IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN SOPPENG

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM BANJARMASIN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

PEMBAHASAN. I. Keadaan Umum Wilayah Penelitian. Secara Geografis Kabupaten Soppeng terletak antara 4 o 06 o LS dan 4 o 32 o

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I-1

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI W I L A Y A H

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PERENCANAAN 2.1. KONDISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM KECAMATAN TOSARI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis LS dan BT. Beriklim tropis dengan

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

BAB III TINJAUAN WILAYAH

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan

BAB I PENDAHULUAN. Kota Palembang adalah 102,47 Km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari

KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB III METODOLOGI. 2. Mengumpulkan data, yaitu data primer dan data sekunder

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS)

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Transkripsi:

56 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Kabupaten Soppeng Letak geografis Kabupaten Soppeng berada pada titik koordinat 4 0 06 00-4 0 32 00 LS dan 119 0 47 18-120 0 06 13 BT. Secara administasi wilayah Kabupaten Soppeng berbatasan: - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang dan Kabupaten Wajo. - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bone. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bone. - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Barru. Jarak Kabupaten Soppeng dari ibukota Propinsi Sulawesi Selatan yakni 172 km. Luas wilayah kabupaten ini adalah 1500 km 2 dengan ibukota Kabupaten adalah Watansoppeng, Wilayah Kabupaten Soppeng terbagi atas 8 (delapan) kecamatan dengan pembagian luas dan prosentasinya disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten Soppeng Kecamatan Luas (km 2 ) Prosentase Mario Riwawo 300 20 Lalabata 278 18.5 Liliriaja 96 6.4 Ganra 57 3.8 Citta 40 2.7 Lilirilau 187 12.5 Donri Donri 222 14.8 Marioriawa 320 21.3 Sumber : BPS Kab. Soppeng, 2009 Wilayah Kabupaten Soppeng terletak didepresiasi Sungai Walanae yang terdiri dari daratan dan perbukitan. Daratan luasnya ± 700 Km 2 berada pada ketinggian rata-rata ± 60 meter di atas permukaan laut. Perbukitan yang luasnya ± 800 Km 2 berada pada ketinggian rata-rata ± 200 meter di atas permukaan laut.

57 Sedang Ibukota Watansoppeng berada pada ketinggian ± 120 meter di atas permukaan laut. Temperatur udara di Kabupaten Soppeng antara 24 0 C hingga 30 0 C. Keadaan angin berada pada kecepatan lemah sampai sedang. Curah hujan Kabupaten Soppeng pada tahun 2008 berada pada intensitas 148 mm dan 14 hari hujan/bulan. Rata-rata curah hujan menurut bulan di Kabupaten Soppeng tertinggi terjadi pada bulan April yaitu 209 mm dan yang terendah yakni bulan September yakni 63 mm. Potensi sumber daya air disamping untuk kehidupan sehari-hari juga berfungsi untuk menunjang berbagai aktivitas dalam rangka meningkatkan kesejahteraan manusia seperti pertanian, perikanan, perindustrian, pembangkit tenaga listrik dan sebagainya. Sebagian besar wilayah Kabupaten Soppeng merupakan daerah air tanah dangkal dan dalam, terutama di Kecamatan Lalabata. Sumber air permukaan di Kabupaten Soppeng berasal dari lima sungai utama yang karakteristiknya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Nama sungai utama di Kabupaten Soppeng Nama Sungai Hulu Daerah Aliran Muara Langkemme G. Lapancu Dusun Umpungeng, Langkemme, S.Walanae Cenranae, Soga, Lingkungan Sewo Bila Soppeng G.Matanre Lapajung, Ujung, Mallanroe, S.Walanae Akkampeng, Belo, Lompulle Lawo G. Lapancung Lingkungan Lawo, Ompo, D.Tempe Cenrana, Paowe, Ganra Paddangeng G.Walemping Dusun Tajuncu, Paddangeng, Turung Lappae, Leworeng, Tokare D. Tempe Lajaroko G.Addepungeng Dusun Lajaroko, Batu-batu, Limpomajang, Toddang, Saloe D. Tempe Sumber: BPS Kab. Soppeng, 2009 Kabupaten Soppeng yang luasnya 150 000 ha digunakan untuk lahan persawahan seluas 25 275 ha atau sekitar 16.85%. Selebihnya digunakan untuk lahan perkebunan, pekarangan, ladang, dan ada 2% yang merupakan danau sebagai sumber penghasil ikan di Kabupaten Soppeng. Lebih dari separuh areal persawahan di Kabupaten Soppeng sudah berpengairan teknis/setengah teknis atau sekitar 58.93%. Dengan luasan persawahan tersebut, maka Kabupaten

58 Soppeng termasuk salah satu daerah penghasil beras yang utama di Propinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 2008 jumlah produksi padi di Kabupaten Soppeng sebanyak 257 450 ton dengan produktivitas 7 317 ton/ha. Hasil produksi padi di Kabupaten Soppeng sejak tahun 2004 hingga tahun 2007 disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Produksi padi tahun 2004 2008 di Kabupaten Soppeng Tahun Produksi Padi (ton) Perubahan (%) 2004 215 973 2005 182 513-15.5 2006 213 703 17.1 2007 224 961 5.3 Sumber : BPS Kab. Soppeng, 2009 Tabel 11 menggambarkan bahwa pada tahun 2005 terjadi penurunan produksi padi sebesar 15.5%. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan produksi sebesar 17.1% dan pada tahun 2007 meningkat sebesar 5.3%. Namun demikian di beberapa wilayah, persawahan tersebut mengalami ancaman banjir dan kekeringan sehingga terjadi gagal panen. Data pada tahun 2010 diperoleh gambaran bahwa terdapat 1 106 ha sawah yang gagal panen dan keseluruhannya terdapat di Kecamatan Ganra. Hasil perkebunan di Kabupaten Soppeng merupakan produk yang ikut menunjang tingkat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Soppeng sesudah produk tanaman pangan. Salah satu produk perkebunan yang berhasil dikembangkan di Kabupaten Soppeng dan dapat meningkatkan taraf hidup petani adalah kakao. Peningkatan produksi kakao di Kabupaten Soppeng dapat dilihat bahwa pada tahun 2007 sebesar 6 877 ton dan pada tahun 2008 sebesar 8 136 ton. Jumlah penduduk di Kabupaten Soppeng dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. dengan jumlah yang kurang signifikan. Pada tahun 2006 pertumbuhan penduduk hanya sebesar 0.57%, sedang pada tahun 2007 jumlah penduduk meningkat sebesar 0.40%. Peningkatan jumlah penduduk tersebut disajikan pada Tabel 12

59 Tabel 12. Jumlah penduduk di Kabupaten Soppeng tahun 2005-2008 Tahun Jumlah Penduduk Pertumbuhan (%) 2005 225 984 2006 227 273 0.57 2007 228 181 0.40 2008 229 502 0.58 Sumber: BPS Kab. Soppeng, 2009 Tingkat kepadatan penduduk terbesar pada kecamatan Liliriaja yaitu sebesar 281 jiwa/km 2, sedang kecamatan Marioriawa memiliki kepadatan penduduk terkecil yakni 89 jiwa/km 2. Secara keseluruhan tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Soppeng sebesar 153 jiwa/km 2 pada tahun 2008. Jumlah rumah tangga di Kabupaten Soppeng sebesar 55 348 rumah tangga dan sekitar 19% yang merupakan rumah tangga miskin. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh minimnya tingkat pendidikan masyarakat dan keterbatasan untuk menciptakan lapangan kerja. Tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten Soppeng relatif rendah yaitu pada umumnya tidak berpendidikan SD dan tamat SD. Gambaran tingkat pendidikan penduduk dengan usia di atas 10 tahun disajikan pada Tabel 13 Tabel 13. Persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut pendidikan yang ditamatkan Pendidikan yang ditamatkan Prosentase Tidak tamat SD 37.40 SD 31.43 SMP 15.59 SMA 11.34 Diploma I/II 0.52 Diploma III/Sarjana muda 0.66 S1-S2-S3 3.06 Sumber: BPS Kab. Soppeng, 2009 Dengan tingkat pendidikan yang diuraikan pada Tabel 13 menunjukkan keterkaitan dengan pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat secara umum. Lapangan usaha yang digeluti oleh masyarakat sebagian besar adalah dibidang pertanian yaitu sebesar 68.40% penduduk angkatan kerja, sedang lapangan usaha

60 industri merupakan bidang yang paling sedikit digeluti yakni hanya sebesar 2.83%. Pertumbuhan perekonomian Kabupaten Soppeng pada tahun 2007 mengalami pertumbuhan sebesar 5.37%, angka pertumbuhan tersebut berada dibawah pertumbuhan tahun 2006 sebesar 6.63%. (BPS Kab. Soppeng tahun 2009). Salah satu indikator yang paling penting adalah produk domestik regional bruto (PDRB), yaitu jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk Kabupaten Soppeng dalam kurun waktu satu tahun. Kemajuan perekonomian suatu daerah dapat ditentukan dengan produksi yang diukur melalui PDRB. Besaran PDRB digunakan sebagai indikator utama untuk menilai kinerja perekonomian suatu wilayah teutama terkait dengan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Produk Domestik Regional Bruto dihitung menurut harga konstan, maka selama periode tahun 2006-2007 PDRB atas dasar harga konstan meningkat sebesar 5.37 persen dari Rp. 953.61 milyar menjadi Rp. 1 004.85 milyar. Gambar 15.Sektor perekonomian Kabupaten Soppeng (Sumber: BPS Kab. Soppeng, 2009) Berdasarkan Gambar 15, sektor perekonomian Kabupaten Soppeng didominasi oleh sektor pertanian (48.58%). Sedang sektor yang paling minim kontribusinya pada perekonomian adalah sektor pertambangan (0.57%). Tingginya kontribusi sektor pertanian pada perekonomian di wilayah ini terkait

61 dengan luas pemanfaatan lahan untuk sawah dan perkebunan yang masih tinggi serta dukungan ketersediaan sumber daya air dan prasarana irigasi. Kondisi lingkungan di Kabupaten Soppeng cukup memprihatinkan. Hal ini disebabkan dengan adanya lahan kritis seluas 14 494.36 ha. (KLH Kab. Soppeng, 2010). Lahan kritis ini disebabkan oleh meningkatnya tingkat kerusakan hutan yang ditandai dengan sistem hidrologi sungai yang fluktuatif, pada musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kekeringan. Kerusakan hutan di Kabupaten Soppeng pada umumnya disebabkan oleh kegiatan ladang berpindah, yaitu membuka lahan untuk ditanami tanaman ekonomi sehingga fungsi lahan berubah menjadi lahan perkebunan. Data pada Status Lingkungan Hidup Kabupaten Soppeng 2010 menunjukkan bahwa 53% dari total luas hutan yang ada di Kabupaten Soppeng rusak akibat kegiatan ladang berpindah. Kerusakan hutan tersebut merupakan penyebab utama terjadinya banjir yang sering terjadi di Kabupaten Soppeng. 4.2.Kondisi Fisik DAS Lawo Letak Administratif Secara administrasi DAS Lawo melintasi 2 kecamatan yaitu Kecamatan Lalabata dan Kecamatan Ganra. Pada Kecamatan Lalabata terdapat pada dua kelurahan yaitu Kelurahan Ompo dan Kelurahan Salokaraja. Sedang pada Kecamatan Ganra terdapat pada Desa Ganra. Kondisi Topografi Tinggi rendahnya suatu lokasi akan menentukan kelembaban udara pada daerah tersebut, karena ketinggian merupakan salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap suhu udara. Ketinggian di wilayah hulu DAS Lawo ± 1 000 meter dpl, bagian tengah DAS 180-500 meter dpl, dan bagian hilir DAS 32 meter dpl. Wilayah DAS Sungai Lawo mempunyai kemiringan berkisar dari lereng 0% hingga lereng > 45%. Untuk kemudahannya lereng dikelompokkan menjadi 5 kelas, yaitu: lereng 0% 7% berada pada daerah hilir, lereng 8% - 15% dan lereng 15% 25% berada pada bagian tengah, lereng 26% - 45% dan lereng > 45% berada pada bagian hulu. Gambaran klasifikasi dan luas lereng di wilayah DAS Lawo disajikan pada Tabel 14.

62 Tabel 14. Klasifikasi dan luas lereng pada DAS Lawo No. Klasifikasi Lereng Luas (Ha) Prosentase (%) 1 0% 7% 11 860.92 69.3 2 8% 15% 486.34 2.8 3 16% 25% 2 502.46 14.6 4 25% 45% 1 391.19 8.1 5 >45% 863.54 5.0 Jumlah 17 104.45 100.0 Sumber : Bappeda Kab. Soppeng, 2007 Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah DAS Lawo memiliki kemiringan lereng 0 7% atau relatif datar dan pada umumnya berada pada daerah hilir. Sedang wilayah dengan kelerengan 8-15%, dan lereng 15 25% berada pada daerah tengah. Pada daerah hulu, kemiringan lereng 25 45% serta diatas 45%. Geologi dan Jenis Tanah Formasi geologi yang tersebar diseluruh Wilayah Kabupaten Soppeng termasuk wilayah DAS Lawo, tersusun dari alluvium endapan danau, pantai dan sedimen serta batu gamping, yang berasal dari terobosan beku formasi terumbu berumur holosen, meosin dan pleosin. Wilayah DAS Lawo terdapat jenis tanah alluvial kelabu tua, gromosol, mediterian coklat, mediterian coklat regosol, dan litosol yang tersebar dari hulu - hilir. Untuk lebih jelasnya klasifikasi jenis tanah serta luasan dan prosentasenya disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Jenis tanah di wilayah DAS Lawo Jenis Tanah Luas (Ha) Prosentase (%) Alluvial 8 685.25 50.8 Gromosol 2 795.93 16.3 Mediterian 2 739.35 16.0 Mediterian Regosol 2 883.92 16.9 Jumlah 17 104.45 100.0 Sumber: Bappeda Kab. Soppeng, 2007 Hidrologi Pengetahuan tentang kondisi hidrologi pada suatu daerah aliran sungai sangat penting dalam upaya pengelolaan sungai. Kondisi hidrologi suatu wilayah dipengaruhi oleh kondisi iklim serta topografi dan geologinya. Data iklim pada Sungai Lawo disajikan berdasarkan hasil pengukuran dari tahun 1985 hingga

63 tahun 2008 di Stasiun Klimatologi Mallanroe yang terletak di sekitar Sungai Lawo pada koordinat 4 o 20 38 LS dan 119 o 55 16 BT diuraikan pada Tabel 16. Suhu rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar 25.69 o C sedang suhu terendah pada bulan Februari sebesar 21.41 o C. adapun suhu rata-rata pada wilayah ini sebesar 23.49 o C. Selanjutnya dengan melihat kondisi penyinaran matahari maka didapatkan rata rata penyinaran matahari selama 6.81 jam/hari dengan kelembaban realtif rata rata sebesar 85.90%. Tabel 16. Kondisi klimatologi Daerah Aliran Sungai Lawo Penyinaran Bulan Suhu ( o Kelembaban C) matahari relatif (%) (jam/hari) Kecepatan angin (m/detik) Januari 21.65 6.84 85.34 0.28 Februari 21.41 6.23 86.93 0.41 Maret 21.92 7.20 85.78 0.31 April 23.66 7.28 86.11 0.28 Mei 23.66 7.02 87.90 0.50 Juni 24.10 4.15 85.67 0.50 Juli 22.69 5.30 85.94 0.43 Agustus 23.58 8.26 88.07 0.49 September 24.02 8.83 86.10 0.54 Oktober 25.69 7.78 81.29 0.56 November 25.13 7.15 85.05 0.31 Desember 24.20 6.67 86.93 0.43 Rata-rata 23.49 6.81 85.90 0.42 Sumber: Dinas PSDA Prov. Sul-Sel. 2009 Kondisi iklim juga ditandai dengan curah hujan pada suatu wilayah. Data yang diperoleh dari Stasiun pengamat Lapajung yang terletak pada DAS Lawo untuk tahun 1985 hingga tahun 2008 menunjukkan rata-rata curah hujan bulanan sebesar 154 mm. Adapun rata-rata curah hujan bulanan dalam kurun waktu tersebut disajikan pada Gambar 16.

64 300 250 245 Curah Hujan (mm) 200 150 100 157 125 167 176 172 142 144 205 209 50 59 47 0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Gambar 16. Grafik fluktuasi rata-rata curah hujan bulanan Tahun 1985-2008 Berdasarkan data yang diuraikan tersebut maka wilayah penelitian termasuk dalam iklim basah. Dimana terdapat dua bulan kering yaitu bulan Agustus dan September dengan curah hujan bulanan kurang dari 60 mm. Sedang jumlah bulan basah (curah hujan lebih besar dari 100 mm) sebanyak 10 bulan. Dengan demikian diperoleh nisbah bulan kering:bulan basah sebesar 0.2. Kondisi hidrologi DAS Lawo berdasarkan data dari Dinas PSDA bahwa debit 4.725 m3/detik. Pada wilayah DAS Lawo terdapat beberapa wilayah yang rawan banjir dengan pembagian karakteristik riwayat banjir disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Luas genangan yang terjadi pada DAS Lawo Jenis Genangan Luas (Ha) Prosentase (%) Permanen 76.53 0.4 Periodik 845.46 5.0 Temporer 307.13 1.8 Non genangan 15 875.33 92.8 Jumlah 17 104.45 100.0 Sumber: Bappeda Kab. Soppeng. 2007 Pada Tabel 17 ditunjukkan bahwa terdapat sebanyak 7.186% luas wilayah pada DAS Lawo yang mengalami ancaman banjir. Genangan permanen sebagian besar terjadi pada daerah hilir yaitu di pinggiran Danau Tempe.

65 Struktur dan Tipologi Karakteristik hulu DAS Lawo secara umum merupakan kawasan hutan lindung yang memiliki kerapatan hutan baik. Penduduk yang bermukim di sekitar hulu DAS memberikan perlindungan pada kondisi hutan tersebut. Namun di beberapa bagian sungai terdapat kerusakan kondisi fisik sungai seperti perubahan alur sungai. Pada bagian tengah DAS yang merupakan daerah transisi antara bagian hulu dan hilir DAS di beberapa tempat telah mengalami perubahan dalam bentuk alur air dan bahkan terjadi pelebaran sungai sehingga nampak di beberapa bagian tengah sungai tidak ada air yang mengalir. Tata guna lahan pada bagian tengah DAS umumnya berbentuk sawah, kebun dan pemukiman. Kondisi ini menyebabkan terjadinya sedimentasi yang berlebihan. Pada bagian hilir DAS Lawo dari segi fisik sungai umumnya sudah mengalami degradasi terutama dalm bentuk sedimentasi. Kondisi ini dibiarkan berlanjut terus menerus maka akan berlanjut dengan proses pendangkalan di bagian tengah sungai dan akan mengganggu keberlangsungan ekosistem di bagian hilir DAS itu sendiri. Pemukiman merupakan salah satu komponen utama DAS. Terjadinya kerusakan terutama di wilayah bagian hulu DAS tidak terlepas dari berbagai aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di daerah sekitar DAS. Sebaran pemukiman tersebar diseluruh wilayah DAS Lawo mulai dari hulu hingga hilir. Di bagian hulu DAS terdapat 4 (empat) kampung antara lain; Kampung Teppoe, Ara, Galunglangie, dan Seppang yang masuk di wilayah Kecamatan Lalabata dan Donri-Donri. Bagian tengah DAS terdapat 6 (enam) kampung antara lain Kampung Lawo, Cenrana. Paowe (di wilayah kecamatan Lalabata) dan Talumae (wilayah Kecamatan Ganra). Sedangkan dibagian hilir DAS terdapat Kampung Bakke dan Desa Ganra di wilayah Kecamatan Ganra. Vegetasi Jenis vegetasi penutupan lahan dalam suatu wilayah DAS sangat berpengaruh terhadap tingkat resiko lingkungan yang akan terjadi seperti erosi. banjir dan sedimentasi. Vegetasi penutupan lahan merupakan salah satu komponen pembentuk DAS yang berperan penting terhadap keberlangsungan

66 ekosistem DAS itu sendiri. Kaitannya dengan fungsi yang dijalankan maka vegetasi mempunyai pengaruh yang sangat besar terutama dalam menahan pukulan butir-butir air hujan dan menyimpan untuk sementara air yang diterimanya yaitu pada lapisan serasah yang selanjutnya akan menyerap dan memperlambat tingkat aliran permukaan. Tipe vegetasi penutupan lahan di wilayah DAS Lawo antara lain pemukiman, hutan, persawahan, kebun campuran, tegalan/ladang, belukar dan sebagian adalah rawa. Kondisi hutan di wilayah hulu DAS Lawo masih dalam status hutan lindung. sehingga kondisinya perlu dipertahankan fungsi lindungnya agar tetap terjaga. Namun disisi lain kerapatan pohon sudah mulai berkurang. disebabkan karena terjadinya penebangan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan belum sadar akan pentingnya pelestarian hutan. Sedangkan jenis penutupan lahan lainnya tersebar diseluruh wilayah DAS lawo. Pemukiman sebagian terdapat di bagian hulu DAS, dan secara umum tersebar di bagian tengah dan hilir DAS. Kebun campuran dan tegalan/ladang tersebar dari hulu-hilir umumnya terdapat di wilayah tengah DAS. Sedangkan persawahan sebagian terdapat di bagian hulu dan tengah DAS dengan luasan tertentu. Rawa hanya terdapat di bagian hilir DAS. Jenis penutupan lahan pada DAS Lawo disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Jenis tutupan lahan pada DAS Lawo Penutupan Lahan Luas (Ha) % Permukiman 306.34 1.8 Hutan 4 584.56 26.8 Belukar 878.37 5.1 Kebun Campuran 1 405.21 8.2 Persawahan 5 775.97 33.8 Rawa 76.53 0.4 Ladang/tegalan 4 077.47 23.8 Jumlah 17 104.45 100.0 Sumber: Bappeda Kab. Soppeng. 2007 Tabel 18 menunjukkan bahwa jenis tutupan lahan yang mendominasi kawasan DAS Lawo adalah persawahan sebesar 33.769%. Sedang prosentase tutupan lahan yang berjenis hutan sebesar 26.803% menunjukkan kondisi ekosistim ini masih relatif baik.

67 Erosi dan Sedimentasi Aktivitas penduduk pada wilayah DAS secara tidak terkendali akan memberikan dampak terhadap perubahan kondisi fisik sungai terutama dalam bentuk erosi dan sedimentasi. Pada wilayah DAS Lawo. luas kawasan yang rawan erosi seluas 2 283.14 Ha (13.35%). Selanjutnya di sepanjang sungai juga terjadi erosi tebing sungai. Akibat dari erosi tersebit. maka di daerah hilir terjadi sedimentasi yang berlebihan dimana terjadinya penyempitan sungai hingga berukuran 6 meter. Akibatnya kapasitas tampung sungai semakin kecil dan sering terjadi banjir utamanya pada wilayah Kecamatan Ganra. Kondisi ini lebih diperparah oleh perilaku masyarakat yang kurang baik yaitu sering membuang sampah ke sungai. 4.3. Sungai Lawo Sungai Lawo merupakan salah satu sungai utama di Kabupaten Soppeng dengan hulu pada Gunung Lapancu dan bermuara di Danau Tempe. Sungai ini melintasi beberapa wilayah pemukiman yaitu Lingkungan Lawo. Ompo. Paowe. dan Ganra. Pemanfaatan sumber daya air pada Sungai Lawo yaitu untuk kebutuhan rumah tangga serta keperluan irigasi. Di wilayah kajian terdapat sebanyak 9 bendung yang dibangun untuk mengairi sawah di wilayah DAS Lawo. Bendung yang terbesar adalah bendung Tinco yang terletak di Kelurahan Ompo Kecamatan Lalabata. Bendung ini direncanakan mengairi sawah seluas 3 215 ha (Data Bappeda Kabupaten Soppeng. 2007). Pemanfaatan sumber daya alam yang lain adalah penambangan material sungai yaitu kerikil. Salah satu areal tambang pada Sungai Lawo terletak pada Desa Cenrana Kabupaten Soppeng. Debit pada sungai ini fluktuatif dimana antara tahun 1975 1998 debit ekstrim yang terjadi dengan muka air tertinggi adalah 3.00 meter dengan debit sebesar 508 m 3 /s yang terjadi pada tanggal 1 Maret 1997. sedang aliran terkecil setinggi 0.15 meter dengan debit sebesar 0.51 m 3 /s pada tanggal 16 Maret 2008. Pembacaan data aliran ini adalah pada koordinat 4 o 21 16 LS dan 119 o 49 39 BT yaitu pada Stasiun pembacaan di Kampung Talumpu Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng. Grafik aktual harian Sungai Lawo pada tahun 2001 disajikan pada Gambar 17 dan pada tahun 2008 disajikan pada Gambar 18.

68 Gambar 17. Grafik debit aktual harian Sungai Lawo tahun 2001 Gambar 18. Grafik debit aktual harian Sungai Lawo tahun 2008 Gambar 17 dan Gambar 18 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 debit maksimum yang terjadi pada Sungai Lawo lebih kecil dari 40 m 3 /s. sedang pada tahun 2008 debit maksimum yang terjadi sebesar 110 m 3 /s. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan aliran yang sangat besar antara tahun 2001 dan 2008. Adapun tingkat kekritisan DAS dapat dilihat berdasarkan rasio debit maksimum dan minimum. Berdasarkan data curah hujan tahun 2008 diperoleh debit minimum sebesar 1.404 m 3 /s sedang debit maksimum sebesar 110 m 3 /s. sehingga diperoleh rasio sebesar 78.57 atau mengindikasikan bahwa DAS Lawo masih

69 dalam kondisi sedang. Hal ini sesuai dengan uraian Nugroho (2010) bahwa jika Qmaks/Qmin antara 40-80, maka DAS tersebut dinilai dalam kondisi kualitas sedang. Wilayah kajian pada Sungai Lawo berawal pada daerah hulu sungai yaitu tepatnya pada Kampung Seppang Kecamatan Lalabata dan berakhir pada Desa Bakke Kecamatan Ganra. Panjang sungai yang menjadi wilayah penelitian adalah 16 400 m dengan luas daerah tangkapan adalah 76.54 km 2. Kondisi erosi tebing pada Sungai Lawo merupakan masalah dan menyebabkan kerugian akibat kehilangan lahan. Terjadinya erosi tebing dipengaruhi akibat kondisi tanah yang jenuh pada musim hujan dan menyebabkan meningkatnya massa tanah. Akibatnya beban pada tanah meningkat dan akan terjadi kelongsoran. Erosi tebing sungai juga dipengaruhi oleh kecepatan air. vegetasi di sepanjang tebing sungai. kegiatan bercocok tanam di pinggir sungai. kedalaman dan lebar sungai. bentuk alur sungai dan tekstur tanah (Asdak, 2007). Kondisi tebing Sungai Lawo yang dideskripsikan dengan kejadian erosi dan tidak erosi. Kejadian erosi tebing dapat diamati dua cara yaitu berdasarkan adanya akar pohon yang nampak pada tebing sungai (Walker et al., 1992) serta kondisi tidak adanya vegetasi pada tebing. Berdasarkan hasil pengamatan pada 83 titik pembacaan. diperoleh gambaran bahwa pada sisi kanan sungai erosi tebing yang terjadi lebih kecil dibandingkan pada sisi kanan sungai. Secara detail kejadian erosi tebing disepanjang sungai dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19. Kondisi tebing sungai pada Sungai Lawo Kejadian erosi tebing yang diamati sebagian besar terjadi pada daerah dengan tata guna lahan pada bantaran sungai adalah sawah dan kebun. Pada kedua

70 jenis tata guna lahan tidak dilakukan perlindungan tebing sungai secara struktural. Secara parsial deskripsi kejadian erosi tebing sungai disajikan pada Gambar 20. Erosi Tebing (%) 100.0 87.5 90.0 84.2 83.3 80.0 70.0 60.0 55.0 50.0 50.0 50.0 46.2 46.2 36.4 36.8 40.0 30.0 20.0 10.0 16.7 10.0 0.0 0.0 0.0 Seppang Lawo Cenrana Paowe Talumae Ganra Bakke Kiri 46.2 55.0 87.5 36.4 50.0 84.2 16.7 Kanan 46.2 10.0 0.0 0.0 50.0 36.8 83.3 Gambar 20. Kondisi erosi tebing pada setiap lokasi di Sungai Lawo Gambaran kejadian erosi tebing di Seppang, Talumae, Ganra, dan Bakke terjadi di sisi kiri dan kanan sungai. Kondisi morfologi sungai pada wilayah ini dengan banyak meander merupakan faktor utama penyebab erosi tebing. Kondisi morfologi sungai yang memiliki meander mengakibatkan aliran air yang terjadi mengarah ke daerah tertentu di sisi luar belokan. Pada kondisi ini, aliran air akan berusaha bergerak keluar sehingga kecepatan air di sisi luar belokan akan lebih besar dibanding di sisi dalam belokan. Akibatnya. pada sungai yang memiliki tebing dengan kondisi tanah yang tidak stabil akan cenderung terjadi kelongsoran pada tebing di bagian luar belokan sungai. Proses kelongsoran tebing ini terjadi akibat adanya proses gerusan yang terus menerus di dasar tebing sebagai reaksi perubahan dasar terhadap kondisi pola aliran di belokan (Sujatmoko, 2006) Kondisi Dasar Sungai Dasar sungai tersusun oleh material yang terangkut secara alamiah oleh aliran air dan mengendap pada daerah tertentu. Forman dan Gordon (1983) dalam Waryono (2008) menyebutkan bahwa dasar sungai sangat bervariasi, dan sering mencerminkan batuan dasar yang keras. Jarang ditemukan bagian yang rata. kadangkala bentuknya bergelombang, landai atau dari bentuk keduanya, sering terendapkan material yang terbawa oleh aliran sungai (endapan lumpur). Tebal tipisnya dasar sungai sangat dipengaruhi oleh batuan dasarnya.

71 Kondisi dasar sungai Lawo bervariasi dari hulu ke hilir. Pada wilayah pengukuran sepanjang 16 400 meter terdapat 243% panjang sungai yang dasarnya terbentuk oleh batuan dengan ukuran 5 mm 20 mm. Hal ini sesuai dengan Gambar 21. Gambar 21. Distribusi sedimen dasar pada Sungai Lawo Adapun perbedaan sedimen dasar dapat diuraikan bahwa semakin ke hilir, maka sedimen sungai semakin halus. Dasar sungai pada Daerah Seppang yang terletak di hulu sungai didominasi oleh batuan dengan diameter yang lebih besar 20 mm. Dasar sungai pada daerah Cenrana didominasi dengan batuan kerikil diameter 5 mm hingga 20 mm. Sedang daerah Talumae, dasar sungainya sebagian besar terbentuk oleh pasir dan Daerah Bakke terbentuk oleh sedimen lumpur. Hal ini tergambar pada Gambar 22. Gambar 22. Variasi kondisi dasar sungai pada setiap wilayah

72 Sedimen dasar sungai merupakan sumber bahan galian tambang utamanya pada daerah Lawo dan Cenrana. Kegiatan penambangan tersebut memberikan dampak negatif pada tanggul sungai, sehingga mempermudah terjadinya erosi tebing. Kegiatan lain yang mempertinggi sedimentasi pada daerah hilir adalah adanya pembuangan limbah abu sekam padi di sungai.