BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komitmen pemerintah untuk mensejahterakan rakyat nyata dalam peningkatan kesehatan termasuk gizi. Hal ini terbukti dari penentapan perbaikan status gizi yang merupakan salah satu prioritas pembangunan kesehatan 2010-2014. Tujuannya adalah untuk menurunkan prevalensi kurang gizi sesuai Deklarasi World Food Summit 1996 yang dituangkan dalam Milenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, yang menyatakan setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi 1990.(Minarto, 2010) Sasaran pembangunan pangan dan gizi dalam RPJMN 2010-2014 dan RAN 2011-2015 adalah menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada balita, termasuk stunting. Beberapa program dan kegiatan pembangunan nasional telah dilakukan untuk mendukung sasaran tersebut. Seiring dengan hal tersebut, gerakan perbaikan gizi dengan fokus terhadap kelompok 1000 hari pertama kehidupan pada tatanan global disebut Scaling Up Nutrition (SUN) dan di Indonesia disebut dengan Gerakan Nasional Sadar Gizi.(Kemenko Kesra RI, 2013) Gerakan ini diharakan dapat menurunkan prevalensi gizi buruk di Indonesia. Dimana gizi buruk terjadi akibat dari kekurangan gizi tingkat berat, yang bila tidak ditangani secara cepat, tepat dan komprehensif dapat mengakibatkan kematian. Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk 1
banyak dialami oleh anak dibawah lima tahun (balita). Banyak faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi gizi buruk. Namun penyebab dasar terjadinya gizi buruk ada dua hal yaitu sebab langsung dan sebab tidak langsung. Sebab langsung adalah kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit bawaan yang mengakibatkan mudah terinfeksi penyakit dan lain-lain. Sedangkan kemiskinan diduga menjadi penyebab utama terjadinya gizi buruk. Kurangnya asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk melakukan aktivitas fisik dan berkembang dikarenakan alasan sosial dan ekonomi yakni kemiskinan. Selain kemiskinan, faktor lingkungan dan budaya turut andil dalam kasus gizi buruk. Artikel yang ditulis oleh Andewi dalam warta kesmas edisi 18 tahun 2010 bahwa gizi buruk juga terjadi karena pola asuh yang salah, seperti ibu yang sibuk bekerja di hutan/ladang sehingga anak tidak terawat (biasa terjadi di perdesaan). Keadaan ini diperberat dengan kebiasaan seperti memberi makanan padat sebelum usia 6 bulan dan kadang tidak hygienis. Gizi buruk juga sangat berhubungan dengan penyakit infeksi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Imtihana (2012) di Puskesmas Sukaraja Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya buruk di Puskesmas Sukaraja yaitu : a. rendahnya pendidikan orang tua, b. Rendahnya tingkat pekerjaan, c. Rendahnya tingkat pengetahuan orang tua, d. Perilaku ibu yang tidak baik dalam pengasuhan balita serta e. Perilaku hidup
bersih dan sehat yang kurang baik. Menurut WHO (1997), anak yang tidak cukup asupan energi dan protein serta zat gizi lainnya maka daya tahan tubuhnya akan rendah sehingga mudah terserang penyakit infeksi dan akhirnya akan mengakibatkan kurang gizi. Hasil Riskesdas tahun 2007 jumlah gizi buruk di Indonesia berdasarkan berat badan menurut tinggi badan 6,2 % dan menurun pada tahun 2010 sebesar 0,2 % yaitu 6,0 % dan tahun 2013 turun menjadi 5,3 %. (Data Riskesdas 2013). Riskesdas tahun 2007 untuk Aceh memperlihatkan prevalensi gizi anak bawah lima tahun berdasarkan berat badan menurut umur meliputi gizi buruk 10,7 % dan gizi kurang 15,8 %. Balita gizi kurang di Aceh 1,44 kali lebih tinggi dari pada prevalensi nasional.(profil Dinas Kesehatan Aceh, 2011) Berdasarkan laporan pencapaian indikator kinerja pembinaan gizi, Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, jumlah komulatif gizi buruk dari Januari Desember 2013 sebanyak 825 balita. Semua gizi buruk tersebut mendapat perawatan yang sudah membaik sebanyak 113 orang meninggal 15 orang dan masih di rawat sebanyak 697 orang. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Lhokseumawe Provinsi Aceh. Kasus gizi buruk tahun 2013 dari Januari Desember 2013 sebanyak 28 orang atau 0,18 % dari 10.976 balita yang di ukur dengan jumlah balita seluruhnya di tahun 2013 sebanyak 15.912 balita. Pada tahun 2014 berdasarkan pelaporan dari Januari Maret ini sudah ada 8 balita gizi buruk yang dilaporkan.(dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe).
Survei awal yang peneliti lakukan terhadap balita gizi buruk di Kota Lhokseumawe tersebut cakupan ASI Eksklusif sangat rendah yaitu 21 %. Cakupan ASI Eksklusif sangat rendah dapat disebabkan di karena ada budaya Aceh yang pada hari ke empat puluh empat hari dilakukan acara Peucicap (pengenalan makanan) dimana bayi diberikan berupa sari buah dan ada juga beberapa orangtua menanggap bayi terus menerus nangis karena lapar sehingga orangtua memberikan bayi pisang wak. Maka dari itu banyak bayi tidak mendapat ASI sampai umur dua tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Sabartini (2012) menunnjukkan, bahwa penyebab kejadian gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Gayamsari Kota Semarang adalah pola konsumsi makanan yang tidak baik, kurangnya tingkat pengetahuan ibu, rendahnya tingkat pendapatan keluarga, penyakit yang diderita pola asuh yang tidak benar, dan tradisi setempat. Berdasarkan penelitian tersebut peneliti ingin melakukan penelitian apakah faktor faktor tesebut, juga yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk pada balita-balita di Kota Lhokseumawe yang setiap tahunnya terus meningkat. 1.2 Permasalahan Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut : faktor - faktor yang memengaruhi kejadian gizi buruk pada balita di Kota Lhokseumawe 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kejadian gizi buruk di Kota Lhokseumawe.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan terhadap penanggung jawab program gizi di puskesmas dalam penanggulangan masalah gizi buruk di wilayah kerjanya 2. Sebagai bahan masukan kepada petugas gizi di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe agar lebih memperhatikan masalah faktor resiko terjadinya gizi buruk pada bayi dan balita