RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 65/PUU-XII/2014 Otonomi Daerah dan Pendapatan Asli Daerah Dari Sub Sektor Kepelabuhan I. PEMOHON Lembaga Swadaya Masyarakat FORKOT (Forum Kota) yang mewakili Warga Kabupaten Gresik yang peduli pada Otonomi Daerah dan Pendapatan Asli Daerah dari Sub Sektor Kepelabuhan, diwakili oleh Musa, Yuyun Wahyudi, Hasanudin Farid, Al Ushudi, Arif Riduwan, Mohammad Agustian Ardianto. II. III. IV. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Formil dan Materil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon tidak menjelaskan, ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang, melainkan menjelaskan alasan diajukannya judicial review ke Mahkamah Konstitusi. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Pemohon adalah Badan Hukum Publik yang menyebut dirinya FORKOT (Forum Kota), berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri melalui Kantor Kesatuan Bangsa, Politik Dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Gresik Nomor 280/258/437.77/2010, tanggal 30 April 2010 tentang Surat Keterangan Terdaftar. Merasa dirugikan secara formil dan materiil dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan a quo. V. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI A. NORMA FORMIL Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. B. NORMA MATERIIL Norma yang diujikan, yaitu: - Pasal 4 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Undang-Undang ini berlaku untuk: a. semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia; b. semua kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia; c. dan c. semua kapal berbendera Indonesia yang berada di luar perairan Indonesia.
- Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Pelayaran dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. - Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 (1) Izin usaha angkutan laut diberikan oleh: a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah provinsi dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau c. Menteri bagi badan usaha yang melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan antarprovinsi dan internasional. (2) Izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat diberikan oleh: a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga Negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; atau b. gubernur yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi, pelabuhan antarprovinsi, dan pelabuhan internasional. (3) Izin usaha angkutan sungai dan danau diberikan oleh: a. bupati/walikota sesuai dengan domisili orang perseorangan warga Negara Indonesia atau badan usaha; atau b. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (4) Selain memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk angkutan sungai dan danau kapal yang dioperasikan wajib memiliki izin trayek yang diberikan oleh: a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek dalam wilayah kabupaten/kota; b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau c. Menteri bagi kapal yang melayani trayek antarprovinsi dan/atau antarnegara. (5) Izin usaha angkutan penyeberangan diberikan oleh: a. bupati/walikota sesuai dengan domisili badan usaha; atau b. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
(6) Selain memilik izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk angkutan penyeberangan, kapal yang dioperasikan wajib memiliki persetujuan pengoperasian kapal yang diberikan oleh: a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam provinsi; dan c. Menteri bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan antarprovinsi dan/atau antarnegara. - Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Pelabuhan lalu sebagaimana dimaksud huruf a mempunyai hierarki terdiri atas: a. pelabuhan utama; b. pelabuhan pengumpul; dan c. pelabuhan pengumpan. - Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Penggunaan wilayah daratan dan perairan tertentu sebagai lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional. - Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan untuk pelabuhan laut ditetapkan oleh: a. Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul setelah mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/ walikota akan kesesuaian dengan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota; dan b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan. - Pasal 77 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Suatu wilayah tertentu di daratan atau di perairan dapat ditetapkan oleh Menteri menjadi lokasi yang berfungsi sebagai pelabuhan, sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota serta memenuhi persyaratan kelayakan teknis dan lingkungan. - Pasal 81 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat merupakan Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah dan Unit Penyelenggara Pelabuhan pemerintah daerah. - Pasal 82 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 (1) Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri. (2) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf b dibentuk dan bertanggung jawab kepada: a. Menteri untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah; dan
b. Gubernur atau bupati/walikota untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan pemerintah daerah. - Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Pembangunan pelabuhan laut dilaksanakan berdasarkan izin dari: a. Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul; dan b. Gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan. - Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Untuk membangun dan mengoperasikan terminal khusus sebagaimana dimaksud ada ayat (1) wajib dipenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan kelestarian lingkungan dengan izin dari Menteri. - Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Kegiatan pelabuhan untuk menunjang kelancaran perdagangan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dilakukan oleh pelabuhan utama. - Pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah. - Pasal 197 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 (1) Untuk kepentingan keselamatan dan keamanan pelayaran, desain dan pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam pelabuhan, serta reklamasi wajib mendapat izin Pemerintah. (2) Pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam pelabuhan serta reklamasi dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dan dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai desain dan pekerjaan pengerukan alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur dengan Peraturan Menteri. - Pasal 207 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Syahbandar diangkat oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan kompetensi di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran serta kesyahbandaran. C. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu : - Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. - Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya. Kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
VI. ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945 1. Bahwa menurut Pemohon, Undang-Undang a quo tidak memenuhi syarat formil baik di tingkat eksekutif maupun legislatif karena tidak dilibatkannya Pemerintah Kabupaten Gresik dan Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia dalam pembahasan RUU Pelayaran di Tim antar Departemen juga mendapatkan tanggapan dari Departemen Dalam Negeri dengan mengirimkan surat kepada Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Negara BUMN dan Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor 551.33/2802/SJ tanggal 6 November 2003 perihal Fasilitasi Pelaksanaan Kewenangan Daerah di Kawasan Pelabuhan; 2. Bahwa Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945, TAP MPR RI Nomor IV/MPR/2000, Pasal 18 dan Pasal 237 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Bahwa Pasal-Pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut di atas bertentangan dengan prinsip otonomi daerah yang diatur Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945. VII. PETITUM A. DALAM PERMOHONAN PENGAJUAN FORMIL 1. Mengabulkan Permohonan yang telah kami ajukan; 2. Menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang Undang berdasarkan UUD 1945; 3. Menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. B. DALAM PERMOHONAN PENGAJUAN MATERIIL 1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan Keberatan Hak Uji Matriil; 2. Menyatakan sebagian pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah bertentengan dengan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan bahwa sebagaian pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang dimohonkan keberatan tersebut tidak sah dan tidak berlaku untuk umum; 4. Memerintahkan kepada Pemerintah, Presiden Republik Indonesia dan DPR-RI segera mencabut beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang telah dimohonkan keberatan tersebut; 5. Memerintahkan kepada Pemerintah, Presiden Republik Indonesia untuk menyerahkan Unit Pelaksana Teknis Kantor Adminstrator Pelabuhan Gresik dan Kantor Pelabuhan Bawean kepada Pemerintah Kabupaten Gresik; 6. Membebankan segala biaya yang timbul dalam Permohonan Keberatan Hak Uji Metriil terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran kepada Pemerintah (Presiden Republik Indonesia dan DPR- RI).