BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Pajak berasal dari iuran masyarakat dan dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan secara langsung yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak. Menurut Surya Manurung (2013), Pemerintah melalui Institusi Kementerian Keuangan menetapkan Rp 1.529 triliun untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan negara mulai dari membayar gaji pegawai, pemberian subsidi, membayar utang luar negeri dan pembangunan infrastruktur. Pemerintah masih mengandalkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebagai Rp 1.193 triliun atau 78 persen dari total penerimaan negara (www.pajak.go.id). Salah satu jenis pajak yang diterapkan di Indonesia adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan dasar hukum berdasarkan pada undangundang Nomor 8 Tahun 1983 yang ditetapkan sejak 1 April 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dasar pemikiran atas Pajak Pertambahan Nilai adalah untuk mengenakan pajak pada tingkat kemampuan masyarakat untuk berkonsumsi, yang pengenaannya dilakukan secara tidak langsung kepada konsumen. 1
2 Berdasarkan Perpres No 162 Tahun 2014 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah penerimaan negara yang jumlahnya signifikan yaitu 39,5%. Sehingga penegakan hukum serta pengawasan pemerintah untuk PPN cukup ketat. Salah satu bentuk pengawasan yang bisa dilakukan pemerintah ialah melalui faktur pajak. Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusahan Kena Pajak karena penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Waluyo, 2011:315). Faktur pajak berfungsi sebagai bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur pajak yang sudah dibuat oleh PKP wajib dilaporkan melalui SPT Masa PPN selambat-lambatnya akhir bulan berikutnya. Salah satu hak perpajakan dari PKP yaitu dapat mengkreditkan faktur pajak masukan sehingga dalam perhitungan serta pengisian SPT PPN, PKP wajib mencantumkan daftar faktur pajak masukan dan faktur pajak keluaran. Selain itu berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM, tidak semua pajak masukan dapat dikreditkan. Rumitnya perhitngan PPN tersebut mengakibatkan tidak semua orang dapat mengisi SPT PPN dengan benar ketika pelaporan.
3 Menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 pasal 2 ayat 2 Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Pasal 14 ayat 1 d UU No.28 tahun 2007 menyebutkan pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu, dan Pasal 14 ayat 1 f UU No.28 tahun 2007 menyebutkan bahwa Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan penerbitan faktur pajak. Sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib menyetor, melaporkan SPT Masa PPN dengan menggunakan elektronik SPT PPN 111 yang program e-spt sudah ditetapkan dan disediakan Direktorat Jenderal Pajak. SPT Masa PPN telah mengalami perubahan, sebelum Januari 2011, SPT Masa PPN menggunakan formulir SPT Masa PPN 1107, sedangkan setelah Januari 2011 SPT Masa PPN telah menggunakan formulir SPT Masa PPN 1111. Perbedaan pada kedua SPT Masa PPN tersebut adalah pada penyebutan faktur pajak. SPT Masa PPN 1107 ada istilah Faktur Pajak Sederhana dan Faktur Pajak Standar. Faktur Pajak Sederhana merupakan bukti penjualan yang diberikan kepada pembeli yang bukan PKP (Pengusaha Kena Pajak) dan tidak dapat dikreditkan PPN
4 Masukannya oleh PKP tersebut, seperti nota kontan, invoice, dan bukti penjualan lain. Sedangkan Faktur Pajak Standar adalah faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP dan bagi pembeli Faktur Pajak Sederhana ini dapat dikreditkan menjadi PPN Masukan. Faktur Pajak Standar diatur oleh Undang Undang dan tata cara pengisian sesuai dengan ketentuan Perpajakan. SPT Masa PPN 1111 yang diterbitkan tanggal 1 Januari 2011 mengalami perubahan dari SPT Masa PPN 1107 sebelumnya. Pada SPT Masa PPN 1111 ini tidak ada lagi Faktur Pajak Standar maupun Faktur Pajak Sederhana. Pada SPT ini yang ada hanya faktur pajak. Dokumen yang berupa faktur pajak sama dengan Faktur Pajak Standar (dari SPT PPN 1107 sebelumnya, hanya berganti menjadi faktur pajak. Sedangkan, Faktur Pajak Standar sudah tidak ada lagi. Apabila PKP tidak menerbitkan faktur pajak, maka pengisian di SPT akan masuk ke dalam faktur pajak yang digunggung, sedangkan bagi PKP yang menerbitkan faktur pajak, akan masuk ke dalam faktur pajak yang tidak digunggung. Tahun 2010, Penyelidik Direktorat Jenderal Pajak menginvestigasi kerugian negara sebesar Rp 607 milyar yang disebabkan oleh penyalahgunaan faktur pajak fiktif. Dan dalam berita pada tahun 2009 hingga 2012 kerugian negara akibat faktur pajak fiktif mencapai Rp 1,1 Triliun. faktur pajak fiktif secara sederhana merupakan faktur pajak yang tidak sah, misalnya karena identitas Pengusaha Kena Pajak (PKP) penerbit tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (Luiyanto dan Titi Muswati,
5 2009). Penyalahgunaan faktur pajak fiktif ini bukan hanya melibatkan PKP semata melainkan juga oknum petugas pajak, serta pihak-pihak lainnya yang berhasil diungkap oleh aparat hukum yang berwenang. Meskipun oknum yang terkait dengan penyalahgunaan faktur pajak fiktif tersebut sudah dijatuhi hukuman, ternyata efek jera yang ditimbulkan tidak berpengaruh. Dengan kata lain permasalahan ini masih terus saja terjadi. Melihat banyaknya kasus penyalahgunaan faktur pajak fiktif membuat pemerintah mencari cara yang efektif untuk menanggulanginya, dan mulai tahun 2013 ini Direktorat Jenderal Pajak menerapkan kebijakan baru yang tertuang dalam peraturan PER-24/PJ/2012 sebagai penyempurna peraturan PER-13/PJ/2010, poin terpenting dalam peraturan baru ini mengenai perubahan penomoran seri faktur pajak dimana dalam PER- 24/PJ/2012 penomoran seri faktur pajak tidak dilakukan sendiri oleh PKP melainkan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Tidak semua PKP akan diberikan jatah nomor faktur pajak, Kantor Pelayanan Pajak akan lebih selektif dalam memberikan nomor pajak, hanya pengusaha yang dianggap layak dan diyakini keberadaannya diberi nomor faktur pajak, yaitu mereka yang telah melakukan kegiatan verifikaasi dan registrasi ulang. Perubahan kebijakan baru mengenai penomoran seri faktur pajak yang terhutang dalam PER-24/PJ/2012, bertujuan untuk meminimalkan penyalahgunaan faktur pajak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,
6 dimana mekanisme pelaksanaan lebih diperketat, sehingga diharapkan penerimaan kas negara dari faktur pajak bisa terserap dengan maksimal. Pada tahun 2014, DJP mengeluarkan Peraturan Nomor PER- 16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik. Dalam peraturan tersebut memberitahukan mengenai tata cara pembuatan dan pelaporan faktur pajak berbentuk elektronik. Selanjutnya, melalui Keputusan DJP Nomor KEP-136/PJ/2014 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak Yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik, DJP menetapkan PKP (temasuk wajib pajak besar) yang diwajibkan untuk membuat faktur pajak berbentuk elektronik. Kedua peraturan tersebut berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2014. Untuk PKP yang telah diwajibkan membuat faktur pajak berbentuk elektronik namun tidak membuat faktur pajak berbentuk elektronik atau membuat faktur pajak berbentuk elektronik namun tidak mengikuti tata cara sebagaimana dimaksud pada PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik, PKP tersebut dianggap tidak membuat faktur pajak. (Pasal 11 ayat (4) PMK- 151/PMK.03/2013). Berdasarkan KEP-136/PJ/2014 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak Yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik, berikut ini adalah 3 tahap yang dilakukan Dirjen Pajak untuk menerapkan E-Faktur:
7 1. Tahap I : mulai tanggal 1 Juli 2014, Wajib Pajak tertentu (diatur dalam KEP-136/PJ/2014) diwajibkan menggunakan E-Faktur dalam transaksinya. 2. Tahap II : mulai tanggal 1 Juli 2015, seluruh PKP di Jawa dan Bali diwajibkan untuk menggunakan E-Faktur dalam transaksinya. 3. Tahap III : mulai tanggal 1 Juli 2016, PKP di seluruh Indonesia wajib menggunakan E-Faktur, serta sejak tanggal dikukuhkannya bagi PKP baru. Sebagai persiapan penerapan E-Faktur tahap kedua, mulai tanggal 20 Mei sampai dengan 30 Juni 2015 masing-masing Kantor Pelayanan Pajak menyelenggarakan sosialisasi mengenai administratif dan tata cara penggunaan aplikasi E-Faktur. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan penerapan E-Faktur yang efektif diterapkan pada tanggal 1 Juli 2015 di Jawa dan Bali. Penelitian atas Penerapan E-Faktur telah dilakukan oleh Ary Kurniawan (2016) dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan E-Faktur terhadap terhadap Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Wonocolo Surabaya secara keseluruhan sudah cukup baik meskipun masih ada beberapa kekurangan menyangkut Political Environtment menyangkut dukungan dari pihak otoritas tertinggi terhadap proyek e-government. Lalu penelitian Penerapan E-Faktur juga telah dilakukan oleh Selfi Ayu Permata Sari (2015) dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa E-Faktur memiliki kelebihan dan kelemahan dalam
8 penerapannya. Kelebihan dari e-faktur yaitu dapat lebih efektif dan efisien dalam pembuatan serta transaksi faktur pajak. Sedangkan kelemahan dari aplikasi e-faktur ini yaitu cara kerja yang lebih rumit dibandingkan dengan pembuatan faktur pajak manual serta aplikasi SPT PPN sebelumnya. Dan penelitian-penelitian sebelumnya terkait dengan E- Faktur terdapat di Tabel 2.2. Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti akan melakukan sebuah penelitian yang berjudul Analisis Penerapan, Pemahaman, dan Keefektifan E-Faktur Terhadap Pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (Studi Kasus Pada PT. Gemilang Matari Fastener). B. Rumusan Masalah Penelitian Adapun rumusan permasalahan yang Penulis ajukan sesuai dengan latar belakang diatas adalah : 1. Apa manfaat pembaruan sistem E-Faktur pada PPN? 2. Apakah penerapan E-Faktur pada PT. Gemilang Matari Fastener telah sesuai dengan PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik (E-Faktur)? 3. Apakah kelebihan dan kekurangan E-Faktur dari segi pendapat karyawan PT. Gemilang Matari Fastener? 4. Apakah E-Faktur efektif dapat mengurangi tingkat pembetulan SPT Masa PPN?
9 5. Bagaimana perbedaan kepatuhan wajib pajak sebelum dan sesudah penerapan sistem E-Faktur terhadap pelaporan SPT Masa PPN. C. Tujuan Dan Kontribusi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganilisis : 1. Mengetahui manfaat pembaruan sistem E-Faktur pada PPN. 2. Mengetahui penerapan E-Faktur pada PT. Gemilang Matari Fastener yang telah sesuai dengan PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik (E-Faktur). 3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari E-Faktur. 4. Mengetahui apakah E-Faktur efektif dapat mengurangi tingkat pembetulan SPT Masa PPN. 5. Mengetahui perbedaan kepatuhan wajib pajak sebelum dan sesudah penerapan sistem E-Faktur terhadap pelaporan SPT Masa PPN. 2. Kontribusi Penelitian Adapun kontribusi penelitian dalam penulisan karya tulis ini Penulis mengharapkan sebagai berikut: 1. Bagi Perusahaan (PT. Gemilang Matari Fastener) Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pengguna E-Faktur dalam memberikan gambaran mengenai
10 penerapan E-Faktur sebagai perbaikan sistem administrasi PPN serta keefektifan bagi pengusaha kena pajak terhadap pelaporan SPT Masa PPN. 2. Bagi Peneliti Peneliti ini diharapkan dapat menambah dan mengembangkan wawasan peneliti, khususnya dalam bidang perpajakan dengan cara membandingkan teori yang diperoleh dengan kenyataan atau kondisi yang sebenarnya terjadi dilapangan. 3. Ilmu Perpajakan Menambah literatur dan acuan penelitian pada bidang perpajakan sehingga dapat dijadikan bahan keputusan atau referensi, terutama untuk peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut. 4. Bagi Pembaca Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aplikasi perpajakan terbaru E-Faktur dan dapat mengelola PPN sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku, yang dapat dijadikan sebagai bahan studi perbandingan bagi peneliti lain yang meneliti dalam hal Perpajakan terutama Pajak Pertambahan Nilai.