BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL

URUSAN KELAUTAN DAN PERIKANAN YANG MERUPAKAN KEWENANGAN DAERAH PROVINSI Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RENCANA STRATEGI KEGIATAN INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT DI KABUPATEN SUKABUMI

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 49 TAHUN 2012

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

Model Pengembangan Ekonomi Kerakyatan

BUPATI BANGKA TENGAH

[Type the document subtitle]

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN ARAHAN UMUM MKP

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG

2 KERANGKA PEMIKIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI PURWOREJO PROVINSI JAWA TENGAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

docking kapal perikanan; (2) mengkaji kelayakan finansial di bidang usaha pelayanan jasa docking kapal perikanan sebagai bagian upaya dalam

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

REVITALISASI KEHUTANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG KEWENANGAN DAERAH PROVINSI DI LAUT DAN DAERAH PROVINSI YANG BERCIRI KEPULAUAN

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

MONITORING DAN EVALUASI ATAS GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

a. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten.

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 51 TAHUN 2007 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

RINGKASAN EKSEKUTIF. vii. LAKIP 2015 Dinas Kelautan dan Perikanan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BEST PRACTICE MARICULTURE OPTIMALISASI PENGELOLAAN DAN PEMANFAAATAN SUMBERDAYA LAUT DAN PESISIR SECARA TERPADU Dengan MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT GUNA

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana Kerja Tahunan

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWRINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

PEREKONOMIAN INDONESIA

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

Transkripsi:

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN Kegiatan perikanan tangkap sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya perikanan, baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan (sarana dan prasarana pendukung). Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam mewujudkan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal adalah diterapkannya pengelolaan yang rasional. Pengelolaan yang rasional menerapkan sistem pengelolaan yang mencakup semua sumberdaya, termasuk diantaranya lingkungan sumberdaya ikan yang dimanfaatkan, perencanaan, pengorganisasian dan kelembagaan, serta sumberdaya manusia, terutama pelaku dan pemanfaat, baik lokal maupun pendatang (Nikijuluw, 2003). Oleh karena itu, pengembangan dan penerapan sistem pengelolaaan sumberdaya perikanan harus didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang semua proses, interaksi dan interkorelasi, kompetisi dan kemungkinan timbulnya konflik, yang diikuti dengan identifikasi terhadap masalah dan kendala yang dihadapi beserta analisis jalan keluarnya. Selain itu, dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap tersebut juga diperlukan pelibatan pemerintah daerah dan komunitas nelayan setempat dengan menerapkan pola pengelolaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan. Aktivitas perikanan tangkap di Kelurahan Pulau Abang dapat dikategorikan kedalam kategori perikanan artisanal dengan ciri-ciri skala kecil dan tradisional dengan daerah penangkapan ikan (fishing ground) di perairan pantai dengan jangkauan kurang dari 4 mil laut. Usaha perikanan tangkap ini terpusat di Kelurahan Pulau Abang. Kegiatan penangkapan ikan yang berbasis di Kelurahan Pulau Abang masih bersifat tradisional. Hal ini dapat dilihat dari tingkat teknologi penangkapan yang digunakan berupa armada penangkapan ikan yang berukuran kurang dari 5 GT seperti sampan dan pompong dengan menggunakan alat tangkap pancing, jaring, kelong, bubu, rawai dan lain-lain. Kegiatan perikanan tangkap akan dihadapkan pada berbagai permasalahan yang semakin kompleks, seperti penurunan stok sumberdaya ikan khususnya di perairan sekitar pantai, persaingan atau perebutan daerah penangkapan, dan degradasi fungsi ekosistem pesisir. Oleh sebab itu keberlanjutan usaha penangkapan ikan di daerah pantai akan sangat bergantung pada pola manajemen pemanfaatan yang tepat yang didukung oleh kesiapan

220 sumberdaya manusia (SDM) nelayan yang handal, dan memiliki sarana dan prasarana pendukung yang representatif seperti TPI, PPI dan koperasi nelayan. Prasarana tersebut sebagai pendukung utama pembangunan sektor perikanan tangkap di daerah belum tersedia. Selain itu, guna menunjang pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan di Kelurahan Pulau Abang dituntut pula adanya informasi mengenai potensi sumberdaya ikan, dan tingkat pemanfaatannya, tingkat teknologi yang digunakan, pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan, sarana dan fasilitas pendukung serta permasalahan yang dihadapi, dan perlu untuk diungkapkan secara akurat. Bahwa di Kelurahan Pulau Abang terdapat dua buah koperasi salah satunya adalah Koperasi Angkatan Laut yang bermitra dengan usaha pengusaha/tauke perikanan di pulau abang mengenai peran dan fungsi koperasi itu digunakan untuk membeli dan menjual hasil perikanan, yang dikelola oleh usaha perorangan/tauke tersebut. Sedangkan Koperasi yang kedua adalah Koperasi Mitra Nelayan koperasi ini juga merupakan badan usaha yang dikelola oleh oleh Tauke. koperasi ini bergerak pada usaha pengadaan minyak solar bagi nelayan, namun usaha ini lebih banyak mengutamakan kepentingan Tauke tersebut dimana minyak yang disalurkan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan armandanya. Kalau dilihat dari perizinan dan lembaga yang digunakan dalam usaha tersebut terlihat bahwa ada kepentingan masyarakat dan atau anggotanya dalam koperasi mitra nelayan tersebut. Namun kalau dilihat dengan sebenarnya lagi tampak bahwa disitu hanya ada usaha Tauke/pengusaha yang memanfaatkan kelompok atau atas nama nelayan artisanal setempat. Komunitas nelayan di Kelurahan Pulau Abang menangkap ikan, udang dan biota laut lainnya dilakukan di daerah penangkapan yang belum ada pengaturan atau pranata sosial mengenai daerah perairan yang mana yang diperbolehkan dan daerah perairan laut yang dilarang dimasuki nelayan (close and open season). Dengan kata lain, di daerah ini masih berlaku status hak-hak milik bersama (communal property regime) dan sebagian besar bersifat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan pantai, dan di lapangan memang tidak ditemukan kelembagaan adat yang mengatur fishing ground yang buka dan tutup untuk kegiatan perikanan tangkap berdasarkan daerah penangkapan ikan dan udang pada lokasi tertentu, sebagaimana aturan hak-hak kepemilikan komunal (communal property rights) seperti yang berlaku dalam kelembagaan sosial

221 tradisional Sasi yang terdapat pada masyarakat pesisir di kawasan Indonesia Timur, Maluku. Jadi, di kawasan Barelang masih terdapat kekosongan (absent) sistem kelembagaan dan akan terjadi tragedi hak kepemilikan (Satria et al., 2005). Oleh karena itu sistem pengelolaan perikanan artisanal di kawasan ini perlu penataan kelembagaan (institution arrangement) baik secara hukum formal maupun aturan-aturan yang disepakati secara komunal. Peran dan fungsi kelembagaan dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal di kawasan ini ditemukan sebagai unsur kunci untuk menjadi pendorong bagi pengelolaan perikanan artisanal dibagi menjadi 8 elemen. Pada elemen pengguna (stakeholders) yang menjadi peubah penentu adalah Tauke dan pelancong wisata bahari yang selanjutnya akan mendorong pengolah ikan, pelayaran laut (kapal angkutan), pembudidaya laut, penambang pasir dan penebang hutan bakau. Sedangkan pada elemen kebutuhan dalam program pengelolaan perikanan artisanal yang menjadi peubah penentu adalah kebutuhan birokrasi (izin) dan pelaksanaan hukum dan peraturan perikanan yang selanjutnya akan mendorong stabilitas politik dan moneter, komitmen masyarakat nelayan, ketersediaan sarana prasarana, suasana kondusif dan aman serta anggaran pembiayaan (dana) pengelolaan. Pada elemen kendala dalam melaksanakan aktivitas pengelolaan perikanan artisanal yang menjadi peubah penentu yang merupakan prioritas penyelesaian adalah hambatan kelembagaan/birokrasi akan mendorong penyelesaian kendala lain yang dapat menghambat yaitu rendahnya kualitas SDM di Barelang, keterbatasan potensi sumberdaya ikan, keterbatasan dana dan keterbatasan sarana dan prasarana. Pada elemen perubahan yang menjadi peubah penentu adalah peningkatan pendapatan nelayan dan peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap yang akan mendorong penyelesaian perubahan lain yaitu peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), keterjaminan pasar produk perikanan, pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan, peningkatan investasi, pengembangan daerah atau ekonomi wilayah, peningkatan jumlah nelayan dan jumlah pendapatan nelayan, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan, pengembangan daerah perlindungan laut (marine protected area) serta penataan ruang laut. Pada elemen tujuan yang akan dicapai dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal dan yang menjadi peubah penentu adalah peningkatan PAD dan pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan yang kemudian akan

222 mendorong optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dan pelestarian sumberdaya ikan, peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap, peningkatan investasi, pengembangan daerah atau wilayah, pemanfaatan tata ruang laut, peningkatan jumlah nelayan dan pendapatan nelayan, keterjaminan pasar produk perikanan dan pelestarian sumberdaya ikan. Pada elemen keberhasilan dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal berkelanjutan yang menjadi peubah penentu adalah peningkatan pendapatan nelayan dan peningkatan pangsa pasar yang akan mendorong keberhasilan peningkatan PAD, peningkatan volume dan nilai produksi, pemanfaatan sumberdaya ikan, peningkatan investasi, kelestarian sumberdaya ikan, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran dan peningkatan harga ikan. Pada elemen pelaku yang menjadi peubah penentu adalah masyarakat adat (tokoh-tokoh komunitas nelayan setempat) bersama LSM (seperti: Laksana Samudera), yang akan mendorong Pemprop Kepulauan Riau, Pemerintah pusat (DKP/DIRJEN PT), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cabang Batam, Perguruan Tinggi (seperti: Universitas Internasional Batam), Camat Galang, Nelayan, Lurah Pulau Abang dan Pemkot Batam agar berperan dan berfungsi dalam mengembangkan sistem pengelolaan perikanan artisanal berkelanjutan. Selanjutnya peranan kelembagaan dalam pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang Kota Batam disajikan pada Tabel 43. Pada elemen aktivitas yang menjadi peubah penentu adalah perumusan Perda untuk mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal berkelanjtan, dan sosialisasi sistem pengelolaan tersebut yang kemudian akan mendorong aktivitas lainnya, sehingga menciptakan iklim kondusif dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal, kemudahan akses terhadap akses teknologi dan informasi, pelembagaan sistem pengelolaan, monitoring dan evaluasi sistem pengelolaan, koordinasi antar sektor yang terlibat pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal serta pembinaan, pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal di daerah Kelurahan Pulau Abang dan sekitarnya.

223 Tabel 43 Rincian peran lembaga dalam pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang Kota Batam No Lembaga Peran dan Fungsi Kelembagaan 1 Nelayan Artisanal Memberikan masukan pengelolaan perikanan artisanal Terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program. Berpartisipasi aktif mendorong pengelolaan perikanan berkelanjutan di Kelurahan Pulau Abang Mendorong terlaksananya kearifan lokal yang mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan di Kelurahan Pulau Abang 2 Masyarakat Adat Memberikan masukan pengelolaan perikanan artisanal Terlibat dalam pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Berpartisipasi aktif mendorong pengelolaan perikanan berkelanjutan di Kelurahan Pulau Abang Mendorong terlaksananya kearifan lokal yang mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan di Kelurahan Pulau Abang 3 Lurah Pulau Abang Menampung masukan dari masyarakat nelayan untuk dilanjutkan kepada Camat dan Pemkot Batam dan Pemprop Kepulauan Riau. Pelaksana program di tingkat lapangan. Pelaksanaan fasilitasi dan koordinasi di wilayah pesisir untuk mengoptimalkan pengelolaan perikanan artisanal Pelaksanaan dan pengawasan dalam program pengelolaan perikanan artisanal. 4 Camat Galang Menampung masukan dari masyarakat dan kepala desa untuk dilanjutkan Pemkot Batam dan Pemprop Kep. Riau. Pelaksana program di tingkat lapangan. Melakukan fasilitasi dan koordinasi di wilayah untuk mengoptimalkan pengelolaan perikanan artisanal Melakukan koordinasi terkait masalah pengawasan yang berkaitan dengan keselamatan berlayar bagi armada penangkapan ikan dari nelayan artisanal. 5 Pemprop Kep. Riau (DKP Propinsi) Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kep. Riau, mempunyai wewenang dan tanggung jawab pembinaan teknis perikanan Melakukan perencanaan pengelolaan perikanan artisanal sesuai dengan kebutuhan masyarakat pesisir. Melakukan pembinaan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan perikanan berkelanjutan. Melakukan koordinasi dan fasilitasi dalam rangka

224 6 PEMKOT Batam (DKP2 Kota Batam) 7 Pemerintah Pusat (Dirjen Perikanan Tangkap DKP RI) kelancaran pelaksanaan program Memberikan dukungan pendanaan kegiatan Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program. Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Batam, mempunyai wewenang dan tanggung jawab pembinaan teknis perikanan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah dibidang perikanan dan kelautan. Melakukan perencanaan pengelolaan perikanan artisanal sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan. Melakukan pembinaan pelaksanaan kegiatan pengelolaan perikanan artisanal yang berkelanjutan. Melakukan koordinasi dan fasilitasi aktifitas yang mendorong kegiatan pengelolaan perikanan berkelanjutan Memberikan dukungan pendanaan pengelolaan perikanan berkelanjutan Melakukan pemantauan dan evaluasii. DKP sebagai penanggung jawab umum pelaksanaan program pengelolaan perikanan dan kelautan Melakukan koordinasi dan fasilitasi dalam rangka kelancaran pelaksanaan program. Memberikan dukungan pendanaan kegiatan. Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program. Memberikan sosialisasi tentang kegiatan pengelolaan perikanan berkelanjutan 8 LSM Memberikan masukan hal-hal yang terkait dalam pengelolaan perikanan artisanal. Terlibat dalam pemantauan dan evaluasi sebagai mitra penggerak keswadayaan masyarakat. 9 HNSI Memberikan masukan hal-hal yang terkait dalam pengelolaan perikanan artisanal. Terlibat dalam pemantauan dan evaluasi program. Mengkoordinasi nelayan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang mendorong terlaksananya pengelolaan perikanan berkelanjutan di Kelurahan Pulau Abang. 10 Perguruan Tinggi (UIB Batam) Memberikan masukan dalam perencanaan pengelolaan perikanan artisanal. Terlibat dalam pemantauan dan evaluasi program. Otonomi daerah sebagai derivasi dari kebijakan desentralisasi telah membawa perubahan sikap dan cara pandang Pemko Batam dan masyarakat daerah yang semula lebih banyak menggantungkan diri pada Pemerintah Pusat

225 menjadi lebih mandiri. Sikap mandiri ini muncul, akibat keberhasilan membangun kualitas sumberdaya manusia, sehingga tuntutan dan aspirasi kebebasan meningkat. Paradigma baru otonomi daerah (otda) dengan asas desentralisasi yang memiliki kapasitas tinggi pada hampir semua bidang pemerintahan ternyata memberikan dampak positif, akan tetapi juga tetap harus diwaspadai kemungkinan-kemungkinan dan kejadian-kejadian yang berdampak negatif. Artinya otda memiliki beberapa kekuatan, juga mengandung kelemahan (Nugroho, 2000; Abe, 2002). Selanjutnya Osborne dan Gaebler (1999) menyatakan bahwa pembaharuan manajemen pemerintahan sejalan dengan tujuan terbentuknya pemerintahan yaitu untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang bebas dari rasa takut, komunitas yang sejahtera dan terhindarkan dari ancaman kerusakan lingkungan hidup, masyarakat yang mampu mengakses pada berbagai fasilitas yang tersedia, serta berbagai keinginan lain yang merupakan tuntutan hidup manusia dalam suatu komunitas. Pelaksanaan otonomi daerah sebagai implementasi kebijakan desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan akan memberikan implikasi dan menimbulkan konsekuensi yang berbeda-lebih baik atau lebih buruk- dibandingkan dengan praktik-praktik pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di masa lalu yang sentralistik. Dalam kaitannya dengan sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, terdapat implikasi dan konsekuensi diantaranya meliputi aspek-aspek: (1) Kelembagaan (2) Hukum (3) Sumberdaya manusia (4) Fiskal/keuangan (5) Praktik pengelolaan dan (6) Partisipasi masyarakat Oleh karena itu, reposisi peranan pemerintah Kota Batam perlu dilakukan dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang diorientasikan pada tiga hal pokok, yaitu pemerintah Kota Batam berfungsi sebagai : 1) regulator, 2) eksekutor, dan 3) fasilitator. Salah satu permasalahan yang kadang-kadang muncul dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal di daerah selama ini, adalah adanya konflikkonflik pemanfaatan, kewenangan dan kekuasaan. Upaya penanganan masalah

226 tersebut diharapkan dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yakni penanganan secara reaktif dan pro-aktif. Upaya reaktif, artinya Pemkot Batam dapat melakukan penanganan melalui resolusi konflik, mediasi atau musyawarah antar warga masyarakat nelayan artisanal dalam upaya menangani masalah adanya benturan berbagai kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan laut di kawasan ini. Sedangkan upaya proaktif adalah suatu tindakan penanganan konflik pengelolaan sumberdaya kelautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi atau mengurangi potensi-potensi konflik pada masa yang akan datang. Penanganan konflik sebagaimana dikemukakan diatas dapat dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan (institution re-arrangement) Pemda/Pemkot Batam, baik dalam bentuk konsep perencanaan, penyusunan peraturan baik di tingkat lokal Kelurahan maupun Daerah berupa Perda Kota Batam yang mendukung sistem pengelolaan perikanan artisanal berkelanjutan, pembinaan sumberdaya manusia, alokasi peranan pemangku kepentingan (stakeholders), sistem administrasi pembangunan daerah yang mengacu pada rencana pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan secara terpadu (integrated coastal resources management plan). Upaya itu harus dilakukan dengan menyusun rencana strategis (RENSTRA) pengelolaan sumberdaya artisanal terpadu di kawasan Barelang, Propinsi Kepulauan Riau, dengan cara menyusun zonasi (tata ruang) kawasan pesisir dan laut yang sudah tertuang dalam Perda Kota Batam Nomor: 4 tahun 2005 tentang Tata Ruang Kota Batam. Rencana detail tata ruang Kota Batam pada kawasan pesisir dan laut agar sudah difokuskan pada sektor-sektor tertentu dalam suatu zona berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kemudian menyusun rencana pengelolaan (management plan) untuk suatu kawasan pesisir dan laut tertentu berdasarkan potensi sumberdaya ikan tertentu, dimana jelas dan ditegaskan letak zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan (utility) pada suatu kawasan (Clark 1985). Selanjutnya membuat rencana aksi (action plan) yang memuat rencana investasi pada berbagai sektor perikanan dan kelautan, baik untuk kepentingan Pemko Batam, swasta maupun masyarakat nelayan artisanal yang bermukim di Kelurahan Pulau Abang, kecamatan Galang Kota Batam. Keseluruhan tahapan ini merupakan rencana Renstra yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah propinsi Kepulauan Riau bersama-sama Pemko

227 Batam dalam rangka mengelola sumberdaya kelautan secara terpadu. Namun hendaknya proses perencanaan yang dilakukan adalah perencanaan partisipatif, artinya segenap komponen daerah hendaknya dilibatkan dalam setiap proses dan tahapan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan (Dahuri, 2003; DKP RI, 2002). Dalam menyusun rencana aksi (action plan) yang memuat rencana pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan, baik untuk kepentingan Pemko Batam, swasta maupun masyarakat nelayan artisanal yang bermukim di Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang Kota Batam. Dalam menyusun konsep action plan yang ideal, agar mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dengan faktor-faktor: potensi SDI, kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat, serta kondisi tekno-ekonomi juga lebih mengedepankan kepentingan dan aspirasi komunitas nelayan artisanal melalui setempat melalui pengembangan model pengelolaan perikanan artisanal berkelanjutan. Model pengelolaan perikanan artisanal tersebut idealnya didukung dengan kebijakan tata ruang laut Kota Batam sesuai Perda No 4 tahun 2005, yang dalam mengimplementasikannya mengakomodasi berbagai aspirasi dan kepentingan komunitas nelayan artisanal sehingga keberlanjutan pengelolaan perikanan artisanal dapat segera terwujud. Karakteristik dan tipologi hak-hak kepemilikan alat tangkap tradisional yang dominan yang terdapat di kawasan Kelurahan Pulau Abang hampir semuanya masuk kategori communal property regime, dengan status pemegang hak kepemilikan sebagai claimant. Ini menggambarkan bahwa penataan kelembagaan sistem pengelolaan perikanan artisanal faktor penentu keberhasilannya.