BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alrefi, 2014 Penerapan Solution-Focused Counseling Untuk Peningkatan Perilaku Asertif

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan. Menurut World Health Organization (2010) remaja. merupakan suatu tahap perkembangan dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya pergeseran pola penyebab tindak kriminalitas. World Health

I. PENDAHULUAN. berkembang melalui masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga. Hubungan sosial pada tingkat perkembangan remaja sangat tinggi

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, disadari atau tidak remaja akan kehilangan hak-hak pribadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB 1 PENDAHULUAN. menganggap dirinya sanggup, berarti, berhasil, dan berguna bagi dirinya sendiri,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. kurang memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh dirinya.

I. PENDAHULUAN. aktivitas hidupnya dan melanjutkan garis keturunannya. Dalam menjalin

EFEKTIVITAS TEKNIK PERMAINAN UNTUK MENINGKATKAN PENERIMAAN DIRI (SELF-ACCEPTANCE) SISWA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. didapatkan 10 siswa termasuk dalam kategori sangat rendah dan rendah yang

PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL MADE CHRISTINA NOVIANTI DR. AWALUDDIN TJALLA ABSTRAKSI

MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF MENGGUNAKAN PENDEKATAN BEHAVIORAL DENGAN LATIHAN ASERTIF PADA SISWA KELAS IX SMP NEGERI 2 SALATIGA

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial kita tidak akan mampu mengenal dan dikenal tanpa

KAITAN ANTARA POLA ASUH PERMISIF DENGAN PERILAKU ASERTIF

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

ASSALAMU ALAIKUM WR.WB.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Asertif. jujur, terbuka, penuh percaya diri, dan teguh pendiriannya (Davis, 1981).

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI PERMAINAN DALAM MENGEMBANGKAN SELF-CONTROL SISWA

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku

TINGKAT KEMAMPUAN ASERTIF PESERTA DIDIK DI SMA NEGERI 1 IX KOTO KABUPATEN DHARMASRAYA ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN. untuk berinteraksi dengan teman-teman, guru, dan yang lainnya. Sekolah juga merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan yang diarahkan pada peningkatan intelektual dan emosional anak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB II LANDASAN TEORI. merupakan hak setiap individu untuk menentukan sikap, pemikiran dan emosi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Khulaimata Zalfa, 2014

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mayang Wulan Sari,2014

TEKNIK ASSERTIVE TRAINING (AT) UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF SISWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Membolos merupakan salah satu perilaku siswa di sekolah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. sehingga hal ini masih menjadi permasalahan dalam kesehatan (Haustein &

I. PENDAHULUAN. dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. peralihan dari satu tahap anak-anak menuju ke tahap dewasa dan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

MENGEMBANGKAN PERILAKU ASERTIF UNTUK PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA. Kata kunci: narkoba; asertif; bimbingan kelompok

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri

yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri baik, dan juga sebaliknya, kurang baik. sebagai individu yang sedang berkembang mencapai taraf perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah remaja usia tahun di Indonesia menurut data SUPAS 2005 yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang,

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, remaja berasal dari kata Latin adolensence yang berarti tumbuh atau

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB IV UPAYA GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM MENANGANI STRES SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. terselenggara apabila dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian, pendekatan dan desain penelitian, definisi operasional variabel,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Giska Nabila Archita,2013

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana pernyataan yang diungkap oleh Spencer (1993) bahwa self. dalam hidup manusia membutuhkan kepercayaan diri, namun

PROGRAM SEKOLAH DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI SMAN 13 DAN SMAN 7 BANDA ACEH

PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF ANTARA ETNIS JAWA DENGAN ETNIS DAYAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial, individu di dalam menjalin hubungan dengan individu lain perlu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

Sigit Sanyata

BAB II LANDASAN TEORI. dalam mengekspresikan perasaan, sikap, keinginan, hak, pendapat secara langsung,

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa awal remaja adalah masa seorang anak memiliki keinginan untuk mengetahui berbagai macam hal serta ingin memiliki kebebasan dalam menentukan apa yang ingin dilakukannya (Hurlock, 1980). Dalam keseharian tidak semua remaja dapat berperilaku asertif. Perilaku asertif didefinisikan sebagai suatu pengungkapan ekspresi secara langsung dan jujur yang memungkinkan remaja untuk mempertahankan hak-hak pribadi tanpa melakukan tindakan agresif yang mengganggu hak-hak pribadi orang lain (Lange dan Jackubowski, 1985:132). Hal ini dikarenakan tidak semua baik remaja laki-laki maupun perempuan sadar bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif. Seorang remaja memiliki kecemasan atau ketakutan untuk berperilaku asertif, bahkan banyak individu selain anak remaja yang kurang terampil dalam mengekspresikan diri secara asertif (Eskin, 2003). Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang budaya, keluarga tempat anak remaja tinggal, urutan anak tersebut dalam keluarga, pola asuh orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi orang tua dan sistem kekuasaan orang tua (William, 2008). Berperilaku asertif memiliki banyak manfaat terutama dalam hubungan sosial siswa karena perilaku ini mengedepankan segi-segi kejujuran dengan tetap menghargai orang lain. Berperilaku asertif berarti individu selalu memikirkan orang lain dan reaksi mereka tidak mengorbankan hak pribadi (Alberti dan Emmons, 2008). Perilaku asertif berbeda dengan perilaku agresif, dalam perilaku asertif seorang remaja dituntut untuk tetap mengahargai orang lain dan tanpa melakukan kekerasan secara fisik maupun verbal, sedangkan perilaku agresif cenderung untuk menyakiti orang lain apabila kehendaknya tidak dituruti (Zulkaida, 2006). Perilaku tidak asertif jelaslah merugikan diri sendiri karena seseorang yang tidak asertif merasakan tidak nyaman dan mengorbankan hak-hak pribadinya.

2 Fensterheim dan Baer (1980: 14-15) berpendapat seseorang dikatakan mempunyai sikap asertif apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Bebas mengemukan pikiran dan pendapat, dapat berkomunikasi secara langsung, terbuka dan jujur, mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dengan cara yang tepat, memiliki sikap dan pandangan yang aktif terhadap kehidupan dan menerima keterbatasan yang ada di dalam dirinya dengan tetap berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya sebaik mungkin, sehingga baik berhasil maupun gagal ia akan tetap memiliki harga diri dan kepercayaan diri. Fenomena tidak asertif dapat terlihat dengan banyaknya kasus bolos sekolah pada siswa yang tidak asertif terhadap ajakan temannya seperti pada kasus berikut, Tribbun News (2013) menyatakan pada operasi gabungan antara pihak kepolisian, Satpol PP, dan Disdikpora, sebanyak 130 siswa dibawa ke Mapolres Cimahi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 siswa di antaranya diamankan saat berkeliaran di Kota Cimahi, adapun sisanya yakni 113 siswa diamankan dari wilayah Kabupaten Bandung Barat (KBB). Dari kasus tersebut penulis menemukan beberapa penyebab siswa yang bolos seperti tidak suka terhadap guru, bosan dengan mata pelajaran dan sikap tidak asertif siswa karena tidak berani menolak ajakan teman. Perilaku tidak asertif yang ditunjukkan oleh siswa di kota Cimahi tersebut jelas sangat merugikan diri sendiri karena siswa sudah tidak sekolah, tidak mendapatkan ilmu pengetahuan dari bangku sekolah dan yang lebih memalukan adalah siswa tersebut diamankan oleh pihak kepolisian. Selain bolos sekolah hasil penelitian Novalia dan Dayakisni (2013) menunjukkan terdapat 31,7% remaja (14-16) menjadi korban bullying akibat perilaku tidak asertif. Menjadi korban bullying sangat tidak diinginkan oleh siswa-siswi yang sedang sekolah tetapi hal itu dapat terjadi kalau siswa lebih memilih perilaku tidak asertif daripada perilaku asertif. Lightsey dan Barnes (2007) juga menjelasakan remaja yang tidak asertif berdampak negatif terhadap kehidupan sosial karena remaja tersebut disadari atau tidak merasa didiskriminasi.

3 Hal tersebut jika dibiarkan akan menghambat tugas perkembangan seorang remaja (Erikson, 1963). Perilaku asertif sangat penting dalam perkembangan remaja, karena apabila seorang remaja tidak dapat berperilaku asertif, disadari ataupun tidak, remaja akan kehilangan hak-hak pribadi sebagai individu dan cenderung tidak dapat menjadi individu yang bebas dan akan selalu berada dibawah kekuasaan orang lain (Erikson, 1963). Hal ini didukung oleh penelitian Daniel (2008) remaja tidak dapat berperilaku asertif karena belum menyadari bahwa remaja memiliki hak untuk berperilaku asertif. Dalam kehidupan sehari-hari remaja berperilaku tidak asertif, remaja tidak menyadari dampak perilaku yang dilakukan dengan membiarkan diri tidak berperilaku asertif justru akan merusak hubungan interpersonal dengan individu lain (Daniel, 2008), dengan tidak membiasakan berperilaku asertif membuat remaja dirugikan oleh orang lain, sehingga perilaku yang muncul dari remaja adalah perilaku yang tidak sesuai dengan keinginan hati nurani remaja tersebut (Omeje, 2013). Fenomena tidak asertif sangat merugikan remaja, hasil penelitian Novitriani (2013) menunjukkan fakta bahwa kebanyakan remaja mulai merokok karena dipengaruhi oleh temannya terutama sahabat yang lebih dahulu merokok. Remaja yang lingkungannya merokok akan lebih mudah ikut-ikutan merokok terutama bila remaja tersebut rentan terhadap tekanan teman sebaya. Demikian juga pada penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) dan seks bebas yang membuat remaja tersebut ikut ikutan teman sebaya yang sudah melakukan seks bebas dan memakai Napza. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa perilaku negatif tersebut berkaitan dengan ketidakmampuan remaja untuk bersikap asertif. Jika digambarkan dalam sebuah perilaku di sekolah siswa yang tidak mampu berperilaku asertif merasa dirugikan oleh temannya sehingga yang muncul adalah hubungan yang tidak harmonis pada siswa, siswa yang tidak mampu mengatakan tidak cenderung disepelekan oleh temannya. Banyak siswa yang tidak mampu berperilaku asertif karena merasa takut tidak diakui dalam

4 komunitas anak-anak lainya, disadari atau tidak dengan berperilaku tidak asertif justru merugikan diri sendiri, misalnya ketika anak di ajak membolos dan dia sebenarnya tidak mau membolos akan tetapi karena ketidakmampuannya untuk mengatakan tidak akhirnya dia pun membolos, dalam hal ini sebenarnya siswa tersebut dirugikan karena sudah tidak bejalar, dan pastinya siswa tersebut akan tertinggal dalam pelajaran dan jika dikaitkan dengan peraturan sekolah siswa akan mendapat suatu masalah karena telah melanggar peraturan sekolah yaitu membolos (Nurfaizal, 2012). Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan lima siswa SMP Kartika Siliwangi 2 Bandung selama Praktik Pengalaman Lapangan (2013), perilaku yang ditunjukkan siswa di sekolah seperti berpura-pura, memendam perasaan, menahan perbedaan pendapat atau bersikap agresif dan terdapat beberapa siswa ikut temannya bolos sekolah karena menghormati teman padahal sangat bertentangan dengan keinginan siswa tersebut. Hal ini disebabkan karena remaja memiliki rasa khawatir, takut mengecewakan orang lain, takut tidak diterima oleh lingkungan, dan takut menyakiti hati orang lain sehingga perilaku siswa di sekolah memilih berperilaku tidak asertif. Hasil wawancara dengan guru BK SMP Kartika Siliwangi 2 Bandung (2013), hasil observasi selama PPL dan hasil daftar kehadiran siswa masih ditemukan siswa yang melanggar peraturan sekolah seperti membolos di lingkungan sekolah yang disebabkan ketidakmampuan remaja untuk menolak ajakan teman dan juga munculnya fenomena tidak asertif dari siswa sepert siswa yang dirugikan oleh temannya karena ketidakberanian untuk mengungkapkan keinginan menolak ajakan teman sehingga yang terjadi adalah timbulnya masalah pada siswa tersebut dilingkungan sekolah, siswa yang ikut merokok temantemannya karena alasan menghormati teman padahal bertentangan dengan hati nurani anak tersebut, siswa merasa sulit untuk menolak ajakan dari temannya sehingga perilaku kurang asertif muncul pada siswa. Permasalahan ini muncul karena siswa tidak mau dijauhi temannya jika tidak mengikuti ajakan dari temannya dan siswa lebih memilih berperilaku tidak asertif terhadap ajakan teman-temannya. Permasalahan ini menyebabkan terganggunya proses belajar

5 siswa karena siswa merasa tidak mendapatkan kenyamanan di lingkungan sekolah. Permasalahan tidak asertif yang dialami oleh remaja mengancam siswa tidak memiliki ikatan identitas melainkan krisis identitas dan perkembangan remaja tidak tercapai secara optimal (Erikson, 1963). Dengan adanya permasalahan tersebut maka sangat dibutuhkan peran bimbingan dan konseling, bimbingan dan konseling yang bertujuan membantu remaja pada permasalahan di bidang sosial berkaitan erat dengan permasalahan tidak asertif pada remaja. Konselor perlu merancang layanan bimbingan pribadi-sosial yang bersifat responsif. Konselor dapat membantu siswa meningkatkan perilaku asertif melalui layanan konseling individu. Berdasarkan wawancara dengan tiga guru BK di sekolah (2013) guru BK menginginkan inovasi teknik konseling yang singkat karena selama ini konseling yang dilaksanakan adalah berfokus pada pengkajian permasalahan siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru BK, peneliti berpendapat bahwa Solution-Focused Counseling merupakan teknik yang tepat digunakan untuk meningkatkan perilaku asertif siswa karena teknik SFC lebih dominan berfokus pada solusi daripada berfokus pada pengkajian masalah (Corey, 2009:426; Gladding, 2012: 284). Solution-Focused Counseling (SFC) merupakan salah satu teknik konseling pendekatan postmodern. Tumbuh dari orientasi terapi strategis di lembaga penelitian jiwa, SFC menggeser fokus dari penyelesaian masalah untuk fokus pada solusi lengkap. SFC berbeda dengan terapi tradisional dengan mengulas masa lalu dalam mendukung baik saat ini maupun masa depan (Corey, 2009:426). Solution-Focused Counseling (SFC), pertama kali dikembangkan oleh Steve de Shazer dan Insoo Kim Berg di Milwaukee, Wisconsin (Corey, 2009:425). SFC merupakan pendekatan konseling yang menekankan pada kekuatan-kekuatan konseli dan berfokus pada solusi (O Connell, 2004). Kelly, dkk (2008) juga menjelaskan bahwa SFC adalah teknik yang tepat untuk setting sekolah. Hal ini juga didukung dalam penelitian Saadatzaade dan Khalili (2012)

6 yang berjudul Effects of Solution-Focused Counseling on Student s Self- Regulation and Academic Achievement menunjukkan bahwa Solution-Focused Counseling memiliki dampak positif terhadap prestasi belajar siswa. Hasil penelitian tersebut didukung oleh pernyataan Franklin (2001) menunjukkan pengaruh positif Solution-Focused Counseling terhadap masalah perilaku dan masalah belajar siswa. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa perilaku tidak asertif remaja dapat ditingkatkan melalui Solution-Focused Counseling karena perilaku asertif berhubungan dengan permasalahan sosial dan pribadi (Kelly, 2008:41). Solution- Focused Counseling memiliki tujuan menumbuhkembangkan kesadaran, memfokuskan pada solusi, kekuatan dan kemampuan serta meningkatkan kemampuan berpikir positif terhadap suatu masalah dan Solution-Focused Counseling efektif untuk mengatasi perilaku anak dan remaja dalam setting sekolah (Corey, 2009:437; Franklin, 2008:15). B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Atas dasar uraian latar belakang penelitian, diperoleh kejelasan permasalahan sebagai berikut, seorang remaja memiliki kecemasan atau ketakutan untuk berperilaku asertif, bahkan banyak individu selain anak remaja yang kurang terampil dalam mengekspresikan diri secara asertif (Eskin, 2003). Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang budaya, keluarga tempat anak remaja tinggal, urutan anak tersebut dalam keluarga, pola asuh orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi orang tua dan sistem kekuasaan orang tua (William, 2008). Permasalahan siswa SMP Kartika Siliwangi sering menyebabkan mereka sulit untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Sehingga kadang kala siswa mempunyai perilaku yang sulit untuk diatur, mudah sekali terpengaruh oleh teman sebaya dan lingkungan, sehingga siswa mudah ikut-ikutan dengan apa yang dilakukan oleh teman dan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1980), dan Erikson (Hall & Lindzey, 1993) bahwa masa remaja merupakan tahap pencarian indentitas dan sebagai ambang masa dewasa.

7 Dalam kehidupan sehari-hari siswa-siswi SMP Kartika Siliwangi menampakkan perilaku tidak asertif, remaja tidak menyadari dampak perilaku yang dilakukan dengan membiarkan diri tidak berperilaku asertif justru akan merusak hubungan interpersonal dengan individu lain, dengan tidak membiasakan berperilaku asertif membuat remaja dikuasai dan dirugikan oleh orang lain, sehingga perilaku yang muncul dari remaja adalah perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya. Siswa-siswi sangat tidak nyaman dengan perilaku yang tidak asertif yang ditunjukkan sehingga perilaku tidak asertif yang dialami oleh siswa tidak tercapai secara optimal. Dengan adanya permasalahan tersebut maka sangat dibutuhkan peran bimbingan dan konseling, bimbingan dan konseling yang bertujuan membantu remaja pada permasalahan di bidang sosial berkaitan erat dengan permasalahan tidak asertif pada remaja. Dari permasalahan perilaku tidak asertif yang dialami oleh remaja tersebut, sangat jelas bahwa perilaku asertif sangat diperlukan oleh remaja agar dapat bertindak sesuai dengan keinginan remaja untuk mempertahankan hak-hak pribadi tanpa melakukan tindakan agresif yang mengganggu hak-hak pribadi orang lain. Untuk meningkatkan perilaku asertif siswa SMP Kartika Siliwangi II diperlukan adanya sebuah metode yang efektif dan sistematis untuk meningkatkan perilaku asertif diantaranya adalah teknik Solution-Focused Counseling. Solution- Focused Counseling memiliki tujuan menumbuhkembangkan kesadaran, memfokuskan pada solusi, kekuatan dan kemampuan serta meningkatkan kemampuan berpikir positif terhadap suatu masalah dan Solution-Focused Counseling efektif untuk mengatasi perilaku anak dan remaja (Corey, 2009:437; Franklin, 2008:15). Selain itu, Solution-Focused Counseling digunakan di sekolah untuk menambah skill bagi guru bimbingan dan konseling untuk melaksanakan layanan responsif khususnya konseling individual, karena selama ini guru bimbingan dan konseling memerlukan inovasi teknik-teknik konseling dalam menangani beragam permasalahan siswa yang ada di sekolah. Berdasarkan masalah yang telah diidentifikasi, dirumuskan masalah, Solution-Focused Counseling belum diketahui keefektivitannya terhadap peningkatan perilaku asertif remaja, sehingga diperlukan kajian yang lebih

8 mendalam terhadap penerapan Solution-Focused Counseling untuk meningkatkan perilaku asertif siswa. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan Solution-Focused Counseling yang efektif untuk meningkatkan perilau asertif siswa SMP Kartika Siliwangi II Bandung. D. Manfaat penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memiliki manfaat bagi siswa dan guru bimbingan dan konseling. 1. Siswa Manfaat penelitian Penerapan Solution-Focused Counseling untuk Peningkatan Perilaku Asertif Siswa SMP Kartika Siliwangi II bagi siswa adalah siswa mendapatkan layanan responsif untuk meningkatkan perilaku asertif melalui teknik Solution-Focused Counseling. 2. Guru Bimbingan dan Konseling Guru bimbingan dan koseling di sekolah dapat berkolaborasi dan berdiskusi dengan peneliti mengenai solution-focused counseling dan memanfaatkan hasil studi untuk menambah pengetahuan dan keterampilan terkait teknik Solution-Focused Counseling untuk meningkatkan perilaku asertif siswa, sehingga diharapkan menambah skill konseling dalam melaksanakan layanan responsif khususnya konseling individual. 3. Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi yang berkaitan dengan perilaku asertif dan solution-focused counseling sebagai teknik untuk meningkatkan perilaku asertif siswa.

9 E. Sistematika Penulisan Penelitian ditulis dalam lima bab, dengan struktur organisasi pada halaman berikutnya. 1. Bab I Pendahuluan mencakup uraian dari latar belakang; identifikasi dan rumusan masalah penelitian; tujuan penelitian; manfaat penelitian; dan sistematika penulisan tesis. 2. Bab II Kajian Pustaka mencakup uraian konsep atau teori utama dan teori-teori turunannya dalam bidang yang dikaji; hasil penelitian terdahulu dan hasil temuannya; kerangka pemikiran; serta asumsi dan hipotesis. 3. Bab III Metode Penelitian mencakup pembahasan secara berurutan tentang pendekatan penelitian; metode penelitian; desain penelitian; lokasi dan subjek penelitian; definisi operasional tentang variabel-variabel penelitian; instrumen penelitian; teknik pengumpulan data dan analisisnya. 4. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan mendiskusikan temuan penelitian dengan menggunakan dasar teoritik yang telah dibahas dalam Bab II dan berisi uraian tentang dua hal utama yaitu; hasil pengolahan atau analisis data dalam bentuk temuan penelitian; dan pembahasan atau analisis temuan penelitian. 5. Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi mencakup penafsiran dan pemaknaan terhadap hasil analisis temuan penelitian yang disajikan dalam bentuk kesimpulan; dan rekomendasi yang ditujukan kepada konselor; dosen pengampu mata kuliah; dan kepada peneliti selanjutnya.