INTERAKSI EL-NINO, MONSUN DAN TOPOGRAFI LOKAL TERHADAP ANOMALI CURAH HUJAN DI PULAU JAWA

dokumen-dokumen yang mirip
Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

ANALISIS ANGIN ZONAL DI INDONESIA SELAMA PERIODE ENSO

MEKANISME INTERAKSI MONSUN ASIA DAN ENSO

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

KONSISTENSI ANGIN ZONAL TERHADAP POSISI ITCZ UNTUK MENENTUKAN ONSET MONSUN

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

ANALISIS CUACA PADA SAAT PELAKSANAAN TMC PENANGGULANGAN BANJIR JAKARTA JANUARI FEBRUARI Abstract

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

DAMPAK DIPOLE MODE TERHADAP ANGIN ZONAL

Musim Hujan. Musim Kemarau

KETERKAITAN ANTARA MONSUN INDO-AUSTRALIA...

PERUBAHAN KLIMATOLOGIS CURAH HU]AN DI DAERAH ACEH DAN SOLOK

PENGARUH ANGIN TERHADAP PERTUMBUHAN AWAN HUJAN DI DAS WADUK PLTA KOTA PANJANG

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

Variasi Iklim Musiman dan Non Musiman di Indonesia *)

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

IDENTIFIKASI KEJADIAN MONSUN EKSTRIM DI PULAU JAWA DAN SEKITARNYA

IDENTIFIKASI PERUBAHAN DISTRIBUSI CURAH HUJAN DI INDONESIA AKIBAT DARI PENGARUH PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

PENGARUH EL NIÑO 1997 TERHADAP VARIABILITAS MUSIM DI PROVINSI JAWA TIMUR

PENGARUH EL NIÑO TERHADAP VARIABILITAS CURAH HUJAN DI SUMATERA UTARA

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musim Hujan dan Monsun

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

Gambar 4 Diagram alir penelitian

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

VARIABILITAS MUSIM HUJAN DI KABUPATEN INDRAMAYU

BAB I PENDAHULUAN. permukaan Bumi (Shauji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

ANALISIS VARIABILITAS CURAH HUJAN MANADO DAN FAKTOR UTAMA YANG MEMPENGARUHINYA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

PENGARUH TOPOGRAFI TERHADAP CURAH HUJAN MUSIMAN DAN TAHUNAN DI PROVINSI BALI BERDASARKAN DATA OBSERVASI RESOLUSI TINGGI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

KARAKTERISASI POLA CURAH HUJAN DI SUMATERA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN NCEP/NCAR REANALYSIS

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS ANOMALI CURAH HUJAN MENGGUNAKAN METODE DETERMINAN KOVARIANS MINIMUM DI PULAU JAWA DAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS CURAH HUJAN PANTAI BARAT SUMATERA BAGIAN UTARA PERIODE

POLA ANGIN DARAT DAN ANGIN LAUT DI TELUK BAYUR. Yosyea Oktaviandra 1*, Suratno 2

PENGARUH EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) TERHADAP CURAH HUJAN MUSIMAN DAN TAHUNAN DI INDONESIA. Zulfahmi Sitompul

PERUBAHAN KLIMATOLOGIS CURAH HUJAN DI YOGJAKARTA, SEMARANG, SURABAYA, PROBOLINGGO DAN MALANG

I. PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

INDONESIAN UNDERGRADUATE RESEARCH JOURNAL FOR GEOSCIENCE, VOL. 2, PP. 1 9,

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PERANCANGAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BULANAN BERDASARKAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI KALIMANTAN SELATAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

ANALISIS TIPE HUJAN, PERUBAHAN INTER- DECADAL, DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PADI DI WILAYAH PAPUA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

HUBUNGAN ANTARA ANOMALI SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN CURAH HUJAN DI JAWA

PENGARUH INDIAN OCEAN DIPOLE MODE (IODM) TERHADAP INTENSITAS HUJAN DI BENUA MARITIM INDONESIA (BMI) BARAT

Pengaruh Fenomena Double Vortex di Samudra Hindia Bagian Timur terhadap Curah Hujan dan Moisture Transport di Indonesia Bagian Barat dan Tengah

PENGEMBANGAN EKSPERT SISTEM BERBASIS INDEKS ENSO, DMI, MONSUN DAN MJO UNTUK PENENTUAN AWAL MUSIM

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

Transkripsi:

Interaksi El Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa INTERAKSI EL-NINO, MONSUN DAN TOPOGRAFI LOKAL TERHADAP ANOMALI CURAH HUJAN DI PULAU JAWA Haries Satyawardhana and Erma Yulihastin Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia Email: hariessatha@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini menggunakan data curah hujan TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) dan angin NNRP (NCEP/NCAR Reanalysis Project) untuk melakukan satu diheterogenitas spasial dari variabilitas iklim di Pulau Jawa. Kajian mengenai anomali curah hujan pada saat El Nino telah banyak dilakukan, El Nino membawa pengaruh kering di Pulau Jawa. Namun, dalam penelitian ini kajian El Nino dihubungkan dengan monsun Australia dan topografi lokal di Pulau Jawa. Hasil dari penelitian ini adalah adanya anomali positi fcurah hujan di Pulau Jawa pada saat El Nino terjadi pada bulan DJF (Desember, Januari, Februari). Hal ini disebabkan adanya anomali angin monsun selama El Nino. Pengaruh El Nino pada saat musim peralihan (SON September, Oktober, November) adalah adanya penguatan angin monsun tenggara di Pulau Jawa. Sebaliknya pada saat DJF, terjadi pelemahan angin monsun barat laut yang menyebabkan kuatnya siklus diurnal baik angin darat-laut maupun angin lembah-gunung sehingga meningkatkan curah hujan di daerah pegunungan yang lebih dekat ke pantai selatan dibandingkan dengan pantai Utara Jawa. Oleh karena itu, variabilitas siklus diurnal berhubungan dengan ketidaksimetrisan topografi lokal yang menyebabkan adanya kecenderungan pola: basah untuk daerah selatan dan kering untuk daerah utara. Keywords: curah hujan TRMM, AUSMI, SOI ABSTRACT This research using rainfall data from TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) and wind from NNRP (NCEP / NCAR 59

reanalysis Project) to study the spatial heterogeneity of climate variability in Java. The study of the precipitation anomalies during El Nino have been carried out, in which the influence of El Nino actually give a dry condition over Java. However, in this research study of the El Nino is associated with the Australian monsoon and the local topography in Java. The result is El Nino give a positive rainfall anomalies would occur in southern part of Java during DJF (December, January, and February). This due to the monsoon winds anomalies during El Nino, at which time the transitional seasons (SON - September, October, and November) has been strengthening of the southeast monsoon winds on the island of Java. In contrast, in DJF the northwest monsoon winds is weakening, which cause strong diurnal cycle both land-sea breeze or wind-mountain valleys thus increasing rainfall in mountainous areas, which are closer to the south coast compared to the northern coast of Java. Therefore, the variability of the diurnal cycle associated with non-symmetrical local topography that causes the tendency of patterns: wet to dry to the south and the north. Keywords: TRMM rainfall, AUSMI, SOI 1 PENDAHULUAN Iklim di Indonesia terutama yang berkaitan dengan variasi curah hujan dipengaruhi oleh sistem monsun Asia-Australia dan interaksi laut-atmosfer pada skala luas seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO). Aldrian, et.al., (2007) menyatakan bahwa monsun dan ENSO lebih banyak menjadi pendorong variasi musim dan variasi interannual dari hujan dan kejadian ekstrem di Indonesia.ElNino berpengaruh terhadap penurunan curah hujan di Benua Maritim Indonesia (BMI), namun tidak berlaku untuk semua wilayah, antara lain di selatan Jawa Barat (Qian, et.al, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respons curah hujan terhadap kejadian El Nino di setiap daerah di BMI, khususnya di Pulau Jawa. Pengecualian yang terjadi selatan Jawa tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut,apalagi mengingat Pulau Jawa merupakan sentra pertanian (Malian, et.al., 2004). 60

Interaksi El Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa Fenomena El Nino merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan intensitas curah hujan di Indonesia di mana pengaruh kering (basah) yang ditimbulkan oleh El Nino (La Nina) memegang peranan penting dalam prediksi onset monsun untuk penentuan kalender tanam di Indonesia. Selain itu, ENSO juga berpengaruh terhadap lama musim hujan maupun kemarau di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Boer dan Subiah (2005) yang mengemukakan bahwa awal musim hujan pada tahun El Nino dapat mundur sampai 4-6 dasarian dan maju pada tahun La Nina. Selain ENSO, fenomena monsun juga mempengaruhi pola musim hujan dan kemarau di BMI. Monsun merujuk pada siklus tahunan yang membedakan secara tegas keadaan atmosfer selama fase kering dan fase basah. Siklus tahunan ini membagi fase kering dan fase basah menjadi dua periode. Fase kering dipengaruhi oleh musim dingin yang terjadi di berbagai benua dengan massa udara di atmosfer yang bersifat dingin dan kering (Webster, et.al., 1998). Sebaliknya, fase basah dipengaruhi oleh musim panas dengan udara yang bersifat lembap. Monsun dibangkitkan oleh perbedaan pemanasan antara lautan dan daratan disebabkan oleh pergerakan semu matahari, bentuk dan topografi benua, baik Benua Asia, Eropa, Afrika, Maritim, Amerika dan Australia (Li dan Yanai, 1996; Hung, et.al., 2004; Chang, et.al., 2005). Adapun letak strategis geografis BMI yaitu berada di antara area perlintasan monsun regional yakni monsun Asia-Australia. Angin monsun dan daerah curah hujan maksimum selanjutnya sangat terkait dengan migrasi Inter-Tropical Convegence Zone (ITCZ) di atas Jawa setiap tahun. Hal ini mengakibatkan musim hujan selama musim dingin BBU (belahan bumi utara) dan musim kering selama musim panas BBU, dengan musim peralihan diantaranya. Apabila terjadi fenomena El Nino, maka akan terdapat gangguan terhadap ITCZ tersebut, sehingga terjadi inkonsistensi terhadap curah hujan di Pulau Jawa. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji variasi curah hujan terhadap kondisi topografi di Pulau Jawa akibat adanya pelemahan monsun yang diakibatkan fenomena El Nino. Pemahaman mengenai interaksi antara monsun dan El Nino ini penting mengingat fenomena ENSO dan monsun Asia-Australia 61

merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kondisi iklim di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga mengkaji pengaruh topografi terhadap curah hujan dari pelemahan monsun akibat El Nino. Gambar 1. Topografi Pulau Jawa, garis putus-putus (107.5 dan 110.5 BT) adala hgaris yang digunakan untuk analisis cross section yang digunakan di Bab 4. 2 DATA DAN METODOLOGI 2.1 DATA Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data curah hujan bulanan dari satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) 3B43 dan data SOI yang didapatkan dari http://www.bom.gov.au/. Indeks AUSMI didapatkan dengan menghitung rata-rata area angin zonal level 850 mb dari area 110-130 BT, 15 LS-5 LU. Data curah hujan bulanan dari satelit berbentuk data grid dengan periode 1998-2011, dengan resolusi spasial 0.25. Batas Wilayah Indonesia dalam penelitian ini adalah 5ºLU-11ºLS dan 95º-141ºBT. Data angin berasal darincep/ncar Reanalysis Project (NNRP) II yang mempunyai resolusi spasial 2.5 dan Data Era Interim dengan resolusi spasial 0.25 dan kedua data angin tersebut mempunyai temporal bulanan. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak GrADS untuk pengolahan spasial data TRMM dan penghitungan koefisien korelasi curah hujan dengan AUSMI, sedangkan perangkat lunak lain digunakan untuk pemrosesan data deret waktu untuk melihat koefisien korelasi AUSMI dan SOI, serta 62

Interaksi El Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa untuk mengeplot cross section dari kedua daerah yang berbeda topografinya. 2.2 METODOLOGI Metode penelitian dijelaskan sebagai berikut: 1) Penghitungan indeks untuk monsun Australia menggunakan data angin zonal NNRP level 850 mb, lalu dilakukan perata-ratan per musim untuk tiap tahun. 2) Analisis yang pertama dilakukan adalah mengkaji daerah yang curah hujannya dipengaruhi oleh monsun musim panas Australia, dengan melakukan korelasi secara spasial antara curah hujan TRMM dan AUSMI. 3) Setelah itu dilakukan analisis pengaruh ENSO terhadap monsun yang diwakili oleh SOI dan AUSMI (baik berupa deret waktu, deviasi maupun koefisien korelasinya). Hal ini penting untuk menentukan waktu dan tahun-tahun El Nino yang melemahkan monsun musim panas Australia (ditemukan korelasi yang tinggi pada bulan DJF). 4) Perata-rataan dilakukan secara klimatologis untuk tahun El Nino, selanjutnya diamati anomalinya berupa pengurangan atau penambahan curah hujan serta kecepatan angin monsun. 5) Analisis penampang melintang dilakukan untuk melihat pengaruh topografi terhadap anomali curah hujan yang terjadi selama DJF dan SON pada saat El Nino terjadi (garis putus-putus pada Gambar 1). 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Interaksi Monsun Australia-ENSO Korelasi AUSMI dengan curah hujan untuk di wilayah Indonesia, mendapatkan daerah yang berkorelasi tinggi adalah di bagian selatan Indonesia, termasuk Pulau Jawa dan sekitarnya, baik di daratan maupun perairan. Hal ini menandakan bahwa Indonesia bagian selatan dipengaruhi oleh monsun Australia dimana onset monsun Australia berdasarkan penelitian Kajikawa, et.al., (2009) menggunakan AUSMI terjadi pada bulan Desember- Februari. Hal ini mempunyai kesamaan dengan Indonesia bagian selatan yang sebagian besar mempunyai curah hujan maksimum pada bulan DJF. 63

Gambar 2. Korelasi spasial antara AUSMI dan curah hujan (TRMM), menggunakan data periode Januari 1998 Februari 2011. Gambar 2 menunjukkan korelasi spasial antara AUSMI dan curah hujan TRMM dengan periode data Januari 1998 Februari 2011. Terlihat bahwa korelasi di Pulau Jawa antara 0.5-0.6. Gambar 3 menunjukkan nilai SOI dan AUSMI yang menandakan adanya pelemahan monsun pada saat El Nino. El Nino ditandai dengan nilai SOI negatif pada tahun 1998, 02/03, 04/05, 06/07 dan 09/10, secara bersamaan nilai AUSMI pada bulan DJF pun menurun. Kajikawa, et.al, (2009) menyatakan bahwa El Nino memberikan efek negatif pada monsun musim panas Australia (DJF), dimana pada saat El Nino kuat, monsun musim panas Australia (yang merupakan periode basah di Australia) melemah. Dengan melemahnya angin monsun maka Australia mengalami penurunan curah hujan dibandingkan pada saat normal. Sebaliknya monsun musim panas Australia menguat apabila terjadi La Nina. Analisis lebih lanjut digunakan standar deviasi untuk melihat besarnya penyimpangan yang disebabkan El Nino dan La 64

SOI SON 2010 DJF 2010 SON 2009 DJF 2009 SON 2008 DJF 2008 SON 2007 DJF 2007 SON 2006 DJF 2006 SON 2005 DJF 2005 SON 2004 DJF 2004 SON 2003 DJF 2003 SON 2002 DJF 2002 SON 2001 DJF 2001 SON 2000 DJF 2000 SON 1999 DJF 1999 SON 1998 DJF 1998 Interaksi El Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa Nina (Gambar 4-a), serta digunakan scatter plot untuk melihat korelasi antara kedua indeks (Gambar 4-b). Gambar 4-a menunjukkan bahwa deviasi terbesar pada AUSMI terjadi pada Bulan Februari. Deviasi yang besar di bulan DJF ini ditengarai merupakan pengaruh dari ENSO. Fenomena ENSO yang ditunjukkan oleh SOI, mempunyai korelasi yang besar pada saat monsun musim panas Australia (4-b), di mana AUSMI dan SOI mempunyai koefisien korelasi (r) 0.8 (r 2 =0.675), sedangkan pada bulan lain deviasi tidak terlalu besar dan nilai korelasi tidak tinggi (tidak disertakan/digambarkan dalam makalah ini). 7.0 25.0 5.0 AUSMI SOI 20.0 15.0 3.0 10.0 AUSMI 1.0-1.0 5.0 0.0-5.0-3.0-10.0-5.0-15.0-20.0-7.0 Tahun -25.0 Gambar 3. Time series untuk AUSMI dan SOI, untuk tahun El Nino yang digunakan ditandai oleh lingkaran (DJF), dan kotak (SON). a b 6.0 8 6 5.0 4 4.0 AUSMI 2 0 AUSMI R 2 = 0.6753 3.0-2 2.0-4 1.0-6 -8 0.0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12-30.0-20.0-10.0 0.0 10.0 20.0 Bulan SOI Gambar 4. a) Rata-rata dan standar deviasi AUSMI selama periode 1998 2011; b) Scatter plot antara kedua indeks: SOI dan AUSMI pada DJF. 65

3.2 Dampak Interaksi Monsun-ENSO pada Skala Luas Untuk menganalisis proses yang multi skala, dilakukan analisis skala luas untuk mengamati pola spasial El Nino dan Monsun Australia. Skala yang lebih kecil dijelaskan di bagian selanjutnya. Gambar 4 memperlihatkan komposit antara data curah hujan TRMM, angin dan divergensi selama SON (5-a) dan DJF (5-b). Perpindahan curah hujan monsunal di Asia-Australia disebabkan oleh perbedaan pemanasan yang dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu: adanya pergerakan semu matahari pada arah utara-selatan, dan perbedaan kontras panas skala besar (planetary scale) antara daratan-lautan pada arah barat-timur (benua Eurasia dan Samudera Pasifik), yang keduanya mempunyai kapasitas panas yang berbeda. Hasilnya adalah curah hujan maksimum yang bergerak tahunan secara kontinyu di antara barat laut dan tenggara. Hal ini menyebabkan curah hujan maksimum terjadi di selatan dan timur dataran tinggi Tibet pada saat musim panas BBU (JJA), lalu berpindah ke arah tenggara pada musim gugur BBU (SON), sampai ke Indonesia dan Australia pada musim dingin BBU (DJF), dan kembali ke arah barat laut pada saat musim semi BBU (MAM). a b Gambar 5. Komposit rata-rata curah hujan TRMM (mm; warna), angin NNRP (m/s; vektor) dan divergensi (interval 5x10-6 s -1 ; kontur), untuk a) SON dan b) DJF, periode tahun 1998 2011. Namun karena panas inersia di lautan lebih besar dibandingkan daratan, maka terdapat lag (terlambat) panas ± 1 2 bulan terhadap pergerakan semu matahari tersebut sehingga 66

Interaksi El Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa menyebabkan angin monsun di Indonesia pada saat SON masih sama arahnya dengan JJA, yaitu dari Australia (tenggara) menuju Asia (barat laut) (Qian, et.al., 2010). Pada musim peralihan SON (Gambar 5-a) tampak bahwa angin monsun di Pulau Jawa mempunyai arah dari tenggara, sedangkan pada DJF (Gambar 5- b) berlawanan arah dengan SON yaitu angin monsun barat laut. Sementara itu, curah hujan maksimun sangat berkaitan dengan ITCZ (Inter-tropical Convergence Zone), dimana area konvergensi di Indonesia lebih banyak terlihat di periode DJF dibandingkan SON. Pada saat SON, konvergensi terlihat di utara dan barat Indonesia, mencakup Laut China Selatan dan barat Pulau Sumatra dengan konvergensi -3x10-6 s -1 (kontur pada Gambar 5). Sedangkan konvergensi di Pulau Jawa hanya terlihat sedikit. Sementara pada DJF, hampir di semua daerah di Pulau Jawa terjadi konvergensi yang kuat sehingga menyebabkan sebagian besar daerah mempunyai curah hujan yang tinggi. Gambar 6 menunjukkan anomali curah hujan dan angin pada tahun El Nino pada SON dan DJF, dimana pengaruh El Nino berkurang secara bertahap dari pra-monsun (SON) sampai masuk ke monsun basah (DJF). El Nino menguatkan angin monsun dari Australia pada SON, sehingga memberikan pengaruh yang lebih kering dibandingkan klimatologisnya. Hal ini dapat terlihat pada gambar 6-a, dimana terdapat anomali negatif dari curah hujan sehingga di seluruh daerah di Jawa mengalami penurunan curah hujan pada saat El Nino terjadi. Anomali angin pada Gambar 6, Gambar 7 (c), (d) dan (e) bukan menunjukkan arah angin, namun menunjukkan pengurangan vektor angin antara El Nino dan klimatologis. Pada Gambar 6-a pada SON di tahun El Nino, anomali arah angin masih terlihat timuran, yang menandakan bahwa angin monsun pada saat El Nino terjadi lebih kuat dibandingkan klimatologisnya. Hal ini yang menyebabkan pengurangan curah hujan SON pada saat El Nino. Sedangkan pada DJF (Gambar6-b) arah dan kecepatan angin pada saat El Nino sama dengan klimatologis nya, hanya angin baratan pada DJF di tahun El Nino melemah jika dibandingkan dengan klimatologisnya, hal ini menyebabkan pengurangan curah hujan di Jawa juga terjadi pada saat DJF. Halini sama dengan penelitian sebelumnya dimana pada saat El Nino terjadi anomali angin kearah timuran, yang sama arahnya dengan angin monsun 67

pada saat SON, namun berlawanan dengan monsun pada DJF (Hamada, et.al., 2002). Pada DJF, pelemahan monsun Asia pada saat El Nino terjadi sehingga mempengaruhi penurunan curah hujan di selatan Indonesia. Menariknya, anomali curah hujan yang positif justru terjadi di selatan Jawa Barat pada saat El Nino dan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Qian, et.al., 2010), yang akan dibahas di bagian selanjutnya. a ) b ) Gambar 6. Komposit anomali curah hujan TRMM (mm; warna) dan angin NNRP (m/s; vektor) pada saat El Nino untuk a) SON, dan b) DJF. Kotak merah adalah daerah yang terdapat anomali positif dari pelemahan monsun akibat El Nino. Tahun El Nino yang digunakan adalah 98, 02/03, 04/05, 06/07 dan 09/10. 3.3 Respons Interaksi Monsun-El Ninoterhadap Topografi di Jawa Gambar 7 memperlihatkan data curah hujan TRMM dan angin selama SON (a) dan DJF (b), sedangkan komposit pada (c) dan (d) adalah anomali curah hujan selama El Nino dalam dua musim yang berbeda. Curah hujan meningkat secara bertahap dari pra-monsun (SON) sampai masuk ke monsun basah (DJF). Curah hujan yang tinggi terdapat di daratan jika dibandingkan dengan lautan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Qian (2008) bahwa curah hujan terkonsentrasi di pulau (daratan) dikarenakan adanya konvergensi angin laut ke daratan dan 68

Interaksi El Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa konvergensi angin lembah ke pegunungan, sehingga menyebabkan penguatan proses konvektif. Hal ini menghasilkan curah hujan yang lebih tinggi pada DJF dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Curah hujan yang tinggi pada saat DJF, terdapat di Jawa tengah dengan lebih tinggi di sebelah utara dibandingkan selatan. Ini disebabkan oleh adanya angin monsun dari Asia yang melewati Laut China Selatan dan dibelokkan Pulau Sumatera dan sampai di utara Pulau Jawa. Namun pada saat El Nino, anomali curah hujan positif justru terjadi di bagian selatan Pulau Jawa.Pada Gambar 7 (e) menunjukkan bahwa pada DJF terlihat angin baratan di atas Pulau Jawa lebih kuat terjadi pada saaat El Nino jika dibandingkan dengan klimatologis-nya. Hal ini ditunjukkan oleh magnitudo yang bernilai positif di semua lokasi penelitian. Hal ini diakibatkan pelemahan Monsun Asia sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pelemahan angin monsun pada saat DJF mengakibatkan pengurangan curah hujan di Pulau Jawa dan sekitarnya, namun dapat menguatkan siklus diurnal baik angin darat-laut maupun angin gunung-lembah (Qian, et.al, 2010). Hal ini dijelaskan oleh penelitian sebelumnya dengan menggunakan simulasi model RegCM3 yang mempunyai resolusi tinggi dengan menggunakan input data NNRP. Dimana Qian, et.al., (2010) menunjukkan bahwa pada pagi hari yaitu pada 01.00-13.00 WIB anomali angin menunjukkan karakter angin darat yang menyebar dari pulau Jawa menuju lautan di sekitarnya. Selama sore dan malam 13.00-01.00 WIB, anomali angin dan hujan menunjukkan pola angin laut, memusat dari arah laut utara dan selatan menuju ke tengah pulau, lebih dominan di pegunungan dekat pantai selatan Jawa. Anomali siklus diurnal dari angin dan curah hujan mempunyai fase yang sama dengan klimatologisnya (Hamada, et.al., 2002). Oleh karena itu siklus diurnal pada DJF di tahun El Nino menguat, dengan konvergensi yang intensif pada komponen angin lembah yang menuju ke arah gunung sehingga dapat meningkatkan curah hujan di atas pegunungan. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa angin monsun yang lebih lemah pada DJF selama El Nino mengurangi pengaruh dari panas lokal yang menggerakkan siklus diurnal angin, dan kemudian memperkuat angin darat-laut, angin lembah-gunung, sehingga membentuk 69

distribusi hujan di atas normal di wilayah pegunungan dalam skala lokal. a ) b c ) d e) Gambar 7. Komposit rata-rata curah hujan TRMM (mm; warna) dan angin NNRP (m/s; vektor) pada a) SON, dan b) DJF, serta anomali curah hujan TRMM dan angin NNRP pada saat El Nino untuk c) SON, d) DJF dan e) Komposit magnitudo dan vektor selisih angin DJF (EN-Clim) dari Data Era Interim resolusi 0.25. Kotak merah adalah daerah yang terdapat anomali positif dari pelemahan monsun akibat El Nino. 70

Interaksi El Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa Analisis lebih lanjut mengenai pengaruh topografi pegunungan selama kejadian El Nino yang berkaitan dengan pola anomali positif curah hujan di Jawa, akan dijelaskan pada Gambar 8. Curah hujan SON pada saat El Nino lebih kecil dari klimatologinya, ini ditunjukkan oleh anomali curah hujan yang bernilai negatif dari pantai utara sampai dengan selatan. Hal ini disebabkan oleh adanya sirkulasi skala besar yaitu kenaikan massa udara (konvergensi) yang tertekan selama El Nino akibat perpindahan Sirkulasi Walker. Anomali curah hujan mulai tinggi di area pegunungan yaitu di lintang 7 LS (Gambar 8-a). Sedangkan anomali negatif juga terdapat di area perairan sekitar Pulau Jawa yang konsisten dengan anomali divergensi level rendah (akibat pergeseran sirkulasi Walker) yang menurunkan curah hujan di BMI (diindikasikan oleh Gambar 4-a). Penguatan angin monsun tenggara selama SON pada tahun El Nino cenderung mengganggu panas lokal dan siklus diurnal angin sehingga kurang dapat mempengaruhi pengurangan hujan. Selain itu, penguatan angin monsun tenggara yang melewati gurun di Australia Utara telah menambah pengaruh kering di wilayah BMI, khususnya di Pulau Jawa dan sekitarnya. Pada saat awal musim basah (wet season), di Pulau Jawa terjadi pembalikan arah angin monsun dari timuran menjadi baratan (lihat Gambar 5-b dan Gambar 7-b). Dalam hal ini, terjadi anomali curah hujan positif ( Gambar 6-b dan 7-d) di selatan sebagian Jawa Barat (daerah pegunungan), namun anomali negatif terjadi di sebagian utara Jawa (daerah pantai) yang mengindikasikan kuatnya angin lembah yang memusat di puncak pegunungan sehingga menghasilkan curah hujan di atas normal. Jika dibandingkan dengan daerah yang datar (flat), terdapat pola deret waktu yang sama pada dua musim (SON dan DJF), di mana anomali curah hujan dari utara sampai selatan mempunyai nilai negatif. Hal ini berarti bahwa curah hujan pada saat El Nino selalu di bawah klimatologinya, hanya magnitudo curah hujan untuk DJF lebih tinggi daripada SON. 71

a ) CH (mm) S-O-N Daerah datar 450 400 c 350 ) 300 250 200 150 100 50 0-50 -100-7.125-6.925-6.725-6.525-6.325-6.125-8.725-8.525-8.325-8.125-7.925-7.725-7.525-7.325 Clim EN EN-Clim Lintang CH (mm) D-J-F Pegunungan 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0-50 -100 b ) -7.125-6.925-6.725-6.525-6.325-6.125-8.725-8.525-8.325-8.125-7.925-7.725-7.525-7.325 Clim EN EN-Clim d) D-J-F Daerah datar CH (mm) 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0-50 -100 d ) -7.125-6.925-6.725-6.525-6.325-6.125-8.725-8.525-8.325-8.125-7.925-7.725-7.525-7.325 Clim EN EN-Clim Lintang Lintang Gambar 8. Potongan melintang (cross section) utara-selatan untuk curah hujan TRMM (mm), dengan kondisi klimatologi (garis putus-putus), El Nino (solid) dan El-Nino dikurangi klimatologis (silang) di bujur 107,5 BT dan 110,5 BT dimana penggambaran pulau ditunjukkan oleh garis tebal di sumbu x. Curah hujan yang ditunjukkan adalah a) dan c) untuk bulan SON dan b) dan d) untuk bulan DJF, sedangkan a) dan b) menggambarkan kondisi pegunungan dan c) dan d) menggambarkan daerah yang datar. 72

Interaksi El Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa 4. KESIMPULAN Pada periode SON selama tahun El Nino, terjadi pergeseran Sirkulasi Walker menyebabkan penguatan angin monsun tenggara di Pulau Jawa. Hal ini mengurangi intensitas siklus diurnal sehingga menyebabkan adanya anomali curah hujan negatif hampir di seluruh Pulau Jawa. Sedangkan kejadian El Nino pada saat DJF, hampir di semua daerah terjadi penurunan curah hujan, namun di daerah selatan Jawa Barat justru terdapat anomali curah hujan positif. Pelemahan monsun barat pada DJF akibat El Nino menyebabkanadanya anomali curah hujan negatif di pantai utara Jawa, namun meningkatkan curah hujan di pegunungan sebelah selatan Jawa. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Didi Satiadi selaku Kepala Bidang Pemodelan Atmosfer yang telah mendukung dan memberikan masukan konstruktif kepada Penulis demi perbaikan substansif terhadap makalah ini. DAFTAR RUJUKAN Aldrian E., Gates, L.D. and Widodo, F.H., 2007: Seasonal variability of Indonesian rainfall in ECHAM4 simulations and in the reanalyses: The role of ENSO, Theoretical and Applied Climatology, 87, 41 59. Boer, R., and A. R. Subbiah., 2005: Agriculture drought in Indonesia. Monitoring and Predicting Agricultural Drought: A Global Study, V. S. Boken, A. P. Cracknell, and R. L. Heathcote, Eds., Oxford University Press, 330 344. Chang, C. P., Z. Wang, J. McBride, and C.-H. Liu., 2005: Annual cycle of Southeast Asia Maritime Continent Rainfall and Asymmetric Monsoon Transition. Journal of Climate, 18, 287 301. Hamada, J. I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A. Winarso, and T. Sribimawati., 2002: Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. J. Meteor. Soc. Japan, 80, 285 310. 73

Hung, C.-W., X. Liu, and M. Yanai., 2004: Symmetry and asymmetry of the Asian and Australian summer monsoons. Journal of Climate, 17, 2413 2426. Kajikawa, Y., B. Wang, J. Yang., 2009: A Multi-time scale Australian Monsoon Index. InternationalJournal of Climatology, DOI: 10.1002/joc.1955. Li, C., and M. Yanai., 1996: The onset and interannual variability of the Asian summer monsoon in relation to land sea thermal contrast. Journal Climate, 9, 358 375. Malian, AH. Mardianto S., Ariani M., 2004: Faktor-faktor yang mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan Harga Beras serta Inflasi Bahan Makanan. Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 22 no 2, Oktober 2004: 119 146. Qian, J. H., 2008: Why precipitation is mostly concentrated over islands in the Maritime Continent. Journal of Atmospheric Science, 65, 1428 1441. Qian, J. H., A.W. Robertson and V. Moron., 2010: Interactions among ENSO, the Monsoon, and Diurnal Cycle in Rainfall Variability over Java, Indonesia. Journal of Atmospheric Science, 67, 3509-3524. Webster P. J., V. O. Magaña, T. N. Palmer, J. Shukla, R. A. Tomas, M. Yanai and T. Yasunari., 1998: Monsoons: processes, predictability, and the prospects for prediction. Journal of Geophysical Research 103(C7): 14 451 14 510. 74