KAIDAH FIQH ا ل ج ت ه اد ل ي ن ق ض ب ل ج ت ه اد Sebuah Ijtihad Tidak Bisa Dibatalkan Dengan Ijtihad Lain حفظه هللا Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf Publication: 1438 H_2017 M Sebuah Ijtihad Tidak Bisa Dibatalkan Dengan Ijtihad Lain حفظه هللا Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf Disalin dari Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islam Terbitan Pustaka Al-Furqon-Gresik, hal. 318-322 Download > 1000 ebook di www.ibnumajjah.com
MUQODDIMAH Ijtihad adalah mengerahkan usaha dan kemampuan untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya (Al Qur'an dan As Sunnah). Ijtihad ada dua macam: 1. Ijtihad untuk memahami nash al Qur'an dan As Sunnah untuk bisa dipetik hukum dari keduanya. Ini adalah sebuah keharusan bagi setiap ulama' mujtahid, karena dengan inilah maka akan bisa di praktekkan Al Qur'an dan as Sunnah secara benar. 2. Ijtihad yang berdasar pada hukum qiyas dan akal. Ijtihad ini tidak boleh dilakukan kecuali setelah tidak menemukan hukumnya dari Al Qur'an dan as Sunnah. Karena kewajiban seorang muslim adalah tunduk kepada ketentuan Alloh عز وجل dan Rosul-Nya dan tidak mencari-cari yang lainnya kalau Alloh dan Rosul-Nya sudah menetapkan sebuah hukum. Alloh عز وجل berfirman: ل م ي ك و ن أ ن أ م را و ر س ول ه ا لل ق ض ى إ ذ ا م ؤ م ن ة و ل ل م ؤ م ن ك ا ن و م ا و ر س ول ه ا لل ي ع ص و م ن أ م ر ه م م ن ا ل ي ر ة ف ق د ض ل ض ل ل م ب ينا "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi wanita yang mu'min, apabila Alloh dan Rosul-
Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguhlah dia telah tersesat secara-nyata." (QS. Al Ahzab[33]: 36) MAKNA KAEDAH Apabila ada seorang mujtahid yang berijtihad dalam sebuah masalah ijtihadiyyah lalu dia sudah mengamalkan ijtihadnya tersebut, kemudian setelah itu nampaklah bagi dia kekuatan pendapat lainnya kemudian dia memilih pendapat tersebut, maka ijtihadnya yang kedua tidak bisa membatalkan ijtihadnya yang pertama. Akan tetapi masalah ini hanya berlaku bagi sebuah masalah ijtihadiyyah, yaitu sebuah masalah yang tidak ada nash yang shorih dan shohih padanya atau sebuah masalah yang dalil-dalil-nya kelihatannya saling bertentangan, sehingga para ulama' banyak berselisih pendapat. Adapun kalau sebuah masalah itu nashnya sangat jelas dan gamblang tidak ada kemungkinan pemahaman lainya, maka bukan masuk dalam kaedah ini. Dari sini maka masalah ijtihadiyyah ini bisa dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Masalah yang tidak ada dalil yang jelas (dhonniyyah). 2. Masalah yang telah diputuskan oleh hakim sebelumnya dan dalam koridor ijtihadiyyah. 3. Masalah taharri (usaha mencari yang paling benar dari berbagai kemungkinan yang juga mungkin benar) Hal ini disebabkan karena ijtihad yang kedua belum tentu lebih kuat dan lebih benar daripada ijtihad yang pertama, oleh karena itu kalau setiap kali ada sebuah ijtihad baru lalu hasil ijtihad yang lama dibatalkan, maka akan berkonsekwensi tidak adanya sebuah hukum yang tetap dan nantinya semua hukum akan menggantung serta ngambang karena masih ada kemungkinan dibatalkan dengan ijtihad baru. KAPAN KAEDAH INI DITERAPKAN? Kaedah ini diterapkan dalam sebuah masalah hukum yang sudah diputuskan. Sebagai sebuah contoh mudah: Contoh macam pertama dan kedua: Para ulama berselisih pendapat tentang apakah seorang suami kalau menceraikan istrinya saat haidl, apakah jatuh talak ataukah tidak? Jumhur
ulama' mengatakan jatuh, dan sebagian ulama' lainnya mengatakan tidak jatuh. Kalau ada seorang hakim dihadapkan kepadanya masalah ini, dan saat itu madzhab dia menguatkan jatuhnya talak masa haidl lalu dia memutuskan dengannya, kemudian beberapa tahun kemudian, setelah kembali menelaah masalah ini akhirnya dia menguatkan madzhab lainnya yang mengatakan bahwa cerai saat haidl tidak jatuh, kemudian ada kasus serupa yang dulu, maka saat itu dia menghukumi dengan tidak jatuhnya cerai. Lalu apabila orang pada kasus yang pertama menuntut kepadanya agar menghukumi dengan hukum yang kedua (tidak jatuhnya talak) maka si hakim tadi tidak bisa merubah hukumnya karena hukum itu sudah berlalu dan ini adalah sebuah masalah ijtihadiyyah. Dan hukum ini berlaku meskipun yang menghukumi itu adalah hakim sebelumnya. Contoh masalah taharri. Kalau ada seseorang yang bingung menentukan arah kiblat untuk mengerjakan sholat, lalu dia sudah berusaha mencarinya dengan cara bertanya atau melihat tanda-tanda lainnya seperti matahari, bulan, ataupun bintang, akan tetapi dia masih bingung dan belum bisa menentukannya, lalu dia sholat dengan hasil ijtihadnya tersebut, kemudian setelah itu nampaklah baginya bahwa yang dia ijtihadkan sebelumnya
tersebut salah, maka sholatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi. Penerapan kaedah ini pernah dilakukan oleh Amirul mu'minin Umar bin Khothob dalam masalah musyarrokah. Musyarrokah adalah sebuah masalah faroidl kalau berkumpul dalam satu masalah suami, ibu atau nenek yang mendapatkan seperenam, saudara seibu dua atau lebih, saudara kandung satu atau lebih. Pertama kali masalah ini dihadapkan kepada Amirul mu'minin Umar bin Khothob maka beliau tidak memberikan bagian apa-apa kepada saudara kandung, karena ashhabul Furudl sudah menghabiskan harta. Lalu beberapa tahun kemudian, masalah yang sama persis datang lagi kepada beliau, maka beliau memasukkan saudara kandung kepada bagian saudara seibu, yaitu sepertiga dibagi rata kepada mereka semua. Lalu tatkala perbedaan hukum dalam satu masalah yang sama ini ditanyakan kepada beliau, maka beliau menjawab: "Itu yang dulu pernah kami hukumi dan ini adalah hukum kami sekarang."[]