PROSES DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MEMAAFKAN PADA REMAJA BROKEN HOME

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 menjelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah dengan memaafkan. Memaafkan adalah salah satu cara untuk

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Memaafkan. adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

Ummu Rifa atin Mahmudah_ Jurusan Psikologi-Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

NASKAH PUBLIKASI Gambaran Forgiveness Pada Orang Bercerai Di Kecamantan Kunir Kabupaten Lumajang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

FORGIVENESS PADA DEWASA AWAL PUTRI YANG MENGALAMI KEKERASAN PADA MASA KANAK-KANAK

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik, tetapi juga perubahan emosional, baik remaja laki-laki maupun perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan hidup, individu memiliki harapan untuk dapat terus

BAB I PENDAHULUAN. Perhatian dunia pendidikan terhadap remaja semakin besar dan. meningkat.banyak ahli maupun praktisi yang memberikan perhatian besar

BAB I PENDAHULUAN. talak sebanyak kasus dan cerai gugat sejumlah perkara

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. luar keluarga seperti teman-teman atau sahabat. Santrock (2007) yang tinggi atas perbuatan yang mereka lakukan.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhi oleh kematangan emosi baik dari suami maupun istri. dengan tanggungjawab dan pemenuhan peran masing-masing pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Jelia Karlina Rachmawati, 2014

BAB I PENDAHULUAN. didambakan tersebut menjadi hukum alam dalam diri tiap manusia. Akan tetapi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian dapat ditarik

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Upaya Pencegahan Perceraian Berbasis Sistem Sosial Masyarakat Setempat serta Dampak yang Ditimbulkan dari Perceraian. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. individu menjadi lebih sehat dalam menjalani kehidupannya menuju proses

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. maupun perempuan (Knoers dkk, 2001: 261). Begitu pula dalam hubungan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut

perkawinan yang buruk dimana apabila antara suami istri tidak mampu lagi mencari jalan penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak (Hu

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perbaikan perilaku emosional. Kematangan emosi merupakan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

: Rifdaturahmi NPM : Pembimbing : Dr. Muhammad Fakhrurrozi, Psikolog

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

FORGIVENESS PADA ANAK YANG MENGALAMI KDRT OLEH AYAH TIRINYA. Nama : Noveria Yamita Eka Putri Npm :

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Transkripsi:

1 PROSES DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MEMAAFKAN PADA REMAJA BROKEN HOME Aswina Mayang Safitri Intisari Perceraian adalah cerai hidup atau perpisahan hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan perannya masing-masing. Masa remaja merupakan masa yang rentan terhadap hal-hal yang penuh konflik dan perubahan suasana hati, apalagi jika permasalahan yang dihadapi itu mengenai perceraian orang tua mereka. Perilaku memaafkan merupakan suatu bentuk manifestasi tindakan dan aset pribadi yang berharga untuk menyelesaikan konflik atau permasalahan di kalangan remaja. Forgivess sendiri memiliki beberapa tahapan dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Metode pengambilan data menggunakan wawancara dan observasi pada sampling yang memiliki kriteria remaja yang berusia antara 10-22 tahun dengan keluarga yang bercerai. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui proses memaafkan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan pada remaja broken home. Hasil penelitian menunjukkan proses perilaku memaafkan yang terjadi pada subjek adalah, satu subjek belum masih merasa kecewa karena perceraian orang tuanya (tahap uncovering atau pengungkapan), dan ketiga subjek lain sudah dapat menerima kenyataan bahwa ayah-ibunya telah berpisah (tahap desicion atau keputusan). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan pada remaja broken home dalam penelitian ini adalah tipe kepribadian, religiusitas, kualitas hubungan dengan pelaku, dan empati. Kata kunci: perceraian, perilaku memaafkan, remaja Pendahuluan Perceraian seringkali dianggap penyelesaian yang tepat untuk mengakhiri hubungan rumah tangga yang tidak kondusif, dan tidak sedikit suami-istri yang mengakhiri jalinan mereka dengan perceraian. Bennet (dalam Dewi, 2006) mengemukakan, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan yang dilakukan secara legal (hukum). Sepertiga perkawinan pertama dalam sepuluh tahun terakhir berujung pada perceraian. Konsekuensi dari tingginya angka perceraian tersebut adalah, ditemukannya lebih dari satu juta anak terlibat dalam situasi perceraian setiap tahunnya (Putri, 2012). Peristiwa perceraian dalam keluarga senantiasa membawa

2 dampak yang mendalam. Kasus ini menimbulkan stress, juga menimbulkan perubahan fisik dan mental. Keadaan ini dialami oleh semua anggota keluarga, ayah, ibu, dan anak (Dagun, 2004). Data dari Pengadilan Agama Samarinda menyatakan, bahwa angka kasus perceraian terhadap perkawinan dari tahun-tahun terakhir menunjukan angka yang cukup besar. Tahun 2012 kasus perceraian yang terjadi mencapai angka 1.610 perkara, kasus perceraian tahun 2013 ditemukan adanya peningkatan jumlah tapi tidak signifikan dengan angka 1.611 perkara, dan pada tahun 2014 mengalami kenaikan kembali dengan angka 1.624 perkara. Masalah perceraian memang tidak hanya dirasakan oleh orang tua yang mengalaminya, hal ini tentunya juga memiliki dampak terhadap anak terutama di masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Sebab orang tua merupakan contoh (role model), panutan dan teladan bagi perkembangan di masa remaja, terutama perkembangan psikis dan emosi, perlu pengarahan, kontrol, serta perhatian yang cukup dari orang tua. Orang tua merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pembentukan karakter remaja selain faktor lingkungan, sosial, dan pergaulan (Willis, 2008). Santrock (2007) menjelaskan, remaja dari keluarga yang bercerai lebih rentan mengalami masalah penyesuaian diri, akademis, kurang memiliki tanggung-jawab sosial, berhubungan dengan teman sebaya yang antisosial, putus sekolah, menggunakan obat-obatan, dan aktif secara seksual di usia dini, jika dibandingkan dengan remaja dari keluarga utuh. Perceraian orang tua dimaknai anak-anak terutama remaja sebagai kejadian yang tidak menyenangkan dan menyakitkan mereka, bahkan seringkali mereka merasa lebih sakit daripada orang tua. Ketika seseorang merasa disakiti, dirugikan, atau diperlakukan tidak adil oleh orang lain, maka kesejahteraan emosinya terganggu. Bagi kebanyakan remaja, perceraian orang tua membuat keterkejutan sekaligus terganggu. Masalah yang ditimbulkan pada fisik tidak terlalu tampak, bahkan bisa dikatakan tidak ada karena ini sifatnya psikis. Akan tetapi, ada juga yang berpengaruh terhadap fisik, setelah remaja tersebut mengalami beberapa akibat dari tidak terkendalinya psikis atau kepribadian yang tidak terjaga dengan baik. Sebagai contoh, seringkali remaja mengonsumsi minuman beralkohol, maka lambat-laun akan mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh yang akhirnya menimbulkan sakit (Putri, 2012). Arthasari (2010) menambahkan, remaja yang orang tuanya bercerai dominan memiliki emosi marah, kecewa, tertekan, malu, menarik diri, dan sakit hati selama periode waktu tertentu, yang akan mengekspresikannya dengan cara menunjukkan sikap bermusuhan kepada pihak yang menimbulkannya. Memaafkan (forgiveness) merupakan cara yang baik untuk mengatasi berbagai dampak buruk dari perceraian orang tuanya. Remaja harus berusaha tidak menyalahkan keputusan orang tua untuk bercerai yang membuat mereka tidak dapat merasakan lagi kebersamaan dalam keluarga yang utuh. Remaja sebagai anak harus berusaha aktif membangun kembali hubungan antara dirinya dengan kedua orang tuanya, dengan terlebih dahulu

melupakan kesalahan yang dilakukan orang tua atas keputusan mereka bercerai (Arthasari, 2010). Memaafkan adalah kemampuan untuk melepaskan pikiran dan hati dari semua masa lalu yang menyakitkan, semua perasaan atau rasa bersalah. Memaafkan mampu mengalahkan kemarahan dan mampu menghilangkan pikiran untuk melakukan balas dendam kepada seseorang yang telah menyakitinya. Hargrave dan Sells (Hadriami, 2008) menyimpulkan, forgiveness merujuk pada terlepasnya seseorang dari kemarahan di pikirannya, serta kesembuhan terhadap lukaluka hati, dan tidak ada balas dendam. Ada unsur melepaskan dari kemarahan (afeksi negatif) dan tercipta kembali hubungan, yang berarti adanya rekonsiliasi dengan munculnya kepercayaan, sembuhnya luka, dan kehilangan motivasi balas dendam. Artinya yaitu, forgiveness tidak hanya terjadi di tahap afeksi, tetapi juga pada tahap perilaku, yang mana korban berani membangun kembali hubungan dengan situasi yang positif. Memaafkan adalah proses (atau hasil dari sebuah proses) yang melibatkan perubahan dalam emosi maupun sikap pada individu terhadap pelaku yang menyakitinya. Sebagian besar para ahli mengatakan, adanya kesengajaan dan proses sukarela yang didorong untuk membuat keputusan memaafkan tersebut (Denmark dkk, 2006). Menurut Smedes (Wardhati dan Faturrahman, 2009) proses memaafkan adalah proses yang berjalan perlahan dan memerlukan waktu. Tahapan perilaku forgiveness individu tidaklah sama, oleh karena itu proses maafkan memiliki sifat adaptif, artinya tidak harus sesuai urutan yang telah dijabarkan oleh Enright dan Coyle (Nashori, 2009). Dalam penjelasannya, terdapat empat tahapan proses memaafkan; uncovering, decision, work, outcome or deeping. Dari semua data awal ini dapat ditafsirkan, bahwa masing-masing subjek memiliki perbedaan tahapan forgiveness. Ada yang telah sampai pada tahap keputusan untuk menerima fakta perceraian orang tua, tapi ada pula yang terus-menurus merasa tersakiti dan seringkali membuatnya sulit untuk memaafkan. Keputusan memaafkan pada satu individu dengan individu lain pasti memiliki berbagai perbedaan, tidak semua orang memiliki faktor yang sama untuk bisa memaafkan, hingga mengiklaskan apa yang telah terjadi dengan mudah. Perbedaan individu tentu tidak dapat dikesampingkan begitu saja, apalagi dalam hal memaafkan, ini merupakan sesuatu yang sangat individual (idealis). Penelitian dalam pandangan subjektif (fenomenologi) berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu. Hal demikianlah yang menjadikan metode fenomenologi sebagai garis fokus dalam penelitian mengenai perilaku forgiveness dan remaja yang mengalami perceraian orang tua. Penelitian ini merupakan studi fenomenologi mengenai proses dan faktor yang mempengaruhi perilaku forgiveness pada remaja broken home di kota Samarinda. Tujuan penelitian yang diajukan dari proses dan faktor yang mempengaruhi perilaku forgiveness pada remaja broken home di kota Samarinda adalah untul mengetahui proses memaafkan sebagai keputusan yang diambil oleh subjek, memahami bentuk gambaran, maupun kondisi psikologis dari problema yang dialami 3

4 subjek dari perceraian orang tuanya, dan mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk memaafkan pada subjek. Kerangka Dasar Teori Perceraian Menurut Dariyo (2008) perceraian (divorce) merupakan peristiwa yang sebenarnya tidak direncanakan dan dikehendaki kedua individu yang sama-sama terikat dalam perkawinan. Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan, sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami-istri. Faktor-Faktor Penyebab Perceraian Dariyo (2008) menjabarkan faktor-faktor penyebab perceraian antara lain yaitu masalah keperawanan, ketidaksetiaan salah satu pasangan hidup, tekanan ekonomi keluarga, tidak mempunyai keturunan, salah satu pasangan hidup meninggal dunia, perbedaan prinsip (ideologi dan agama). Dampak Perceraian pada Remaja Lesley (dalam Ihromi, 2004) mengemukakan, bahwa anak-anak yang orang tuanya bercerai sering hidup menderita, khususnya dalam hal keuangan, serta secara emosional kehilangan rasa aman. Berbagai macam kepedihan dirasakan anak seperti terluka, bingung, marah, dan tidak aman. Sering pula mereka berkhayal akan rujuknya kedua orang tua mereka. Anak akan merasakan kepedihan yang luar biasa dan sangat mendalam. Tidak jarang anak malah menyalahkan dirinya sendiri serta menganggap bahwa merekalah penyebab perceraian kedua orang tuanya. Sementara Landis (dalam Ihromi, 2004) menyatakan, bahwa dampak lain dari perceraian adalah, meningkatnya perasaan dekat anak dengan ibunya serta menurunnya jarak emosional anak dengan ayahnya, di samping anak menjadi inferior terhadap anak yang lain. Sedangkan menurut Gardner (dalam Ihromi, 2004) anak merasakan kepedihan luar biasa dan mendalam, sehingga anak sering menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab perceraian orang tuanya dan kepergian orang tuanya itu dinilai sebagai tanda tidak menyayangi mereka. Remaja Santrock (2007) mengartikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Santrock (2007) menyatakan, remaja merupakan suatu periode di mana kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja. Masa remaja terjadi secara berangsur-angsur, tidak dapat ditentukan secara tepat kapan permulaan dan akhirnya, tidak ada tanda tunggal yang menandai. Tugas Perkembangan Masa Remaja Hurlock (2004) menjelaskan, bahwa semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanakkanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas-

5 tugas perkembangan remaja, antara lain: mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya, mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, dan memperoleh perangkat nilai dan sistematis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. Karakteristik Remaja Menurut Yusuf (2001) terdapat enam karakteristik pada diri remaja, yaitu: perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan emosi, perkembangan sosial, perkembangan moral, perkembangan kepribadian, perkembangan kesadaran beragama. Remaja yang Orang Tuanya Bercerai Dagun (2004) berpendapat, tahun pertama perceraian merupakan masa krisis yang paling sulit. Orang tua tampaknya dari waktu ke waktu memperlihatkan sikap kasar pada anaknya. Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak terhadap anak dan keluarga. Perceraian tidak hanya membawa dampak bagi orang tua saja, tetapi juga anak, terutama remaja. Pada remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang sering disebut juga sebagai masa krisis, di mana mulai terjadinya proses pembentukan jati diri. Pada masa peralihan ini, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Masa remaja juga merupakan periode yang penting, yang mana terjadi perkembangan fisik begitu cepat dan penting disertai cepatnya perkembangan mental, khususnya di awal masa remaja Forgiveness Memaafkan adalah kesediaan menanggalkan kesalahan yang dilakukan seseorang yang telah menyakiti hati atau melakukan suatu perbuatan salah pada individu lain (dalam McCullough dkk, 2004). Seseorang tidak mungkin forgive (memaafkan) kecuali jika unforgive (tidak memaafkan) telah terjadi. Forgiveness baru dapat muncul setelah adanya unforgiveness, namun orang yang mengalami unforgiveness bukan berarti pasti akan mengalami forgiveness. Forgiveness merupakan suatu cara untuk mengatasi unforgivenes. Proses Forgiveness Perilaku memaafkan merupakan proses yang terjadi dalam diri seseorang, di mana individu yang telah disakiti mampu melepaskan dirinya dari rasa marah, benci, dan takut yang dirasakan serta tidak ingin balas dendam. Forgiveness lebih kepada pilihan aktif daripada sekadar pengurangan pasif pada rasa marah atau rasa dendam sepanjang waktu (dalam Sakti dkk, 2012). Enright dan Coyle (dalam Sakti dkk, 2012) mengembangkan suatu model tahapan memaafkan. Model ini meliputi aspek kognitif, afektif, dan perilaku yang

6 terjadi dalam proses memaafkan. Tahapan tersebut dibagi ke dalam empat fase, yaitu: uncovering phase, decision phase, work phase, dan outcome or deepening phase. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Forgiveness Kemauan individu untuk memaafkan tidak datang secara tiba-tiba, tapi didukung oleh berbagai faktor. Berikut ini dijelaskan secara lebih rinci beberapa faktor yang berpengaruh terhadap forgiveness yang dikemukakan McCullough dkk (dalam Wardhati dan Faturochman, 2009). Adapun faktor-faktor tersebut adalah empati, karakteristik serangan, tipe kepribadian, kualitas hubungan dengan pelaku, dan religiusitas. Kerangka Berpikir Metode Penelitian Pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pendekatan dan cara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Mulyana (dalam Kuswarno, 2006) menyebutkan, pendekatan fenomenologi termasuk pada pendekatan subjektif atau interpretif. Sebagai salah satu dari dua sudut pandang tentang perilaku manusia, yaitu pendekatan objektif dan subjektif. Subjek dari penelitian ini adalah anak dari orang tua yang telah bercerai, remaja (usia 10 hingga 22 tahun), anak remaja yang ikut salah satu orang tuanya (atau setidaknya pernah bersama salah satu orang tuanya sebelum hidup mandiri tinggal sendiri). Banyak subjek dalam penelitian ini berjumlah empat orang (tiga perempuan, satu laki-laki). Metode pengumpulan data menggunakan observasi, dan wawancara.

7 Pembahasan Penelitian ini mengangkat tema tentang proses dan faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan pada anak remaja dengan orang tua yang bercerai. Terdapat beberapa definisi tentang forgiveness, Enright et. al. (dalam Sari, 2012) melihat perilaku memaafkan sebagai suatu bentuk kesiapan melepaskan hak yang dimiliki seseorang untuk meremehkan, menyalahkan, dan membalas dendam terhadap pelaku yang telah bertindak tidak benar terhadapnya, dan di waktu yang bersamaan mengembangkan kasih sayang, kemurahan hati, bahkan cinta terhadapnya. Perilaku memaafkan adalah upaya membuang semua keinginan pembalasan dendam dan sakit hati, yang bersifat pribadi terhadap pihak yang bersalah atau orang yang menyakiti dan mempunyai keinginan untuk membina hubungan kembali. Proses forgiveness adalah tahapan yang berjalan perlahan dan memerlukan waktu (dalam Wardhati dan Faturohman, 2009). Terdapat empat tahapan dalam perilaku memaafkan yakni: uncovering, decision, work, outcome or deepening (Nashori, 2008). Worthington menjelaskan, bahwa proses pemaafan tidak pasti berjalan secara linier (bersifat fleksibel, artinya tak harus sesuai urutan), dan dapat berbeda dari satu dengan yang lainnya (Sakti dkk, 2012). Forgiveness dipengaruhi oleh penilaian korban terhadap pelaku, penilaian korban terhadap kejadian, keparahan kejadian, dan keinginan untuk menjauhi pelaku, disimpulkan ada lima faktor yang mempengaruhi forgiveness, yaitu: empati, karakteristik serangan, tipe kepribadian, kualitas hubungan dengan pelaku, dan religiusitas (Wardhati dan Faturrochman, 2009). Peneliti mengambil lokasi penelitian di daerah kota Samarinda, dan telah mendapatkan subjek sebanyak empat orang (tiga perempuan dan satu laki-laki). Dari keempat subjek tersebut, peneliti telah melakukan interview maupun pengamatan satu per satu terhadap masing-masing subjek. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, peneliti mendapati dampak yang terjadi pada setiap subjek, proses memaafkan, serta faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan yang cukup beragam. Dari seluruh partisipan yang membantu jalannya penelitian ini, Nam merupakan subjek yang mengalami rasa kekecewaan yang paling berat, dan masih berada pada fase yang sulit menerima kenyataan bahwa orang tuanya telah bercerai (tahap pengungkapan). Hal ini bisa dilihat dari lamanya perceraian kedua orang tuanya, perpisahan ayah-ibunya telah berlangsung selama lebih dari delapan tahun, dan Nam tetap belum dapat menerima fakta tersebut ia masih sering merasa sedih karena permasalahan ini. Hubungan dengan kedua orang tua pun tidak begitu baik, ia tak dekat dengan ayah ataupun ibunya. Ia mengaku lebih banyak jalan keluar dengan teman-temannya, atau hanya diam di kamar apabila berada di rumah, dan sangat jarang mengobrol dengan ibunya yang tinggal serumah dengannya. Jarak tempat tinggal yang jauh dengan ayahnya membuat Nam semakin sulit, ia mengaku sangat jarang menghubungi ayahnya meski lewat telepon sekalipun. Orang tuanya bercerai ketika dia berusia dua belas tahun, waktu itu Nam belum memahami apa yang

8 sebenarnya terjadi di keluarganya. Dia tak diminta untuk memilih untuk ikut dengan orang tuanya yang mana, tahu-tahu ibunya membawa Nam pergi dari rumahnya. Saat ia telah paham dengan persoalan di antara kedua orang tuanya, yang Nam rasakan adalah rasa sakit hati yang sulit diatasinya. Meminta penjelasan pun sulit, karena seringkali ia dianggap anak kecil yang belum mengerti urusan orang dewasa. Perceraian orang tua dimaknai anak-anak terutama remaja sebagai kejadian yang tidak menyenangkan dan menyakitkan, bahkan seringkali mereka merasa lebih sakit daripada orang tua atau orang lain ketahui. Oleh sebab itu, semua subjek memiliki perasaan kecewa dan sedih sebagai dampak umum yang terjadi akibat perceraian orang tua mereka. Tipe kepribadian merupakan faktor yang mempengaruhi proses perilaku memaafkan pada seluruh subjek. Keempat subjek memiliki tipe kepribadian yang terbuka dari pengakuan para partisipan, kepribadian mereka lebih mengarah pada tipe ekstrovert. Religiusitas juga menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan pada semua subjek. Masing-masing partisipan memiliki latarbelakang keagaaman yang cukup baik, atau setidaknya memiliki pengetahuan agama yang memadai. Berdasarkan penjabaran hasil penelitian dari tiap-tiap subjek, mendapati hasil yang cukup beragam, para subjek cendrung memiliki perbedaan satu sama lain pada dampak perceraian orang tua mereka, dan faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan. Sebab pada dasarnya, memaafkan bersifat subjektif, individu satu dengan yang lainnya tentu memiliki keberagaman dalam menghadapi persoalan yang menyangkut dengan perilaku memaafkan itu sendiri, maupun proses, serta faktor yang mempengaruhi. Forgiveness merupakan proses yang terjadi dalam diri seseorang, di mana individu yang telah disakiti mampu melepaskan dirinya dari rasa marah, benci, dan takut yang dirasakan serta tidak ingin balas dendam. Secara psikologis, perilaku memaafkan akan efektif dan berdampak positif bila ada penuntasan persoalan psikologis yang antara lain ditandai dengan ketulusan dan kesungguhan untuk memperbaiki relasi di masa mendatang pada pihak-pihak yang terlibat. Perwujudan akan hal itu harus tampak dalam ungkapan meminta dan memberi maaf. Karenanya, memaafkan secara psikologis tanpa diwujudkan secara interpersonal dapat menyakitkan. Sementara itu, ungkapan secara interpersonal tanpa dilandasi ketulusan mengarahkan pemaafan hanya sekadar ritual (Wardhati dan Faturrochman, 2009). Kesimpulan Perilaku memaafkan merupakan motivasi seseorang mengurangi keinginannya untuk menghindar dan mengasingkan diri dari orang yang telah menyakitinya. Proses memaafkan selalu berlangsung perlahan, berlanjut sepanjang hubungan personal antara individu yang disakiti dan yang menyakiti, serta didukung oleh faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan tersebut. Memaafkan bersifat subjektif, individu satu dengan yang lainnya tentu memiliki keberagaman dalam menghadapi

9 persoalan yang menyangkut dengan perilaku memaafkan itu sendiri, maupun proses, serta faktor yang mempengaruhi forgiveness. Saran Untuk para subjek, agar lebih berupaya meningkatkan kualitas proses perilaku memaafkan agar berkembang ke tahapan yang lebih optimal dalam memperbaiki hubungan dengan kedua orang tua seiring berjalannya waktu. Kepada para orang tua subjek, diharapkan untuk dapat mengerti kepentingan dan kebutuhan anak. Pasalnya seringkali perilaku negatif anak timbul dari perceraian ayah-ibunya, oleh karena itu masyarakat diharapkan untuk turut memperhatikan anak-anak yang memiliki permasalahan orang tua yang berpisah. Bagi peneliti selanjutnya yang menggunakan tema serupa, agar melakukan proses pengumpulan data dan analisis yang lebih mendalam (dilakukan secara berulang-ulang, hingga dapat mengerti secara menyeluruh pemahaman tentang fenomenologis subjek). Daftar Pustaka Arthasari. 2010. Perbedaan Antara Forgiveness dengan Trait Kepribadian Big Five Factors pada remaja korban perceraian di Bumi Serpong Damai Tangerang. Skripsi. UIN Syarif Hidayatilah Jakarta; Fakultas Psikologi. Dagun, M. S. 2003. Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta. Dariyo, Agoes. 2008. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo Denmark, Florance dkk; American Psychological Association s Teams. 2006. Forgiveness: A Sampling of Research Results. Washington, DC: Office of International Affairs. Dewi, Mestika. 2006. Gambaran Memaafkan Pada Remaja yang Orang Tuanya Bercerai. Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 1, Juni 2006. Universitas INDONUSA Esa Unggul; Fakultas Psikologi. Hadriami, E. 2008. Pemaafaan dalam Kaidah Kerukunan Hidup Orang Jawa. Psikodimensia Vol. 07 Januari-Juni. Universitas Katolik Soegijapranata; Fakultas Psikologi. Hurlock, E. B. 2000. Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga Karlina, Canggih. 2014. Resiliensi Remaja yang Memiliki Orang Tua Bercerai. Jurnal Online Psikologi, Vol. 02, No, 01. Universitas Muhammadiyah Malang: Fakultas Psikologi. Kuswarno, Engkus. 2006. Tradisi Fenomenologi pada Penelitian Komunikasi Kualitatif: Sebuah Pengalaman Akademis. MediaTor, Vol. 7, No. 1. Terakreditasi Dirjen Dikti, SK No. 56/ DIKTI/Kep/2005. McCullough, M.E, Fincham, F.D and Tsang, J. 2003. Forgiveness, Forbearance and Time: The Temporal Unfolding of Transgression-Related Interpersonal Motivations. Journal of Personality and Social Psychology, 84 (3), 540557.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Nashori, Fuad. 2009. Pemaafan: Penyembuhan Problem Psikologis Individu dan Bangsa. HTTP://WWW.PIKORDONG.ORANG/KEPRINADIAN/PRI 17 php Putri, Rosalia Ningrum. 2013. Perceraian Orang Tua dan Penyesuaian Diri Remaja. E-Journal Psikologi, Vol. 1, No. 1: 69-79. Universitas Mulawarman: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Sakti, dkk. 2012. Perilaku Memaafkan Istri pada Ketidaksetiaan Suami. Jurnal Psikologi, Volume 01, Nomor 01, Tahun 2012. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Santrock, John, W. 2007. Remaja (edisi 11) Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama. Sari, Kartika. 2012. Forgiveness pada Istri sebagai Upaya untuk Mengembalikan Keutuhan Rumah Tangga akibat Perselingkuhan Suami. Jurnal Psikologi Vol. 11, No.1, April 2012. Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Tri dan Faturohman. 2009. Psikologi Memaafan. Jurnal psikologi, 25, 1-11. Willis, S. S. 2009. Remaja dan Permasalahannya. Bandung: Alfabeta. Yusuf, S. (2001). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 10