BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada Bab II ini akan dikaji pustaka yang relevan dengan penelitian yang

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

BAB II KAJIAN TEORI. aplikasi dari konsep matematika. Pengenalan konsep-konsep matematika

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

MODEL PEMBELAJARAN MENULIS DENGAN TEKNIK THIK- TALK-WRITE (TTW) Oleh: Usep Kuswari. Teknik TTW diperkenalkan oleh Huinker dan Laughin

PENERAPAN TEORI KONSTRUKTIVISTIK PADA PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DI IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL. contextual teaching and learning

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam (IPA) yang terdiri

II. TINJAUAN PUSTAKA. saling berkaitan. Dalam kegiatan pembelajaran terjadi proses interaksi (hubungan timbal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. keterampilan-keterampilan tertentu yang disebut keterampilan proses. Keterampilan Proses menurut Rustaman dalam Nisa (2011: 13)

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbedaan Gain yang signifikan antara keterampilan proses sains awal. dengan keterampilan proses sains setelah pembelajaran.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pengetahuannya sendiri dan realitas ditentukan oleh pengalaman orang itu sendiri

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

BAB II KAJIAN TEORI. Pembelajaran merupakan proses komunikasi du arah, mengajar dilakukan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori

TINJAUAN PUSTAKA. sendiri. Belajar dapat diukur dengan melihat perubahan prilaku atau pola pikir

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pembangunan di Indonesia antara lain diarahkan untuk

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN Contextual Teaching and Learning

I. PENDAHULUAN. proses kognitif. Proses belajar yang dimaksud ditandai oleh adanya perubahanperubahan

BAB II KAJIAN TEORI. hakekatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur

BAB II PEMBELAJARAN CONTEXTUAL, PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA, MATERI MENYELESAIKAN MASALAH BERKAITAN DENGAN PECAHAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut teori belajar konstruktivis, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II PEMBELAJARAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PADA MATERI SEGI EMPAT. A. Hakikat Belajar dan Pembelajaran Matematika

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan konstruksi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

DASAR FILOSOFI. Manusia harus mengkontruksikan pengetahuan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nur dalam Trianto (2009), menyatakan bahwa menurut teori kontruktivis, satu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarakan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan : Hasil belajar siswa SMA Negeri 2 Serui Kabupaten Kepulauan Yapen,

PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembelajaran adalah teori belajar konstruktivisme. Piaget (dalam Dahar, 1989:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEMBELAJARAN KOOPERATIF

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BABH KAJIAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Matematika.

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai yang dibutuhkan oleh siswa dalam menempuh kehidupan (Sani, RA.

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Irpan Maulana, 2015

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Metode discovery adalah suatu prosedur mengajar yang menitikberatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Von Glasersfeld dalam Sardiman ( 2007 ) konstruktivisme adalah salah satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perhatiannya pada aktivitas kehidupan manusia. Pada intinya, fokus IPS

PENDEKATAN CTL (Contextual Teaching and Learning)

II. TINJAUAN PUSTAKA. bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berikutnya. Dengan meningkatnya perkembangan tubuh, baik ukuran berat dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Menurut Wina Sanjaya (2007 : ) mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi ciri utama dari metode inkuiri, yaitu :

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Belajar merupakan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. hal yang tidak dipahami kemudian dilihat, diamati hingga membuat seseorang

Desi Rusnita SDN 08 Kepahiang

PEMBELAJARAN KONSTRUTIVIS, INKUIRI/DISKOVERI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang seacara harfiah berarti

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan satu dari sekian banyak disiplin ilmu yang dipelajari,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruggiero (Johnson, 2007:187) mengartikan berfikir sebagai segala aktivitas mental

BAB II KAJIAN TEORITIK

Model Pembelajaran Konstekstual dalam Bidang Studi Ekonomi Pendahuluan

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK DALAM PEMBELAJARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Konstruktivisme a. Sejarah Konstruktivisme Menurut Von Glaserfield (1988), pengertian konstruktif kognitif

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan discovery adalah suatu prosedur mengajar yang dapat. mengalami sendiri bagaimana cara menemukan atau menyelidiki

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI)

BAB II MODEL PEMBELAJARAN NOVICK DAN HASIL BELAJAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat membentuk persamaan dan kemauan siswa, metode ini juga melibatkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Efa Rosfita, 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

Tita Mulyati. Abstrak elajar menuntut peran serta semua pihak. Pengetahuan bukan sesuatu yang diserap

sekolah dasar (SD/MI). IPA merupakan konsep pembelajaran alam dan Pembelajaran IPA sangat berperan dalam proses pendidikan dan juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sains pada hakekatnya dapat dipandang sebagai produk dan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Slavin (Nur, 2002) bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Pembelajaran matematika membutuhkan proses bernalar yang tinggi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi yang harus dimiliki individu dan tujuan yang akan dicapai dalam

BAB I PENDAHULUAN. Global Monitoring report, (2012) yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa

BAB II LANDASAN TEORI. Secara umum pengertian pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang

Transkripsi:

11 BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada Bab II ini akan dikaji pustaka yang relevan dengan penelitian yang berjudul: Penerapan Pendekatan Konstruktivistik Melalui Dialog untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Mengungkapkan Gagasan dalam Pembelajaran Sejarah (Penelitian Tindakan Kelas di SMA Negeri 8 Bandung). Pustaka yang dimaksud adalah buku-buku dan sumber internet yang relevan dengan aspek-aspek yang ada dalam penelitian yaitu meliputi: Pengertian dan ciri-ciri pendekatan konstruktivistik, pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran, macam-macam pendekatan konstruktivistik, metode mengajar guru dalam pendekatan konstruktivistik, dan teori belajar yang mendukung pendekatan konstruktivistik. Dalam bab II ini dijabarkan dalam sub-sub bab berikut, yaitu: A. Pengertian dan ciri-ciri pendekatan konstruktivistik, yang meliputi: 1). Pengertian pendekatan kontruktivistik, dan 2). Ciri-ciri pendekatan konstruktivistik. B. Pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran. C. Macam-macam pendekatan konstruktivistik, yang meliputi: 1). Konstruktivistik psikologis personal, 2). Konstruktivistik psikologis sosial, dan 3). Konstruktivistik sosiologis. D. Metode mengajar guru dalam pendekatan konstruktivistik. E. Teori belajar yang mendukung pendekatan konstruktivistik, yang meliputi: 1). Teori belajar perubahan konsep, 2). Teori belajar bermakna Ausubel, 3). Teori skema, dan 4).

12 Teori belajar Bruner. Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikannya sebagai berikut: A. Pengertian dan Ciri-ciri Pendekatan Konstruktivistik 1. Pengertian Pendekatan Kontruktivistik Konstruktivistik adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya (Karli, 2003: 2). Suparno, (1997: 24) mengemukakan konstruktivistik merupakan pandangan filsafat yang dikemukakan oleh Giambatista Vico pada tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan berkata Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan. Dia menjelaskan bahwa mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Filsafat konstruktivistik beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005: 70) bahwa konstruktivitik bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah

13 dibangun atau dikonstruksi sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya. Menurut Suparno (1997: 49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivistik yang diambil adalah (1) Pengetahuan di bangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial, (2) Pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar, (3) Siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus. 2. Ciri-ciri Pendekatan Konstruktivistik Berikut ini akan dijelaskan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut Menurut Siroj (http://www.depdiknas.go.id/jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm): 1) Menyedikan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan. 2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman pembelajaran, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara. 3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari. 4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerja sama antara siswa, guru, dan siswa-siswa. 5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif. 6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar.

14 Sedangkan menurut beberapa literatur ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah: Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain. Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah (Yuleilawati, 2004: 54). Kenyataan menunjukkan bahwa seorang guru mengajar di kelas sering mendapatkan siswa-siswanya mempunyai pemahaman yang berbeda tentang pengetahuan yang diperoleh dan dipelajarinya. Padahal siswa-siswa belajar dalam lingkungan sekolah yang sama, guru yang sama, dan bahkan buku teks yang digunakan pun sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak begitu saja ditransfer dari guru ke siswa dalam bentuk tertentu, melainkan siswa membentuk sendiri pengetahuan itu dalam pikirannya masing-masing sehingga pengetahuan tentang sesuatu dipahami secara berbeda-beda oleh siswa (Karnedi, 2006: 35). Pengetahuan tumbuh dan berkembang dari buah pikiran manusia melalui konstruksi berfikir, bukan melalui transfer dari guru kepada siswa. Oleh karena itu, siswa tidak dianggap sebagai tabula rasa atau berotak kosong ketika berada di kelas. Ia telah membawa berbagai macam pengalaman, pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengkonstruksikan pengetahuan yang baru atas dasar

15 perpaduan pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan yang baru itu dapat menjadi milik mereka. B. Pendekatan Konstruktivistik dalam Pembelajaran Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka untuk belajar (Nur, 200: 2). Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru (Budianingsih, 2005: 59). Pendekatan konstruktivistik menghendaki siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara mengajar yang membuat informasi lebih bermakna dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan sendiri ide-ide mereka. Guru dapat memberi siswa tangga yang dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan supaya siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut. Oleh karena itu, agar pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan pendidik maka pendekatan konstruktivistik melalui dialog merupakan solusi yang baik untuk dapat diterapkan. Di bawah ini akan dipaparkan mengenai perbedaanperbedaan antara pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran

16 yang konstruktivistik yang diadaptasi dari Aqib (2002: 120) dan Budianingsih, (2005: 63): Tabel 2.1 Perbedaan Pembelajaran Behavioristik (Tradisional) dengan Konstruktivistik No Pembelajaran Behavioristik (Tradisional) Pembelajaran Konstruktivistik 1. Kurikulum disajikan dari bagianbagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan dasar. 2. Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan. 3. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja. 4. Siswa dipandang sebagai kertas kosong yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa. 5. Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pembelajaran dengan cara testing. 6. Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group proses dalam belajar. 7. Memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi. 8. Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan. Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju bagian-bagian dan lebih mendekatkan kepada konsep-konsep yang lebih luas. Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan ideide siswa. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan. Siswa dipandang sebagai pemikirpemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya. Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan. Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group proses. Memandang pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. Belajar adalah penyusunan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah menata lingkungan agar siwa termotivasi dalam menggali makna. 9. Kegagalan dalam menambah Kegagalan merupakan interpretasi

17 pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum. 10. Evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajar. 11. Evaluasi dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan belajar dengan menekankan pada evaluasi individu. yang berbeda yang perlu dihargai. Evaluasi menggali munculnya berfikir divergent, pemecahan ganda, dan bukan hanya satu jawaban benar. Evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajatan dengan cara memberikan tugas-tugas yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari yang menekankan pada keterampilan proses. Implikasi pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran meliputi empat tahapan (Karli, 2003: 4) yaitu: 1. Apersepsi 2. Eksplorasi 3. Diskusi dan penjelasan konsep 4. Pengembangan aplikasi

18 Berikut ini adalah Tahapan-tahapan pembelajaran tersebut yang diadopsi dari Karli (2003: 5): Mengungkapkan Konsepsi Awal Membangkitkan Motivasi Eksplorasi Diskusi dan Penjelasan Konsep Pengembangan Aplikasi Bagan 2.1 Alur Pembelajaran Konstruktivistik

19 Alasan lain diperlukannya pendekatan konstruktivistik melalui dialog dalam pembelajaran adalah pengetahuan yang akan dimiliki siswa bermula dari keaktifan siswa untuk mencari dan menemukan. Pengetahuan tidak akan diperoleh dari siswa yang pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru, siswa akan menyesuaikan suatu pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang telah dimilikinya melalui berinteraksi sosial dengan siswa yang lain. Hal ini berbeda dengan behavioristik yang menekankan pada pola prilaku yang diulang-ulang menjadi otomatis. Perilaku seseorang dapat dikuatkan dan dihentikan melalui ganjaran atau hukuman. Begitu pula dengan kognitivistik yang menyatakan bahwa pengetahuan akan diwakili oleh skema, jika informasi sesuai dengan skema akan diterima, jika tidak akan disesuaikan atau skema yang akan disesuaikan. Jadi kognitivistik menekankan penataan kembali struktur kognitif dimana seseorang menyimpan informasi. Konstruktivistik berawal dari pandangan kognitivistik. Kognitivistik lebih mementingkan proses daripada hasil belajarnya. Kognitivistik mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Pandangan kognitivistik menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yang diterima disesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki seseorang berdasarkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya.

20 Berikut ini adalah komparasi mengenai teori behavioris, kognitif, dan konstruktivis yang diadopsi dari Yuleilawati (2004: 52-54): Tabel 2.2 Komparasi Teori Behavioris, Kognitif, dan Konstruktivis Behavioris Kognitif Konstruktivis Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diamati dan prilaku tersebut dapat dikuatkan atau dihentikan melalui ganjaran atau hukuman. Pengajaran direncanakan dengan menyusun tujuan instruksional yang dapat diukur dan diamati. Guru tidak perlu tahu pengetahuan apa yang telah diketahui dan apa yang terjadi pada proses berfikir seseorang. Belajar merupakan perlibatan penguasaan atau penataan kembali struktur kognitif dimana seseorang memperoses dan menyimpan informasi. Semua gagasan dan citraan (image) diwakili skema. Jika informasi sesuai dengan skema akan disesuaikan atau skema yang disesuaikan. Belajar merupakan pembangunan pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Belajar merupakan penafsiran seseorang tentang dunia. Belajar merupakan proses aktif melalui interaksi atau kerja sama dengan orang lain. Belajar perlu disituasikan dalam latar (setting) yang nyata.

21 Dalam pembelajaran sejarah, pendekatan konstruktivistik dapat dilakukan pada semua topik dan pokok bahasan. Ketika guru menggunakan pendekatan ini, mereka dapat membahas dan mengkaji topik yang dimunculkan oleh guru dan siswa pada saat kegiatan berlangsung (Supriatna, 2001: 27). Fungsi guru sejarah dalam pendekatan konstruktivistik adalah memberikan peluang kepada siswa untuk membangun pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya. Kemudian guru dapat menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dan kondisi siswa. Yang paling penting dalam pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme menurut Ayub (Hasanah, 2006: 44) adalah ide tentang kesiapan siswa atas gagasan-gagasan dan permasalahannya. Terlebih dahulu pengetahuan siswa dibawa ke dalam pengalaman belajar terutama pengaruh bagaimana dan dengan cara apa siswa belajar. Selama belajar dengan pendekatan konstruktivisme siswa mempunyai kesempatan menjadi tahu dan sadar atas gagasan-gagasan yang ada pada mereka. Maka berinteraksi tentang materi pelajaran secara lisan tentang kejadian dan gejala-gejala yang terjadi kemudian mereka akan menguji dan meneliti penjelasan mereka dan sering dimodifikasi. Harapan konstruktivis adalah membantu siswa membangun pengetahuan dan mengembangkan kemampuan belajar mereka melalui pendekatan interaksi. Menurut pandangan konstruktivisme keberhasilan mengajar menjadi tanggung jawab diri siswa itu sendiri. Sementara itu guru hanya berperan sebagai fasilitator dan mediator untuk menciptakan suasana yang dapat mendukung berjalannya proses belajar mengajar. Meskipun demikian dalam pembelajaran konstruktivisme seorang guru hendaknya, mengakui bahwa dalam proses

22 pembelajaran terjadi perubahan konseptual, mengakui bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif dan mengutamakan terjadinya interaksi sosial (Kartini, 2006: 23). Konstruktivisme dipandang sebagai suatu pendekatan dalam proses belajar mengajar yang mengarah pada penemuan suatu konsep yang lahir dari pandangan-pandangan, pendapat-pendapat, gambaran-gambaran serta inisiatif siswa melalui proses eksplorasi personal, diskusi, dan penulisan reflektif. Dalam melaksanakan pendekatan konstruktivistik guru sejarah hendaknya dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, mendorong dan menerima otonomi dan inisiatif siswa dalam mengembangkan materi pembelajaran. Kedua, menggunakan data mentah dan sumber utama (primary resources), termasuk sumber-sumber pelaku utama sejarah untuk dikembangkan dan didiskusikan bersama-sama dengan siswa di kelas. Ketiga, memberikan tugas kepada siswa untuk mengembangkan klasifikasi, analisis, melakukan prediksi terhadap peristiwa sejarah, dan menciptakan konsep-konsep baru. Keempat, bersifat fleksibel terhadap response dan interpretasi siswa dalam masalah-masalah sejarah, bersedia mengubah strategi pembelajaran bergantug pada minat siswa. Serta mengubah isi pelajaran sesuai dengan situasi dan kondisi siswa. Kelima, memfasilitasi siswa untuk memahami konsep sambil mengembangkannya melalui dialog dengan siswa. Keenam, mengembangkan dialog antar guru dan siswa dan antar siswa dengan rekan-rekannya. Ketujuh, menghindari penggunaan alat tes untuk mengukur keberhasilan siswa. Kedelapan, mendorong siswa untuk membuat analisis dan elaborasi terhadap masalah-masalah kontroversial yang dihadapinya. Kesembilan, mengembangkan aspek kontradiksi dan kontroversi untuk di tarik dalam KBM di kelas. Kesepuluh, memberi peluang kepada siswa untuk berfikir mengenai masalah yang dihadapi siswa. Kesebelas, memberi peluang kepada siswa untuk membangun jaringan konsep serta membentuk metaphora (Supriatna, 2007: 78-83).

23 C. Macam-macam Pendekatan Konstruktivistik Menurut Suparno (1997: 43) Konstruktivistik dapat dibedakan menjadi konstruktivistik psikologis dan konstruktivistik sosiologis. Konstruktivistik psikologis bertolak dari perkembangan psikologis anak dalam membangun pengetahuannya. Sedangkan konstruktivistik sosiologis lebih menekankan pada masyarakat yang membangun pengetahuan. Konstruktivistik psikologis bercabang dua, yaitu konstruktivistik yang lebih personal berkembang atas ide Piaget dan yang lebih sosial berkembang atas ide Vigotsky, sedangkan konstruktivistik sosiologis berdiri sendiri (Suparno, 1997: 44). 1. Konstruktivistik Psikologis Personal Konstruktivistik psikologis personal sering disebut sebagai konstruktivisme kognitif Piaget. Menurut paham ini konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses organisasi dan adaptasi. Organisasi merupakan kemampuan organisme mensistematikan atau mengorganisasikan proses-proses fisik ataupun psikologis menjadi struktur-struktur. Struktur merupakan sistem yang teratur dan berhubungan yang memuat konsep-konsep yang saling terkait satu sama lain. Adaptasi merupakan kemampuan individu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Adaptasi dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi, seseorang menggunakan struktur kognitif atau sesuatu yang dimilikinya untuk menanggapi masalah lingkungan. Dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur kognitif yang ada dalam mengadakan respon terhadap tantangan lingkungan.

24 Proses pembelajaran akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan peringkat perkembangan kognitif siswa. Siswa hendaknya banyak diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang dengan interaksi dengan teman sebaya. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan dan secara aktif mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan (Surya, 2003: 59). Selanjutnya Surya (2003: 59) mengatakan implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pengajaran, antara lain: a) Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu dalam mengajar guru hendaknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. b) Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan sebaik-baiknya. c) Bahan yang harus dipelajari hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. d) Beri peluang agar anak belajar sesuai dengan peringkat perkembangannya. e) Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dengan teman-temannya dan saling berdiskusi. 2. Konstruktivistik Psikologis Sosial Konstruktivistik psikologi sosial dikembangkan berdasarkan ide Vigotsky. Menurut faham ini konstruksi pengetahuan terjadi melalui interaksi sosial antara siswa. Pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antara individu, yang selanjutnya keadaan ini dapat disesuaikan oleh setiap individu. Konstruksi pengetahuan terjadi karena adanya hubungan yang kompleks antara elemenelemen tingkah laku siswa dan interaksi sosial.

25 Vigotsky menyatakan bahwa bahasa merupakan aspek sosial. Pembicaraan yang bersifat egosentrik dari anak merupakan permulaan dari pembentukan kemampuan berbicara yang pokok (inner speech) yang akan menjadi alat dalam berpikir. Inner speech berperan dalam pembentukan pengertian spontan. Pengertian spontan mempunyai dua segi yaitu pengertian dalam diri sendiri dan pengertian untuk orang lain. Anak akan berusaha mengungkapkan pengertian yang mereka miliki dengan simbol yang sesuai untuk berkomunikasi dengan orang lain. Vigotsky membedakan adanya dua pengertian, yaitu pengertian spontan dan pengertian ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang dapat dari pengalaman anak sehari-hari. Pengertian ini tidak terdefinisikan dan terangkai secara sistematis logis. Pengertian ilmiah adalah pengertian yang didapat dari kelas. Pengertian ini adalah pengertian formal yang terdefinisikan secara logis dalam suatu sistem yang lebih luas. Dalam proses belajar mengajar akan terjadi perkembangan dari pengertian yang spontan ke yang lebih ilmiah. Konstruktivistik Vigotsky menjelaskan bahwa ada hubungan langsung antara domain kognitif dengan sosial budaya. Kualitas berfikir siswa dibangun dari aktivitas sosial siswa di dalam kelas, sedangkan aktivitas sosial siswa dikembangkan dalam bentuk kerjasama antar siswa dengan siswa lainnya yang lebih mampu di bawah bimbingan orang dewasa dalam hal ini guru (Suparno, 1997: 46). Gagasan penting lain dalam pembelajaran yang diangkat dari teori Vigotsky adalah scaffolding (Nur, 2004: 14), yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak (siswa-siswa) pada tahap-tahap awal pembelajaran,

26 kemudian menguranginya sedikit demi sedikit, dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut saat mereka dinilai telah mampu. Bantuan dimaksud dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, mengaitkan masalah dengan langkah-langkah penyelesaian masalah, memberi contoh atau hal-hal yang memungkinkan anak untuk tumbuh mandiri. Dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (Sejarah), sosiokulturalisme Vigotsky ini sangat relevan, karena di samping pentingnya peran dan keaktifan individu dalam membentuk pengetahuannya, juga adanya peran masyarakat, orang lain dan lingkungan dalam proses pembentukan pengetahuan tersebut. Dalam kerangka ilmiah, belajar bersama dengan menggunakan pendekatan konstruktivistik menjadi sangat penting. 3. Konstruktivistik Sosiologis Konstruktivistik sosiologis menekankan pengetahuan ilmiah sebagai konstruksi sosial bukan konstruksi individual. Dalam arti kata bahwa pengetahuan merupakan penemuan sosial dan sekaligus faktor dalam perubahan sosial. Berger (Suparno, 1997: 47) mengatakan bahwa kenyataan hidup seharihari merupakan dunia yang dialami bersama dengan orang lain. Dunia ini nyata bagi saya dan bagi orang lain. Saya tidak dapat berhenti berkomunikasi dengan yang lain. Sementara itu, Matthews (Suparno, 1997: 48) menyatakan konstruktivitik sosiologis menekankan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan konstruksi sosial, bukan konstruksi individual.

27 Pandangan kelompok konstruktivistik sosiologis ini menekankan lingkungan, masyarakat, dan dinamika manusia akan dapat melakukan pembentukan ilmu pengetahuan. Mereka cenderung mengambil fungsi dan peran masyarakat begitu saja dalam pembentukan pengetahuan manusia. Hal ini bertentangan dengan konstruktivistik personal yang beranggapan bahwa pengetahuan seseorang itu bentukan orang itu sendiri sehingga tidak dapat masyarakat menentukan konstruksi pengetahuan seseorang, melainkan orang itu sendiri yang tetap harus menginterpretasikan dan mengambil makna. D. Metode Mengajar Guru dalam Pendekatan Konstruktivistik Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar peserta didik belajar. Dalam menciptakan suasana atau pelayanan hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana peserta didik memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi atau metode-metode pembelajaran yang tepat bagi peserta didik. Terjadi proses belajar pada murid yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau percobaan para ahli psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian

28 dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi. Pada proses belajar mengajar diperlukan suatu cara atau metode untuk mencapai tujuan belajar. Menurut Hamalik (2003: 2) metode mengajar adalah suatu cara, teknik atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam proses belajar mengajar. Sedangkan menurut Roestiyah (2001: 1) metode mengajar adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami, dan digunakan oleh siswa dengan baik. Terdapat berbagai metode yang dapat digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran diantaranya: ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemberian tugas, bermain peran, karyawisata, inquiry, kerja kelompok, discovery, demonstrasi, dan sebagainya. Karena keterbatasan kemampuan dan waktu maka tidak akan semua metode dapat digunakan. Namun, yang terpenting adalah penggunaan metode harus dikaitkan dengan situasi dan tujuan belajar yang hendak dicapai dan ditekankan kepada keaktifan siswa dalam membangun pengetahuan. Penjelasan metode-metode tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tanya Jawab (Questioning) Bertanya (questioning) merupakan strategi atau metode utama lainnya dalam pendekatan konstruktivistik untuk mengukur sejauh mana siswa dapat mengenali konsep-konsep pada topik pembelajaran yang akan dipelajari. Bertanya dalam sebuah pembelajaran di pandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa. Dalam pembelajaran yang

29 berbasis inquiry, kegiatan bertanya merupakan bagian yang sangat penting untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian pada hal-hal yang belum diketahuinya. Kegiatan bertanya sangat berguna dalam pembelajaran yang produktif seperti dikemukakan oleh Nurhadi (2003: 14) berikut ini: 1. Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis. 2. Mengecek pemahaman siswa. 3. Mengetahui sejauh mana keinginan siswa. 4. Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa. 5. Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru. 6. Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa. 7. Menyegarkan kembali pengetahuan siswa. 2. Penyelidikan/Menemukan (Inquiry) Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh oleh siswa diharapkan sebagai hasil penyelidikan sampai kepada menemukan sendiri bukan hasil mengingat seperangkat fakta, guru harus berusaha selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan untuk berbagai materi yang diajarkan. Metode inkuiri dalam proses pembelajaran lebih bersifat student centered. Dalam pembelajaran seorang guru hendaknya dapat mengajarkan bagaimana siswa dapat membelajarkan dirinya, karena siswa yang lebih banyak melakukan kegiatan pembelajaran. Belajar dengan metode inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Penggunaan metode inkuri oleh guru akan mengurangi aktivitas guru di kelas dalam arti tidak terlalu banyak bicara, karena aktivitas lebih banyak dilakukan oleh siswa. Guru tidak lagi berperan sebagai pemberi pengetahuan melainkan menyiapkan situasi yang menggiring siswa untuk bertanya,

30 mengamati, menemukan fakta, konsep, menganalisis data dan mengusahakan kemungkinan-kemungkinan jawaban dari suatu masalah. Inkuiri memberikan perhatian dalam mendorong siswa menyelidiki secara independen, dalam suatu cara yang teratur. Melalui inkuiri siswa bertanya memperoleh dan mengolah data secara logis sehingga mereka dapat mengembangkan strategi intelektual secara umum yang mereka gunakan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Belajar dengan menggunakan inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk menemukan sendiri dan karena itu Bruner menyebutnya sebagai discovery. Strategi mengajar dengan metode inkuiri ini menempatkan siswa tidak hanya dalam posisi mendengarkan, akan tetapi siswa melibatkannya dalam pencarian intelektual yang aktif, pencarian dengan memanipulasi data yang dikumpulkan berdasarkan pengamatan dan pengalamannya sendiri, atau oleh orang lain, untuk dipahami dan dibermaknakan (Wiriaatmadja, 2002: 137). Metode inkuiri menekankan pada permasalahan bagaimana siswa menggunakan sumber belajar. Sumber belajar dipakai sebagai upaya untuk mengidentifikasi masalah dan merumuskan masalah. Peranan siswa dalam pembelajaran inkuiri adalah sebagai pengambil inisiatif atau prakarsa dalam menemukan sesuatu untuk mereka sendiri. Dalam hal ini siswa harus aktif menggunakan cara belajarnya sendiri, sehingga mengarah pada pengembangan kemampuan berpikir melalui bimbingan yang diberikan oleh guru. Permasalahan dalam inkuiri berkaitan dengan sumber belajar adalah bukan pada darimana sumbernya, tetapi lebih menekankan pada bagaimana siswa dan guru memanfaatkan sumber tersebut dalam proses pembelajaran. Jadi sumber belajar harus dimanfaatkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan

31 mengidentifikasi masalah melalui pertanyaan-pertanyaan yang terarah pada penjelasan masalah. Berikut ini adalah langkah-langkah inkuiri menurut beberapa ahli diantaranya adalah Hasan (1996: 14): langkah-langkah inkuiri adalah (1) perumusan masalah, (2) pengembangan hipotesis, (3) pengumpulan data, (4) pengolahan data, (5) pengujian hipoitesis, dan (6) penarikan kesimpulan. Menurut Joyce dan Weil (2000: 473-475): langkah-langkah inkuiri adalah (1) orientasi, (2) hipotesis, (3) definisi, (4) eksplorasi, (5) pembuktian, (6) generalisasi. Sedangkan menurut Nurhadi (2003: 13): langkah-langkah inkuiri adalah (1) merumuskan masalah, (2) mengamati dan melakukan observasi, (3) menganalisis dan menyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya, (4) mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang sangat prinsipil menurut para ahli tersebut tentang langkah-langkah inkuiri. Pada intinya hampir sama, yaitu dimulai dari perumusan masalah dan terakhir membuat kesimpulan. Dalam penelitian ini, peneliti memberi makna metode inkuri sebagai strategi pembelajaran yang berusaha memecahkan suatu permasalahan melalui langkah-langkah yang sistematis dan logis. 3. Komunitas Belajar (Learning Community) Komunitas belajar atau belajar kelompok adalah pembelajaran dengan bekerjanya sejumlah siswa yang sudah terbagi ke dalam kelompok-kelompok

32 kecil untuk mencapai tujuan tertentu secara bersama-sama (Moejiono, 1991: 60). Pengembangan pembelajaran dalam kelompok dapat menumbuhkan suasana memelihara disiplin diri, dan kesepakatan berprilaku. Melalui kegiatan kelompok terjadi kerjasama antar siswa, juga dengan guru yang bersifat terbuka. Belajar kelompok dapat dijadikan arena persaingan sehat, dan dapat pula meningkatkan motivasi belajar para anggota kelompok. Dengan pendekatan konstruktivistik, guru melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang anggotanya heterogen. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik anggotanya maupun jumlahnya. Menurut Slavin (1995: 4-5) Kelompok yang efektif terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Pembelajaran dengan konsep komunitas belajar dapat berlangsung apabila ada komunikasi dua arah. Siswa yang terlibat dalam kegiatan komunitas belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus meminta informasi juga yang diperlukan teman belajarnya. Kegiatan belajar ini dapat terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam berkomunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan, pembelajaran dengan teknik komunikasi belajar ini sangat membantu pembelajaran di kelas. Untuk pelaksanaan metode-metode tersebut berpedoman kepada langkahlangkah yang ditentukan dalam waktu perencanaan. Langkah-langkah pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai berikut:

33 Langkah pertama, siswa didorong dan diberi motivasi supaya mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep pokok bahasan atau sub pokok bahasan yang akan dibahas. Guru memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematik tentang fenomena-fenomana yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa diberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan dan mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep itu. Pada langkah ini penggunaan metode tanya jawab sangat diperlukan antar siswa dengan guru, siswa dengan siswa yang difasilitasi oleh guru. Langkah kedua, siswa diberikan kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep-konsep dan permasalahan-permasalahan melalui pengumpulan dan pengorganisasian penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang guru. Pada tahap ini guru menggunakan metode inkuiri, siswa membahas dan mendiskusikan temuannya dengan siswa yang lain. Secara keseluruhan tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang topik pelajaran yang dibahas pada saat itu. Langkah ketiga, siswa diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada observasinya ditambah penjelasan-penjelasan guru untuk menguatkan pengetahuan siswa yang telah mereka bangun, maka siswa membangun pengetahuan dan pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari sehingga dengan hal ini menjadikan siswa tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya.

34 Langkah terakhir, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menyimpulkan dan mengungkapkan gagasannya baik dalam bentuk tulisan (karangan) ataupun secara lisan setelah mempelajari topik pelajaran pada saat itu. E. Teori Belajar yang Mendukung Pendekatan Konstruktivistik Teori belajar pada dasarnya merupakan suatu teori yang menjelaskan bagaimana siswa-siswa belajar, meliputi kesiapan belajar, proses mental, dan apa yang dilakukan siswa pada usia tertentu. Menurut paham kontruktivistik, pengetahuan merupakan hasil bentukan sendiri, oleh karenanya tidak ada transfer pengetahuann dari seseorang ke orang lain sebab setiap orang membangun pengetahuannya sendiri. Bahkan jika guru ingin memberikan pengetahuan kepada siswa, maka pemberian itu diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalamannya. Untuk terjadimya konstruksi pengetahuan ada beberapa kemampuan yang harus dimiliki siswa antara lain: kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari pada yang lainnya. Inti dari kontruktivistik di atas berkaitan erat dengan beberapa teori belajar, yaitu: teori perubahan konsep, teori belajar bermakna Ausubel, dan teori skema (Suparno, 1997: 49). Namun, pembelajaran konstruktivistik juga berkaitan dengan teori belajar Bruner. Penjelasan dari masing-masing teori tersebut adalah sebagai berikut:

35 1. Teori Belajar Perubahan Konsep Teori belajar perubahan konsep merupakan suatu teori belajar yang menjelaskan adanya proses evolusi pemahaman konsep siswa dari siswa yang sedang belajar. Pada mulanya siswa memahami sesuatu melalui konsep secara spontan. Pengertian spontan merupakan pengertian yang tidak sempurna, bahkan belum sesuai dengan konsep ilmiah, dan harus mengalami perubahan menuju pengertian yang logis dan sistematis. Yaitu pengertian ilmiah proses penyempurnaan pemahaman itu berlangsung melalui dua bentuk yaitu tanpa melalui perubahan yang besar dari pengertian yang spontan tadi (asimilasi) atau sangat perlu adanya perubahan yang radikal dari pengertian yang spontan menuju pengertian yang alamiah (akomodasi). Agar terjadi perubahan radikal (akomodasi) dibutuhkan beberapa keadaan dan syarat antara lain sebagai berikut: 1. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Siswa mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman dan gejala yang baru. 2. Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena yang baru. 3. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. 4. Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan yang baru (Suparno, 1997: 50-51). 2. Teori Belajar Bermakna Ausubel David Ausubel (Dahar, 1989: 112) terkenal dengan teori belajar bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai

36 seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menguhubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si pelajar (Suparno, 1997: 54). Kedekatan teori belajar Ausubel dengan konstruktivistik adalah keduanya menekankan pentingnya pengorganisasian pengalaman, fenomena, dam faktafakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dimiliki, keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa, dan keduanya mengasumsikan adanya keaktifan siswa dalam belajar. 3. Teori Skema Jonassen (Suparno, 1997: 55) menjelaskan bahwa skema adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti suatu hal, menemukan jalan keluar atau memecahkan persoalan. Menurut teori skema, pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket informasi atau skema yang terdiri atas suatu set atribut yang menjelaskan objek tersebut, maka dari itu membantu kita untuk mengenal objek atau kejadian itu. Hubungan skema yang satu dengan yang lain memberikan makna dan arti kepada gagasan kita. Belajar menurut teori skema adalah mengubah skema (Suparno, 1997: 55). Lebih jauh ia menyatakan: Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang dapat menambah atribut baru dalam skemanya yang lama. Orang dapat

37 melengkapi dan memperluas skema yang telah dimilikinya dalam berhadapan dengan pengalaman, persoalan, dan juga pemikiran yang baru. Biasanya seseorang bila menghadapi pengalaman baru yang tidak cocok dengan skema yang dimilikinya, ia akan mengubah skema lamanya. Dalam proses belajar siswa mengadakan perubahan skemanya, baik dengan menambah atribut, memperluas, memperhalus, ataupun mengubah sama sekali skema lama. 4. Teori Belajar Bruner Menurut Bruner (http://www.jaring.com.my/weblog/comments.php?id=3603) Pembelajaran adalah proses yang aktif dimana pelajar membina ide baru berasaskan pengetahuan yang lampau. Selanjutnya Bruner (Nur, 200: 10) menyatakan bahwa Mengajarkan suatu bahan kajian kepada siswa adalah untuk membuat siswa berfikir untuk diri mereka sendiri, dan turut mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui adalah suatu proses bukan suatu produk. Masih menurut Bruner (Dahar, 1997: 98) bahwa dalam membangun pengetahuan didasarkan kepada dua asumsi yaitu: Asumsi pertama adalah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif yaitu orang yang belajar akan berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi dilingkungan tetapi juga dalam diri orang itu sendiri. Asumsi kedua adalah orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang tersimpan yang diperoleh sebelumnya. Menurut Bruner, dalam proses belajar terdapat tiga episode yang harus dilalui, yakni (1) informasi, (2) transformasi, dan (3) evaluasi. Ketiga episode itu dapat dijelaskan sebagi berikut: Informasi. Dalam tiap pembelajaran siswa akan memperoleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah dimiliki, ada yang meperhalus dan memperdalamnya, dan ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah diketahui sebelumnya.

38 Transformasi. Informasi harus di analisis, di ubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan. Evaluasi. Informasi yang telah diperoleh tersebut dinilai untuk dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain (Nasution, 1987: 9). Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner adalah memahami konsep, arti, dan hubungan dan sampai pada suatu kesimpulan: Dengan teorinya free discoverey learning, Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya (Budianingsih, 2005: 43).