RESPON TANAMAN JAGUNG

dokumen-dokumen yang mirip
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu Pelaksanaan. Penelitian ini dilakukan di lahan percobaan dan laboratorium Fakultas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kompos Kulit Buah Jarak Pagar

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung Manis. Tanaman jagung manis diklasifikasikan ke dalam Kingdom Plantae (Tumbuhan),

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun Kota Sepang Jaya, Kecamatan Labuhan Ratu,

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kombinasi Pupuk Kimia dan Pupuk Organik terhadap Tanaman Jagung Manis

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

BAHAN DAN METODE Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Metode Penelitian Pembuatan Pupuk Hayati

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

PENDAHULUAN. Sedangkan pads Bokashi Arang Sekam setelah disimpan selama 4 minggu C/N rationya sebesar 20.

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan salah satu tanaman pangan dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

BAB III BAHAN DAN METODE. Medan Area yang berlokasi di Jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung manis merupakan tanaman yang sangat responsif terhadap

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca dan di laboratorium dan rumah

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah

BAHAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE. Riau Jalan H.R Subrantas Km 15 Simpang Baru Panam. Penelitian ini berlangsung

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tomat

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai

METODE PELAKSANAAN. Yogyakarta dan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas. Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan April-Agustus 2017.

III. BAHAN DAN METODE

Tata Cara penelitian

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

BAB IV. METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 15 Maret sampai dengan 15 Juni 2015.

III. MATERI DAN METODE

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian dan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos (Green House ) Fakultas

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. dengan ketinggian tempat ± 25 di atas permukaan laut, mulai bulan Desember

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TATA CARA PENELITIAN

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Rancangan Percobaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. green bean dan mung. Di Indonesia, kacang hijau juga memiliki beberapa nama

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

III. BAHAN DAN METODE. laut, dengan topografi datar. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2015 sampai

I. PENDAHULUAN. Jagung manis (Zea mays saccharata) merupakan salah satu komoditas pertanian

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pakcoy merupakan tanaman dari keluarga Cruciferae yang masih berada

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat Rancangan Percobaan Yijk ijk

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan Waktu dan Tempat Penelitian Rancangan Percobaan ProsedurPenelitian

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate,

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Rumah Kasa, Laboratorium Kesuburan dan

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung manis (Zea mays sacharata Sturt.) dapat diklasifikasikan

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Lahan Percobaan Fakultas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kacang Tanah

Transkripsi:

RESPON TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) TERHADAP APLIKASI PUPUK ORGANIK DARI LIMBAH KULIT BUAH JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) YANG DIINKUBASI DENGAN 4 JENIS BIODEKOMPOSER MOCHAMAD SUWARNO A24050499 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

RINGKASAN MOCHAMAD SUWARNO. Respon Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Aplikasi Pupuk Organik dari Limbah Kulit Buah Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) yang Diinkubasi dengan 4 Jenis Biodekomposer. (Dibimbing oleh HERDHATA AGUSTA dan MUHAMMAD SYAKIR). Penelitian ini dilakukan untuk melihat respon tanaman jagung terhadap aplikasi pupuk organik yang dihasilkan dari limbah kulit buah jarak pagar melalui dekomposisi dengan menggunakan biodekomposer dan penambahan pupuk kandang yang diaplikasikan dalam berbagai taraf dosis. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 hingga bulan Mei 2010 di rumah kaca kebun percobaan IPB Cikabayan, Kampus Dramaga, Bogor dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial sebanyak dua faktor dengan dua kali percobaan yaitu percobaan I yang menggunakan tanah 5 kg/polibag dan tanpa penambahan kapur pertanian sedangkan percobaan II menggunakan tanah 15 kg/polibag dan dilakukan penambahan kapur pertanian 5 x Al-dd. Faktor pertama ialah jenis kompos yang dihasilkan dari limbah kulit buah jarak yang didekomposisikan dengan empat biodekomposer yaitu Orgadec, Mdec, Biotriba, EM4, dan kontrol serta penambahan bahan organik berupa pupuk kandang (kotoran sapi) dan tanpa penambahan bahan organik (kontrol 100%, kontrol 75%, EM4 100%, EM4 75%, Biotriba 100%, Biotriba 75%, Orgadec 100%, Orgadec 75%, Mdec 100%, dan Mdec 75%). Faktor kedua ialah dosis aplikasi kompos yang terdiri atas 3 taraf yaitu D1 (10 ton/ha), D2 (20 ton/ha), dan D3 (30 ton/ha). Kombinasi kedua faktor menghasilkan 30 kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga menghasilkan 90 satuan percobaan. Setiap ulangan terdapat 4 tanaman contoh untuk percobaan I sedangkan untuk percobaan II setiap ulangan terdapat 2 tanaman contoh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dosis kompos 30 ton/ha (D3) berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif, brangkasan, dan produksi tanaman dibandingkan dengan pemberian dosis kompos 10 ton/ha (D1). Dosis 30

ton/ha dapat meningkatkan 17 g bobot basah total (percobaan I), 1 g bobot kering total (percobaan I), 40 g bobot basah total (percobaan II), 14 g bobot kering total (percobaan II), 5 cm panjang akar (percobaan II), 4 g bobot basah tongkol (percobaan I), 12 g bobot basah tongkol (percobaan II), 6 g bobot kering tongkol (percobann II), dan 5 mm diameter tongkol (percobaan II), serta menurunkan 2 mm diameter tongkol (percobaan I). Kesepuluh jenis kompos yang dihasilkan dilakukan isolasi setelah pencampuran dengan tanah dalam kondisi lembab selama satu minggu. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh perlakuan jenis kompos K0B2 berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif, brangkasan, dan generatif tanaman. K0B2 mampu meningkatkan 48 g bobot basah total (percobaan II), 3 cm panjang akar (percobaan I), 8 cm panjang akar (percobaan II), 14-15 g bobot basah tongkol (percobaan II), dan 5 cm panjang tongkol (percobaan II). Perlakuan jenis kompos K1B1 berpengaruh terhadap vegetatif dan brangkasan tanaman. K1B1 dapat meningkatkan 2 ml volume akar (percobaan I), 1.7 ml volume akar (percobaan II), 4 g bobot basah tongkol (percobaan I), dan 2 cm panjang tongkol (percobaan I). Perlakuan jenis kompos K0B4 dan K1B4 tidak berpengaruh terhadap vegetatif, brangkasan, dan generative tanaman. Serapan Hara N oleh tanaman tertinggi ditunjukkan oleh kombinasi perlakuan D3K1B1 (0.46 g/tan) dengan efisiensi serapan (7.00%) sedangkan yang terendah ditunjukkan oleh kombinasi D3K0B0 (0.18 g/tan) dengan efisiensi serapan (2.89%). Dosis 30 ton/ha berpengaruh terhadap kadar nitrat tanah baik saat 2 MST (55.42 ppm) maupun 8 MST (26.02 ppm). Pada 2 MST, jenis kompos dengan kadar nitrat tanah tertinggi yaitu K1B2 (55.38 ppm) dan terendah K0B4 (43.31 ppm) sedangkan pada 8 MST, K0B4 (30.96 ppm) memiliki kadar nitrat tertinggi dan K1B2 (19.80 ppm) berkadar nitrat rendah.

RESPON TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) TERHADAP APLIKASI PUPUK ORGANIK DARI LIMBAH KULIT BUAH JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) YANG DIINKUBASI DENGAN 4 JENIS BIODEKOMPOSER Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor MOCHAMAD SUWARNO A24050499 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Judul Nama NRP Departemen : RESPON TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) TERHADAP APLIKASI PUPUK ORGANIK DARI LIMBAH KULIT BUAH JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) YANG DIINKUBASI DENGAN 4 JENIS BIODEKOMPOSER : Mochamad Suwarno : A24050499 : Agronomi dan Hortikultura Menyetujui, Dosen Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II (Dr. Ir. Herdhata Agusta) (Dr. Ir. Muhammad Syakir) NIP: 19590813 198303 1 003 NIP: 19581117 198403 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura (Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr) NIP: 19611101 198703 1 003 Tanggal lulus :

RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Mochamad Suwarno yang lahir di Jakarta pada tanggal 13 Januari 1987 dari pasangan Mohamad Sumedi (Alm.) dan Sainah Sunarti. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak di TK. Irsyadiyah, Jakarta Pusat tahun 1991-1993. Penulis melanjutkan pendidikan di SDN Sumur Batu 10 Pagi, Jakarta Pusat dari tahun 1993 hingga 1999. Jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, penulis tempuh di SLTPN 228, Jakarta Pusat tahun 1999-2002. Pada tahun 2002-2005 penulis menempuh pendidikan di SMA Negeri 5, Jakarta Pusat dan tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi, penulis mengikuti kepanitian seperti Gebyar Nusantara tahun 2005-2006 dan Festival Tanaman tahun 2007. Selain itu, penulis juga pernah menjadi delegasi IPB dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) untuk jenis PKMI yang diselenggarakan di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang tahun 2008. Pada tahun 2009, penulis menjadi penerima dana usaha Dikti dalam Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (PPKM) yang diselenggarakan oleh Unit Jasa Ketenagakerjaan, Institut Pertanian Bogor dan tahun yang sama penulis pernah menjadi surveyor untuk pengambilan data kerusakan akibat gempa bumi di wilayah Kabupaten Bandung.

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini diberi judul Respon Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Aplikasi Pupuk Organik dari Limbah Kulit Buah Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) yang Diinkubasi dengan 4 Jenis Biodekomposer. Penelitian ini didasari untuk pemanfaatan limbah kulit buah dari pertanaman jarak pagar yang berlimpah pada saat panen raya. Penelitian ini diharapkan dapat mengembalikan hara yang terdapat dari limbah kulit buah jarak agar dapat dimanfaatkan kembali ke tanaman. Penyusunan skripsi ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang banyak sehingga dapat memperkaya dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Bogor, Februari 2011 Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis dengan ketulusan dan kerendahan hati ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada : 1. Bapak (Alm.) dan Ibu tercinta, atas doa-doa yang telah dicurahkan tak terhingga, kasih sayang dan semangat yang selalu ditunjukkan secara nyata. Kepada Eri Sulistyowati dan Dasyanto, Edi Sarwono dan Desi Anggraeni, Agus Setiono dan Helaliah terima kasih untuk dukungan dan kepercayaan yang telah diberikan serta untuk Andre Sakti Wicaksono, Andhika Bagas Prasetyo, Khevin Eryanto, Muhammad Ariiq Al-Fayyad, Muhammad Hafiz Ali Zaki, dan Rajwa Latifah Gusliah kalian telah memberikan hidup menjadi lebih berwarna. 2. Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Hasjim Bintoro Djoefri, M. Agr. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan banyak pembelajaran hidup yang akan selalu teringat. 3. Dr. Ir. Herdhata Agusta dan Dr. Ir. Muhammad Syakir selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini serta membentuk diri saya menjadi pribadi yang berbeda. 4. Dosen penguji atas masukan yang telah diberikan. 5. Ir. Sumanto dan Ibu Jati Purwani yang telah membantu menyelesaikan permasalahan yang ada selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 6. Ibu Sriani, Bapak Syukur, dan Ibu Eca yang telah memperbolehkan saya untuk menghabiskan waktu di Laboratorium Pemuliaan Tanaman. 7. Mercy Bientri Yunindanova yang telah menjadi teman diskusi dan Dendih Sukmadijaya yang telah membantu memberikan tempat bernaung. Abdul Hakim, Avicenna, Tiara Yudilastari, Mba Cici, Mba Roma, Mba Fifin, Mba Iin, Mas Arif, Hendi, Nida, dan Via yang membuat keceriaan atas keterlambatan saya.

8. Seluruh staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura atas bimbingan yang telah diberikan selama ini. 9. Jaka Putra Kelana, Satria Pura Nagara, Vega Heryanto, Muhammad Usron Mahmur, dan Fadli Hakim (Al-Azhar Community) terima kasih atas kebersamaan yang indah. 10. Pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian studi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Bogor, Februari 2011 Penulis

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI. DAFTAR TABEL...... DAFTAR GAMBAR.. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.)... 4 Botani dan Nama Daerah... 4 Syarat Tumbuh... 4 Morfologi Tanaman... 5 Jagung (Zea mays)... 6 Kompos dan Pupuk Kandang... 7 Biodekomposer (EM4, OrgaDec, M-Dec, dan BioTRIBA)... 8 BAHAN DAN METODE... 11 Tempat dan Waktu... 11 Bahan dan Alat... 11 Metode Percobaan... 11 Pelaksanaan Penelitian... 12 Pembuatan dan Inkubasi Kompos... 12 Penanaman Jagung... 13 Pemeliharaan Tanaman Jagung... 13 Panen dan Pengamatan... 14 Parameter Pengamatan... 14 Percobaan I... 14 Percobaan II... 15 Konversi Satuan... 17 HASIL DAN PEMBAHASAN... 18 Kondisi Umum Penelitian... 18 Hara Kompos dan Tanah... 22 Respon Pertumbuhan Vegetatif Tanaman... 25 Jumlah Daun... 25 Lebar Daun... 29 Panjang Daun... 30 Warna Daun... 32 Tinggi Tanaman dan Diameter Batang... 35 Respon Brangkasan Tanaman... 39 ix xi xiii ix

Bobot Basah dan Bobot Kering Total... 39 Bobot Basah dan Bobot Kering Akar... 44 Panjang dan Volume Akar... 47 Respon Produksi Tanaman... 50 Bobot Basah dan Bobot Kering Tongkol... 50 Panjang dan Diameter Tongkol... 54 Serapan Hara N pada Percobaan I... 58 Kadar Nitrat tanah pada Percobaan II... 61 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 64-66 DAFTAR PUSTAKA... 67-72 LAMPIRAN... 73-104 x

DAFTAR TABEL No. Teks Halaman 1. Pertumbuhan dan Produksi Perlakuan Kontrol Tanah.. 17 2. Kandungan Hara Kompos 22 3. Kandungan Hara Tanah... 24 4. Jumlah Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos. 26 5. Lebar dan Panjang Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos... 30 6. Warna Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos Pengukuran Menggunakan Munsell Color Chart dan SPAD.. 34 7. Tinggi Tanaman dan Diameter Batang pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos. 37 8. Bobot Basah dan Kering Total Brangkasan Tanaman 42 9. Bobot Basah dan Kering Akar Tanaman... 45 10. Panjang dan Volume Akar Tanaman... 48 11. Bobot Basah dan Bobot Kering Tongkol. 52 12. Panjang dan Diameter Tongkol 55 13. Serapan dan Efisiensi Serapan Hara N oleh Tanaman 58 14. Kandungan Nitrat Tanah.. 61 xi

No. Lampiran Halaman 1. Kriteria Sifat Kimia Tanah Menurut Pusat Penelitian Tanah (1983). 73 2. SNI Kompos 19-7030-2004.. 73 3. Rekapitulasi Uji F-Anova Parameter Morfologi.. 75 4. Suhu dan Kelembaban Tanah 1 HSS.. 77 5. Suhu dan Kelembaban Tanah 1 HSS.. 78 6. Rekapitulasi Uji F-Anova Kadar Air Tanah 79 7. Kadar Air Akar.. 80 8. Deskripsi Varietas Jagung Virginia II. 81 9. Kondisi Umum pada Kedua Percobaan.. 81 10. Persentase Serangan Hama dan Penyakit 82 11. Persentase Jumlah Bunga pada Kedua Percobaan.. 83 12. Rekapitulasi Uji F-Anova Parameter Panen Brangkasan... 83 13. Rekapitulasi Uji F-Anova Parameter Produksi 84 14. Rekapitulasi Uji F-Anova Kadar Air Tanah. 84 15. Rekapitulasi Uji F-Anova Suhu dan Kelembaban Tanah 85 16. Rekapitulasi Uji F-Anova Kadar Nitrat Tanah. 85 17. Persentase Selisih Kadar Nitrat Tanah. 86 18. Sumber Informasi Penghitungan Serapan Hara Tanaman Percobaan I. 88 19. Serapan dan Efisiensi Hara N oleh Tanaman Percobaan I.. 90 20. Sumber Informasi Kebutuhan Air per Polibag Percobaan II 92 21. Penghitungan Jumlah Kebutuhan Air per Polibag Percobaan II 92 22. Kombinasi Perlakuan Dosis Kompos dengan Jenis Kompos untuk Peubah Panjang Tongkol. 93 23. Bobot Basah dan Kering Total Tanpa Transformasi.. 95 24. Bobot Basah dan Kering Akar Tanpa Transformasi 96 25. Panjang dan Volume Akar Tanpa Transformasi. 97 26. Bobot Basah dan Kering Tongkol Tanpa Transformasi 98 27. Panjang dan Diameter Tongkol Tanpa Transformasi 99 xii

DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman 1. Kondisi Pertanaman Jagung Umur 4 MST.. 19 2. Gejala Serangan Hama dan Penyakit.. 21 3. Grafik Intensitas Cahaya Lingkungan Penelitian 28 4. Kondisi Brangkasan Tanaman... 40 5. Grafik Bobot Basah Total Percobaan II.. 43 6. Kondisi Perakaran Tanaman... 50 7. Grafik Bobot Basah Tongkol Percobaan II. 54 No. Lampiran Halaman 1. Grafik Suhu Lingkungan Penelitian... 74 2. Layout Petak Penelitian 87 3. Kompos Setelah Dicacah. 94 4. Tata Letak Polibag... 94 5. Inkubasi Kompos.. 94 6. Perlakuan Benih 95 7. Tahapan Pemunculan Bunga Jantan 95 8. Bunga Betina... 95 9. Panen Tanaman Percobaan I. 96 10. Kondisi Perakaran dan Brangkasan Tanaman pada Percobaan I 96 11. Kondisi Hasil Produksi Percobaan I. 97 12. Kondisi Brangkasan dan Perakaran Tanaman pada Percobaan II 97 13. Kondisi Hasil Produksi pada Percobaan II 97 14. Peralatan yang Digunakan. 98 xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya populasi penduduk di Indonesia memperbesar angka kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dipergunakan oleh masyarakat. Menurut Hambali et al. (2006) besarnya konsumsi BBM masyarakat Indonesia sejak tahun 1995 melebihi jumlah produksi dalam negeri dan diperkirakan pasokan minyak dalam negeri akan habis dalam kurun waktu 10-15 tahun. Dalam menghadapi krisis dan kenaikan harga BBM di Indonesia, pemerintah mulai menggali sumber-sumber energi alternatif sebagai bahan bakar nabati. Bahan bakar yang ramah lingkungan diperoleh dari tumbuhan dikenal dengan istilah bahan bakar nabati (Indartono, 2006). Jarak pagar (Jatropha curcas Linn.) merupakan salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai bahan bakar alternatif menggantikan BBM karena banyak mengandung minyak nabati dan relatif mudah untuk dibudidayakan pada lahan kritis (Hariyadi, 2005). Posisi tanaman jarak sebagai bahan bakar alternatif menyebabkan tanaman ini ditanam secara massal baik di lahan subur maupun di lahan-lahan marjinal (lahan kritis). Akan tetapi, tanaman penghasil minyak nabati ini memiliki karakteristik produksi bahan baku yang bertahap dimulai dari panen pertama atau tahun pertama hasilnya akan sangat rendah dengan produktivitas sebesar 0.5-1 ton biji kering/ha/tahun dan meningkat setiap tahunnya hingga tahun kelima produktivitasnya mencapai 5 ton/ha/tahun (Prihandana dan Hendroko, 2006). Produktivitas bahan baku minyak alternatif ini beragam antar lokasi pertanaman karena dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh dan cara tanam. Prihandana dan Hendroko (2006) menyatakan bahwa di Negara Afrika terdapat perbedaan produktivitas diantaranya 0.3-9 kg/tanaman/tahun dan 0.4-12 ton/ha/tahun. Produktivitas berbeda ditunjukkan juga di Negara India yang menghasilkan 4 ton/ha/tahun di tahun keempat panen sedangkan Madagaskar mampu menghasilkan produksi 6-8 ton/ha/tahun dan Nikaragua menghasilkan 5 ton/ha/tahun (Prana, 2006).

2 Proses ekstraksi minyak nabati dari buah jarak segar melalui beberapa tahapan mulai dari pengupasan kulit buah, pengeringan biji, pembersihan biji, pemecahan biji, pemisahan daging biji dari cangkangnya, penghalusan daging biji, pengepresan, penyaringan, dan dihasilkan minyak mentah jarak (Nurcholis dan Sumarsih, 2007). Proses pemisahan daging biji dengan cangkangnya menghasilkan limbah berupa cangkang yang apabila diproses lebih lanjut akan dihasilkan bio-oil (Manurung, 2005) sedangkan dari proses pengepresan akan dihasilkan bungkil yang dapat dikomposkan menjadi pupuk organik. Lele (2005) menyebutkan kandungan daging biji sebelum proses pengepresan yaitu minyak atau lemak 38%, protein 18%, serat 15.5%, air 6.2%, abu 5.3 %, dan karbohidrat 17% Kulit buah jarak pagar potensial untuk dapat dijadikan sebagai pakan ternak karena mengandung protein tinggi. Akan tetapi, produk sampingan dari ekstraksi minyak nabati ini mengandung senyawa yang bersifat racun yaitu curcine atau curcacine semacam toxalbumin dan curcanoleic acid sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh hewan (Prana, 2006). Menurut Jones dan Miller (1992) ampas atau limbah kulit buah jarak memiliki kandungan 4.58% kelembaban, 3.2-4.44% N, 1.4-2.09% P, dan 1.2-1.68% K sehingga sangat sesuai digunakan sebagai pupuk organik atau kompos. Kompos merupakan suatu hasil dekomposisi bahan organik baik yang berasal dari hewan maupun tumbuhan. Dekomposisi atau pembusukan dapat menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan kimia dari bahan baku organik (sisa hewan dan tumbuhan) menjadi bentuk bahan organik matang. Proses ini dibantu oleh adanya peran mikroba (mikroorganisme) seperti bakteri, jamur, dan aktinomycetes. Mikroorganisme tersebut banyak dimanfaatkan sebagai biodekomposer yang ditujukan untuk mempercepat proses dekomposisi. Menurut Schuchardt, et al. (1998) kompos yang telah matang dapat diketahui berdasarkan kriteria primer yaitu pertumbuhan tanaman dan kriteria sekunder diantaranya C/N ratio, suhu, kadar air, warna, dan struktur bahan. Biodekomposer atau aktivator merupakan suatu organisme pengurai materi organik yang telah diisolasi dan dioptimasi, serta dikemas dalam berbagai bentuk pada keadaan inaktif yang dapat digunakan untuk mempercepat proses

3 pengomposan dan meningkatkan kualitas hasil kompos (Sulistyawati et al., 2008). Jenis biodekomposer yang telah banyak diaplikasikan oleh masyarakat atau petani yaitu EM4, karena di dalam EM4 mengandung lumbricus (bakteri asam laktat), actinomycetes, Streptomyces sp., ragi dan sedikit bakteri fotosintetik dengan mekanisme kerja meningkatkan fermentasi limbah (mempercepat hilangnya bau), meningkatkan ketersediaan hara, serta menekan aktivitas organisme pengganggu tanaman dan patogen (Djuarnani et al., 2005). Jagung termasuk kedalam jenis tanaman C4 yang memiliki respon yang baik terhadap cahaya yang berbeda dibandingkan dengan tanaman C3 karena perbedaan karakter fotosintesis. Zea mays akan menunjukkan pertumbuhan yang baik jika benih ditanam saat musim penghujan. Hal ini memperlihatkan bahwa cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang tidak dapat diubah. Pada lahan kering, benih jagung ditanam sedikit lebih dalam untuk mendekatkan benih dengan sumber air yang dapat membantu perkecambahan benih hingga dicapai hasil yang optimal (Subandi et al., 2004). Pentingnya penelitian ini ialah untuk melihat kemampuan kompos yang dihasilkan dari limbah kulit buah jarak yang didekomposisikan dengan menggunakan biodekomposer dan penambahan pupuk kandang apabila diaplikasikan ke tanaman dalam berbagai taraf dosis. Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat respon tanaman jagung terhadap kompos yang dihasilkan dari limbah kulit buah jarak melalui dekomposisi dengan menggunakan biodekomposer dan penambahan pupuk kandang apabila diaplikasikan dalam berbagai taraf dosis. Hipotesis 1. Biodekomposer Biotriba, Mdec, dan Orgadec lebih efektif untuk pengomposan limbah kulit buah jarak pagar dibandingkan dengan EM4 atau tanpa biodekomposer. 2. Dosis kompos 30 ton/ha lebih efektif memberikan respon pada tanaman jagung dibandingkan dengan dosis kompos 10 ton/ha.

TINJAUAN PUSTAKA Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) Botani dan Nama Daerah Jatropha curcas Linn. di Indonesia lebih dikenal sebagai tanaman pagar atau tanaman pekarangan yang ditanam di tepian jalan. Tanaman bergetah ini memiliki beberapa nama daerah diantaranya jarak kosta (Sunda), jarak budeg (Jawa), kaleke (Madura), Jarak pageh (Bali), Balancai (Manado), nawabih nawas (Aceh), Tanggang-tanggang kali kanjoli (Makasar), paku kase, paku luba, paku lunat (Timor Timur), dan balacai bisa (Ternate dan Tidore) (Heyne (1987), Sinaga (2005), Prihandana dan Hendroko (2006), Nurcholis dan Sumarsih (2007)). Tanaman penghasil minyak ini diperkirakan pertama kali ditemukan sekitar 7 juta tahun yang lalu di wilayah benua Amerika dengan susunan taksonomi sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan vaskular) Superdivisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Divisio : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (dikotil) Subkelas : Rosidae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Jatropha Spesies : Jatropha curcas Linn. Sumber : Nurcholis dan Sumarsih (2007) Syarat Tumbuh Jarak pagar memiliki percepatan tumbuh yang baik apabila kondisi lingungannya menunjang. Tanaman ini dapat bersifat dorman pada saat musim kering sehingga Bramasto (2003) mengatakan curah hujan yang sesuai berkisar 300-700 mm/tahun. Akan tetapi, tanaman ini mampu bertahan di daerah kering yang lembab dengan curah hujan 48-200 mm/tahun (Henning, 2004). Wilayah optimum pertumbuhan jarak di Indonesia berada pada ketinggian 0-600 mdpl,

5 suhu harian berkisar 22 C -35 C, curah hujan 500-1500 mm/tahun, dan hari hujan sebanyak 100-120 hari/tahun (Wahid, 2006). Menurut Hariyadi (2005) jarak pagar dapat tumbuh pada garis lintang 50 LU-40 LS, pada ketinggian tempat 2000 mdpl, suhu berkisar 18 C-30 C, berdrainase baik, tidak tergenang, dan ph tanah 5.0-6.5. Morfologi Tanaman Tanaman penghasil minyak nabati ini merupakan tanaman perdu yang dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 7 meter. Sistem perakarannya tunggang dengan warna akar putih kecoklatan, batang silindris, berwarna putih kelabu, berkayu dan bergetah, daun berwarna hijau berstruktur tunggal dan berbentuk bulat telur berlekuk, bersudut tiga atau lima, tulang daun menjari dengan 5-7 tulang daun utama, panjang daun 4-15 cm, dan lebar daun 6-16 cm (Hariyadi, 2005). Percabangannya tersusun tidak beraturan dengan tiga jenis cabang yaitu cabang primer merupakan cabang yang pertama tumbuh atau batang utama, cabang sekunder adalah yang tumbuh dari cabang primer serta akan menjadi tempat tumbuh dari cabang terminal, dan cabang terminal ialah tempat tumbuh dari daun, bunga, dan buah sehingga tindakan pemangkasan menjadi perlu untuk mengatur produksi. Menurut Ferry (2006) jumlah cabang terminal yang dipelihara melebihi 40 cabang akan menurunkan produksi sehingga yang terbaik dengan memelihara tiga cabang terminal untuk setiap satu cabang sekunder. Hasnam (2006c) mengatakan bahwa tanaman jarak merupakan tanaman monoecius atau berumah satu. Bunga tersusun dalam malai (inflorescence) dengan sepal dan petal yang berjumlah lima dan berwarna hijau hinga kecoklatan. Bunga jantan memiliki 10 stamen dalam pola lingkaran (whorl) dengan membentuk dua buah tabung sedangkan bunga betina berukuran lebih besar karena ovarium membentuk lima ruang yang setiap ruang berisi satu bakal biji (ovulum) dan tangkai putik (stilus) melekat pada kepala putik (stigma). Akan tetapi, Hariyadi (2005) menyebutkan dalam satu bunga betina umumnya terdiri atas tiga ovulum yang berarti hanya terdapat tiga ruang di dalam ovarium.

6 Buah masak setelah 40-50 hari dari penyerbukan, buah muda berdaging dan berwarna kehijauan, kemudian menguning dan mengering. Buah dapat pecah jika lewat masak dan biasanya berisi tiga biji berwarna kehitaman (Hasnam, 2006). Biji berbentuk ellips, mengandung minyak nabati hingga mencapai 40%, jumlah produksi biji kering untuk kualitas terbaik adalah 1 300-1 500 biji/kg (Ferry, 2006). Jagung (Zea mays L.) Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang responsif terhadap kondisi lingkungan. Pertumbuhan tanaman ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan tumbuhnya seperti ketersediaan hara dalam tanah, ketersediaan air tanah, dan intensitas cahaya. Faktor lingkungan tersebut akan dapat mempengaruhi produktivitas hasil tanaman ini, sesuai dengan pernyataan Purnomo (2005) respon hasil produksi yang rendah terjadi pada pertanaman jagung yang ditanam pada lahan dengan intensitas cahaya yang rendah atau ternaungi, karena besarnya kompetisi yang terjadi dengan tanaman pokok terutama dalam hal unsur hara dan air. Zea mays akan menunjukkan pertumbuhan yang baik jika benih ditanam saat musim penghujan. Hal ini memperlihatkan bahwa ketersediaan air untuk tanaman ini berasal dari air hujan sedangkan ketersediaan hara pada jagung tidak cukup jika mengandalkan ketersediaan hara mineral tanah sehingga perlu adanya pemupukan. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang tidak dapat diubah. Pada lahan kering, benih jagung ditanam sedikit lebih dalam dari lahan basah karena untuk mendekatkan benih dengan sumber air yang dapat membantu perkecambahan benih hingga dicapai hasil yang optimal (Subandi et al., 2004). Jagung termasuk kedalam jenis tanaman C4 yang memiliki respon yang baik terhadap cahaya yang berbeda dibandingkan dengan tanaman C3 karena perbedaan karakter fotosintesis. Tanaman C3 pada cahaya rendah kemungkinan memiliki hasil yang lebih baik daripada tanaman C4 semacam jagung. Cahaya yang dapat dipergunakan untuk proses fotosintesis adalah cahaya yang mempunyai panjang gelombang antara 400 700 nm. Cahaya ini dikenal dengan

7 radiasi aktif untuk fotosintesis (Photosynthetic Active Radiation/PAR) (Gallo and Daughtry, 1986; Taiz and Zieger, 1998; Hall and Rao, 1999). Tanaman yang memperoleh pencahayaan dibawah optimum, produksinya menjadi rendah baik pada tanaman C4 seperti jagung (Sitompul 2003) maupun tanaman C3 seperti kedelai (Adisarwanto et al., 2000). Kompos dan Pupuk Kandang Tanah merupakan salah satu komponen yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi tanah yang dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman kurang diperhatikan terutama masalah nutrisi atau hara tanah. Selain pupuk anorganik yang ditambahkan ke dalam tanah, terdapat pula pupuk organik diantaranya kompos. Kompos merupakan hasil dekomposisi bahan organik baik dari sisa tanaman, sisa hewan, maupun limbah organik. Menurut Djuarnani et al. (2005) menyatakan kompos diartikan sebagai partikel tanah bermuatan negatif yang dapat berkoagulasi dengan kation dari tanah sesingga terbentuk granulgranul. Bahan baku dalam pembuatan kompos dapat berupa kotoran sapi, kotoran ayam, limbah pemotongan hewan, serbuk gergaji, rumput sisa ransum ternak, jerami padi, kimbah tanaman, sampah rumah tangga, dan limbah industri makanan (Djaja, 2008). Pembuatan kompos dapat dilakukan di dalam bak, drum, atau di lahan sawah. Beberapa syarat yang perlu diperhatikan mengenai tempat pembuatan kompos yaitu : Tempat pembuatan diusahakan berada lebih tinggi dari sekitarnya agar saat hujan tidak tergenang. Beratap agar tidak terkena sinar matahari langsung atau hujan. Untuk memudahkan saat pembalikan kompos dan untuk keberlanjutan produksi maka tempat pembuatan dibagi menjadi empat bagian (4 petak). Satu dengan yang lainnya cukup disekat dengan papan atau bambu. (Balai Penelitian Teknologi Pertanian, 2009) Djaja (2008) mengemukakan bahwa pada dasarnya proses pengomposan dipengaruhi oleh tujuh faktor, yaitu oksigen dan aerasi karena mikroba pengurai mengonsumsi oksigen sehingga perlu pengaturan aerasi, C/N ratio karena dapat

8 menunjukkan kondisi kompos yang telah matang, kandungan air karena dapat meunjang proses metabolik mikroba, porositas, struktur, tekstur, dan ukuran partikel bahan baku, ph bahan baku, temperatur, dan lamanya waktu. Semua bahan organik yang berasal dari pembuangan kotoran ternak yang digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah dinamakan pupuk kandang (Balasubramanian dan Bell, 2006). Pupuk kandang dan sumber organik lainnya digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan kadar bahan organik tanah menyediakan hara mikro, dan memperbaiki struktur tanah. Penggunaan bahan-bahan ini juga dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba dan perputaran hara dalam tanah. Pupuk kandang (pukan) yang berasal dari kotoran ternak berbeda satu sama lain. Pukan dari kotoran sapi dan kerbau banyak mengandung air, kotoran sapi potong memiliki kandungan air yang lebih sedikit dibandingkan dengan kotoran sapi perah. kotoran ayam mengandung unsur N tinggi dan sedikit kering, kualitas pukan antara kotoran ayan petelur berbeda dengan ayam potong dan ayam kampong (Djaja, 2008). Adapun keunggulan dari kompos bila dibandingkan dengan pupuk anorganik diantaranya kompos mengandung unsur hara makro dan mikro yang lengkap walaupun dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, dapat memperbaiki struktur tanah dengan cara menggemburkan tanah atau meningkatkan ketersediaan bahan organik dalam tanah, meningkatkat daya serap air dan hara, menyediakan makanan bagi mikroorganisme tanah, memperbesar daya jerap tanah, memperbaiki drainase dan aerasi tanah, membantu proses pelapukan bahan mineral, dan melindungi tanah dari kerusakan, kompos juga menyebabkan beberapa jenis tanaman tahan terhadap serangan penyakit, dan menurunkan aktivitas patogen tanah (Djuarnani et al., 2005). Biodekomposer (EM4, Orgadec, Mdec, dan Biotriba) Biodekomposer atau aktivator merupakan suatu organisme pengurai materi organik yang telah diisolasi dan dioptimasi, serta dikemas dalam berbagai bentuk pada keadaan inaktif yang dapat digunakan untuk mempercepat proses pengomposan dan meningkatkan kualitas hasil kompos (Sulistyawati et al., 2008).

9 Biasanya organisme ini berupa bakteri, aktinomycetes, atau jamur (Djaja, 2008). Beberapa jenis biodekomposer telah banyak diaplikasikan oleh masyarakat terutama petani diantaranya EM4, Orgadec, Mdec, dan Biotriba. Effective Microorganism (EM4) merupakan suatu bahan pelarut yang mengandung sejumlah mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan seperti lumbricus (bakteri asam laktat), actinomycetes, Streptomyces sp., ragi dan sedikit bakteri fotosintetik dengan mekanisme kerja meningkatkan fermentasi limbah (mempercepat hilangnya bau), meningkatkan ketersediaan hara, serta menekan aktivitas organisme pengganggu tanaman dan patogen (Djuarnani et al., 2005). Organic decomposer (Orgadec) adalah bioaktivator yang memiliki kemampuan untuk mengurai bahan organik mentah dalam waktu yang relatif singkat serta menekan munculnya beberapa penyakit akar. Mikroorganisme yang terkandung dalam Orgadec diantaranya Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. yang dapat menghasilkan enzim penghancur lignin dan selulosa sehingga biodekomposer ini sesuai diaplikasikan pada limbah padat organik tandan kosong kelapa sawit, kulit kakao, jerami padi, dan pangkasan sisa teh. Orgadec memiliki mekanisme kerja menurunkan C/N secara efisien, tidak menimbulkan bau tidak sedap, menghasilkan mutu kompos yang seragam, efisiensi tenaga kerja karena tidak perlu pembalikan bahan baku, menekan pertumbuhan gulma, mengandung unsur hara makro dan zat pengatur tumbuh serta sesuai untuk kondisi tropis (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2008). Microorganic decomposer (Mdec) merupakan suatu bioaktivator yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan efisiensi perombakan bahan organik, mikroorganisme yang terkandung dalam Mdec sama dengan Orgadec tetapi formulasi yang dimiliki berbeda. Dekomposer ini mampu mempercepat proses pengomposan bahan organik yang bahan bakunya banyak mengandung selulosa seperti jerami padi yang waktu dekomposisinya selama 2 bulan dapat dipersingkat menjadi 2 minggu dan yang banyak mengandung lignin seperti tandan kosong kelapa sawit yang membutuhkan waktu 3 bulan untuk proses penguraian dipersingkat menjadi 1 bulan. Selain itu, Mdec juga dapat menekan penyakit yang berasal dari tanah (tertular tanah), menekan larva serangga, menghambat

10 perkecambahan biji gulma, dan volume bahan buangan (Balai Penelitian tanah, 2009). Biotriba merupakan suatu formulasi larutan dekomposer yang mengandung mikroorganisme berupa Bacillus panteketkus strain J2 dan Trichoderma lactae strain TB1. Kedua jenis mikroorganisme tersebut dapat berfungsi sebagai aktivator dalam proses dekomposisi limbah pasar, limbah rumah tangga, limbah hewan ternak, dan sisa-sisa tanaman menjadi pupuk organik yang berkualitas baik. Mekanisme kerja dari kedua mikroorganisme tersebut yaitu menghambat pertumbuhan cendawan patogenik pada tanaman yang dapat menyebabkan penyakit tular tanah (soil borne pathogen) dan mampu mengurai bahan baku kompos yang mengandung lignin dalam waktu yang relatif singkat (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, 2009).

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 hingga bulan Mei 2010 di rumah kaca Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Kampus Dramaga, Bogor dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro). Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain limbah jarak pagar berupa kulit buah, dekomposer (Orgadec, Mdec, Biotriba, dan EM4), pupuk kandang kotoran sapi, furadan, pupuk urea, pupuk SP-36, pupuk KCl, kapur pertanian, dan benih jagung varietas jagung manis Virginia II. Alat yang digunakan ialah polibag ukuran 5 kg tanah (30 cm x 30 cm), polibag ukuran 15 kg tanah (60 cm x 60 cm), Munsell Color Chart (MCC) tabel 2.5 GY, jangka sorong digital, SPAD (Chlorophylltester CT-102 kalibrator 2.46), Moisture detector EM 4811, Lightmeter Licor Li-250, Horiba Nitrat-Ionmeter C-141, dan rumah kaca (12 m x 8 m) dengan pemasukan cahaya sebesar 33.3%. Metode Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama ialah jenis kompos yang dihasilkan dari limbah kulit buah jarak yang didekomposisikan dengan empat biodekomposer diantaranya Orgadec, Mdec, Biotriba, EM4, dan kontrol serta penambahan bahan organik berupa pupuk kandang dan tanpa penambahan bahan organik (kontrol 100%, kontrol 75%, EM4 100%, EM4 75%, Biotriba 100%, Biotriba 75%, Orgadec 100%, Orgadec 75%, Mdec 100%, dan Mdec 75%). Faktor kedua ialah dosis aplikasi kompos yang terdiri atas 3 taraf yaitu D1 (10 ton/ha), D2 (20 ton/ha), dan D3 (30 ton/ha). Kombinasi kedua faktor menghasilkan 30 kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga menghasilkan 90 satuan percobaan. Setiap ulangan terdapat 4 tanaman contoh untuk percobaan I sedangkan percobaan II setiap ulangan terdapat 2 tanaman contoh.

12 Model matematikanya adalah sebagai berikut : Y ijk = µ + α i + β j + (αβ) ij + ε ijk (i = 1, 2, 3,, a; j = 1, 2, 3,, b; k = 1, 2, 3,, r) Yijk : Respon terhadap perlakuan jenis kompos ke-i, dosis kompos ke-j, dan ulangan ke-j µ : Nilai rataan umum α i : Pengaruh perlakuan jenis kompos ke-i β j : Pengaruh perlakuan dosis kompos ke-j (αβ)ij : Keterkaitan antara perlakuan jenis kompos ke-i dan dosis kompos ke-j εijk : Pengaruh galat perlakuan jenis kompos ke-i, dosis kompos ke-j, dan ulangan ke-j Apabila hasil analisis uji F menunjukkan berbeda nyata dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf α 5%. Pelaksanaan Penelitian Pembuatan dan Inkubasi Kompos Kompos dibuat dengan menggunakan limbah kulit buah jarak pagar dan perlakuan yang digunakan yaitu pencampuran antara limbah kulit buah jarak dan pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi dengan perbandingan 3 : 1 (v:v) serta tanpa pencampuran pupuk kandang. Untuk mempercepat proses dekomposisi digunakan empat jenis dekomposer yaitu Orgadec, Mdec, Biotriba, EM4, dan tanpa biodekomposer. Berdasarkan kombinasi antara bahan baku, biodekomposer, dan kotoran hewan diperoleh sepuluh jenis kompos diantaranya kulit buah + tanpa kotoran hewan + tanpa biodekomposer (K0B0), kulit buah + tanpa kotoran hewan + EM4 (K0B1), kulit buah + tanpa kotoran hewan + Biotriba (K0B2), kulit buah + tanpa kotoran hewan + Orgadec (K0B3), kulit buah + tanpa kotoran hewan + Mdec (K0B4), kulit buah + kotoran hewan + tanpa biodekomposer (K1B0), kulit buah + kotoran hewan + EM4 (K1B1), kulit buah + kotoran hewan + Biotriba (K1B2), kulit buah + kotoran hewan + Orgadec (K1B3), dan kulit buah + kotoran hewan + Mdec (K1B4). Proses dekomposisi dilakukan di dalam ember tertutup berukuran 30 kg agar terjadi proses anaerob di dalam ember kemudian dihasilkan 10 jenis kompos. Masa inkubasi kompos selama 4 minggu dan sepanjang masa inkubasi kompos

13 dilakukan pembalikan dan penyiraman setiap satu minggu sekali hingga dan sebelum dilakukan penanaman, kompos diinkubasi dalam tanah yang telah dilembabkan selama 1 minggu. Pada saat penanaman masing-masing jenis kompos dibagi atas 3 taraf dosis aplikasi yaitu D1 (10 ton/ha), D2 (20 ton/ha), dan D3 (30 ton/ha). Penanaman Jagung Kegiatan ini dilaksanakan saat kompos telah matang. Percobaan ini dilakukan di dalam rumah kaca yang berukuran 96 m 2 dengan dosis kompos yang digunakan D1 (10 ton/ha), D2 (20 ton/ha), dan D3 (30 ton/ha). Sebelum dilakukan penanaman, tanah dimasukkan ke dalam polibag ukuran 5 kg (percobaan I) dan polibag ukuran 15 kg (percobaan II) kemudian dicampur dengan kompos yang ditimbang berdasarkan bobot tanah. Polibag disusun dengan jarak tanam 80 cm x 20 cm dan benih yang ditanam sebanyak 3 benih per polibag. Penjarangan dilakukan saat tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST). Pemeliharaan Tanaman Jagung Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi pemberian furadan ke dalam lubang tanam, penyiangan gulma, penyiraman, pengendalian hama, pengapuran dan pemupukan. Berdasarkan rekomendasi dari Balai Penelitian Teknologi Pertanian (2009) dosis pupuk buatan yang diberikan ialah urea 300 kg/ha, SP-36 150 kg/ha, dan KCl 75 kg/ha. Pada percobaan I, aplikasi pupuk buatan ½ dosis rekomendasi di awal tanam sehingga pupuk yang diberikan sebanyak 0.38 g/polibag urea, 0.19 g/polibag SP-36, dan 0.09 g/polibag KCl. Percobaan II diberikan sebesar 1 dosis rekomendasi 3 g/polibag urea yang diaplikasikan ½ dosis di awal dan ½ dosis pada saat tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST), 1.5 g/polibag SP-36, dan 0.75 g/polibag KCl. Pengapuran hanya dilakukan pada percobaan II dengan dosis 5 x Al-dd sehingga 5 x 3.83 ton/ha dihasilkan 19.15 ton/ha. Untuk tanah 15 kg/polibag dibutuhkan aplikasi kapur sebanyak 143.13 g/polibag. Penyiraman dilakukan sebanyak 500 ml setiap 2 hari sekali pada percobaan I dan percobaan II sebanyak 1250 ml setiap 4 hari sekali.

14 Panen dan Pengamatan Panen pada percobaan I dilakukan dua tahap yaitu pada saat tanaman berumur 6 MST (2 bulan setelah tanam/bst) dan saat tanaman berumur 10 MST dengan cara mencabut keseluruhan brangkasan tanaman sedangkan percobaan II panen hanya dilakukan pada saat 10 MST. Pengamatan dilakukan pada setiap tanaman contoh. Parameter Pengamatan Percobaan I Analisis sebelum penanaman, terkait dengan kandungan hara (N total, P tersedia, K tersedia, C-Organik, dan ph). Analisis dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro). Pengamatan Jagung 1. Pengamatan morfologi dilakukan setiap satu minggu sekali. tinggi tanaman, diukur mulai dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi. jumlah daun, dihitung keseluruhan jumlah daun yang telah mencapai ukuran sempurna. warna daun, dilihat berdasarkan warna yang terdapat pada permukaan atas daun (Munsell Color Chart). panjang daun dan lebar daun, diukur dari bagian pangkal hingga ujung daun dan penampang daun pada permukaan yang terlebar. diameter batang, diukur pada ketinggian batang lima jari dari atas permukaan tanah. 2. Pengamatan panen panjang akar, diukur pada kondisi kering dimulai dari pangkal akar hingga ujung akar terpanjang volume akar, diukur dengan melihat penambahan tinggi permukaan air dalam gelas ukur saat akar dimasukkan.

15 bobot basah total, diukur keseluruhan brangkasan (tajuk, akar, dan tongkol). bobot basah akar, diukur bobot akarnya dalam kondisi segar. bobot kering total, diukur bobot brangkasan setelah dikeringkan dengan oven. bobot kering akar, diukur bobot akarnya dalam kondisi kering oven. 3. Pengamatan Produksi panjang tongkol, diukur mulai dari pangkal hingga ujung tongkol tanpa kelobot. bobot basah tongkol, diukur bobot tongkol dengan kelobot. diameter tongkol, diukur pada bagian tengah tongkol. Serapan dan efisiensi serapan nitrogen (N) oleh tanaman. Percobaan II Serapan hara N tanaman (M) = Kadar N tanaman (G) x Bobot kering total tanaman (H) Serapan hara N tanaman (M) Efisiensi serapan hara N = ------------------------------------------------ x 100 N tanah (I) + N kompos (J) + N Urea (K) Analisis tanah sebelum penanaman, terkait dengan kandungan hara (N total, P tersedia, K tersedia, C-Organik, dan ph). Suhu dan intensitas cahaya di dalam serta di luar rumah kaca, dilakukan pada 1 MST, 2 MST, 7 MST, dan 8 MST dimulai dari pukul 08.00-14.00 selang dua jam sekali selama 4 hari pengamatan dalam satu minggunya. Suhu dan Kelembaban tanah pada saat 1 hari setelah siram (HSS) dan 4 HSS, pengukuran menggunakan alat Moisture Detector. Pengamatan Jagung 1. Pengamatan morfologi yang dilakukan setiap satu minggu sekali. tinggi tanaman, diukur mulai dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi.

16 jumlah daun, dihitung keseluruhan jumlah daun yang telah mencapai ukuran sempurna. warna daun, dilihat berdasarkan warna yang terdapat pada permukaan atas daun (Munsell Color Chart dan Chlorophyltester). panjang daun dan lebar daun, diukur dari bagian pangkal hingga ujung daun dan penampang daun pada permukaan yang terlebar. diameter batang, diukur pada ketinggian batang 10 cm dari atas permukaan tanah. 2. Pengamatan panen panjang akar, diukur pada kondisi kering dimulai dari pangkal akar hingga ujung akar terpanjang volume akar, diukur dengan melihat penambahan tinggi permukaan air dalam gelas ukur saat akar dimasukkan. bobot basah total, diukur keseluruhan brangkasan (tajuk, akar, dan tongkol). bobot basah akar, diukur bobot akarnya dalam kondisi segar. bobot kering total, diukur bobot brangkasan setelah dikeringkan dengan oven. bobot kering akar, diukur bobot akarnya dalam kondisi kering oven. 3. Pengamatan Produksi panjang tongkol, diukur mulai dari pangkal hingga ujung tongkol tanpa kelobot. bobot basah tongkol, diukur bobot tongkol dengan kelobot. bobot kering tongkol, diukur saat kering oven. diameter tongkol, diukur pada bagian tengah tongkol. Kadar nitrat tanah pada saat tanaman jagung berumur 2 MST dan 8 MST, tanah diambil sebanyak 10 gram dari kedalaman 1 cm kemudian dilarutkan dalam 10 ml air steril.

17 Kadar air tanah, pengukuran berdasarkan bobot basah dan bobot kering tanah saat 1 HSS dan 4 HSS pada kedalaman tanah 1 cm. Jumlah kebutuhan air per polibag. Tabel 1. Pertumbuhan dan Produksi pada Perlakuan Kontrol Tanah Pertumbuhan dan Produksi pada Perlakuan Kontrol Tanah Peubah Percobaan I Percobaan II Jumlah Daun (Helai) 4.71 3.76 Lebar Daun (cm) 2.68 1.43 Panjang Daun (cm) 49.14 30.28 Warna Daun MCC (skala) 3.88 3.83 Warna Daun SPAD (skala) * 0.54 Tinggi Tanaman (cm) 59.94 41.64 Diameter Batang (mm) 5.00 3.11 Bobot Basah Total (gram) 38.25 12.50 Bobot Kering Total (gram) 10.63 4.00 Bobot Basah Akar (gram) 5.66 0.88 Bobot Kering Akar (gram) 2.75 0.45 Panjang Akar (cm) 17.82 17.05 Volume Akar (ml) 6.83 1.00 Bobot Basah Tongkol (gram) 11.94 3.68 Bobot Kering Tongkol (gram) * 0.75 Panjang Tongkol (cm) 5.93 4.48 Diameter Tongkol (mm) 20.41 9.26 Sumber : Hasil Pengamatan dan *) tidak dilakukan pengamatan Konversi Satuan Konversi satuan dilakukan berdasarkan bobot tanah per hektar yang diambil pada kedalaman 20 cm atau sebesar 2 juta kg/ha. Untuk menghitung besar kebutuhan pupuk buatan dan kompos per polibag dibutuhkan informasi terkait dosis rekomendasi (DR) yaitu 300 kg/ha urea, 150 kg/ha SP-36, dan 75 kg/ha KCl,bobot tanah yang digunakan yaitu 5 kg/polibag pada percobaan I dan 15 kg/polibag pada percobaan II, serta dosis aplikasi (DA) kompos per hektar yaitu 10 ton/ha, 20 ton/ha, atau 30 ton/ha. 1 me/100 g Al-dd tanah setara 1 ton/ha aplikasi kapur (AK), jika tanah percobaan terkandung 3.83 me/100 g maka dapat dihitung kebutuhan kapurnya. Bobot tanah percobaan Kebutuhan pupuk (B/Ko/Ka)/polibag = --------------------------------x DR/DA/AK Bobot tanah per hektar

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Penelitian ini menggunakan kompos yang terbuat dari limbah kulit buah jarak. Bahan baku ini didekomposisikan dengan menggunakan empat jenis biodekomposer yaitu EM4, Biotriba, Orgadec, Mdec, dan tanpa biodekomposer. Selain itu, untuk mempercepat pembusukan bahan baku kompos dilakukan pemberian kotoran hewan sebanyak 25% serta ada juga yang tidak diberikan kotoran hewan. Masa inkubasi kompos dilakukan selama satu bulan hingga diperoleh kompos yang baik untuk tanaman. Hasil analisis hara kompos menunjukkan bahwa kandungan kalium dan C- Organik terbesar yaitu pada kombinasi kulit buah + tanpa kotoran hewan + tanpa biodekomposer (K0B0) dengan nilai 11.36 mg dan 45.50%, kandungan nitrogen dan fosfor terbesar pada kombinasi kulit buah + kotoran hewan + Mdec (K1B4) dengan nilai 1.77% dan 0.25 ppm, sedangkan C/N ratio kompos yang mendekati C/N ratio tanah yaitu pada kombinasi kulit buah + kotoran hewan + EM4 (K1B1) sebesar 22.81. Kadar air kompos yang menunjukkan nilai terbesar 18.6% pada kombinasi kulit buah + kotoran hewan + Biotriba (K1B2). Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan percobaan. Percobaan I dan percobaan II dibedakan berdasarkan bobot tanah per polibag (kg/polibag) dan penambahan kapur pertanian. Pada percobaan I, tanah yang digunakan sebesar 5 kg/polibag dan tanpa penambahan kapur pertanian sedangkan pada percobaan II digunakan tanah sebesar 15 kg/polibag dengan penambahan kapur pertanian sebesar 5 x Al-dd. Hasil analisis tanah pada saat awal penelitian menunjukkan bahwa tanah yang digunakan tergolong tanah ultisol yang miskin hara. Tanah percobaan I memiliki kandungan ph 5.24 yang tergolong masam, N-total 0.1% tergolong rendah, P 2 O 5 tersedia 9.28 ppm tergolong sedang, kalium 0.04 mg dan C-Organik 0.96% tergolong sangat rendah. Pada percobaan II, kandungan ph 4.6 yang termasuk masam dan N-total 0.13% tergolong rendah. Kandungan P 2 O 5 tersedia 3.09 ppm, kalium 0.09 mg dan C-Organik 0.9% yang tergolong sangat rendah serta kandungan Al-dd 3.83 me/100 mg tergolong sangat rendah (Tabel Lampiran 1).

19 Bahan tanam yang digunakan ialah varietas jagung manis Virginia II. Benih ditanam sebanyak 3 butir benih/polibag, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan jumlah tanaman per polibagnya (1 tanaman/polibag). Benih yang akan ditanam dilakukan inkubasi pada kapas basah selama semalam dengan tujuan agar terjadi imbibisi air ke dalam benih sehingga akan mempermudah proses perkecambahan. Penyulaman dilakukan saat tanaman berusia 1 MST dan penjarangan dilakukan saat 3 MST. Penjarangan adalah suatu tindakan mencabut atau membuang sejumlah tanaman yang ada untuk menyisakan tanaman terbaik yang akan dijadikan tanaman contoh. Persentase daya tumbuh tanaman saat umur 1 MST mencapai 72.58% pada percobaan I dan 82.98% pada percobaan II. Kegiatan penjarangan menjadikan persentase jumlah tanaman contoh menjadi 100% untuk kedua percobaan (Tabel Lampiran 9). Hal ini dikarenakan dalam kegiatan penjarangan ini juga dilakukan penanaman kembali bibit yang tumbuh ke polibag-polibag yang benihnya tidak berkecambah. Pemunculan bunga jantan terlihat pada saat tanaman berumur 5 MST atau 35 HST dan pemunculan bunga betina dimulai pada 7 MST atau 49 HST dan tanaman dapat dipanen hasilnya pada saat berumur 10 MST atau 70 HST. Pertumbuhan tanaman ini cenderung tidak seragam dan ditemukan adanya pemunculan bunga betina pada bunga jantan, hal ini dimungkinkan karena kondisi kesuburan tanah yang rendah, derajat kemasaman yang rendah, dan suhu lingkungan pertanaman tinggi sehingga tanaman beradaptasi secara luas. a b Gambar 1. Kondisi Pertanaman Jagung Umur 4 MST a) Percobaan I dan b) Percobaan II

20 Kegiatan penelitian ini dilakukan di dalam rumah kaca yang kondisi suhu dan intensitas cahaya cenderung fluktuatif. Pengukuran suhu dan intensitas cahaya dilakukan di dalam rumah kaca dan di luar rumah kaca dengan tujuan untuk melihat perbandingan antara yang di dalam dan di luar. Pengukurannya dilakukan pada saat tanaman berumur 1 MST, 2 MST, 7 MST, dan 8 MST. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu dalam rumah kaca cenderung lebih tinggi dari suhu luar rumah kaca sedangkan intensitas cahaya yang masuk ke dalam rumah kaca hanya sebesar 1/3 kali dari intensitas cahaya luar. Hal ini dilakukan sejalan dengan pengukuran kadar air tanah sehingga kemungkinan terlihat adanya keterkaitan dengan adaptasi tanaman. Tanaman yang ternaungi memiliki wujud morfologi yang tinggi karena adanya mekanisme penangkapan cahaya dalam jumlah yang besar (Sopandie et al., 2005). Air merupakan suatu komponen pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang cukup penting. Hal ini dikarenakan sebesar 80-90% bobot basah tanaman terdiri atas air dan pada tajuk tanaman jagung terkandung 92-93% air (Leiwakabessy, 1988). Kebutuhan air pada tanaman dapat dipenuhi melalui penyiraman. Kebutuhan air tanaman ialah jumlah air yang hilang per satuan waktu tertentu dan sangat dipengaruhi oleh faktor tanah dan iklim. Penyiraman pada percobaan I dilakukan sebanyak 500 ml/2 hari dan percobaan II sebanyak 1 250 ml/4 hari. Pada percobaan I diperoleh hasil bahwa jumlah air yang diberikan berkisar 8.72 mm/hari atau 785 mm selama pertumbuhan (3 bulan) sedangkan pada percobaan II jumlah air yang diberikan sebanyak 2.73 mm/hari atau 245.31 mm selama pertumbuhannya (Tabel Lampiran 21). Selama pertumbuhan tanaman jagung dalam rumah kaca terdapat serangan hama penyakit. Hama-hama yang menyerang pertanaman antara lain, ulat (Plutella xylostella) yang memakan daun mulai dari daun muda hingga ke daun tua dan juga menyebabkan daun menggulung, belalang yang memiliki persentase serangannya terbesar selama penelitian yaitu 14.25% pada percobaan I dan 80.11% pada percobaan II, dan katak yang menyebabkan batang menjadi rebah. Penyakit yang menyerang tanaman muncul dengan gejala menguning pada ujung dan tepi daun hingga akhirnya bercak kebasahan berwarna coklat, bercak coklat, daun berwarna keabuan pada bagian tengah, bulai dan daun menggulung.

21 Tanaman ada yang menunjukkan pertumbuhan kerdil, hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya derajat kemasaman tanah sehingga unsur hara tanah tidak cukup tersedia bagi tanaman (Tabel Lampiran 10). a b c Gambar 2. Gejala Serangan Hama dan Penyakit a) Serangan Hama Belalang, b) Serangan Hama Ulat (Plutella xylostella), dan c) Gejala Defisiensi Hara

22 Hara Kompos dan Tanah Sifat kimia kompos dari hasil analisis dapat menunjukkan kualitasnya jika pertumbuhan dan produksi tanaman contoh yang diteliti memberikan hasil yang baik. Tisdale dan Nelson (1975) menyatakan bahwa bahan organik yang memiliki nilai C/N ratio < 20 akan menyebabkan terjadinya pelepasan N dari bahan organik ke dalam tanah, nilai C/N ratio antara 20-30 tidak akan terjadi pelepasan N dari bahan organik dan tidak terjadi immobilisasi nitrogen tanah, dan nilai C/N ratio > 30 akan terjadi immobilisasi nitrogen tanah sehingga C/N ratio dapat dijadikan sebagai indikator sifat kimia kompos yang dapat mempengaruhi serapan hara oleh tanaman. Tanah yang memiliki kandungan bahan organik yang cukup akan memberikan nilai C/N ratio berkisar 10-12.5 (Leiwakabessy, 1988) sehingga kompos yang diaplikasikan ke dalam tanah akan dapat memberikan pertumbuhan yang baik bagi tanaman apabila nilai C/N ratio kompos mendekati nilai C/N ratio tanah. Berdasarkan hasil analisis Tabel 2, memperlihatkan bahwa kompos K1B1 memiliki nilai C/N ratio 22.81 yang lebih dekat dengan nilai C/N ratio tanah 9.6 (percobaan I) dan 7.5 (percobaan II) sehingga dimungkinkan kompos cukup memenuhi hara bagi tanaman dan tidak akan terlalu mempengaruhi serapan hara oleh tanaman. Berdasarkan SNI Kompos 19-7030-2004 menunjukkan bahwa kandungan C/N ratio kompos masih lebih tinggi dari standar maksimum yaitu 20 sedangkan menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) C/N ratio tanah tergolong rendah. Tabel 2. Kandungan Hara Kompos Kandungan Hara Jenis Media N (%) P (ppm) K (mg) C-organik (%) C/N Ratio K0B0 1.27 0.11 11.36 45.50 36.20 K0B1 1.38 0.13 6.75 44.67 32.67 K0B2 1.37 0.11 10.74 40.39 29.74 K0B3 1.45 0.13 9.73 45.01 30.97 K0B4 1.54 0.14 10.53 44.81 29.30 K1B0 1.63 0.24 6.16 40.28 25.00 K1B1 1.70 0.24 6.54 38.61 22.81 K1B2 1.66 0.24 6.81 40.11 24.52 K1B3 1.65 0.22 5.92 44.74 27.20 K1B4 1.77 0.25 5.89 41.86 23.65 Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

23 Pada bahan baku kompos yang ditambahkan pupuk kandang cenderung memiliki nilai C/N ratio berkisar 20-30 sehingga unsur N akan tersedia dalam jumlah yang cukup untuk tanaman, sebaliknya pada bahan baku kompos tanpa penambahan pupuk kandang kisaran nilai C/N ratio > 30 kemungkinan unsur N tidak cukup tersedia. Kandungan N hasil analisis kompos berkisar 1.27-1.77% yang berdasarkan SNI Kompos 19-7030-2004 menunjukkan bahwa kandungan N lebih tinggi dari standar minimum (0.4%) sedangkan menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) kandungan N tanah tergolong rendah dengan nilai 0.1% untuk percobaan I dan 0.13% percobaan II sehingga dimungkinkan kandungan N tanah pada kedua percobaan tersebut dalam kondisi kurang cukup tersedia untuk tanaman. Kandungan P tersedia dalam tanah akan berbeda menurut jenisnya, semakin muda tanah maka kandungan fosfor semakin tinggi tetapi umumnya bernilai rendah. Ketersediaannya yang rendah dikarenakan tingginya tingkat retensi P di dalam tanah sehingga sedikit tersedia dalam larutan tanah dan unsur hara ini menjadi mudah dijerap oleh oksida Fe, Al, dan Ca (Leiwakabessy, 1988). Berdasarkan hasil analisis hara kompos, kisaran unsur P antara 0.11-0.25 ppm, dalam SNI Kompos 19-7030-2004 menunjukkan bahwa nilainya lebih rendah dari standar minimum (0.1%) sedangkan menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) kandungan P tanah tergolong sedang dengan nilai 9.28 ppm (percobaan I) dan tergolong sangat rendah pada percobaan II dengan nilai 3.09 ppm. Pada percobaan I, dimungkinkan kandungan P cukup tersedia untuk tanaman tetapi percobaan II memiliki kemungkinan sebaliknya yaitu kandungan P kurang cukup tersedia dalam tanah. Serapan hara kalium (K) dipengaruhi oleh kedalaman akar dan suhu lingkungan. Pergerakan unsur K yang tinggi menyebabkan lebih banyak tersedia pada lapisan tanah bawah sehingga akar yang dangkal tidak akan mampu menyerap hara ini. Kemampuan tanaman menyerap hara ini juga dipengaruhi oleh suhu, makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) maka makin tinggi pula serapan kalium oleh tanaman (Tisdale et al., 1985). Berdasarkan hasil analisis hara kompos, jumlah kalium yaitu 5.89-11.36 mg, SNI Kompos 19-7030-2004 menunjukkan bahwa kandungan K kompos lebih tinggi dari standar minimum

24 (0.2%) sedangkan menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) kandungan K tanah tergolong sangat rendah dengan nilai 0.04 mg (percobaan I) dan 0.09 mg (percobaan II). Baik pada percobaan I maupun percobaan II dimungkinkan kandungan K tanah kurang cukup tersedia untuk tanaman. Kandungan C-Organik pada tanah yang digunakan dalam penelitian tergolong dalam kategori sangat rendah dengan rentang nilai 0.9-1.0 % (Tabel 3). Hal ini menunjukkan tanah yang digunakan kurang subur. Peningkatan kandungan C-organik melalui pemberian kompos menjadi sangat berarti untuk meningkatkan kesuburan tanah, seperti yang ditunjukkan pada kompos K0B0 (45.5%) dimungkinkan dapat meningkatkan kandungan C-Organik tanah penelitian. Secara keseluruhan kandungan C-Organik kompos berkisar antara 38-46 % berada di atas nilai standar maksimum berdasar pada SNI Kompos 19-7030-2004. Secara umum, tanah yang digunakan pada percobaan I lebih baik untuk tanaman terkait dengan jumlah hara yang terkandung bila dibandingkan dengan tanah pada percobaan II. Derajat kemasaman tanah percobaan II lebih masam dari percobaan I sehingga dilakukan pengapuran pada percobaan II maka ketersediaan hara pada tanah percobaan II lebih rendah. Kondisi kompos yang digunakan secara jumlah hara yang terkandung cukup baik bagi tanaman akan tetapi C/N ratio masih memiliki nilai yang terlalu tinggi dibandingkan dengan C/N ratio tanah pada kedua percobaan. Tabel 3. Kandungan Hara Tanah Kandungan Hara Perc. I Kriteria Perc. II Tanah Kriteria N total (%) 0.10 rendah 0.13 rendah P2O5 tersedia (ppm) 9.28 sedang 3.09 sangat rendah K (mg) 0.04 sangat rendah 0.09 sangat rendah C-organik (%) 0.96 sangat rendah 0.98 sangat rendah Al-dd (me/100 g) *) *) 3.83 sangat rendah ph H2O 5.24 masam 4.6 masam KCl 4.7 *) 4.48 *) Sumber : Kriteria Sifat Kimia Tanah Menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) dan *) tidak dilakukan analisis

25 Respon Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jumlah daun Daun merupakan salah satu organ tanaman yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Semakin banyak jumlah daun dalam satu tubuh tanaman memungkinkan pemerataan jumlah cahaya yang diterima oleh daun dan penyerapan hara menjadi lebih optimum (Sulistyaningsih et al., 2005). Peubah jumlah daun menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada taraf 1% untuk kedua percobaan (I dan II) baik untuk perlakuan dosis kompos maupun jenis kompos sedangkan keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 3). Pada percobaan II, jumlah daun terbanyak yaitu 7.13 helai (dosis kompos 20 ton/ha) dan 30 ton/ha 6.70 helai serta terrendahnya 5.65 helai pada perlakuan D1. Jumlah daun percobaan I masih lebih tinggi daripada percobaan II yang nilai rataan tertingginya terdapat pada 30 ton/ha dengan 7.68 helai dan 20 ton/ha 7.10 helai serta jumlah yang terrendah ada pada dosis D1 (6.92 helai). Pada percobaan I, jumlah daun terbanyak terdapat pada kompos K1B0 dengan rataan 7.92 helai kemudian diikuti jenis kompos K1B3 dan K1B1 serta terrendah 6.33 helai (K0B1), K0B0, dan K0B3 sedangkan percobaan II nilai rataan jumlah daun terbanyak ada pada kompos K1B3 (7.61 helai), K1B1, dan K0B2 serta terrendah pada kompos K0B3 dan K0B4 dengan 5.50 helai (Tabel 4). Pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) memberikan jumlah daun berkisar antara 6 7 helai, dosis 20 ton/ha (D2) menghasilkan jumlah daun yang hampir sama banyaknya dengan D1 yaitu 7 helai, dan dosis 30 ton/ha (D3) berjumlah 7 8 helai daun dalam percobaan I. Pada percobaan II, pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) memberikan jumlah daun berkisar antara 5-6 helai, dosis 20 ton/ha (D2) menghasilkan jumlah daun sebanyak 7 helai, dan dosis 30 ton/ha (D3) berjumlah 6-7 helai daun. Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah daun tanaman pada polibag perlakuan kontrol tanah memiliki nilai sebesar 4.71 helai (berkisar 4-5 helai) untuk percobaan I dan 3.76 helai (berkisar 3-4 helai) untuk percobaan II. Berdasarkan

26 hasil pada tabel 4 bahwa pada percobaan I, pemberian kompos K1B0 dapat meningkatkan jumlah daun sebanyak 3-4 helai sedangkan pemberian kompos K1B3 pada percobaan II mampu meningkatkan jumlah daun sebanyak 4-5 helai. Aplikasi kompos sebanyak 30 ton/ha pada percobaan I juga meningkatkan jumlah daun sebesar 3-4 helai sedangkan 10 ton/ha hanya meningkatkan jumlah daun sebanyak 1 helai. Percobaan II hanya mampu memperlihatkan penambahan jumlah daun sebesar 3-4 helai jika diaplikasikan 30 ton/ha sedangkan 10 ton/ha meningkatkan jumlah daun sebanyak 2 helai. Penambahan biodekomposer pada percobaan I menunjukkan jumlah daun yang cukup banyak dibandingkan tanpa penambahan biodekomposer. Hal ini berlawanan dengan jumlah daun pada percobaan II, penambahan biodekomposer orgadec K1B3 memberikan jumlah daun yang cukup banyak (berkisar 7-8 helai) dengan ditambahkan pupuk kandang sedangkan tanpa ditambahkan pupuk kandang jenis biodekomposer ini (K0B3) hanya mampu menghasilkan 5 helai daun. Tabel 4. Jumlah Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos Jumlah Daun Perlakuan Perc. I Perc. II Dosis Kompos..helai....helai.. D1 6.92b 5.65b D2 7.10b 7.13a D3 7.68a 6.70a Jenis Kompos K0B0 6.49b 5.94bc K0B1 6.33b 6.11abc K0B2 7.28ab 7.33ab K0B3 6.66b 5.50c K0B4 6.71b 5.50c K1B0 7.92a 7.11ab K1B1 7.75a 7.39ab K1B2 7.65a 6.56abc K1B3 7.82a 7.61a K1B4 7.72a 5.89bc (Dosis * Jenis) Kompos tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

27 Jumlah daun yang dihasilkan pada percobaan II lebih beragam daripada percobaan I hal ini dimungkinkan karena kondisi lingkungan yang tidak menunjang pertumbuhan tanaman (suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya) dan aspek pemeliharaan tanaman yang dilakukan seperti pengapuran pada percobaan II dan penyiraman sehingga daun sulit terbentuk. Menurut Tisdale et al., (1985) antara suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya terdapat keterkaitan satu sama lain. Perubahan suhu tanah maupun lingkungan penelitian secara tiba-tiba turut mempengaruhi kemampuan tanaman dalam menghasilkan daun dan hal ini dapat dikendalikan hanya dengan meningkatkan kelembaban. Apabila intensitas cahaya yang diterima tanaman kurang dan hal ini akan mempengaruhi fotosintesis daun. Pada percobaan II, intensitas cahaya dalam rumah kaca memiliki perbedaan sebesar 33.3% dari kondisi di luar rumah kaca (Gambar 3) dan suhu dalam rumah kaca cenderung lebih tinggi dari yang di luar rumah kaca walaupun terlihat relatif tidak terlalu berbeda. Perbedaan suhu antara dalam rumah kaca dengan luar rumah kaca dapat mencapai 3ºC 6ºC dengan suhu luar berkisar 27ºC 34.5ºC dan suhu dalam berkisar 30.5ºC-40.5ºC (Gambar Lampiran 1). Kondisi ini dimungkinkan mempengaruhi pembentukan daun pada percobaan II sehingga hasilnya lebih beragam dari percobaan I. Inkubasi kapur yang digunakan dalam penelitian dilakukan selama 1 minggu, hal ini yang menyebabkan suhu tanah menjadi meningkat dan upaya meningkatkan kelembaban tidak dilakukan sehingga pembentukan daun dimungkinkan menjadi terhambat. Penyiraman juga menjadi faktor yang menghambat pembentukan daun, hal ini disebabkan oleh interval penyiraman dan jumlah air yang diberikan tidak seimbang sehingga turut meningkatkan suhu dan menurunkan kelembaban tanah. Penyiraman pada percobaan I dilakukan sebanyak 500 ml/2 hari dan percobaan II sebanyak 1 250 ml/4 hari. Pada percobaan I diperoleh hasil bahwa jumlah air yang diberikan berkisar 8.72 mm/hari atau 785 mm selama pertumbuhan (3 bulan) sedangkan pada percobaan II jumlah air yang diberikan sebanyak 2.73 mm/hari atau 245.31 mm selama pertumbuhannya (Tabel Lampiran 21). Hal ini menunjukkan bahwa, pada percobaan II air menjadi faktor

28 penghambat pertumbuhan tanaman karena jumlah air yang diberikan di percobaan II 1/3 kali lebih sedikit dibandingkan dengan air yang diberikan pada percobaan I. Intensitas Cahaya (Lux) 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 a 0 1 MST 2 MST 7 MST 8 MST 8 10 12 14 Waktu Intensitas Cahaya (Lux) 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 b 0 1 MST 2 MST 7 MST 8 MST 8 10 12 14 Waktu Gambar 3. Grafik Intensitas Cahaya Lingkungan Penelitian a) Dalam Rumah Kaca b) Luar Rumah Kaca

29 Lebar daun Peubah lebar daun pada percobaan I memperlihatkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf 1% pada perlakuan jenis kompos dan perlakuan dosis kompos tidak berpengaruh nyata sedangkan percobaan II memiliki hasil yang tidak berbeda nyata baik pada perlakuan dosis kompos maupun jenis kompos. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 3). Pada percobaan I, lebar daun terbesar terdapat pada perlakuan dosis 30 ton/ha dengan 3.71 cm dan percobaan II lebar daun terbesar terdapat pada dosis kompos 20 ton/ha dengan 3.13 cm dan urutan kedua dosis D3 3.12 cm sedangkan lebar daun terkecil pada percobaan I dan II terdapat pada perlakuan D1 yaitu 3.43 cm dan 2.43 cm. Pada percobaan I, lebar daun terbesar ada pada kompos K1B0 dengan rataan 4.08 cm dan terrendah 3.15 cm (K0B1) sedangkan percobaan II nilai rataan lebar daun terbesar ada pada kompos K1B1 (3.57 cm) dan terrendah pada kompos K0B4 dengan 2.40 cm (Tabel 5). Pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1), 20 ton/ha (D2), dan 30 ton/ha (D3) memberikan lebar daun berkisar antara 3 4 cm dalam percobaan I dan 2-3 cm pada percobaan II. Begitupula untuk perlakuan jenis kompos mampu memberikan lebar daun sebesar 3-4 cm pada percobaan I dan 2-4 cm pada percobaan II. Lebar daun pada kompos yang ditambahkan pupuk kandang terlihat tidak terlalu berbeda jauh hasilnya dengan yang tanpa ditambahkan pupuk kandang dan hal ini juga ditunjukkan dengan hasil rataan lebar daun pada kompos yang ditambahkan biodekomposer tidak terlalu berbeda jauh nilainya dengan tanpa biodekomposer. Tabel 1 menunjukkan bahwa lebar daun tanaman pada polibag perlakuan kontrol tanah memiliki nilai sebesar 2.68 cm untuk percobaan I dan 1.43 cm untuk percobaan II. Berdasarkan hasil pada tabel 5 bahwa pada percobaan I, pemberian kompos K1B0 dapat meningkatkan lebar daun sebesar 2 cm dan pemberian kompos K1B1 pada percobaan II juga mampu meningkatkan lebar daun 2 cm. Aplikasi kompos sebanyak 30 ton/ha pada percobaan I meningkatkan lebar daun

30 sebesar 1-2 cm sedangkan pada percobaan II dosis D2 dan D3 dapat menambah lebar daun sebesar 2 cm. Tabel 5. Lebar dan Panjang Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos Lebar Daun Panjang Daun Perlakuan Perc. I Perc. II Perc. I Perc. II Dosis Kompos..cm....cm....cm....cm.. D1 3.43a 2.43b 60.95a 53.79b D2 3.65a 3.13a 63.73a 62.21a D3 3.71a 3.12a 63.10a 59.16a Jenis Kompos K0B0 3.39bc 2.72ab 60.35bc 53.69b K0B1 3.15c 2.96ab 55.26c 58.01ab K0B2 3.66abc 3.09ab 64.17ab 65.61a K0B3 3.32bc 2.53b 60.08bc 55.23ab K0B4 3.26c 2.40b 54.69c 54.10b K1B0 4.08a 3.21ab 69.81a 62.76ab K1B1 4.06a 3.57a 67.97a 65.46a K1B2 3.49bc 2.77ab 63.63ab 56.02ab K1B3 3.85ab 3.27ab 67.04ab 60.48ab K1B4 3.72abc 2.41b 62.91ab 52.50b (Dosis * Jenis) Kompos tn tn tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Panjang Daun Peubah panjang daun pada percobaan I memperlihatkan nilai yang berbeda nyata dengan taraf 1% untuk perlakuan jenis kompos dan perlakuan dosis kompos tidak berpengaruh nyata sedangkan percobaan II memiliki hasil yang berbeda nyata pada perlakuan jenis kompos dan berbeda sangat nyata untuk perlakuan dosis kompos. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 3). Pada percobaan I, daun terpanjang terdapat pada dosis D2 (63.73 cm) dan jenis kompos K1B0 dengan rataan 69.81 cm dan yang terendah dosis D1 (60.95 cm) dan jenis kompos K0B4 dengan rataan 54.69 cm sedangkan panjang daun terbesar pada percobaan II yaitu 20 ton/ha (62.21 cm) dan jenis kompos K0B2

31 dengan 65.61 cm dan terkecil terdapat pada dosis D1 (53.79 cm) dan jenis kompos K1B4 dengan rataan 52.50 cm (Tabel 5). Pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) memberikan kisaran panjang daun sebesar 60-61 cm pada percobaan I dan percobaan II hanya mampu menghasilkan panjang daun berkisar antara 53-54 cm. Dosis 20 ton/ha (D2) memiliki panjang daun 63-64 cm percobaan I dan percobaan II hanya memiliki panjang daun kisaran 62 cm, sedangkan dosis 30 ton/ha (D3) memberikan panjang daun hanya berkisar 59 cm dalam percobaan II dan pada percobaan II dapat mencapai panjang daun 63 cm. Biodekomposer mdec memberikan pertumbuhan panjang daun yang kurang optimum baik dengan adanya penambahan pupuk kandang (K1B4) maupun tanpa penambahan pupuk kandang (K0B4) karena pada K0B4 dan K1B4 memberikan panjang daun terendah. Tabel 1 menunjukkan bahwa panjang daun tanaman pada polibag perlakuan kontrol tanah memiliki nilai sebesar 49.14 cm untuk percobaan I dan 30.28 cm untuk percobaan II. Berdasarkan hasil pada tabel 5 bahwa pada percobaan I, pemberian kompos K1B0 dapat meningkatkan panjang daun sebesar 20 cm dan pemberian kompos K0B2 pada percobaan II mampu meningkatkan panjang daun sampai 35 cm. Aplikasi kompos sebanyak 20 ton/ha pada percobaan I meningkatkan panjang daun sebesar 14 cm sedangkan pada percobaan II dosis D2 dapat menambah panjang daun sebesar 32 cm. Lebar dan panjang daun merupakan komponen pengamatan daun yang penting dalam pertumbuhan tanaman. Permukaan daun yang lebar dan panjang mampu menyerap jumlah cahaya yang cukup banyak sehingga dapat meningkatkan kegiatan fotosintesis. Ntar (1992) menerangkan bahwa kegiatan fotosintesis tergantung pada kapasitas penerimaan organ tertentu sebagai contoh penyerapan cahaya oleh daun. Pertumbuhan daun juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pertanaman. Menurut Tisdale et al., (1985) pemanjangan daun terjadi karena ada tingkat kepekaan terhadap kekurangan air dan akan berhenti sebelum persediaan air tanah habis terpakai dan Leiwakabessy (1988) menyatakan bahwa terhambatnya aktivitas organ tanaman bagian atas karena adanya gangguan translokasi air dan unsur hara dari dalam tanah yang disebabkan oleh suhu tanah yang tidak baik.

32 Hasil pengamatan kadar air tanah berdasarkan bobot basah dan kering tanah menunjukkan bahwa nilai kadar air pada 1 HSS tertinggi terdapat dalam perlakuan D3 (30.24%) dan jenis kompos K1B1 (31.90%) sedangkan yang terendah pada perlakuan D2 (28.50%) dan jenis kompos K0B0 (28.06%). Pada 4 HSS kadar air tertinggi terdapat dalam perlakuan D3 (24.07%) dan jenis kompos K0B4 (24.31%) sedangkan yang terendah pada perlakuan D2 (22.71%) dan jenis kompos K0B0 (20.37%) (Tabel Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang tidak diberikan tambahan pupuk kandang memiliki daya ikat air tanah yang rendah dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan pupuk kandang, karena pupuk kandang dapat berfungsi untuk membantu menjerap air tanah sehingga kelembaban tanah menjadi lebih terjaga dan pertumbuhan daun tidak mungkin terhambat. Selain itu, kompos dengan penambahan pupuk kandang memiliki ukuran partikel yang lebih besar sehingga mampu untuk menyerap air dalam jumlah yang cukup banyak. Warna Daun Warna daun merupakan suatu indikator yang menunjukkan kesegaran dan kesehatan suatu tanaman. Warna daun dapat menunjukkan bahwa tanaman kekurangan air, tanaman terserang penyakit, dan melalui warna daun dapat juga diketahui suatu tanaman mengalami kekurangan hara. Tanaman jagung yang ditanam pada intensitas cahaya rendah akan terjadi etiolasi dan daun terlihat pucat karena kadar klorofil rendah dan proplastida tidak berubah menjadi khloroplast melainkan menjadi etioplast (Fosked, 1994). Warna daun berkorelasi positif dengan jumlah klorofil dalam daun dan alat yang dapat digunakan untuk melihat warna daun dan jumlah klorofilnya diantaranya Munsell Color Chart (MCC) dan Chlorophylmeter (SPAD). Menurut Balasubramanian et al., (2000) kedua alat tersebut dapat digunakan berdasarkan perbedaan warna yang dipantulkan oleh daun. Sumber sensor pemantul berbeda antara kedua alat tersebut, pada MCC sumber sensornya langsung dari cahaya matahari dan SPAD dengan menggunakan sensor lampu dengan menambahkan kalibrator. MCC dan SPAD dapat dipergunakan bukan hanya untuk menentukan jumlah klorofil dalam daun tetapi juga dapat dijadikan sebagai penentu kandungan

33 N (Anand dan Byju, 2008) dan Sulistyaningsih et al., (2005) juga berpendapat bahwa pengukuran tingkat kehijauan suatu daun dapat juga sekaligus menentukan jumlah klorofilnya. Wujud daun, klorofil dan N daun merupakan faktor fotosintesis sehingga ketiganya berhubungan erat dengan laju fotosintesis (Kappel and Flore, 1983; Lin T-B, Schwartz, and Saranga, 1999). Nitrogen merupakan komponen hara yang menyebabkan pertumbuhan vegetatif tanaman dan penentu warna hijau daun. Ketidakseimbangan hara N dengan hara-hara makro lainnya mampu menghambat proses pematangan dan tanaman hanya memperpanjang fase vegetatifnya. Apabila akar tanaman tidak mampu untuk menyerap hara N yang cukup untuk pertumbuhan tanaman maka senyawa N pada daun tua akan berubah warna menjadi coklat yang dikenal dengan istilah klorosis. Gejala ini dimulai dengan mengeringnya daun dari bagian ujung yang menjalar ke seluruh bagian daun. Berdasarkan hasil pengamatan, peubah warna daun yang diukur dengan MCC menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada percobaan I dan berbeda sangat nyata pada percobaan II untuk perlakuan dosis kompos sedangkan perlakuan jenis kompos tidak berbeda nyata begitupula dengan pengukuran menggunakan SPAD menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II untuk pengukuran menggunakan MCC dan SPAD (Tabel Lampiran 3). Pada pengukuran MCC untuk percobaan I, warna daun dengan rataan tingkat kehijauan tertinggi 4.24 (dosis kompos 30 ton/ha) dan jenis kompos K1B0 (4.39) dan yang terendah ada pada dosis D1 (4.02) dan jenis kompos K0B1 (3.89) sedangkan pada percobaan II tingkat kehijauan tertinggi dengan nilai 5.15 (D3) dan jenis kompos K1B3 (5.22) sedangkan yang terendah 4.50 untuk D1 dan jenis kompos K0B4 (4.44). Pengukuran menggunakan SPAD daun yang berwarna paling hijau bernilai 0.70 (D3) dan 0.73 untuk jenis kompos (K0B2 dan K1B0) sedangkan yang terendah bernilai 0.63 (D1) dan jenis kompos K0B4 (0.62) (Tabel 6). Tabel 1 menunjukkan bahwa warna daun tanaman pada polibag perlakuan kontrol tanah memiliki nilai sebesar 3.88 untuk percobaan I dan 3.83 untuk

34 percobaan II (pengukuran menggunakan MCC) sedangkan pengukuran dengan SPAD menunjukkan nilai 0.54 pada percobaan II. Berdasarkan hasil pada tabel 6 bahwa pengukuran menggunakan MCC pada percobaan I, kompos K1B0 dapat meningkatkan kehijauan daun sebesar 0.51 dan pemberian kompos K1B3 pada percobaan II mampu meningkatkan hijau daun sampai 1.39. Aplikasi kompos sebanyak 30 ton/ha pada percobaan I meningkatkan kehijauan daun sebesar 0.36 sedangkan pada percobaan II dosis D3 dapat menambah hijau daun sebesar 1.32. pengukuran dengan SPAD K0B2, K1B0, dan D3 mampu meningkatkan kehijauan daun sebesar 0.20-0.23. Tabel 6. Warna Daun pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos Pengukuran Menggunakan Munsell Color Chart dan SPAD Warna Daun (Munsell Color Chart) Warna Daun (Chlorophylmeter) Perlakuan Perc. I Perc. II Perc. II Dosis Kompos..skala....skala....skala.. D1 4.02b 4.50b 0.63b D2 4.09ab 4.93a 0.70a D3 4.24a 5.15a 0.68ab Jenis Kompos K0B0 3.94b 4.61a 0.64a K0B1 3.89b 4.83a 0.65a K0B2 4.11ab 5.17a 0.73a K0B3 4.11ab 4.50a 0.63a K0B4 4.15ab 4.44a 0.62a K1B0 4.39a 4.94a 0.73a K1B1 4.28ab 5.17a 0.71a K1B2 4.22ab 5.06a 0.70a K1B3 4.15ab 5.22a 0.71a K1B4 3.93b 4.67a 0.61a (Dosis * Jenis) Kompos tn tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

35 Tinggi Tanaman dan Diameter Batang Tanaman pertanian seperti halnya jagung merupakan tanaman yang membutuhkan cahaya yang cukup sehingga cahaya menjadi salah satu faktor pembatas utama pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Faktor ini sangat dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari dan tidak mudah diatasi bila terdapat permasalahan. Pada tanaman jagung yang ternaungi akan menunjukkan adanya gejala hambatan pertumbuhan dan dapat diamati dari tinggi tanaman jagung, Suhu dan kelembaban lingkungan serta tanah merupakan suatu faktor lingkungan yang menentukan pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman dan diameter batang). Suhu lingkungan penelitian secara langsung dapat mengganggu aktivitas fisiologis tanaman mulai dari penyerapan air dan hara dari dalam tanah hingga translokasi hasil fotosintesis dari daun. Menurut Leiwakabessy (1988) pada kondisi suhu rendah serapan hara oleh perakaran tanaman akan berkurang dan apabila suhu diatur fluktuasinya maka serapan hara kembali normal sedangkan suhu optimum yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu 60ºC. Gambar Lampiran 1 menunjukkan suhu lingkungan penelitian berkisar 27-40ºC sehingga tidak terlalu mempengaruhi pertanaman jagung. Suhu dan kelembaban tanah mempengaruhi aktivitas mikroba perombak bahan organik dalam tanah. Kisaran suhu yang baik untuk mikroba yaitu 50-104ºF atau setara dengan 10-40ºC (Leiwakabessy, 1988), jika lebih atau kurang dari batasan suhu tersebut dimungkinkan bahan organik dalam hal ini kompos tidak terombak dengan baik sehingga tidak dapat menyediakan hara yang cukup bagi tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan suhu dan kelembaban tanah dengan alat moisture tester diperoleh hasil suhu tanah berada pada kisaran 28-37ºC dan kelembaban tanah 79-93% baik saat 1 HSS maupun 4 HSS (Tabel Lampiran 4 dan 5) yang berarti bahwa faktor ini dimungkinkan tidak terlalu mempengaruhi tanaman jagung. Menurut Thamrin dan Hanafi (1992) pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat dipengaruhi oleh keadaan air dalam jaringan tanaman. Jika kandungan air dalam jaringan tanaman dalam jumlah yang cukup, maka semua proses metabolisme yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan berjalan baik. Jika kandungan air dalam jaringan tanaman kurang,

36 maka semua proses yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan terganggu, akibatnya tanaman akan layu dan mati. Keadaan yang sama terjadi pada penelitian ini yaitu tanaman mengalami kekeringan dan akhirnya mati. Premshekar dan Rajashree (2009) mengatakan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman disebabkan karena adanya peningkatan pembelahan dan pemanjangan sel sebagai akibat penambahan hara ke dalam tanah maupun tubuh tanaman. Hara yang berasal dari kompos sebaiknya memiliki C/N ratio yang baik bagi tanaman dalam arti nilainya mendekati C/N ratio tanah agar tidak terjadi immobilisasi hara nitrogen oleh mikroba yang dapat mengurangi ketersediaan nitrogen dalam tanah (Basuki et al., 1995). Semakin rendah nilai C/N ratio akan semakin tersedia unsur N bagi tanaman. Hal ini sejalan dengan pernyataan Tisdale dan Nelson (1975) bahwa bahan organik yang memiliki nilai C/N ratio < 20 akan menyebabkan terjadinya pelepasan N dari bahan organik ke dalam tanah, nilai C/N ratio antara 20-30 tidak akan terjadi pelepasan N dari bahan organik dan tidak terjadi immobilisasi nitrogen tanah, dan nilai C/N ratio > 30 akan terjadi immobilisasi nitrogen tanah akan tetapi Hamoda et al., (1998) mengungkapkan bahwa nilai C/N ratio berkisar 25-35 dianggap masih dalam batas kelayakan. Dalam hal ini menunjukkan unsur N merupakan komponen yang dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif, sesuai dengan penelitian Meinira (1993) C/N ratio yang rendah, semakin mempermudah tanaman menyerap hara N. Pertumbuhan vegetatif tanaman akan baik apabila menyerap hara N dalam bentuk tersedia yaitu NO - 3 atau NH + 4 (Sudarman, 1995). Tabel 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada polibag perlakuan kontrol tanah memiliki nilai sebesar 59.94 cm untuk percobaan I dan 41.64 cm untuk percobaan II. Berdasarkan hasil pada tabel 7 bahwa pada percobaan I, pemberian kompos K1B0 dapat meningkatkan tinggi tanaman sebesar 38 cm dan pemberian kompos K1B0 pada percobaan II mampu meningkatkan tinggi tanaman sampai 68 cm. Aplikasi kompos sebanyak 30 ton/ha pada percobaan I meningkatkan tinggi tanaman sebesar 41 cm sedangkan pada percobaan II dosis D2 dapat menambah tinggi tanaman sebesar 54 cm.

37 Tabel 7. Tinggi Tanaman dan Diameter Batang pada Perlakuan Dosis dan Jenis Kompos Tinggi Tanaman Diameter Batang Perlakuan Perc. I Perc. II Perc. I Perc. II Dosis Kompos..cm....cm....mm....mm.. D1 83.92b 83.56b 7.51a 4.72b D2 89.61a 95.65a 8.11a 6.25a D3 90.31a 95.04a 7.93a 5.91a Jenis Kompos K0B0 84.06cd 90.99ab 7.40bcd 5.18ab K0B1 75.42d 94.06ab 6.71cd 5.72ab K0B2 90.48abc 93.74ab 7.81bcd 6.71a K0B3 85.00bcd 87.75b 7.19cd 4.79b K0B4 78.51d 88.22ab 6.49d 4.75b K1B0 97.18a 109.83a 8.85ab 6.28ab K1B1 95.18ab 96.28ab 9.29a 6.72a K1B2 89.09abc 85.21b 7.99abc 5.43ab K1B3 94.37abc 91.11ab 8.69ab 6.20ab K1B4 90.17abc 76.97b 8.06abc 4.48b (Dosis * Jenis) Kompos tn tn tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Berdasarkan hasil pengamatan tinggi tanaman diperoleh hasil yang berbeda nyata untuk perlakuan dosis kompos baik pada percobaan I maupun percobaan II sedangkan untuk perlakuan jenis kompos hasil yang berbeda nyata hanya pada percobaan I. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 3). Rataan tinggi tanaman terbesar percobaan I yaitu 90.31 cm (dosis 20 ton/ha) dan jenis kompos K1B0 (97.18 cm) dan yang terendah ada pada perlakuan 10 ton/ha (83.92 cm) dan jenis kompos K0B1 (75.42 cm). Percobaan II menunjukkan hasil tertinggi ada pada perlakuan dosis kompos 20 ton/ha (95.65 cm) dan jenis kompos K1B0 (109.83 cm) dan yang terendah 83.56 cm (D1) dan jenis kompos K1B4 dengan 76.97 cm (Tabel 7). Pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) memberikan kisaran tinggi sebesar 83-84 cm, 20 ton/ha (D2) dan 30 ton/ha (D3) memiliki tinggi

38 tanaman 89-90 cm. Pada percobaan II, pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) memberikan kisaran tinggi sebesar 83-84 cm, 20 ton/ha (D2) dan 30 ton/ha (D3) memiliki tinggi tanaman 95-96 cm Nilai rataan tinggi tanaman pada percobaan II terlihat memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan percobaan I. Pengamatan diameter batang diperoleh hasil yang berbeda sangat nyata pada percobaan I dan percobaan II untuk perlakuan jenis kompos sedangkan perlakuan dosis kompos hanya berbeda nyata pada percobaan II. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 3). Pengamatan diameter batang menghasilkan diameter terbesar pada percobaan I yaitu 8.11 mm (dosis 20 ton/ha) dan jenis kompos K1B1 (9.29 mm) dan yang terendah ada pada perlakuan 10 ton/ha (7.51 mm) dan jenis kompos K0B4 (6.49 mm). Percobaan II menunjukkan hasil tertinggi ada pada perlakuan dosis kompos 20 ton/ha (6.25 mm) dan jenis kompos K1B1 (6.72 mm) dan yang terendah 4.72 mm (D1) dan jenis kompos K1B4 dengan 4.48 mm (Tabel 7). Pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) dan 30 ton/ha (D3) memberikan kisaran diameter sebesar 7-8 mm sedangkan dosis 20 ton/ha (D2) memiliki diameter batang 8 mm dalam percobaan I. Pada percobaan II, pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha (D1) dan dosis 30 ton/ha (D3) memiliki diameter batang sebesar antara 4 6 mm sedangkan D2 memiliki diameter 6 mm. Tabel 1 menunjukkan bahwa diameter batang pada polibag perlakuan kontrol tanah memiliki nilai sebesar 5.00 mm untuk percobaan I dan 3.11 mm untuk percobaan II. Berdasarkan hasil pada tabel 7 bahwa pada percobaan I, pemberian kompos K1B1 dapat meningkatkan diameter batang sebesar 4.29 mm dan pemberian kompos K1B1 pada percobaan II mampu meningkatkan diameter batang sampai 3.61 mm. Aplikasi kompos sebanyak 20 ton/ha pada percobaan I meningkatkan diameter batang sebesar 3.11 mm sedangkan pada percobaan II dosis D2 dapat menambah diameter batang sebesar 3.14 mm.

39 Respon Brangkasan Tanaman Bobot Basah dan Bobot Kering Total Peubah bobot basah total menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata untuk perlakuan dosis kompos pada percobaan I dan percobaan II sedangkan perlakuan jenis kompos hanya berbeda nyata pada percobaan II. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 12). Pada percobaan I, bobot basah terbesar terdapat pada 30 ton/ha (5.50 g) dan jenis kompos K1B1 dengan rataan 6.36 g dan terendah ada pada perlakuan 10 ton/ha (4.62 g) dan kompos K0B1 (4.08 g) sedangkan pada percobaan II, bobot basah terbesar terdapat pada 20 ton/ha (6.99 g) dan jenis kompos K0B2 dengan rataan 7.67 g dan nilai sebesar 5.64 g merupakan rataan bobot basah terkecil pada perlakuan 10 ton/ha dan kompos K1B4 memiliki bobot basah terkecil dengan 5.16 g. Pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha mampu memberikan rataan bobot basah berkisar 4-5 g, dosis 20 ton/ha dan dosis 30 ton/ha tanaman akan memiliki bobot basah antara 5-6 g dalam percobaan I sedangkan pada percobaan II, pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha mampu memberikan rataan bobot basah berkisar 5-6 g, dosis 20 ton/ha dan dosis 30 ton/ha tanaman akan memiliki bobot basah antara 6-7 g (Tabel 8). Bobot basah total brangkasan tanaman percobaan I berbeda dengan percobaan II. Bobot basah yang dihasilkan dalam percobaan II lebih beragam dan memiliki selang bobot yang lebih besar untuk setiap dosis aplikasi dibandingkan dengan percobaan I. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh iklim selama masa tanam percobaan II yang diduga lebih ekstrim dari percobaan I. Bobot basah total brangkasan tanaman terkait dengan fotosinesis. Fotosintesis yang baik akan menghasilkan bobot brangkasan yang tinggi. Fotosintesis sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban, CO 2, dan intensitas cahaya (Leiwakabessy, 1988). Kondisi lingkungan yang ekstrim menuntut tanaman untuk dapat beradapatasi. Apabila pengaruh suhu terlalu besar dalam fotosintesis maka dapat mengatur besar

40 kecilnya intensitas cahaya atau jika cahaya dalam kondisi cukup dapat menambah unsur CO 2 untuk meningkatkan fotosistesis. Bobot basah total juga dipengaruhi zat hijau daun, semakin hijau daun semakin baik proses fotosintesis. Hasil penelitian Judkins dan Wander (1949) pada beberapa jenis tanaman seperti tanaman anggur dan apel warna daun terkait dengan kandungan N pada daun. Sejalan dengan penelitian Yunindanova (2009) bahwa tanaman yang kekurangan unsur N dapat mengganggu pertumbuhan vegetatif dan proses fotosintesis sehingga produksinya menjadi kecil. Peubah bobot kering total pada percobaan I menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata sedangkan percobaan II berbeda nyata pada taraf 5% untuk perlakuan dosis kompos dan berbeda sangat nyata untuk perlakuan jenis kompos. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 12). a b Gambar 4. Kondisi Brangkasan Tanaman a) Percobaan I dan b) Percobaan II Pada percobaan I, bobot kering terbesar terdapat pada 30 ton/ha (2.18 g) dan jenis kompos K1B1 dengan rataan 2.51 g dan terendah ada pada perlakuan 10 ton/ha (1.91 g) dan kompos K0B1 dan K0B4 (1.67 g) sedangkan pada percobaan II, bobot kering terbesar terdapat pada 30 ton/ha (4.04 g) dan jenis kompos K1B1 dengan rataan 4.66 g dan nilai sebesar 3.24 g merupakan rataan bobot kering terkecil pada perlakuan 10 ton/ha dan kompos K1B4 memiliki bobot kering terkecil dengan 2.79 g. Pemberian kompos pada percobaan I dengan dosis 10

41 ton/ha, dosis 20 ton/ha, dan dosis 30 ton/ha tanaman hanya memiliki bobot kering antara 1-2 g sedangkan pada percobaan II, pemberian kompos dengan dosis 10 ton/ha mampu memberikan rataan bobot basah berkisar 3 g, dosis 20 ton/ha dan dosis 30 ton/ha tanaman akan memiliki bobot basah antara 3-4 g (Tabel 8). Tabel 1 menunjukkan bahwa bobot basah total pada polibag perlakuan kontrol tanah memiliki nilai sebesar 38.25 g untuk percobaan I dan 12.50 g untuk percobaan II. Bobot kering total pada kontrol tanah sebesar 10.63 g (percobaan I) dan 4.00 g (percobaan II). Pemberian kompos K1B0 pada percobaan I dapat meningkatkan bobot basah sebesar 18 g dan pemberian kompos K0B2 pada percobaan II mampu meningkatkan bobot basah sebesar 48 g. Aplikasi kompos sebanyak 30 ton/ha pada percobaan I memperbesar bobot basah sebanyak 17 g sedangkan pada percobaan II dosis D3 penambahan bobot basahnya mencapai 40 g (Tabel Lampiran 23). K1B3 meningkatkan bobot kering total hingga 2.4 g pada percobaan I sedangkan K1B0 menghasilkan selang bobot kering hingga 18 g. Aplikasi dosis 30 ton/ha mampu meningkatkan bobot kering sebesar 1 g pada percobaan I dan 14 g pada percobaan II. Bobot kering total memiliki peranan yang penting untuk menentukan besarnya serapan hara yang dilakukan oleh tanaman. Besarnya serapan hara menunjukkan bahwa tanaman tersebut mampu menunjang pertumbuhannya. Akan tetapi, hal ini tidak terlalu bersifat mutlak karena faktor lingkungan selalu menjadi faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman. Semakin kecil nilai bobot keringnya maka hara yang mampu diserap tanaman sedikit, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan morfologisnya.

42 Tabel 8. Bobot Basah dan Bobot Kering Total Brangkasan Tanaman Bobot Basah Total Bobot Kering Total Perlakuan Perc. I Perc. II Perc. I Perc. II Dosis Kompos..g....g....g....g.. D1 4.62b 5.64b 1.91b 3.24b D2 5.41a 6.99a 2.17a 3.98a D3 5.50a 6.98a 2.18a 4.04a Jenis Kompos K0B0 4.50cd 5.79bc 1.84cd 3.36b K0B1 4.08d 6.71abc 1.67d 3.70ab K0B2 5.44abc 7.67a 2.18abc 4.64a K0B3 4.69bcd 5.96bc 1.99bcd 3.21b K0B4 4.11d 6.23abc 1.67d 3.25b K1B0 6.18a 7.09ab 2.43ab 4.63a K1B1 6.36a 7.58a 2.51a 4.66a K1B2 5.39abc 6.13abc 2.17abc 3.44ab K1B3 5.84ab 7.07ab 2.35ab 3.83ab K1B4 5.34abcd 5.16c 2.16abc 2.79b (Dosis * Jenis) Kompos tn tn tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% (Hasil transformasi) Gambar 5a menunjukkan bahwa pada percobaan II, semakin besar dosis kompos yang diaplikasikan dapat memberikan hasil bobot basah total brangkasan yang meningkat. Penggunaan dosis 10 ton/ha (D1) dapat menghasilkan rataan bobot basah sebesar 33.29 g/tanaman, dosis D2 mampu memberikan bobot basah sebesar 50.09 g/tanaman, dan D3 rataan bobot basahnya 52.09 g/tanaman. Persamaan yang ada menghasilkan dosis minimum yaitu sebesar 2.63 ton/ha yang berarti berada di bawah aplikasi kompos sebesar 10 ton/ha (D1).

43 Bobot Basah Total (gram) 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 a 50.09 52.09 33.29 y = -0.074x 2 + 3.900x + 1.685 5 10 15 20 25 30 35 Dosis Kompos Bobot Basah Total (gram) 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 b 52.65 58.78 60.88 51.65 39.81 45.94 37.19 40.44 36.86 K0 27.39 K1 B0 B1 B2 B3 B4 Jenis Kompos Gambar 5. Grafik Bobot Basah Total Percobaan II a) Pengaruh Dosis Kompos b) Pengaruh Jenis Kompos (K0 = Tanpa Pupuk Kandang dan K1 = Dengan Pupuk Kandang) Gambar 5b menunjukkan bahwa pada percobaan II tanah yang diberikan kompos mampu memberikan hasil bobot basah total brangkasan yang berbeda dibandingkan dengan yang tidak diberi kompos. Pembuatan kompos tanpa penambahan pupuk kandang yang menggunakan biodekomposer Biotriba (K0B2) dapat menghasilkan bobot basah tertinggi sebesar 60.88 g/tanaman sedangkan kompos yang ditambahkan pupuk kandang akan memberikan bobot basah tertinggi sebesar 58.78 g/tanaman jika menggunakan biodekomposer EM4 (K1B1).

44 Bobot Basah dan Bobot Kering Akar Peubah bobot basah akar pada percobaan II menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada taraf 5 % untuk perlakuan dosis dan jenis kompos sedangkan percobaan I menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 12). Pada percobaan I, bobot basah terbesar terdapat pada 30 ton/ha (1.89 g) dan jenis kompos K1B1 yang rataannya 2.08 g dan terendah ada pada perlakuan D1 (1.59 g) dan kompos K0B4 (1.40 g). Pengaruh perlakuan pada percobaan II yang memberikan nilai rataan bobot basah akar terbesar ialah dosis D3 (2.14 g) dan kompos K0B2 dengan 2.44 g serta terendah pada dosis D1 (1.73 g) dan jenis kompos K1B4 (1.51 g). Pada percobaan I dan II rentang bobot basah akar berkisar antara 1 2 g untuk perlakuan dosis dan jenis kompos (Tabel 9). Bobot basah akar merupakan suatu indikator yang menunjukkan kemampuan akar untuk menyerap air. Hal ini sangat dipengaruhi oleh luasnya penjalaran akar dalam mencari air, semakin luas daerah jalarannya maka akan semakin besar bobot akarnya. Sejalan dengan penelitian Handoyo (2010) ketersediaan optimum air dalam tanah akan mampu memaksimalkan pertumbuhan tanaman dan meningkatkan bobot tanaman terutama akar. Jumlah air yang diserap oleh akar kemudian ditranslokasikan ke organ tubuh lainnya seperti batang yang kemudian akan mengisi jaringan xylem dan daun. Tabel 1 menunjukkan bahwa bobot basah akar pada polibag perlakuan kontrol tanah memiliki nilai sebesar 5.66 g untuk percobaan I dan 0.88 g untuk percobaan II. Bobot kering akar pada kontrol tanah sebesar 2.75 g (percobaan I) dan 0.45 g (percobaan II). Pemberian kompos K1B3 pada percobaan I dapat meningkatkan bobot basah akar sebesar 2-3 g dan pemberian kompos K0B2 pada percobaan II mampu meningkatkan bobot basah akar sebesar 6 g. Aplikasi kompos sebanyak 30 ton/ha pada percobaan I memperbesar bobot basah akar sebanyak 1.5 g sedangkan pada percobaan II dosis D3 penambahan bobot basah akarnya mencapai 3.8 g (Tabel Lampiran 24). K1B1 meningkatkan bobot kering akar hingga 1 g pada percobaan I sedangkan K0B2 menghasilkan selang bobot kering akar hingga 1.5 g. Aplikasi dosis 30 ton/ha menghasilkan bobot kering akar

45 yang konstan pada percobaan I sedangkan pada percobaan II meningkat sebesar 1 gram. Tabel 9. Bobot Basah dan Bobot Kering Akar Tanaman Bobot Basah Akar Bobot Kering Akar Perlakuan Perc. I Perc. II Perc. I Perc. II Dosis Kompos..g....g....g....g.. D1 1.59b 1.73b 1.02a 1.17b D2 1.84a 2.08a 1.13a 1.34a D3 1.89a 2.14a 1.10a 1.34a Jenis Kompos K0B0 1.53bcd 1.84ab 0.99ab 1.32abc K0B1 1.43cd 1.93ab 0.93b 1.26abc K0B2 2.08a 2.44a 1.17ab 1.50a K0B3 1.83abcd 1.66b 1.15ab 1.14bc K0B4 1.40d 1.91ab 0.96ab 1.23abc K1B0 1.92abc 2.13ab 1.10ab 1.34abc K1B1 2.08a 2.40a 1.20a 1.45ab K1B2 1.78abcd 1.91ab 1.09ab 1.21abc K1B3 1.99ab 2.14ab 1.17ab 1.32abc K1B4 1.70abcd 1.51b 1.10ab 1.06c (Dosis * Jenis) Kompos tn tn tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% (Hasil transformasi) Keberadaan air dalam organ daun diperlukan untuk proses fotosintesis sehingga kandungan air dalam tanah memiliki peranan penting bagi tanaman. Kadar air tanah berdasarkan hasil pengamatan yang menunjukkan nilai tertinggi yaitu perlakuan dosis 30 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin banyak bahan organik yang dimasukkan ke dalam tanah maka semakin tinggi kandungan air karena kemampuan tanah menyerap air semakin meningkat. Penambahan pupuk kandang dalam pembuatan kompos juga dapat meningkatkan kandungan air saat diaplikasikan ke dalam tanah. Sesuai dengan hasil pengamatan bahwa perlakuan kompos K1B1 yang diberikan ke media sebanyak 30 ton/ha memiliki kadar air tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 31.90% dan 30.24% pada 1 HSS (Tabel Lampiran 6). Hal ini dikarenakan semakin besar ukuran partikel bahan organik maka semakin besar

46 jumlah air yang dapat diserap. Selanjutnya, pada pengamatan kadar air tanah 4 HSS perlakuan kompos K0B2 yang diberikan ke media sebanyak 30 ton/ha memiliki kadar air tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 24.40% dan 24.07%. Penelitian ini menggunakan kompos dibuat dengan menambahkan biodekomposer yang terdiri atas beberapa jenis bakteri yang bersifat fotosintetik dan ototrof sehingga membutuhkan oksigen untuk beraktivitas, namun kondisi lingkungan penelitian kurang menunjang sehingga dimungkinkan aktivitas bakteri yang penting untuk pertumbuhan tanaman terhambat. Terhambatnya aktivitas bakteri-bakteri ini dikarenakan suhu udara dalam rumah kaca yang mencapai lebih dari 40ºC (Gambar Lampiran 1) dan suhu tanah yang mendekati 40ºC membuat beberapa jenis bakteri ini mati (Tabel Lampiran 4 dan 5). Interval penyiraman selama penelitian menyebabkan kondisi yang ekstrim sehingga tanaman beradaptasi secara luas. Kondisi yang tercipta seperti jenuh air saat penyiraman dan stress air saat 4 HSS, hal ini yang menyebabkan matinya bakteri atau aktivitasnya berkurang. Jadi bobot basah akar sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air dalam tanah. Peubah bobot kering akar baik pada percobaan I maupun pada percobaan II menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata begitupula dengan keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 12). Pada percobaan I dan II, bobot kering akar hanya berkisar pada rentang 1 g untuk setiap dosis kompos yang diaplikasikan dan jenis kompos, bobot kering terbesar terdapat pada 20 ton/ha (1.13 g) dan jenis kompos K1B1 yang rataannya 1.20 g dan terendah ada pada perlakuan D1 (1.02 g) dan kompos K0B1 (0.93 g) pada percobaan I. Pengaruh perlakuan pada percobaan II yang memberikan nilai rataan bobot kering akar terbesar ialah kompos D2 dan D3 (1.34 g) dan kompos K0B2 dengan 1.50 g serta terendah pada kompos D1(1.17 g) dan jenis kompos K1B4 (1.06 g) (Tabel 9). Terlihat bahwa pada percobaan II memiliki bobot basah dan bobot kering akar yang lebih rendah dibandingkan dengan percobaan I. Bobot akar kering dapat digunakan untuk menentukan berapa jumlah air yang dapat diserap oleh akar. Besarnya jumlah air yang diserap akar menentukan

47 keberhasilan akar dalam mentranslokasikan air ke organ lainnya. Berdasarkan hasil penghitungan kadar air dalam akar yang ada berkisar 52-77% (Tabel Lampiran 7) yang tertinggi ada pada D1K1B1 sebesar 76.95% dan yang terendah D1K1B3 dengan 52.14%. Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan air yang ditranslokasikan ke organ lain dalam jumlah yang cukup. Panjang Akar dan Volume Akar Peubah panjang akar percobaan I menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata sedangkan pada percobaan II berbeda nyata pada taraf 1% untuk perlakuan dosis kompos sedangkan perlakuan jenis kompos berbeda nyata pada taraf 5%. Peubah volume akar tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II. Keterkaitan hubungan antara dosis kompos dan jenis kompos menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel Lampiran 12). Akar terpanjang pada percobaan II terdapat pada dosis 30 ton/ha (4.79 cm) dan jenis kompos K0B2 dengan rataan 5.06 cm dan akar yang terpendek ada pada perlakuan aplikasi kompos D1 (4.39 cm) dan kompos K0B3 dengan nilai rataan sebesar 4.37 cm sedangkan percobaan I memberikan hasil akar terpanjang terdapat pada dosis 20 ton/ha (4.39 cm) dan jenis kompos K0B2 dengan rataan 4.56 cm dan akar yang terpendek ada pada perlakuan aplikasi kompos D1 (4.28 cm) dan kompos K0B4 dengan nilai rataan sebesar 3.94 cm. Rentang panjang akar untuk setiap dosis aplikasi hanya berkisar antara 4-5 cm baik pada percobaan I maupun percobaan II (Tabel 10). Tabel 1 menunjukkan bahwa panjang akar pada polibag perlakuan kontrol tanah memiliki nilai sebesar 17.82 cm untuk percobaan I dan 17.05 cm untuk percobaan II. Volume akar pada kontrol tanah sebesar 6.83 ml (percobaan I) dan 1.00 ml (percobaan II). Pemberian kompos K0B2 dapat meningkatkan panjang akar sebesar 3 cm (percobaan I) dan 8 cm pada percobaan II. Aplikasi kompos sebanyak 20 ton/ha pada percobaan I memperbesar panjang akar sebanyak 2 cm sedangkan pada percobaan II dosis D3 penambahan panjang akarnya mencapai 5 cm (Tabel Lampiran 25). K1B1 meningkatkan volume akar hingga 2 ml pada percobaan I dan 1.7 ml pada percobaan II. Aplikasi dosis 20 ton/ha menghasilkan

48 volume akar yang menurun sebesar 0.01 ml pada percobaan I sedangkan pada percobaan II meningkat sebesar 1.3 ml. Panjang akar sangat ditentukan oleh kondisi tanah. Tanah yang kering dapat menjepit akar dengan kuat sehingga pertumbuhannya terhambat sedangkan tanah yang porous cenderung akar bergerak bebas sehingga memiliki ukuran yang lebih panjang. Leiwakabessy (1988) menyatakan bahwa pertumbuhan akar akan meningkat seiring peningkatan suhu hingga optimum yaitu 30ºC. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan ketersediaan air dalam tanah berkurang sehingga akar tidak bergerak secara luas. Tabel 10. Panjang dan Volume Akar Tanaman Panjang Akar Volume Akar Perlakuan Perc. I Perc. II Perc. I Perc. II Dosis Kompos..cm....cm....ml....ml.. D1 4.28a 4.39b 1.40a 1.49b D2 4.39a 4.72a 1.59a 1.67a D3 4.33a 4.79a 1.60a 1.61ab Jenis Kompos K0B0 4.26ab 4.47b 1.37abc 1.66a K0B1 4.13ab 4.69ab 1.30bc 1.52a K0B2 4.56a 5.06a 1.74a 1.70a K0B3 4.35ab 4.37b 1.62ab 1.44a K0B4 3.94b 4.71ab 1.22c 1.54a K1B0 4.36ab 4.54ab 1.69ab 1.63a K1B1 4.47ab 5.04a 1.68ab 1.77a K1B2 4.45ab 4.47b 1.46abc 1.49a K1B3 4.48ab 4.55ab 1.67ab 1.72a K1B4 4.37ab 4.42b 1.54abc 1.45a (Dosis * Jenis) Kompos tn tn tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% (Hasil transformasi) Volume terbesar pada percobaan I terdapat pada dosis 30 ton/ha (1.60 ml) dan kompos K0B2 dengan rataan 1.74 ml dan volume terkecil ada pada perlakuan kompos D1 (1.40 ml) dan jenis kompos K0B4 yaitu sebesar 1.22 ml sedangkan pada percobaan II, dosis 20 ton/ha dan kompos K1B1 memiliki volume akar terbesar dengan rataan 1.67 ml dan 1.77 ml sedangkan volume terkecil ada pada

49 perlakuan D1 (1.49 ml) dan jenis kompos K0B3 dengan 1.44 ml (Tabel 10). Terlihat bahwa rentang volume akar berkisar antara 1-2 ml dan percobaan I dan II. Pengukuran volume akar ditujukan untuk melihat seberapa besar kemampuan akar tanaman untuk menyerap air. Semakin besar volume akar yang terukur maka semakin banyak air yang dapat diserap akar. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa perakaran tersebut dalam kondisi baik, mampu menunjang pertumbuhan tanaman dan memiliki daerah penjalaran yang luas. Pergerakan akar juga dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara dalam tanah terutama N, P, dan K. Unsur hara K merupakan unsur yang secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan akar karena dalam jumlah yang cukup K akan mudah tercuci sehingga akar akan bergerak bebas untuk mencari unsur tersebut dan dalam jumlah yang kurang maka ujung-ujung akar tidak terbentuk. Unsur P merupakan hara yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan akar. Dalam jumlah yang cukup, fosfat dapat meningkatkan pemanjangan akar dan meningkatkan bobot akar (Leiwakabessy, 1988). Keadaan akar turut menentukan tingkat kemampuan tanaman untuk dapat hidup dalam suatu media tertentu. Lakitan (1993) menyatakan bahwa media tumbuh mempengaruhi sistem perakaran karena dalam media akan ditemui adanya pengaruh dari penghalang mekanis, aerasi, kadar air tanah, suhu tanah, dan kandungan hara. Kondisi tanah dengan C/N ratio > 35 memungkinkan sistem perakaran yang menyebar (Yunindanova, 2009). Derajat kemasaman tanah juga dapat mempengaruhi panjang akar. Pada kedua percobaan ph tanah berkisar 5.24 (percobaan I) dan 4.6 (percobaan II) dimungkinkan tanah yang kurang subur maka pertumbuhan akar menjadi tertekan, karena akar hanya akan menjalar pada daerah permukaan sekitar akar. Jagung termasuk kedalam tanaman monokotil yang memiliki sistem perakaran serabut yang dangkal dan menjalar di bawah permukaan tanah. Hal ini mengakibatkan penyerapan hara terpusat pada daerah permukaan sehingga dihasilkan ukuran akar yang pendek.

50 a b Gambar 6. Kondisi Perakaran Tanaman a) Percobaan I dan b) Percobaan II Respon Produksi Tanaman Bobot Basah dan Bobot Kering Tongkol Peubah bobot basah tongkol baik pada percobaan I maupun percobaan II menunjukkan nilai yang tidak berbeda dan peubah bobot kering tongkol juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata begitupula untuk keterkaitan hubungan antara kedua perlakuan juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel Lampiran 13). Pada percobaan I, bobot basah tongkol terbesar terdapat pada 30 ton/ha (3.83 g) dan jenis kompos K1B1 dengan rataan 3.87 g dan terendah ada pada perlakuan 10 ton/ha (3.32 g) dan kompos K1B2 (3.11 g) sedangkan pada percobaan II, bobot basah tongkol terbesar terdapat pada 20 ton/ha (3.69 g) dan kompos K0B2 dengan rataan 4.12 g dan yang terendah ada pada perlakuan 10 ton/ha (3.14 g) dan jenis kompos K1B4 (2.51 g). Bobot basah tongkol yang dihasilkan memiliki rentang antara 3-4 g untuk percobaan I dan II. Peubah bobot kering tongkol hanya dilakukan pengamatan pada percobaan II dan bobot kering terbesar terdapat pada 30 ton/ha dan 20 ton/ha yaitu 2.24 g serta jenis kompos K1B0 dengan rataan 2.90 g dan terendah ada pada perlakuan D1 (1.90 g) dan kompos K1B4 dengan nilai rataan sebesar 1.34 g (Tabel 11). Secara umum, produksi jagung pada kedua percobaan tergolong sangat rendah. Hal ini dikarenakan kondisi tanah yang digunakan kurang subur bagi tanaman. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya keadaan

51 tanaman dan tanah. Keadaan tanaman dapat dilihat berdasarkan tipe pertumbuhan dan perakaran. Tanaman jagung memiliki tipe pertumbuhan determinate yang berarti setelah munculnya organ generatif maka pertumbuhan vegetatifnya berhenti. Apabila terjadi cekaman lingkungan seperti kondisi tanah yang kurang subur, kadar air tanah yang rendah, suhu yang tinggi, dan intensitas cahaya yang rendah dapat memberikan kemungkinan akan memperpanjang fase vegetatif dan menghambat fase generatif. Tabel Lampiran 8 menunjukkan bahwa potensi produksinya 2 tongkol/tanaman dengan bobot tongkol 200-250 g/tongkol. Pembagian produk dari proses fotosintesis tanaman diantaranya yaitu untuk pembentukan senyawa guna proses selanjutnya, pembentukan biomassa, dan translokasi ke sumber penyimpanan tanaman atau buah (Purnomo, 2005). Hal ini diduga karena intensitas cahaya dalam rumah kaca yang rendah (1/3 kali intensitas cahaya luar rumah kaca) mengakibatkan laju fotosintesis rendah sehingga biomassa juga rendah dan menghasilkan produksi yang rendah. Tabel 1 menunjukkan bahwa bobot basah tongkol pada polibag perlakuan kontrol tanah memiliki nilai sebesar 11.94 g untuk percobaan I dan 3.68 g untuk percobaan II. Bobot kering tongkol pada kontrol tanah sebesar 0.75 g (percobaan II). Pemberian kompos K1B1 pada percobaan I dapat meningkatkan bobot basah tongkol sebesar 4 g dan pemberian kompos K0B2 pada percobaan II mampu meningkatkan bobot basah tongkol 14-15 g. Aplikasi kompos sebanyak 30 ton/ha pada percobaan I memperbesar bobot basah tongkol sebanyak 4 g sedangkan pada percobaan II dosis D3 penambahan bobot basah tongkolnya mencapai 12 g (Tabel Lampiran 26). K1B0 meningkatkan bobot kering tongkol hingga 8-9 g pada percobaan II. Aplikasi dosis 30 ton/ha menghasilkan bobot kering tongkol yang meningkat sebesar 6 gram.

52 Tabel 11. Bobot Basah dan Bobot Kering Tongkol Bobot Kering Bobot Basah Tongkol Tongkol Perlakuan Perc. I Perc. II Perc. II Dosis Kompos..g....g....g.. D1 3.32b 3.14a 1.92a D2 3.56ab 3.69a 2.24a D3 3.83a 3.63a 2.24a Jenis Kompos K0B0 3.62a 2.90ab 1.71ab K0B1 3.74a 3.94ab 2.04ab K0B2 3.65a 4.12a 2.62ab K0B3 3.46a 3.48ab 1.73ab K0B4 3.30a 3.18ab 2.03ab K1B0 3.71a 4.08a 2.90a K1B1 3.87a 3.60ab 2.70a K1B2 3.11a 3.08ab 2.05ab K1B3 3.65a 3.95ab 2.20ab K1B4 3.59a 2.51b 1.34b (Dosis * Jenis) Kompos tn tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% (Hasil transformasi) Ketersediaan hara yang rendah dapat mengganggu proses metabolisme tubuh tanaman. Sesuai dengan pendapat Trude dan Osbune (1971) yang menyatakan bahwa kandungan hara dalam tanah yang rendah dapat menghambat pertumbuhan serta dapat menurunkan hasil. Fotosintesis dan respirasi tanaman merupakan beberapa proses metabolisme tubuh tanaman yang dipengaruhi oleh ketersediaan hara. Tersedianya unsur hara tertentu baik makro maupun mikro juga menentukan peranan dalam menghasilkan buah yang berkualitas. Menurut Purwanto (2005) rendahnya hasil produksi dapat dilihat dari faktor bobot buah dan ukuran buah. Hal ini sesuai dengan pendapat Edmond et al., (1975) bahwa rendahnya suatu produksi dikarenakan terbatasnya hara yang dibutuhkan tanaman di dalam tanah. Unsur K juga diperlukan dalam metabolisme karbohidrat, pereduksi N, dan pembelahan sel karena sifatnya yang bertindak sebagai kofaktor enzim. Black (1965) menyatakan bahwa kadar K 2.23 ppm termasuk dalam kategori kadar rendah dan dapat menghambat metabolisme.

53 Berdasarkan hasil analisis tanah awal, kandungan K berkisar 0.04-0.09 mg atau setara dengan 0.4-0.9 ppm sehingga tergolong sangat rendah. Kandungan K yang rendah dapat menghambat metabolisme tanaman terkait dengan pertumbuhan generatif sehingga dapat menurunkan daya hasil. Gambar 5a menunjukkan bahwa pada percobaan II, semakin besar dosis kompos yang diaplikasikan dapat memberikan hasil bobot basah tongkol yang meningkat. Penggunaan dosis 10 ton/ha (D1) dapat menghasilkan rataan bobot basah sebesar 10.37 g/tanaman, dosis D2 mampu memberikan bobot basah sebesar 14.23 g/tanaman, dan D3 rataan bobot basahnya 15.06 g/tanaman. Persamaan yang ada menghasilkan dosis minimum yaitu sebesar 2.73 ton/ha yang berarti berada di bawah aplikasi kompos sebesar 10 ton/ha (D1). Gambar 5b menunjukkan bahwa pada percobaan II, tanah yang diberikan kompos mampu memberikan hasil bobot basah tongkol yang berbeda dibandingkan dengan yang tidak diberi kompos. Pembuatan kompos tanpa penambahan pupuk kandang dapat menggunakan biodekomposer Biotriba (K0B2) dapat menghasilkan bobot basah tertinggi sebesar 17.95 g/tanaman sedangkan kompos yang ditambahkan pupuk kandang akan memberikan bobot basah tertinggi sebesar 17.74 g/tanaman jika tanpa menggunakan biodekomposer.

54 Bobot Basah Tongkol (gram) Bobot Basah Tongkol (gram) 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 a 20.00 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 b 14.23 15.06 10.37 y = -0.015x 2 + 0.840x + 3.478 5 10 15 20 25 30 35 Dosis Kompos 17.74 9.64 K0 16.33 17.95 15.83 10.88 13.99 12.46 10.88 6.51 K1 B0 B1 B2 B3 B4 Jenis Kompos Gambar 7. Grafik Bobot Basah Tongkol Percobaan II a) Pengaruh Dosis Kompos b) Pengaruh Jenis Kompos (K0 = Tanpa Pupuk Kandang dan K1 = Dengan Pupuk Kandang) Panjang dan Diameter Tongkol Peubah panjang tongkol pada percobaan I menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada taraf 1% untuk perlakuan jenis kompos dan perlakuan dosis kompos tidak berbeda nyata sedangkan percobaan II tidak berbeda nyata. Peubah diameter tongkol tidak berbeda nyata untuk kedua perlakuan baik pada percobaan I maupun percobaan II. Keterkaitan hubungan yang berbeda nyata ditunjukan pada percobaan I untuk peubah panjang tongkol (Tabel Lampiran 13).

55 Panjang tongkol terbesar pada percobaan I terdapat pada dosis 20 ton/ha (6.87 cm) dan jenis kompos K1B1 dengan rataan 7.96 cm dan terendah ada pada perlakuan D1 (6.23 cm) dan kompos K0B0 (5.69 cm) sedangkan pada percobaan II, dosis 20 ton/ha (2.70 cm) dan kompos K0B2 dengan rataan 2.85 cm merupakan tongkol terpanjang dan yang terpendek ada pada perlakuan D1 (2.48 cm) dan jenis kompos K1B4 dengan rataan 2.37 cm (Tabel 12). Terlihat bahwa selang panjang tongkol berada antara 2-3 cm pada percobaan I sedangkan pada percobaan II selang panjangnya antara 5-7 cm. Hal ini menunjukkan secara produksi dengan melihat peubah panjang tongkol percobaan I lebih baik daripada percobaan II. Tabel 12. Panjang dan Diameter Tongkol Panjang Tongkol Diameter Tongkol Perlakuan Perc. I Perc. II Perc. I Perc. II Dosis Kompos..cm....cm....mm....mm.. D1 6.23b 2.48a 3.97a 3.48a D2 6.87a 2.70a 4.05a 3.71a D3 6.50ab 2.69a 4.27a 3.74a Jenis Kompos K0B0 5.69c 2.53a 4.18a 3.13ab K0B1 6.57bc 2.63a 4.21a 4.22a K0B2 6.53bc 2.85a 4.05a 4.10ab K0B3 6.29bc 2.58a 3.90a 3.56ab K0B4 6.21bc 2.44a 3.65a 3.33ab K1B0 7.07ab 2.81a 4.15a 4.22a K1B1 7.96a 2.77a 4.43a 3.87ab K1B2 5.92bc 2.56a 3.65a 3.18ab K1B3 6.86abc 2.67a 4.18a 3.80ab K1B4 6.18bc 2.37a 4.50a 2.98b (Dosis * Jenis) Kompos * tn tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% (Hasil transformasi) Tabel 1 menunjukkan bahwa panjang tongkol pada polibag perlakuan kontrol tanah memiliki nilai sebesar 5.93 cm untuk percobaan I dan 4.48 cm untuk percobaan II. Diameter tongkol pada kontrol tanah sebesar 20.41 mm (percobaan I) dan 9.26 mm (percobaan II). Pemberian kompos K1B1 dapat meningkatkan

56 panjang tongkol sebesar 2 cm (percobaan I) dan K0B2 meningkatkan panjang tongkol 5 cm pada percobaan II. Aplikasi kompos sebanyak 20 ton/ha pada percobaan I memperbesar panjang tongkol sebanyak 1 cm sedangkan pada percobaan II sebesar 2 cm (Tabel Lampiran 27). K1B4 meningkatkan diameter tongkol hingga 0.40 mm pada percobaan I dan 9 mm pada percobaan II (K0B1). Aplikasi dosis 30 ton/ha menghasilkan diameter tongkol yang menurun sebesar 2 mm pada percobaan I sedangkan pada percobaan II meningkat sebesar 5 mm. Pengamatan diameter tongkol menghasilkan selang diameter pada percobaan I dan II antara 3-4 mm dengan diameter terbesar yaitu 4.27 mm untuk dosis D3 dan 4.50 untuk jenis kompos K1B4 serta rataan terendahnya 3.97 mm pada perlakuan 10 ton/ha dan kompos K0B4 dan K1B2 dengan 3.65 mm (percobaan I) sedangkan percobaan II selang diameter terbesar ada pada perlakuan 30 ton/ha (3.74 mm) dan jenis kompos K0B1 dan K1B0 (4.22 mm) serta yang terkecil sebesar 3.48 mm (D1) dan kompos K1B4 dengan 2.98 mm (Tabel 12). Translokasi air dan unsur hara yang baik akan dapat terlihat dari kualitas hasil produknya yang terkait dengan panjang dan diameter tongkol. Ketersediaan hara yang cukup bagi tanaman akan mampu membentuk ukuran panjang dan diameter tongkol yang optimum. Menurut Cahyono (1995), kualitas buah suatu tanaman tergantung pada keterkaitan fungsi antara unsur N, P, dan K. Unsur N berperan dalam mempercepat pertumbuhan vegetatif pada tanaman muda dan unsur P mengatur pertumbuhan akar. Apabila akar tanaman dalam kondisi baik maka akan dapat menyerap unsur hara lebih banyak sehingga pertumbuhan tanaman lebih cepat. Selanjutnya unsur K dapat membantu meningkatkan pembentukan hijau daun dan karbohidrat pada buah serta meningkatkan kualitas buah. Penambahan kompos yang berasal dari limbah tanaman perkebunan dapat mempengaruhi sifat fisik tanah dan jika digunakan secara terus-menerus dapat meningkatkan kesuburan tanah (Sutanto, 2002). Tujuan pembuatan kompos dari limbah kulit buah jarak pagar yaitu untuk memanfaatkan limbah produk tanaman ini setelah proses penyulingan minyak. Selain itu, untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan penambahan kompos dari bahan baku limbah ini. Berdasarkan hasil analisis hara kompos (Tabel 2), hara yang terkandung dalam kompos tergolong

57 cukup baik untuk tanaman sehingga penambahan sejumlah kompos ini dapat meningkatkan kualitas hasil. Secara umum, kualitas hasil yang terkait dengan panjang dan diameter tongkol menunjukkan hasil yang rendah. Hal ini dimungkinkan adanya cekaman tinggi terhadap tanaman berupa pengaruh suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya yang menghambat aktivitas organ bawah tanaman seperti pembentukan dan pertumbuhan akar, serapan air serta hara oleh akar. Selain itu, hambatan pertumbuhan karena adanya cekaman yang tinggi terjadi juga pada aktivitas organ bagian atas seperti pemanjangan batang, pembentukan daun, proses fotosintesis, dan pembentukan buah. Hambatan-hambatan karena cekaman ini akan bersinergis membentuk tongkol yang pendek, kecil, dan tidak berbiji. Berdasarkan pengamatan, terbentuk bunga betina pada titik tumbuh bunga jantan. Hal ini dimungkinkan karena kondisi suhu yang tinggi, kelembaban rendah, dan intensitas cahaya yang rendah membuat tanaman beradaptasi seperti ini. Pada percobaan I, peluang munculnya bunga betina pada titik tumbuh bunga jantan hingga menjelang panen mencapai 16.13% sedangkan pada percobaan II mencapai 26.88% (Tabel Lampiran 11). Hal ini menunjukkan bahwa suhu juga dapat mengganggu proses pembentukan bunga. Kombinasi perlakuan kompos K1B1 yang terdiri atas limbah + pupuk kandang + EM4 dan dosis aplikasi sebesar 30 ton/ha menunjukkan kualitas hasil panjang tongkol terbesar dengan nilai rataan sebesar 9.73 g (Tabel Lampiran 22). Hal ini dikarenakan adanya penambahan pupuk kandang yang dapat meningkatkan ketersediaan mikroba pengurai bahan organik sehingga dapat meningkatkan hara yang dapat diserap oleh tanaman. Bakteri yang terkandung dalam EM4 sedikit yang bersifat fotosintetik sehingga dapat bekerja baik dalam kondisi kurang cahaya. Pada D3K0B4 terkandung bakteri Trichoderma pseudokoningii yang aktif berkerja pada kondisi kadar air 50-60% (Goenadi, 1997) sedangkan pada pengamatan kelembaban tanah diperoleh hasil 79-93% baik saat 1 HSS maupun 4 HSS (Tabel Lampiran 4-5) sehingga dimungkinkan aktivitas bakteri tersebut terhambat dan memberikan kualitas hasil panjang tongkol yang rendah.

58 Serapan Hara N pada Percobaan I Tabel 13. Serapan dan Efisiensi Serapan Hara N oleh Tanaman Efisiensi Serapan Hara Perlakuan Serapan hara (N = M/L x (M = G x H) 100) N (g/tan) N (%) Kompos 10 ton/ha (D1K0B0) 0.31 5.53 Kompos 10 ton/ha + EM4 (D1K0B1) 0.28 4.94 Kompos 10 ton/ha + Biotriba (D1K0B2) 0.30 5.20 Kompos 10 ton/ha + Orgadec (D1K0B3) 0.29 5.16 Kompos 10 ton/ha + Mdec (D1K0B4) 0.26 4.47 Kompos 10 ton/ha + Pukan (D1K1B0) 0.36 6.20 Kompos 10 ton/ha + Pukan + EM4 (D1K1B1) 0.25 4.33 Kompos 10 ton/ha + Pukan + Biotriba (D1K1B2) 0.22 3.74 Kompos 10 ton/ha + Pukan + Orgadec (D1K1B3) 0.23 4.01 Kompos 10 ton/ha + Pukan + Mdec (D1K1B4) 0.31 5.35 Kompos 20 ton/ha (D2K0B0) 0.31 5.23 Kompos 20 ton/ha + EM4 (D2K0B1) 0.33 5.46 Kompos 20 ton/ha + Biotriba (D2K0B2) 0.26 4.30 Kompos 20 ton/ha + Orgadec (D2K0B3) 0.21 3.54 Kompos 20 ton/ha + Mdec (D2K0B4) 0.45 7.34 Kompos 20 ton/ha + Pukan (D2K1B0) 0.35 5.70 Kompos 20 ton/ha + Pukan + EM4 (D2K1B1) 0.31 4.95 Kompos 20 ton/ha + Pukan + Biotriba (D2K1B2) 0.33 5.40 Kompos 20 ton/ha + Pukan + Orgadec (D2K1B3) 0.37 6.00 Kompos 20 ton/ha + Pukan + Mdec (D2K1B4) 0.26 4.11 Kompos 30 ton/ha (D3K0B0) 0.18 2.89 Kompos 30 ton/ha + EM4 (D3K0B1) 0.29 4.61 Kompos 30 ton/ha + Biotriba (D3K0B2) 0.32 5.07 Kompos 30 ton/ha + Orgadec (D3K0B3) 0.32 4.94 Kompos 30 ton/ha + Mdec (D3K0B4) 0.31 4.83 Kompos 30 ton/ha + Pukan (D3K1B0) 0.31 4.66 Kompos 30 ton/ha + Pukan + EM4 (D3K1B1) 0.46 7.00 Kompos 30 ton/ha + Pukan + Biotriba (D3K1B2) 0.32 4.92 Kompos 30 ton/ha + Pukan + Orgadec (D3K1B3) 0.41 6.30 Kompos 30 ton/ha + Pukan + Mdec (D3K1B4) 0.41 6.08 Keterangan : G = Kadar N Tanaman, H = Bobot Kering Total Tanaman, dan L = Jumlah Total N

59 Nitrogen merupakan suatu unsur hara yang dapat ditambahkan dari luar melalui pemupukan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Pemberian N terkait dengan kebutuhan tanaman akan karbohidrat untuk proses fotosintesis. Dalam jumlah N yang sedikit maka fotosintesis hanya memanfaatkan sedikit N untuk diubah menjadi protein. Pemberian N dalam jumlah banyak menyebabkan pertumbuhan vegetatif yang cepat dan warna daun menjadi lebih hijau (Leiwakabessy, 1988). Hal ini sejalan dengan Wargiono (1980) dan Soepardi (1983) unsur nitrogen dapat merangsang pertumbuhan vegetatif terutama daun untuk memberikan warna hijau pada daun (klorofil). Selain itu, dikemukakan juga bahwa di dalam tubuh tumbuhan, nitrogen ditemukan dalam bentuk senyawa organik utama seperti protein, klorofil, dan asam nukleat. Soepardi (1983) menyatakan bahwa tanaman yang kekurangan nitrogen akan mengalami pertumbuhan yang kerdil, sistem perakaran menjadi terbatas, daun menguning dan mudah rontok. Apabila unsur nitrogen diberikan secara berlebihan pada tanaman akan dapat menghambat pematangan buah, tanaman menjadi lunak, tanaman mudah terserang hama penyakit serta dapat menurunkan + - kualitas hasil. Unsur nitrogen baik dalam bentuk NH 4 maupun NO 3 dalam larutan tanah diserap oleh sistem perakaran tanaman dengan mekanisme aliran massa melalui pembuluh xylem hingga ke pucuk (Haynes, 1986). Menurut Soepardi (1983) pupuk urea memiliki sifat yang higroskopis maka pupuk ini sangat mudah menangkap uap terutama pada kondisi kelembaban nisbi berada pada kisaran 73% sehingga untuk mengurangi sifat higroskopisnya diperlukan selaput (coated). Selanjutnya Hardjowigeno (1985) menambahkan bahwa pupuk urea dapat diserap oleh tanaman dalam bentuk Amonium Nitrat (NH 4 NO 3 ) setelah melalui proses amonifikasi dan nitrifikasi sehingga proses hidrolisis di dalam tanah dapat dipercepat. Tabel 13 menunjukkan serapan hara N oleh tanaman. Serapan N terbesar ada pada kombinasi perlakuan dosis D3 dengan jenis kompos K1B1 sebesar 0.46 g/tanaman dengan efisiensi 7.00% dan yang terendah D3K0B0 (0.18 g/tanaman) dengan efisiensi sebesar 2.89%. Pemberian dosis kompos sebesar 20 ton/ha (D2) akan menghasilkan serapan yang tinggi jika dikombinasi dengan jenis kompos K0B4 dengan nilai 0.45 g/tanaman dengan efisiensi 7.34% dan terendah sebesar

60 0.21 g/tanaman (D2K0B3). Jenis kompos K1B0 memberikan nilai serapan hara N yang tinggi jika diaplikasikan sebanyak 10 ton/ha (0.36 g/tanaman) dan serapan terendah pada D1K1B2 dengan nilai 0.22 g/tanaman. Persentase serapan N 2.89% merupakan serapan terendah yang terjadi pada kombinasi dosis D3 dengan K0B0. Efisiensi serapan hara N dalam tanah tertinggi terdapat pada D2K0B4 yaitu 7.34%. Kadar N kompos pada K1B0 (1.63%) dan K1B1 (1.70%) dimungkinkan menjadi penyumbang N yang cukup besar bagi tanaman dan efisien dimanfaatkan oleh tanaman sedangkan K0B4 (1.54%) memiliki kadar N kompos yang tergolong rendah dibandingkan dengan yang lainnya sehingga dimungkinkan sedikit tersedia untuk tanaman dan tidak termanfaatkan oleh tanaman dengan baik (Tabel 2). Penambahan pupuk kandang dalam perlakuan menghasilkan serapan N yang tidak terlalu besar. Hal ini diduga karena semakin banyak aktivitas bakteri yang terjadi sehingga pemanfaatan N lebih didahulukan sebagai sumber energi oleh bakteri. Menurut Leiwakabessy (1988) nitrogen dalam tanah tersedia karena adanya mineralisasi N bahan organik, immobilisasi, fiksasi N dari udara, hujan, dan pemupukan. N-Organik bersifat lebih mobil dari bentuk anorrganiknya sehingga pada lapisan tanah atas terkandung lebih banyak N dari lapisan tanah bawah. Hal ini dikarenakan, pada tanah lapisan atas terkandung bahan organik. Bahan organik tanah mengandung sebesar 2-8% N dan sangat dipengaruhi faktorfaktor lainnya seperti iklim dan tipe vegetasi, sifat fisika dan kimia tanah, dan waktu. Kadar nitrogen dalam bentuk nitrat dan amonium ditemukan dalam larutan tanah tidak lebih dari 2% kadar totalnya.

61 Kandungan Nitrat Tanah pada Percobaan II Tabel 14. Kandungan Nitrat Tanah Nitrat Perlakuan 2 MST 8 MST Dosis Kompos..ppm....ppm.. D1 47.81a 22.62a D2 48.25a 24.53a D3 55.42a 26.02a Jenis Kompos K0B0 49.57a 22.98ab K0B1 51.87a 24.70ab K0B2 48.96a 25.70ab K0B3 50.00a 25.50ab K0B4 43.31a 30.96a K1B0 52.14a 25.02ab K1B1 51.90a 20.68b K1B2 55.38a 19.80b K1B3 50.60a 25.93ab K1B4 51.22a 22.59ab (Dosis * Jenis) Kompos tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% - Nitrogen dapat diserap oleh tanaman dalam bentuk NO 3 dan NH + 4. Senyawa-senyawa ini ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada larutan tanah - sehingga pemupukan menjadi hal yang penting bagi tanaman, akan tetapi NO 3 dapat dengan mudah ditemukan pada tanah-tanah yang bersifat masam (Leiwakabessy, 1988). Hal ini sesuai dengan hasil analisis tanah awal penelitian, karena didapat tanah pada kedua percobaan berreaksi masam sehingga dimungkinkan kadar nitrat dalam jumlah yang tinggi. Senyawa nitrat yang ditambahkan kedalam tanah mudah ditemukan dalam larutan tanah, hal ini dikarenakan mudahnya senyawa ini berikatan dengan kation lainnya di dalam tanah dan mudah juga dilepaskan ketika diserap oleh tanaman. Bentuk penyerapan senyawa ini antara tanaman yang satu dengan yang lainnya berbeda. Tanaman-tanaman yang hidup pada tanah tergenang seperti padi

62 sawah nitrogen diserap oleh tanaman dengan baik dalam bentuk amonium sedangkan tanaman pada tanah-tanah yang tidak tergenang seperti jagung menyerap nitrogen dalam bentuk nitrat. Dalam tubuh tanaman, senyawa-senyawa ini akan dirombak menjadi bentuk protein. Ketersediaan nitrat dalam tanah tidak terlepas dari jumlah amonium dalam tanah dan dekomposisi bahan organik tanah maupun bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah. Menurut Leiwakabessy (1988) proses dekomposisi bahan organik menjadi nitrat berlangsung dalam 3 tahapan diantaranya aminisasi, amonifikasi, dan nitrifikasi. Aminisasi merupakan suatu proses hidrolisis protein dan melepaskan senyawa amina serta asam amino. Senyawa-senyawa ini selanjutnya dimanfaatkan oleh bakteri heterotrof hingga dihasilkan amonium (amonifikasi) yang kemudian sebagian diserap tanaman, dimanfaatkan bakteri sebagai sumber energi, terfiksasi oleh mineral liat (2:1) monmorilonit, dan sebagian digunakan untuk nitrifikasi. Proses ini berlangsung dalam 2 tahapan yaitu amonium diubah menjadi nitrit dengan bantuan bakteri ototrof (nitrosomas) dan nitrit diubah menjadi nitrat (nitrobacter). Tabel 14 menunjukkan bahwa pada saat tanaman berumur 2 MST kadar nitrat terbesar terdapat pada perlakuan D3 (55.42 ppm) dan jenis kompos K1B2 dengan rataan 55.32 ppm dan saat umur tanaman 8 MST kadar nitrat terbesar yaitu D3 (26.02 ppm) dan kompos K0B4 (30.96 ppm) serta kadar terendah saat 2 MST dan 8 MST ada pada perlakuan dosis 10 ton/ha (47.81 ppm dan 22.62 ppm) sedangkan untuk perlakuan jenis kompos kadar terendah dimiliki oleh kompos K0B4 dengan nilai 43.31 ppm (2 MST) dan 19.80 ppm pada K1B2 (8 MST). Persentase kehilangan kadar nitrat terbesar yaitu D3 (53.05%) dan jenis kompos K1B2 (64.25%) dan persentase kehilangan terendah ada pada D2 (49.16%) dan kompos K0B4 (28.52%) (Tabel Lampiran 17). Hal ini dikarenakan pada tanah yang diberikan perlakuan dosis kompos, bakteri yang berperan dalam proses nitrifikasi lebih dulu memanfaatkan sumber amonium sebagai energi perombak sehingga tanaman akan kekurangan nitrat dalam jangka waktu tertentu. Menurut Leiwakabessy (1988) apabila bahan organik tanah maupun bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah memiliki C/N ratio besar maka N akan diserap oleh bakteri untuk dekomposisi bahan organik tersebut.

63 Tingginya kadar nitrat pada jenis kompos K1B2 dan rendahnya kadar nitrat pada kompos K0B4 (2 MST) dimungkinkan karena efisien dan efektifnya kinerja bakteri dalam biodekomposer biotriba untuk merobak bahan organik sehingga nitrat tersedia dalam jumlah banyak dan terakumulasi dalam tanah. Tingginya kadar nitrat pada jenis kompos K0B4 dan rendahnya kadar nitrat pada kompos K1B2 (8 MST) dikarenakan bahan organik yang terdekomposisi lebih cepat dan sempurna memudahkan proses penyerapan oleh tanaman atau nitrat tersebut tercuci selama penyiraman, terfiksasi, dan volatilisasi. Nitrat dapat terakumulasi pada tanah atau lahan yang ternaungi karena kandungan nitrat dalam tanah ternaungi tidak mudah untuk mengalami volatilisasi atau penguapan (Urnemi, 2002). Nitrat merupakan suatu senyawa yang memiliki daya mobilitas tinggi baik di dalam tanah maupun di dalam jaringan tanaman. Unsur nitrogen baik dalam + - bentuk NH 4 maupun NO 3 dalam larutan tanah diserap oleh sistem perakaran tanaman dengan mekanisme aliran massa melalui pembuluh xylem hingga ke pucuk (Haynes, 1986). Akan tetapi, tanaman yang ditanam pada daerah dengan intensitas cahaya rendah, nitrat tidak dapat dirombak menjadi amonium dan akan terakumulasi pada organ tanaman seperti daun atau buah sehingga bagi yang mengkonsumsinya akan dapat membahayakan kesehatan. Harjadi (1989) menyatakan bahwa kelebihan intensitas cahaya dapat mengakibatkan berkurangnya kandungan klorofil sehingga dapat menurunkan laju proses fotosintesis, maka bunga, buah, dan daun menjadi lebih mudah rontok ketika curah hujan tinggi. Tanah yang mengandung nitrat tinggi dimungkinkan tanaman tidak mengalami hambatan pada awal pertumbuhannya. Menurut Tisdale et al. (1985) seledri, tomat, dan tembakau dapat tumbuh dengan baik pada tanah-tanah yang memiliki ketersediaan nitrat yang tinggi. Akan tetapi, kadar nitrat semakin berkurang pada 8 MST sehingga menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatifnya telah berakhir dan menguras kadar nitrat tanah. Selain itu, faktor lingkungan juga memungkinkan besarnya kehilangan nitrat dari dalam tanah.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan 1. Kandungan hara tanah untuk kedua percobaan tergolong rendah hingga sangat rendah dengan kandungan N 0.1-0.13%, P 9.28-3.09 ppm, K 0.04-0.09 mg, C-Organik 0.96-0.98%, ph 5.24-4.6 (masam), dan Al-dd 3.83 me/100g. 2. Kandungan hara kompos (N 1.27-1.77%, P 0.11-0.25 ppm, K 5.89-11.36 mg, C-Organik 38.61-45.50%, dan C/N ratio 22.81-36.20) menunjukkan nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan SNI Kompos 19-7030- 2004 sehingga dimungkinkan dapat meningkatkan kesuburan tanah. 3. Secara umum, pemberian dosis kompos 30 ton/ha berpengaruh terhadap parameter vegetatif, brangkasan dan generatif tanaman sedangkan dosis 10 ton/ha tidak berpengaruh terhadap ketiga parameter tersebut. Dosis 30 ton/ha dapat meningkatkan 17 g bobot basah total (percobaan I), 1 g bobot kering total (percobaan I), 40 g bobot basah total (percobaan II), 14 g bobot kering total (percobaan II), 5 cm panjang akar (percobaan II), 4 g bobot basah tongkol (percobaan I), 12 g bobot basah tongkol (percobaan II), 6 g bobot kering tongkol (percobann II), dan 5 mm diameter tongkol (percobaan II), serta menurunkan 2 mm diameter tongkol (percobaan I). 4. Pemberian kompos dengan dosis 20 ton/ha berpengaruh terhadap peubah lebar daun, panjang daun, tinggi tanaman, diameter batang, dan panjang tongkol. Dosis 20 ton/ha dapat meningkatkan 2 cm panjang akar (percobaan I), 1.3 ml volume akar (percobaan II), 1 cm panjang tongkol (percobaan I), dan 2 cm panjang tongkol (percobaan II), serta menurunkan 0.01 ml volume akar (percobaan I). 5. Perlakuan jenis kompos K0B2 berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif, brangkasan, dan generatif tanaman. K0B2 mampu meningkatkan 48 g bobot basah total (percobaan II), 3 cm panjang akar (percobaan I), 8 cm panjang akar (percobaan II), 14-15 g bobot basah tongkol (percobaan II), dan 5 cm panjang tongkol (percobaan II).

65 6. Perlakuan jenis kompos K1B1 berpengaruh terhadap vegetatif dan brangkasan tanaman. K1B1 dapat meningkatkan 2 ml volume akar (percobaan I), 1.7 ml volume akar (percobaan II), 4 g bobot basah tongkol (percobaan I), dan 2 cm panjang tongkol (percobaan I). 7. Perlakuan K1B0 berpengaruh terhadap vegetatif tanaman tetapi K1B0 dapat meningkatkan 18 g bobot basah total (percobaan I), 18 g bobot kering total (percobaan II), dan 8-9 g bobot kering tongkol (percobaan II) 8. Perlakuan K1B4 tidak berpengaruh terhadap ketiga parameter (vegetatif, generatif, dan brangkasan) karna hanya dapat meningkatkan 0.40 mm diameter tongkol (percobaan I). begitupula dengan K0B4 tidak berpengaruh. 9. Serapan Hara N oleh tanaman tertinggi ditunjukkan oleh kombinasi perlakuan D3K1B1 (0.46 g/tan) dengan efisiensi serapan (7.00%) sedangkan yang terendah ditunjukkan oleh kombinasi D3K0B0 (0.18 g/tan) dengan efisiensi serapan (2.89%). 10. Dosis 30 ton/ha berpengaruh terhadap kadar nitrat tanah baik saat 2 MST (55.42 ppm) maupun 8 MST (26.02 ppm). 11. Pada 2 MST, jenis kompos dengan kadar nitrat tanah tertinggi yaitu K1B2 (55.38 ppm) dan terendah K0B4 (43.31 ppm) sedangkan pada 8 MST, K0B4 (30.96 ppm) memiliki kadar nitrat tertinggi dan K1B2 (19.80 ppm) berkadar nitrat rendah.

66 Rekomendasi 1. Perlunya penelitian lanjutan terkait dengan jenis bahan baku limbah lainnya yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. 2. Perlunya penelitian lanjutan untuk melihat respon perlakuan pada penanaman jagung di lapang (di luar rumah kaca). 3. Perlunya penelitian lanjutan menggunakan berbagai varietas jagung untuk diperbandingkan terkait dengan produksinya. 4. Perlunya penelitian lanjutan menggunakan perlakuan pemberian pupuk buatan yang dikombinasikan dengan kompos. 5. Perlunya penelitian lanjutan terkait dengan aspek penyiraman terutama jumlah air yang diberikan dan interval penyiraman.

DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto,T., Suhartina dan Soegiyatni. 2000. Respon Kedelai Terhadap Beberapa Tingkat Naungan. Edisi Khusus Balitkabi. No. 16:12-21. Malang. Anand, M. H., and Byju, G. 2008. Chlorophyllmeter and Leaf Color Chart to Estimate Chlorophyll Content, Leaf Color, and Yield of Cassava. Photosynthetica. 46(4):511-516p. www.springerlink.com.lib.monash.edu.au. [02 Agustus 2010]. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Pembuatan Pupuk Organik dengan Orgadec. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jawa Tengah. 2 hal. Balai Penelitian Tanah. 2009. M-Dec Inokulan Perombak Bahan Organik. Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. 1 hal. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 2009. Biotriba Membantu Mengolah Limbah Menjadi Kompos. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. 2 hal. Balai Penelitian Teknologi Pertanian. 2009. Budidaya Jagung, Rekomendasi Teknologi Spesifik Lokasi. Balai Penelitian Teknologi Pertanian, Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Kalimantan Barat. 133 hal. Balai Penelitian Teknologi Pertanian. 2009. Manajemen Terpadu Pemeliharaan Sapi Bali. BPTP. Nusa Tenggara Barat. 39-45 hal. Balasubramanian, V., Morales, A. C., Cruz, R. T., Thiyagarajan, T. M., Nagarajan, R., Babu, M., Abdulrachman, S., and Hai, L. H. 2000. Adaptation of The Chlorophylmeter (SPAD) Technology for Real-Time N Management in Rice: A Review. Int. Rice Res. Notes (25):4-8p. Balasubramanian, V., dan M. Bell. 2006. Bahan Organik dan Pupuk Kandang. IRRI Rice Knowledge Bank. www.balitpa.litbang.deptan.go.id. [26 Juli 2009]. Basuki, A., Iswandi, R., S. Hadioetomo, dan T. Purwadaria. 1995. Pengomposan tandan kososng kelapa sawit dengan pemberian nitrogen, fosfat, dan inokulum fungi selulotik. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. No.13/1995 : 58-64 hal. Black, C. A. 1965. Soil and Plant Relationship. John Wiley and Sons. Inc. New York.

68 Bramasto, Y. 2003. Biji Jarak, Pemanfaatan dan Kegunaannya di Masa Mendatang. Klik. Benih. Vol. 2 No. 1. BPPT Perbenihan. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Cahyono, B. 1995. Pisang: Budidaya dan analisis usaha tani. Kanisius, Yogyakarta. 88 hal. Djaja, W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak dan Sampah. Jakarta: Agromedia Pustaka. 86 hal. Djuarnani, N., Kristian, B. S. Setiawan. 2005. Cara cepat membuat kompos. Jakarta: Agromedia Pustaka. 74 hal. Edmond, J. B., A. N. Musser, and F. S. Andrew. 1975. Fundamental of Horticulture. McGraw Hill Book. Co. Inc. New York. Fajri, M. 2009. Pengaruh Asam Humat pada Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq.) Tahap Pembibitan dan Absorbsi Logam Berat Pb, Cd, Ba. Skripsi. Fakultas Pertanian. Program Studi Agronomi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 102 hal. Ferry, Y. 2006. Menghitung perkiraan produksi jarak pagar. J. Infotek Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.). I(2):6. Puslitbang Perkebunan. Bogor. Fosked, D. E. 1994. Plant Growth and Development. A Molecular Approach. Academic Press. New York. Gallo, K.P. and Daughtry, C.S.T. 1986. Techniques For Measuring Intercepted And Absorbed Photosynthetically Active Radiation in Corn Canopies. Agron. J. 78: 752-756. Goenadi, D. H. 1997. Kompos bioaktif dari tandan kompos kelapa sawit. Kumpulan Makalah Pertemuan Teknik Biotek. Perk. Untuk Praktek. Bogor. 18-27 hal. Hall, D.O., and K.K. Rao. 1999. Photosynthesis. Sixth edition. Cambridge University Press. Hambali, E., Suryani, A., Dadang, Hariyadi, Hanafie, H., Reksowardojo, I. K., Rivai, M., Ihsanur, M., Suryadarma, P., Tjitrosemito, S., Soerawidjaja, T. H., Prawitasari, T., Prakoso, T., Purnama, W. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Jakarta: Penebar Swadaya. Hamoda, M. F., H. A. Abu Qudais, and J. Newham. 1998. Evaluation of municipal solid waste composting kinetics. Resources, Conservation and Recycling 23:209-223p.

69 Handoyo, G. C. 2010. Respon Tanaman Caisin (Brassica chinensis) Terhadap Pupuk Daun NPK (16-20-25) Di Dataran Tinggi. Skripsi. Fakultas Pertanian. Jurusan Budi Daya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 56 hal. Hardjowigeno, S. 1985. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. 233 hal. Hariyadi. 2005. Budidaya Tanaman Jarak (Jatropha curcas Linn.) Sebagai Bahan Alternatif Biofuel. Makalah dalam Fokus Grup Diskusi (FGD). Pemanfaatan Lahan Kritis di Daerah untuk Penyediaan Bahan Baku Biofuel Sebagai Sumber Energi Alternatif Pada Deputi Bidang Pengembangan SISTEKNAS. Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Tanggal 14-15 September 2005. 6 hal. --------. 2005. Budidaya Tanaman Jarak (Jatropha curcas Linn.) Sebagai Sumber Bahan Alternatif Biofuel. Info Iptek. www.ristek.go.id. [25 Juli 2009]. Harjadi, S. S. 1989. Dasar Hortikultura. Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Hasnam. 2006c. Biologi bunga jarak pagar (Jatropha curcas Linn.). J. Infotek Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.). I(4):13. Puslitbang Perkebunan. Bogor. Haynes, R. J. 1986. Mineral Nitrogen In the Plant Soil System. Agricultural Research Division. Ministry of Agricultural and Fisheries. New Zealand. Henning, R. K. 2004. Integrated Rural Development by Utilization of Jatropha curcas Linn. (JCL) as RAW Material and as Renewable Energy. International Conference Renewable 2004. June, 1-4 th 2004. Bonn. Germany. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Diterjemahkan: Litbang Kehutanan. Jakarta. 2521 p. Indartono, Y. S. 2006. Alternative Energy for Better Life. www.indobiofuel.com. [24 Juli 2009]. Jones, N., and J. H. Miller. 1992. Jatropha curcas a Multipurpose Species for Problematic Sites. The World Bank. Asia Technique Department. Agriculture Division. 33 p. Judkins, W. P., and Wander, I. W. 1949. Correlation Between Leaf color, Leaf Nitrogen Content, and Growth of Apple, Peach, and Grapes Plants. www.plantphysiol.org. [05 Agustus 2010]. Kappel, F. and Flore, J.A. 1983. Effect of Shade on Photosynthesis, Spesicific Leaf Weight, Leaf Chlorophyll Content, and Morophology of Young Peach Trees. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 108(4):511-544p.

70 Lakitan, B. 1993. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 204 hal. Leiwakabessy, F. M. 1988. Kesuburan tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 299 hal. Lele, S. 2005. The Cultivation of Jatropha curcas. www.jatrophaworld.org. [24 Juli 2009]. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. 2008. Pembuatan Kompos dengan Orgadec. Ishak Manti, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Padang. 1 hal. Lin T. B., Schwartz, A. and Saranga Y. 1999. Photosynthesis and Productivity of Cotton under Silverleaf Whitefly Stress. Crop Sci. 39:174-184p. Manurung, R. 2005. Minyak Jarak Alami (Pure Jatropha Oil) Bahan Bakar Pengganti BBM. Semiloka Nasional Pengembangan Energi Alternatif Berbasis Masyarakat. Jakarta. 19-30 November 2005. Ntar, L. 1992. Photosynhesis. 104-105p. in J. Sebanek (ed.). Developments in Crop Science 21: Plant Physiology. Agriculture Publishing House BRAZDA. Praha. Nurcholis, M., dan S. Sumarsih. 2007. Jarak Pagar dan Pembuatan Biodiesel. Yogyakarta: Kanisius. 83 hal. Prana, M. S. 2006. Budidaya Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) Sumber Biodiesel, Menunjang Ketahanan Energi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta: LIPI Press. 46 hal. Premshekhar, M. and Rajashree, V. 2009. Performance of Hybrid Tomato as Influenced by Foliar Feeding of Water Soluble fertilizer. American-Eurasian Journal of Sustainable Agriculture 3(1):33-36p. www.aensi.org [04 Agustus 2010]. Prihandana, R., dan R. Hendroko. 2006. Petunjuk Budidaya Jarak Pagar. Agromedia Pustaka. Jakarta. 84 hal. Purnomo, D. 2005. Tanggapan Varietas Tanaman Jagung Terhadap Irradiasi. J. Agrosains 7 (1). Surabaya. 86-93 hal. Purwanto. 2005. Pengaruh pupuk majemuk NPK dan bahan pemantap tanah terhadap hasil dan kualitas tomat varietas Intan. Jurnal Penelitian UNIB, Vol.XI, No. 1, Maret 2005:54-60 hal.

71 Pusat Penelitian Tanah. 1983. Kriteria Sifat Kimia Tanah. Pusat Penelitiaan Tanah. Bogor. Schuchardt, F., E. Susilawati, dan P. Guritno. 1998. Influence of C/N ratio and inoculum upon rotting characteristics of oil palm empty fruit bunc. Proc. 1998. International Oil Palm Conference. Bali, Indonesia. 501-510. Sinaga, E. 2005. Jatropha curcas Linn. Puslitbang Tumbuhan Obat UNAS. www.tumbuhanobatp3ounas/jatrophacurcas.htm. [26 Juli 2009]. Sitompul, 2003. Fungsi Agronomi dan Ekologi Sistem Agroforestri Pinus Dengan Kedelai dan Jagung Sebagai Area Resapan Air (ARA): Transformasi Energi Radiasi dan Presipitasi. Laporan Hibah Penelitian. Program Due Like. PS Agronomi.Fak. Pertanian. Unibraw. Sopandie, D., Trikoesoemaningtyas, dan N. Khumaida. 2005. Fisiologi, Genetika, dan Molekuler Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah: Pengembangan Varietas Unggul Kedelai sebagai Tanaman Sela. Departemen Agronomi dan Hortikultura. IPB. Bogor. (Tidak dipublikasikan). Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. 531 hal. Standar Nasional Indonesia. 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. SNI 19-7030-2004. Badan Standar Nasional. Indonesia. Jakarta. Subandi, S. Saenong, Bahtiar, I.U. Firmansyah, dan Zubachtirodin. 2004. Peranan penelitian jagung dalam upaya mencapai swasembada jagung nasional. Seminar Nasional Penerapan Agro Inovasi Mendukung Ketahanan Pangan dan Agribisnis. Kerjasama BPTP Sumatera Barat dengan Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang. p. 78-86. Sudarman, M. 1995. Pemanfaatan Limbah Sagu (Metroxylon sagu) dengan Kotoran Sapi sebagai Media Tanam Pembibitan Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jack.). Skripsi. Fakultas Pertanian. Jurusan Budi Daya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 53 hal. Sulistyaningsih, E., Budiastuti, K., dan Kurniasih, E. 2005. Pertumbuhan dan Hasil Caisin pada Berbagai Warna Sungkup Plastik. J. Ilmu Pertanian. 12(1):65-76 hal. www.akademik.unsri.ac.id. [03 Agustus 2010]. Sulistyawati, E., N. Mashita, D. N. Choesin. 2008. Pengaruh Agen Dekomposer Terhadap Hasil Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga. Seminar Nasional Peneliti Lingkungan. Universitas Trisakti. Jakarta. Sutanto, R. 2002. Pupuk organik: potensi biomassa dan proses pengomposan. Kanisius, Yogyakarta. 35-56 hal.

72 Taiz, L. and E. Zieger. 1998. Plant Physiology.Second edition. Sinauer Associates Inc. Pub. Sunderland, Massachusetts. Thamrin, M dan H. Hanafi. 1992. Peranan mulsa sisa tanaman terhadap konservasi lengas tanah pada sistem budidaya tanaman semusim di lahan kering. Dalam. Kartono, G., Ispandi, A., Djunaidi dan Nurida, N. L. (Eds). Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah. Badanlibangtan. Deptan.5-12 hal. Tisdale, S. L. and W. L. Nelson. 1975. Soil Fertility and Fertilizers, 3 nd ed. Mac. Millon, Inc. New York. Tisdale, S. M., W. L. Nelson, and J. D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. Fourth Edition. MacMillan Publishing Company. New York. 694 p. Trude, M. J. and J. L. Osbun. 1971. Influence of potassium on carotenoid content of tomatoes. J. of Amer. Soc. Hort. Sci. 96:60-67p. Urnemi. 2002. Pengaruh Fosfor dan Pupuk Herbal pada Tiga Taraf Naungan terhadap Pertumbuhan dan Kadar Metabolit Sekunder Tanaman Daun Jinten (Coleus amboinicus Lour.) Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 57 hal. Wahid, P. 2006. Jarak pagar dan lingkungan. J. Infotek Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.). I(5):18. Puslitbang Perkebunan. Bogor. Wargiono, J. 1980. Ubi jalar dan cara bercocok tanamnya. Buletin Teknik. Lembaga Pusat Penelitian Bogor. No. 5. Yunindanova, M. B. 2009. Tingkat Kematangan Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Penggunaan Berbagai Jenis Mulsa Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) dan Cabai (Capsicum annum L.). Skripsi. Fakultas Pertanian. Jurusan Budi Daya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 77 hal.

LAMPIRAN

74 Suhu (ºC) a 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1 MST 2 MST 7 MST 8 MST 8 10 12 14 Waktu Suhu (ºC) b 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1 MST 2 MST 7 MST 8 MST 8 10 12 14 Waktu Gambar Lampiran 1. Grafik Suhu Lingkungan Penelitian a) Dalam Rumah Kaca b) Luar Rumah Kaca

75 Tabel Lampiran 3. Rekapitulasi Uji F-Anova Parameter Morfologi Hasil Sidik Ragam Percobaan I Percobaan II Peubah D S D*S KK (%) D S D*S KK (%) Jumlah Daun 1 tn tn tn 10.18 tn tn tn 14.92 2 tn tn tn 10.31 tn tn * 16.46 3 tn ** tn 9.53 * tn tn 13.65 4 tn ** tn 17.11 ** tn tn 19.57 5 tn ** tn 15.34 ** * tn 21.25 6 ** ** tn 12.61 ** ** tn 21.76 7 * tn tn 15.60 Lebar Daun x+0.5 1 tn tn tn 3.82 2 tn tn tn 15.73 tn tn tn 7.44 3 tn tn tn 17.12 tn tn tn 7.66 4 tn tn tn 19.47 tn tn tn 10.62 5 tn * tn 17.37 tn tn tn 11.94 6 tn ** tn 14.82 tn tn tn 12.91 Panjang Daun 1 tn tn tn 14.02 2 tn tn tn 12.07 tn tn * 18.31 3 tn tn tn 10.57 tn tn tn 17.51 4 tn tn tn 10.94 ** * tn 19.47 5 tn ** tn 13.04 ** * tn 18.88 6 tn ** tn 11.32 ** * tn 17.10 Warna Daun (Chlorophylmeter) 3 tn tn tn 20.33 7 tn tn tn 16.54 9 tn tn tn 14.70 Warna Daun (Munsell Color Chart) 3 tn tn tn 9.00 tn tn tn 16.16 4 tn ** tn 13.31 ** tn * 9.15 5 tn ** tn 12.63 ** * tn 12.04 6 * tn tn 8.70 ** tn tn 14.63 7 ** * * 13.47 8 tn tn tn 6.59

76 Tinggi Tanaman 1 tn tn tn 16.35 tn tn tn 24.38 2 tn tn tn 11.41 tn tn tn 20.17 3 tn tn tn 10.45 tn tn tn 19.51 4 tn tn tn 11.79 tn tn tn 21.15 5 * ** tn 13.57 * tn tn 20.95 6 * ** tn 11.17 * tn tn 21.96 Diameter Batang x+0.5 1 tn tn tn 8.19 2 tn tn tn 15.43 tn tn tn 10.14 3 tn tn tn 17.35 tn tn tn 12.16 4 tn tn tn 23.99 ** tn tn 12.96 5 * tn tn 21.23 ** tn tn 13.66 6 tn ** tn 17.54 ** * tn 13.61 7 ** tn tn 13.72

Tabel Lampiran 1. Kriteria Sifat Kimia Tanah Menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) Penilaian Sifat Tanah Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi C-Organik (%) < 1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.00 N-Total (%) < 0.10 0.10-0.20 0.21-0.50 0.51-0.75 > 0.75 C/N Ratio < 5.0 5.0-10.0 11.0-15.0 16.0-25.0 > 25.0 P2O5 HCl (mg/100 g) < 15.0 15.0-20.0 21.0-40.0 41.0-60.0 > 60.0 P2O5 Bray-1 (mg/100 g) < 4.0 4.0-7.0 8.0-11.0 11.0-15.0 > 15.0 Kej. Al (me/100 g) < 5.0 5.0-10.0 11.0-20.0 21.0-40.0 > 40.0 K (mg) < 0.1 0.1-0.3 0.4-0.5 0.6-1.0 > 1.0 ph H2O Sangat Masam Masam Agak Masam Netral Agak Basa Basa < 4.5 4.5-5.5 5.6-6.5 6.6-7.5 7.6-8.5 > 8.5 Tabel Lampiran 2. SNI Kompos 19-7030-2004 Parameter Satuan Min Maks C/N ratio 10 20 Nitrogen (N) % 0.4 ~ Phosfor (P2O5) % 0.1 ~ Karbon (C-Organik) % 9.8 32 Kalium (K2O) % 0.2 * Kadar Air % ~ 50 Keterangan : ~ tak berhingga, * lebih kecil dari minimum atau lebih besar dari maksimum

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 D2K0B1 D3K0B1 D3K1B0 D2K0B2 D3K1B4 D2K1B4 D2K1B2 D2K0B3 D1K0B0 1 D2K0B2 D3K0B3 D2K1B0 D3K0B2 D3K1B2 D2K1B2 D2K1B3 D3K1B3 D2K0B1 D2K1B1 D2K0B4 2 D3K0B2 D1K0B2 D3K0B3 D1K1B1 D3K1B1 D2K1B0 D3K0B0 D1K0B3 D1K0B3 D3K0B0 D1K1B4 D1K1B2 3 D1K0B0 D2K0B4 D2K1B3 D2K0B0 D1K0B1 D3K1B1 D2K0B1 D3K1B1 D2K0B3 D2K1B1 4 D1K0B4 D3K0B1 D2K1B3 D1K1B0 D2K0B0 D3K0B2 D1K1B4 D2K1B0 D2K0B4 D1K0B2 D2K0B0 D3K0B3 5 D3K1B3 D1K0B4 D3K1B4 D3K1B0 D1K1B1 D1K1B4 D1K0B1 D1K0B2 D1K0B1 D2K0B2 D1K1B3 D3K0B4 6 D3K0B4 D1K1B3 D2K1B1 D3K1B2 D1K1B0 D3K1B3 D1K1B2 D3K1B2 D2K1B4 D1K1B0 D1K0B3 D2K1B4 7 D1K0B4 D3K0B4 D1K1B1 D2K0B3 D3K1B0 D1K1B3 D3K0B1 D2K1B2 D1K1B2 D3K1B4 D1K0B0 D3K0B0 8 Keterangan : D1 : Dosis kompos 10 ton/ha D2 : Dosis kompos 20 ton/ha D3 : Dosis kompos 30 ton/ha K0 : Tanpa kotoran hewan K1 : Kotoran hewan B0 : Tanpa biodekomposer B1 : EM4 B2 : Biotriba B3 : Orgadec B4 : Mdec Warna merah : Ulangan 1 Warna biru : Ulangan 2 Warna hitam : Ulangan 3 Gambar Lampiran 2. Layout Petak Penelitian 87

Tabel Lampiran 18. Sumber Informasi Penghitungan Serapan Hara Tanaman Percobaan I N Tanah A Bobot Tanah B Pupuk Buatan C Kadar N Urea D Aplikasi Kompos E Kadar N Kompos F Kadar N Tanaman G Bobot Kering Total H Perlakuan % g g % g % % g (D1K0B0) 0.10 5000.00 0.75 45.00 25.00 1.27 7.20 10.56 (D1K0B1) 0.10 5000.00 0.75 45.00 25.00 1.38 8.57 10.13 (D1K0B2) 0.10 5000.00 0.75 45.00 25.00 1.37 6.19 11.03 (D1K0B3) 0.10 5000.00 0.75 45.00 25.00 1.45 7.54 9.98 (D1K0B4) 0.10 5000.00 0.75 45.00 25.00 1.54 6.00 8.19 (D1K1B0) 0.10 5000.00 0.75 45.00 25.00 1.63 11.39 13.91 (D1K1B1) 0.10 5000.00 0.75 45.00 25.00 1.70 10.18 9.01 (D1K1B2) 0.10 5000.00 0.75 45.00 25.00 1.66 14.31 7.86 (D1K1B3) 0.10 5000.00 0.75 45.00 25.00 1.65 13.22 8.98 (D1K1B4) 0.10 5000.00 0.75 45.00 25.00 1.77 12.02 10.42 (D2K0B0) 0.10 5000.00 0.75 45.00 50.00 1.27 9.29 9.91 (D2K0B1) 0.10 5000.00 0.75 45.00 50.00 1.38 6.68 10.55 (D2K0B2) 0.10 5000.00 0.75 45.00 50.00 1.37 9.18 9.35 (D2K0B3) 0.10 5000.00 0.75 45.00 50.00 1.45 8.93 7.14 (D2K0B4) 0.10 5000.00 0.75 45.00 50.00 1.54 8.33 16.73 (D2K1B0) 0.10 5000.00 0.75 45.00 50.00 1.63 17.46 14.50 (D2K1B1) 0.10 5000.00 0.75 45.00 50.00 1.70 15.53 12.44 (D2K1B2) 0.10 5000.00 0.75 45.00 50.00 1.66 15.05 11.33 (D2K1B3) 0.10 5000.00 0.75 45.00 50.00 1.65 11.98 16.08 (D2K1B4) 0.10 5000.00 0.75 45.00 50.00 1.77 15.37 8.47 (D3K0B0) 0.10 5000.00 0.75 45.00 75.00 1.27 10.71 7.39 88

(D3K0B1) 0.10 5000.00 0.75 45.00 75.00 1.38 13.11 9.82 (D3K0B2) 0.10 5000.00 0.75 45.00 75.00 1.37 12.93 12.55 (D3K0B3) 0.10 5000.00 0.75 45.00 75.00 1.45 10.00 13.56 (D3K0B4) 0.10 5000.00 0.75 45.00 75.00 1.54 12.48 10.02 (D3K1B0) 0.10 5000.00 0.75 45.00 75.00 1.63 16.64 9.73 (D3K1B1) 0.10 5000.00 0.75 45.00 75.00 1.70 16.04 17.01 (D3K1B2) 0.10 5000.00 0.75 45.00 75.00 1.66 18.19 10.83 (D3K1B3) 0.10 5000.00 0.75 45.00 75.00 1.65 17.32 13.94 (D3K1B4) 0.10 5000.00 0.75 45.00 75.00 1.77 18.87 12.29 Sumber Rumus : Fajri (2009) 89

Tabel Lampiran 19. Serapan dan Efisiensi Hara N oleh Tanaman Percobaan I Jumlah Hara L = I + J + K Serapan hara M = G x H Efisiensi Serapan Hara N = M/L x 100 Perlakuan N (g/tan) N (g/tan) N (%) (D1K0B0) 5.66 0.76 13.44 (D1K0B1) 5.68 0.87 15.27 (D1K0B2) 5.68 0.68 12.02 (D1K0B3) 5.70 0.75 13.20 (D1K0B4) 5.72 0.49 8.59 (D1K1B0) 5.75 1.58 27.58 (D1K1B1) 5.76 0.92 15.91 (D1K1B2) 5.75 1.12 19.55 (D1K1B3) 5.75 1.19 20.65 (D1K1B4) 5.78 1.25 21.67 (D2K0B0) 5.97 0.92 15.42 (D2K0B1) 6.03 0.70 11.70 (D2K0B2) 6.02 0.86 14.25 (D2K0B3) 6.06 0.64 10.52 (D2K0B4) 6.11 1.39 22.82 (D2K1B0) 6.15 2.53 41.14 (D2K1B1) 6.19 1.93 31.22 (D2K1B2) 6.17 1.70 27.64 (D2K1B3) 6.16 1.93 31.27 (D2K1B4) 6.22 1.30 20.92 (D3K0B0) 6.29 0.79 12.58 90

(D3K0B1) 6.37 1.29 20.19 (D3K0B2) 6.37 1.62 25.50 (D3K0B3) 6.43 1.36 21.11 (D3K0B4) 6.49 1.25 19.26 (D3K1B0) 6.56 1.62 24.67 (D3K1B1) 6.61 2.73 41.27 (D3K1B2) 6.58 1.97 29.94 (D3K1B3) 6.58 2.41 36.72 (D3K1B4) 6.67 2.32 34.78 Sumber Rumus : Fajri (2009) 91

Percobaan Tabel 20. Sumber Informasi Kebutuhan Air per Polibag Percobaan II Ukuran polibag Keliling polibag A Diameter B = A/3.14 L. Permukaan Polibag (cm2) C = ¼ x (3.14) B 2 Jumlah air D I 30 cm x 30 cm 60.00 19.11 286.62 500 ml/2hr II 60 cm x 60 cm 120.00 38.22 1146.50 1250 ml/4 hr Percobaan Tabel 21. Penghitungan Jumlah Kebutuhan Air per Polibag Percobaan II Penyiraman (ml/hari = cm3/hari) D Kebutuhan air tanaman (mm/hari) E = D/C Kebutuhan air (mm/bulan) F = E x 30 Kebutuhan Air selama pertumbuhan (mm/3 bulan) G = E x 90 I 250.00 8.72 261.67 785.00 II 312.50 2.73 81.77 245.31 92

Tabel Lampiran 22. Kombinasi Perlakuan Dosis Kompos dengan Jenis Kompos untuk Peubah Panjang Tongkol Panjang Tongkol Perlakuan (D1K0B0) (D1K0B1) (D1K0B2) (D1K0B3) (D1K0B4) (D1K1B0) (D1K1B1) (D1K1B2) (D1K1B3) (D1K1B4) (D2K0B0) (D2K0B1) (D2K0B2) (D2K0B3) (D2K0B4) (D2K1B0) (D2K1B1) (D2K1B2) (D2K1B3)..cm.. 6.08bcde 6.03bcde 6.48bcde 7.23abc 6.83bcde 5.97bcde 6.95bcde 5.33cde 6.17bcde 5.45bcde 5.72bcde 7.00bcde 6.27bcde 6.85bcde 7.30abc 7.55abc 7.55abc 6.83bcde 7.40abc 93

(D2K1B4) 6.27bcde (D3K0B0) 5.27cde (D3K0B1) 6.67bcde (D3K0B2) 6.83bcde (D3K0B3) 4.78de (D3K0B4) 4.70e (D3K1B0) 7.68ab (D3K1B1) 9.37a (D3K1B2) 5.43bcde (D3K1B3) 7.02bcd (D3K1B4) 7.13bc 94

Tabel Lampiran 4. Suhu dan Kelembaban Tanah 1 HSS Perlakuan Suhu dan Kelembaban Tanah 1 HSS Suhu Kelembaban 8 10 12 14 8 10 12 14 Dosis Kompos..⁰C....⁰C....⁰C....⁰C....%.....%.....%.....%... D1 31.51a 31.24a 30.51a 29.15a 92.38a 90.32a 88.38a 90.33a D2 31.23a 31.10a 30.51a 29.11a 92.38a 90.62a 88.25a 90.63a D3 31.91a 31.34a 30.45a 28.73a 92.13a 90.15a 87.52a 91.35a Jenis Kompos K0B0 31.14a 30.51b 30.28ab 29.34a 92.33ab 90.11a 87.89ab 90.83a K0B1 31.98a 31.03ab 30.76a 28.83a 92.61ab 90.44a 88.00ab 90.00a K0B2 31.44a 30.94ab 28.89b 28.93a 92.17ab 89.78a 87.83ab 90.94a K0B3 30.91a 31.37ab 30.69a 28.71a 92.78ab 91.11a 88.72ab 90.11a K0B4 31.69a 31.16ab 30.26ab 29.02a 91.78b 89.72a 87.00b 91.00a K1B0 31.79a 31.89a 30.46ab 28.98a 91.44b 89.61a 88.28ab 91.89a K1B1 31.68a 31.46ab 30.51ab 28.97a 91.89ab 90.17a 87.11b 91.61a K1B2 31.73a 31.38ab 30.88a 29.07a 92.50ab 91.17a 88.89ab 90.11a K1B3 32.11a 31.46ab 30.48ab 28.90a 92.00ab 90.39a 87.33ab 92.11a K1B4 31.06a 31.04ab 30.69a 29.21a 93.50a 91.11a 89.44a 89.11a (Dosis * Jenis) Kompos tn tn tn tn tn tn tn tn 77

Tabel Lampiran 5. Suhu dan Kelembaban Tanah 4 HSS Suhu dan Kelembaban Tanah 4 HSS Suhu Kelembaban Perlakuan 8 10 12 14 8 10 12 14 Dosis Kompos..⁰C....⁰C....⁰C....⁰C....%.....%.....%.....%... D1 29.03a 31.74a 36.18a 30.94a 84.80a 85.52a 87.28a 81.97a D2 28.85a 31.97a 36.07a 30.91a 84.92a 85.73a 87.27a 81.82a D3 29.03a 31.68a 36.41a 30.23a 84.88a 85.38a 87.32a 80.95a Jenis Kompos K0B0 28.84ab 32.02a 36.47ab 31.77a 84.61a 86.28a 87.72a 83.00a K0B1 29.28ab 31.69a 36.00ab 30.32ab 85.17a 85.33a 87.06a 81.44ab K0B2 29.08ab 31.70a 36.18ab 29.92ab 85.17a 85.72a 86.78a 80.72ab K0B3 28.94ab 32.13a 36.57ab 31.14ab 84.89a 85.56a 87.44a 82.44ab K0B4 29.70a 32.19a 37.54a 30.59ab 84.67a 85.28a 87.94a 79.78b K1B0 28.71b 31.27a 35.75ab 29.71b 84.28a 85.11a 86.72a 81.17ab K1B1 28.69b 31.77a 36.29ab 30.82ab 84.22a 85.22a 87.67a 81.28ab K1B2 28.57b 31.55a 35.31b 31.20ab 85.17a 85.50a 86.94a 82.50ab K1B3 29.21ab 31.87a 36.44ab 30.09ab 84.89a 85.67a 87.61a 80.61ab K1B4 28.67b 31.78a 35.67b 31.35ab 85.61a 85.78a 87.00a 82.83a (Dosis * Jenis) Kompos tn tn tn tn tn tn tn tn 78

100 Gambar Lampiran 3. Kompos Setelah Dicacah a Gambar Lampiran 4. Tata Letak Polibag a) Jarak Tanam b) Pelabelan b Gambar Lampiran 5. Inkubasi Kompos

79 Tabel Lampiran 6. Rekapitulasi Uji F-Anova Kadar Air Tanah Kadar Air Tanah Perlakuan 1 HSS 4 HSS Dosis Kompos..%....%.. D1 29.15a 23.25a D2 28.50a 22.71a D3 30.24a 24.07a Jenis Kompos K0B0 28.06a 20.37b K0B1 29.36a 23.14a K0B2 30.01a 24.40a K0B3 28.60a 23.78a K0B4 28.14a 24.31a K1B0 30.82a 23.86a K1B1 31.90a 23.41a K1B2 28.66a 23.36a K1B3 29.28a 23.41a K1B4 28.14a 23.39a (Dosis * Jenis) Kompos tn tn Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

80 Tabel Lampiran 7. Kadar Air Akar Perlakuan KA Akar (.%...) D1K0B0 56.02 D1K0B1 58.32 D1K0B2 61.96 D1K0B3 52.24 D1K0B4 76.13 D1K1B0 70.41 D1K1B1 76.95 D1K1B2 59.39 D1K1B3 52.14 D1K1B4 64.80 D2K0B0 57.31 D2K0B1 66.95 D2K0B2 69.69 D2K0B3 67.27 D2K0B4 54.50 D2K1B0 57.98 D2K1B1 66.74 D2K1B2 73.48 D2K1B3 70.60 D2K1B4 55.93 D3K0B0 58.76 D3K0B1 61.71 D3K0B2 69.73 D3K0B3 65.93 D3K0B4 74.27 D3K1B0 72.76 D3K1B1 64.26 D3K1B2 74.65 D3K1B3 71.57 D3K1B4 64.77

81 Tabel Lampiran 8. Deskripsi Varietas Jagung Virginia II Deskripsi Varietas Virginia II Daya Berkecambah (%) 85 Masa Tumbuh Dini/Cepat Ketahanan Bercak bakteri dan karat Daya Adaptasi Luas Warna Biji Kuning Rasa Manis Tekstur Renyah Aroma Harum/Wangi Kebutuhan Benih per Hektar 7 Kg - 8 Kg Bobot per Tongkol (gram) 200-250 Potensi Produksi per Tanaman (Buah) 2 Sumber : Kemasan Tabel Lampiran 9. Kondisi Umum pada Kedua Percobaan Kondisi Percobaan I Percobaan II Jumlah Polibag (Buah) 372 186 Jumlah Benih/Polibag 3 3 Jumlah Total Penggunaan Benih (Buah Benih) 1116 558 Jumlah Kecambah Muncul (Buah Kecambah) 810 463 Jumlah Benih tidak Berkecambah 306 95 Jumlah Tanaman Contoh Setelah Penjarangan 372 186 Persentase Jumlah Tanaman Contoh Setelah Penjarangan (%) 100 100 Persentase Tumbuh (%) 72.58 82.98 Persentase Tidak Tumbuh (%) 27.42 17.03

101 a Gambar Lampiran 6. Perlakuan Benih a) Inkubasi Benih b) Benih Siap Tanam b Gambar Lampiran 7. Tahapan Pemunculan Bunga Jantan a b c Gambar Lampiran 8. Bunga Betina a) 1 Bunga/Tanaman b) 2 Bunga/Tanaman c) Bunga Betina Muncul pada Bunga Jantan

102 Gambar Lampiran 9. Panen Tanaman Percobaan I Gambar Lampiran 10. Kondisi Perakaran dan Brangkasan Tanaman pada Percobaan I

Tabel Lampiran 10. Persentase Serangan Hama dan Penyakit Penampakan Tanaman Di Jumlah Kasus Mulai Gejala Persentase (%) Lapang Percobaan I Percobaan II Percobaan I Percobaan II Percobaan I Percobaan II Pengaruh Ekologi Tanaman Kering 6 29 5 MST 3 MST 1.6 16 Tanaman Patah 3 9 5 MST 4 MST 0.8 4.8 Tanaman Layu karena Kelembaban 2 3 5 MST 3 MST 0.5 1.6 Hama Tanaman Berulat 7 15 5 MST 4 MST 1.9 8.1 Daun di makan Belalang Bagian Depan 12 20 5 MST 7 MST 3.2 11 Bagian Tengah 28 100 5 MST 7 MST 7.5 54 Bagian Pinggir 13 29 5 MST 7 MST 3.5 16 total 53 149 14 80 Katak 1 2 5 MST 3 MST 0.3 1.1 Defisiensi Hara Daun Menguning 10 33 5 MST 3 MST 2.7 2.8 Daun Berwarna Hijau Keabuan 3 7 5 MST 3 MST 0.8 3.8 Penyakit Bulai (Daun Memutih) 1 2 5 MST 9 MST 0.3 1.1 Bercak Coklat 1 3 5 MST 4 MST 0.3 1.6 Daun Menggulung/keriting 1 1 5 MST 9 MST 0.3 0.5 Jumlah Populasi 372 186 82

Tabel Lampiran 11. Persentase Jumlah Bunga pada Kedua Percobaan Persentase Jumlah Persentase Jumlah Bunga Bunga Jantan (%) Betina (%) Percobaan I Minggu Ke- Persentase Jumlah Bunga Hermafrodit (%) Percobaan II Percobaan I Percobaan II Percobaan I Percobaan II Persentase Jumlah Penggunaan Ajir (%) Percobaan Percobaan I II 8 35.48 34.95 45.43 24.19 6.72 6.99 11.29 16.13 9 50.81 72.58 55.11 58.6 11.83 19.36 18.55 36.56 10 73.39 88.71 80.65 91.4 16.13 26.88 20.7 45.16 Tabel Lampiran 12. Rekapitulasi Uji F-Anova Parameter Panen Brangkasan Hasil Sidik Ragam Percobaan I Panen Awal Panen Akhir Percobaan II Peubah D S D*S KK (%) D S D*S KK (%) D S D*S KK (%) Bobot Basah Total * ** tn 22.97 ** tn tn 15.15 ** ** tn 22.77 Bobot Basah Akar tn * tn 26.67 tn tn tn 23.48 * * tn 30.83 Bobot Kering Total tn ** tn 22.01 tn tn tn 16.30 * ** tn 31.37 Bobot Kering Akar tn tn tn 20.20 tn tn tn 23.75 tn tn tn 24.78 Panjang Akar tn tn tn 11.07 x x x x ** * tn 10.53 Volume Akar tn * tn 24.05 tn tn tn 23.71 tn tn tn 18.85 Keterangan : x = tidak dilakukan pengamatan 83

103 Gambar Lampiran 11. Kondisi Hasil Produksi Percobaan I Gambar Lampiran 12. Kondisi Brangkasan dan Perakaran Tanaman pada Percobaan II Gambar Lampiran 13. Kondisi Hasil Produksi pada Percobaan II

84 Tabel Lampiran 13. Rekapitulasi Uji F-Anova Parameter Produksi Hasil Sidik Ragam Percobaan I Percobaan II Peubah D S D*S KK (%) D S D*S KK (%) Bobot Basah Tongkol tn tn tn 24.05 tn tn tn 37.69 Bobot Kering Tongkol x x x x tn tn tn 55.27 Panjang Tongkol tn ** * 17.33 tn tn tn 16.56 Diameter Tongkol tn tn tn 20.36 tn tn tn 28.91 Keterangan : x = tidak dilakukan pengamatan Tabel Lampiran 14. Rekapitulasi Uji F-Anova Kadar Air Tanah kadar Air Tanah Kadar Air Tanah Berdasar Pada Selisih Bobot Basah dan Bobot Kering Hasil Sidik Ragam D S D*S KK (%) 1 HSS tn tn tn 13.79 4 HSS tn tn tn 11,54

85 Tabel Lampiran 15. Rekapitulasi Uji F-Anova Suhu dan Kelembaban Tanah Hasil Sidik Ragam Peubah D S D*S KK (%) Suhu dan Kelembaban Tanah Berdasar Pada Pengukuran Alat 1 Hari Setelah Siram (HSS) SUHU Jam 8 tn tn tn 4.12 Jam 10 tn tn tn 3.25 Jam 12 tn tn tn 2.04 Jam 14 tn tn tn 3.6 KELEMBABAN Jam 8 tn tn tn 1.68 Jam 10 tn tn tn 1.65 Jam 12 tn tn tn 2.23 Jam 14 tn tn tn 3.15 4 Hari Setelah Siram (HSS) SUHU Jam 8 tn tn tn 3.15 Jam 10 tn tn tn 2.81 Jam 12 tn tn tn 4.53 Jam 14 tn tn tn 5.8 KELEMBABAN Jam 8 tn tn tn 1.86 Jam 10 tn tn tn 1.33 Jam 12 tn tn tn 1.54 Jam 14 tn tn tn 3.08 Tabel Lampiran 16. Rekapitulasi Uji F-Anova Kadar Nitrat Tanah Hasil Sidik Ragam Nitrat D S D*S KK (%) 2 MST tn tn tn 32.75 8 MST tn tn tn 34.16

86 Tabel Lampiran 17. Persentase Selisih Kadar Nitrat Tanah Percobaan II Nitrat % Perlakuan 2 MST 8 MST Selisih berkurang Dosis Kompos..ppm....ppm.. D1 47.81 22.62 25.19 52.69 D2 48.25 24.53 23.72 49.16 D3 55.42 26.02 29.40 53.05 Jenis Kompos K0B0 49.57 22.98 26.59 53.64 K0B1 51.87 24.70 27.17 52.38 K0B2 48.96 25.70 23.26 47.51 K0B3 50.00 25.50 24.50 49.00 K0B4 43.31 30.96 12.35 28.52 K1B0 52.14 25.02 27.12 52.01 K1B1 51.90 20.68 31.22 60.15 K1B2 55.38 19.80 35.58 64.25 K1B3 50.60 25.93 24.67 48.75 K1B4 51.22 22.59 28.63 55.90

104 a b c d e f g h Gambar Lampiran 14. Peralatan yang Digunakan a) Jangka Sorong digital b) Termometer c) Timbangan Digital d) Horiba e) Moisture Tester f) SPAD g) Luxmeter h) Tabung Film