BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II GAMBARAN SITUS GUA PAWON

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Artefak obsidian..., Anton Ferdianto, FIB UI, 2008

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. alam di sekitarnya. Pemanfaatan ini dilakukan sebagai upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Alat tulang merupakan salah satu jenis produk teknologi manusia. Alat

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

MASA BERCOCOK TANAM DAN DAN BERTERNAK a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam Kehidupan manusia senantiasa mengalami

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005.

Identifikasi Jejak Hunian di Situs Song Agung: Kajian Awal atas Hasil Ekskavasi Bulan Maret 2002

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

LAMPIRAN 1 SURAT IJIN PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB. I PENDAHULUAN. Judul penelitian Studi Karakteristik Mineralogi dan Geomagnetik Endapan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN

BAB III ZAMAN PRASEJARAH

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

Bab III Geologi Daerah Penelitian

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

FENOMENA GEOLOGI DAN SEDIMENTASI GUA DARI SITUS LIANG BUA FLORES

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

1 BAB I PENDAHULUAN. lainnya tidak selalu sama. Bentukan khas pada bentang alam ini disebabkan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BATUAN PEMBENTUK PERMUKAAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO

PENGELOLAAN BERKELANJUTAN KAWASAN KARST CITATAH RAJAMANDALA. Oleh: Yoga Candra Maulana, S.Pd *) ABSTRAK

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PEMBUATAN BETON KEDAP AIR DENGAN MEMANFAATKAN KLELET SEBAGAI PENGGANTI

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR : 1518 K/20/MPE/1999 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KARS MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI,

FAKTOR PEMBENTUK TANAH

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup sangat tergantung pada lingkungan untuk

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PENYELIDIKAN EKSPLORASI BAHAN GALIAN

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH KLABANG

PRASEJARAH INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 1

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 4 PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. SARI

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

KUMPULAN BENDA-BENDA KOLEKSI BERDASARKAN JAMAN/MASA DARI MUSEUM BULELENG

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN

BAB I PENDAHULUAN. geologi secara detail di lapangan dan pengolahan data di studio dan laboratorium.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB VI MESIN FRIS DAN PEMOTONG FRIS

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 3 MATARAM

Transkripsi:

BAB V PENUTUP Manusia prasejarah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini makanan, telah mengembangkan teknologi pembuatan alat batu. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mereka untuk dapat bertahan hidup. Ditemukannya artefak obsidian di Gua Pawon tentunya menunjukkan adanya aktivitas manusia prasejarah yang membawa, membuat, dan menggunakannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap artefak obsidian yang terdapat di Gua Pawon. Berdasarkan hasil klasifikasi diketahui bahwa terdapat beberapa jenis tipe dan subtipe artefak obsidian yang terbagi dalam beberapa kelompok artefak: perkakas, alat, dan limbah. Kelompok bahan baku tidak ditemukan di Gua Pawon. Hal ini disebabkan keseluruhan artefak obsidian yang ditemukan berukuran kecil. Selain itu, tidak ditemukan adanya sumber batuan obsidian di sekitar Gua Pawon. Kelompok perkakas ditemukan sebanyak 42 buah, yang terdiri atas 40 buah batuan andesit dan dua buah batugamping. Kelompok alat mempunyai beberapa tipe dan subtipe yaitu: tipe serpih pakai berjumlah 55 buah, serut samping (196 buah), serut cekung (62 buah), serut gerigi (8 buah), serut ujung (40 buah), serut berpunggung tinggi (28 buah), lancipan (10 buah), gurdi (21 buah), mata panah (4 buah), pisau (blade) (10 buah), dan multi tools (3 buah). Kelompok limbah terbagi 87

88 dalam tiga tipe yaitu: batu inti (37 buah), serpih (non pakai) (921 buah), dan tatal (242 buah). Sebaran artefak obsidian berdasarkan ruang gua dapat dikatakan terkonsentrasi pada bagian selatan Ruang III (lihat gambar 6). Hal ini dikarenakan jumlah artefak obsidian ditemukan paling banyak pada bagian ruang tersebut jika dibandingkan dengan bagian utara Ruang III dan ruang lainnya. Artefak obsidian pada bagian selatan Ruang III berjumlah 1675 buah, yang terdapat pada kotak-kotak S3T3 (621 buah), S3T4 (453 buah), S4T4 (170 buah), S4T5 (431 buah). Sedangkan pada bagian utara Ruang III hanya berjumlah 4 buah yang terdapat pada kotakkotak U3T1 (satu buah) dan U3T2 (3 buah). Melihat jenis artefak, jumlah dan sebaran artefak obsidian yang ditemukan di Gua Pawon, diperkirakan aktifitas yang dilakukan di Gua tersebut adalah aktifitas pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti pembuatan alat-alat batu (serpih), alat-alat kayu dan alat-alat tulang. Selain itu dapat diperkirakan pula bahwa pusat aktivitas yang dilakukan di Gua Pawon dilakukan pada ruang III ini, mengingat temuan artefak cukup beragam dengan jumlah yang paling banyak jika dibandingkan dengan ruang lainnya, khususnya pada bagian selatan gua. Pada Gua Pawon terdapat 4 lapisan tanah yang berbeda (bab II), yang dibagi menjadi 3 unit berdasarkan hasil temuannya (bab IV). Pada Unit 1 temuan artefak obsidian berjumlah 163 buah, Unit 2 berjumlah 1025 buah, dan Unit 3 berjumlah 449 buah. Dari hasil pengelompokan jumlah temuan artefak obsidian secara vertikal (unit) dapat dilihat bahwa penghunian Gua Pawon secara intensif terjadi pada Unit 2. Berdasarkan temuan artefaktual yang ditemukan pada unit 2, maka dapat diketahui bahwa, tidak hanya artefak batu (obsidian) melainkan ditemukan pula fragmen tembikar polos yang dapat diasosiasikan dengan artefak tersebut. Hal ini menunjukan bahwa tahap kehidupan manusia penghuni Gua Pawon telah mencapai tahap berburu meramu tingkat lanjut (Soejono et al. 1984). Namun penelitian lebih lanjut mengenai pola kehidupan di Gua Pawon perlu dilakukan terlebih jika kita melihat tidak adanya tanda-tanda pembuatan alat-alat gerabah di Gua Pawon ini dalam hal ini bahan pembuat gerabah (tanah liat). Sehingga bisa

89 diketahui apakah mereka (Manusia penghuni Gua Pawon) membuat atau sudah adanya sistem tukar menukar barang (barter) dengan manusia prasejarah di sekitar Gua Pawon. Namun jika kita melihat dengan tidak adanya temuan gerabah pada unit III di Gua Pawon, meski pada unit tersebut tetap ditemukan artefak Obsidian walaupun jumlahnya amat sedikit dapat diketahui bahwa Gua Pawon dihuni cukup lama, sehingga dapat terlihat adanya kesinambungan budaya yang terjadi di Gua Pawon tersebut, dari hanya berburu meramu (nomaden) hingga mereka mulai menetap (bercocok tanam). Pengamatan bentuk menghasilkan beberapa tipe yang tidak memiliki kecenderungan bentuk tertentu pada satu jenis artefak. Tipe itu adalah tipe serpih pakai, serut samping, serut cekung, serut ujung, serut gerigi, serut berpunggung tinggi, pisau (blade), multi tools, batu inti, serpih dan tatal. Tipe-tipe gurdi, mata panah dan lancipan secara umum memiliki kecenderungan berbentuk segitiga, hal ini dapat kita hubungkan dengan tujuan penggunaan dari artefak tersebut, yang tentunya harus memiliki ujung yang meruncing (point) dalam penggunaannya. Pengamatan ukuran, artefak obsidian menghasilkan tiga kelas ukuran, yaitu, 0,4<X<1 cm yang merupakan kelas ukuran kecil dengan jumlah 88 buah, 1<X<2 cm ( sedang) berjumlah 1067 buah dan 2<X<5 cm (besar) berjumlah 482 buah. Dari pengamatan tersebut diketahui bahwa ukuran sedang mendominasi hampir seluruh artefak. Namun demikian, pada beberapa artefak terdapat kecendrungan ukuran yang sedang dan besar, seperti tipe serpih pakai, serut samping, serut ujung, serut gerigi, serut berpunggung tinggi, pisau (blade), multi tools. Kecenderungan bentuk terhadap ukuran dalam hal ini ukuran sedang dan besar dapat dikaitkan dengan fungsi alat itu sendiri. Mengingat bahwa alat yang digunakan tentunya harus dapat dipegang dengan nyaman dalam penggunaanya, maka artefak Obsidian yang digunakan sebagai alat seharusnya berukuran cukup besar sehingga dapat digunakan secara efektif. Berdasarkan pengamatan kulit batu dapat diketahui bahwa teknik pembuatan alat yang digunakan di Gua Pawon telah sampai pada tahap penyempurnaan. Hal ini

90 dapat dilihat dari hasil bentuk-artefak yang ditemukan. Sejumlah artefak telah melalui beberapa tahapan pembuatan alat batu, seperti tahap persiapan, pengolahan dan penyempurnaan yang merupakan tahap akhir dari proses pembuatan alat batu. Indikasi tersebut dilihat dari jumlah artefak yang tidak memiliki korteks lebih banyak jika dibandingkan dengan ynag memiliki korteks. Selain itu beberapa artefak obsidian tampak dipersiapkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pelepasan terhadap batu inti. Hal ini terlihat dari batu inti yang tampak terlihat dipersiapkan untuk memperoleh dataran pukul yang diperuntukan membuat alat. Selain itu sebagian besar batu inti tidak memiliki korteks yang tentunya diharapkan memperoleh artefak obsidian dengan kualitas baik, dengan dilakukan pemangkasan awal untuk melepaskan korteks dari batu inti. Artefak yang berasal dari obsidian dapat langsung digunakan setelah dilakukan pelepasan dari batu inti, mengingat pecahan yang dihasilkan memiliki tajaman yang baik. Hal ini dapat menunjukkan bahwa dalam pembuatannya artefak obsidian bentuk yang ingin dihasilkan tidak ditentukan terlebih dahulu. Bentuk yang dihasilkan langsung digunakan,. Akan tetapi, pada beberapa artefak obsidian ditemukan proses peretusan yang cukup intensif, seperti pada serut gerigi, mata panah, gurdi, dan lancipan. Pada tipe artefak tersebut dapat terlihat bahwa selain adanya persiapan pemangkasan untuk menghasilkan bentuk yang diinginkan dari batu inti, dilakukan pula peretusan untuk menyempurnakan bentuk dari alat yang diinginkan tersebut sehingga dapat ditafsirkan bahwa tingkat perkembangan pembuatan alat batu dari obsidian di Gua Pawon telah pada tingkat yang tinggi. Secara keseluruhan fungsi dari alat batu dapat dibagi menjadi dua. Pertama, berfungsi untuk membuat alat atau memproduksi alat lainnya, seperti untuk pembuatan alat-alat kayu (tombak), dan tulang (lancipan), serta melubangi kulit (jubah dari kulit). Kelompok kedua adalah alat-alat yang digunakan secara langsung, seperti untuk melepaskan daging dari tulang atau untuk menguliti hewan buruan. Miksic (1981) dan Faizaliskandiar (1989) menyebutkan bahwa alat batu di Asia Tenggara khususnya di Indonesia digunakan untuk memproduksi alat-alat lainnya, dalam hal ini alat berbahan dasar kayu. Fenomena ini dapat

91 ditemukan di Gua Pawon, mengingat banyaknya artefak obsidian dengan tipe serut, mengingat bahwa serut biasanya digunakan untuk menghaluskan (menyerut) benda lain, dalam hal ini kayu yang dapat ditemukan di sekitar Gua Pawon, sebagai tombak, ataupun tulang yang kemudian dijadikan alat. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini masih bersifat sementara. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian yang lebih intensif untuk melengkapi pengetahuan mengenai artefak obsidian di Gua Pawon, apakah dalam penggunaannya ataupun dalam perolehan bahan baku, mengingat tidak ditemukannya baha baku obsidian di sekitar Gua Pawon. Sehingga hasil penelitian dapat memberikan sumbangan data yang lengkap bagi pemahaman sejarah kebudayaan manusia prasejarah di Indonesia dan Jawa Barat pada khususnya, terutama yang berhubungan dengan artefak obsidian.

92 CATATAN ¹ Alat adalah hasil dari proses pengerjaan bahan baku secara bertahap, dibentuk dengan konsepsi yang ada di dalam pikiran pembuatnya, kemudian digunakan dengan fungsi tertentu (Simanjuntak, 1983:19). ² Hematite adalah salah satu jenis mineral yang memiliki sifat pecahan kasar dengan permukaan tidak teratur berwarna coklat atau hitam abu-abu dan memiliki kilap logam. Hematite ini termasuk kedalam salah satu mineral yang dijumpai pada batuan sedimen (Graha, 1987:43). ³ Artefak adalah benda alam yang telah diubah bentuknya oleh manusia, baik sebagian atau seluruhnya (Mundardjito, 1999:4). 4 Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) adalah kelompok pemerhati yang terdiri dari para ahli geologi, planologi, arsitek, dan geografi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), yang banyak memusatkan perhatian terhadap geologi kuarter Dataran Tinggi Bandung dan Danau Bandung Purba. 5 Atribut adalah ciri-ciri tertentu yang dapat digunakan untuk membedakan artefak yang satu dengan yang lain (Fagan, 1981:271). 6 Topografi karst secara setempat dicirikan oleh kenampakan bukit-bukit berbentuk kerucut, lembah antar bukit, serta ditemuinya lubang-lubang hasil pelarutan seperti gua kapur. (Zuidam, 1983). 7 Geologi adalah ilmu yang menguraikan sejarah dari bumi dn kehidupan, komposisi dari kulit bumi, kondisi strukturnya, dan tenaga-tenaga yang mengatur evolusi yang mengambil peranan pada bumi (Kartili dan Marks, 1963). 8 Stalagtit adalah bentukan yang banyak dijumpai dalam gua-gua batugamping, berbentuk kerucut dengan bagian meruncing menghadap kebawah dan bergantung pada langit-langit gua, sebagai hasil pengendapan air yang mengandung lapukan batugamping (Purba, 1975:73; Darmawijaya, 1992:68; Poerbo Hadiwidjoyo, 1994:136) 9 Stalagmit adalah bentukan bongkahan batugamping berbentuk kerucut, tegak di dasar gua dengan bagian yang meruncing menghadap atas. Biasanya terbentuk sebagai lanjutan dari proses pengendapan aiar yang mengandung larutan batugamping yang berasal dari langit-langit gua (Purba, 1975:73; Darmawijaya, 1992:68; Poerbo Hadiwidjoyo, 1994:136) 10 Sinter atau pilar terbentuk karena lamanya masa pengendapan larutan batugamping sehingga stalagtit dan stalagmite kemudian menyatu sehingga membentuk seperti pilar atau tiang (Fadhlan, 2001:35).

93 11 Metode Geomagnetik pertama kali di gunakan untuk studi arkeologi pada pertengahan 1950-an oleh Laboratorium Arkeologi, Sejarah dan Seni di Universitas Oxford, Inggris. Secara sederhana penggunaan metode Geomagnetik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui atau merekam sifat kemagnetan yang terdapat pada sedimen yang tertimbun di dalam gua (Rahardjo, 2004). 12 Geomorfologi adalah kajian yang mendeskripsikan bentuk lahan dan prosesproses yang mempengaruhi pembentukannya, serta menyelidiki hubungan timbale balik antara bentuk lahan dan proses-proses dalam tatanan ruang. Geomorfologi memiliki peranan untuk menjelaskan mengenai watak suatu bentuk lahan, baik mengenai genesis, konfigurasi, proses yang terjadi, dan kaitannya dengan lingkungan (Thornbury, 1969; Hadisumarno 1985).