lama 3 bulan). SPT Tahunan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak (jangka waktu 1 tahun).
26 H. Kepatuhan Pajak Pengertian kepatuhan pajak (tax compliance) menurut Gunadi (2005:4) dapat diartikan bahwa: Wajib Pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan atau investigasi secara seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik secara pidana maupun administrasi. Kepatuhan pajak merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur kinerja administrasi perpajakan oleh institusi pemungutan pajak. Salah satu sarana dalam peningkatan Wajib Pajak adalah penerapan sanksi administrasi. Kriteria Wajib Pajak patuh berdasarkan UU Perpajakan No.18 Tahun 2000 Pasal 17 adalah sebagai berikut : a. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terakhir. b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengawasi atau menunda pembayaran pajak. c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindakan pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun. d. Dalam hal laporan keuangan, diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau wajar dengan pengecualian, sepanjang pengecualian tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.
27 e. Dalam hal laporan keuangan yang tidak diaudit oleh akuntan publik, maka wajib pajak dapat mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai wajib pajak patuh. I. Kerangka Pemikiran Berdasarkan kerangka teoritis dari pemaparan diatas maka kerangka pemikiran yang diteliti dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1: Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Kepatuhan wajib pajak dalam ketepatan waktu (X1) Penerimaan PPN (Y) Restitusi PPN (X2)
28 J. Penelitian Terdahulu Beberapa peneliti seperti Blanthorne (2000) dan Bobek & Hatfield (2003) melakukan penelitian mengenai kepatuhan wajib pajak yang menjelaskan tentang perilaku kepatuhan pajak bagi wajib pajak orang pribadi dan badan. Dalam penelitiannya mereka memberikan penjelasan yang signifikan, bahwa perilaku patuh wajib pajak sangat dipengaruhi oleh sikap dan kontrol keprilakuan. Temuan Bobek & Hatfield (2003) adalah sikap terhadap kepatuhan wajib pajak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak. Bradley (1994) dan Siahaan (2005) melakukan penelitian kepatuhan wajib pajak badan dengan responden tax professional. Dalam situasi dimana tax professional memeperoleh fasilitas yang memadai, maka ketidakpastian yang dihadapi oleh tax professional hanya berasal dari/atau hanya berkaitan dengan ketidakpastian yang ada dalam peraturan perpajakan. Hasil kajian Siahaan (2005) telah memberikan bukti bahwa fasilitas perusahaan berpengaruh secara positif terhadap kepatuhan wajib pajak badan.