BAB I PENDAHULUAN. stimulus (Anurogo & Usman, 2014, h. 66). Epilepsi adalah kelainan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. data Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) persennya merupakan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil. Usia anak pada saat didiagnosis memiliki epilepsi berbeda-beda.

BAB I PENDAHULUAN. kematian pada seseorang di seluruh dunia. National Cancer Institute (dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perilaku Koping pada Penyandang Epilepsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi segala kebutuhan dirinya dan kehidupan keluarga. yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT STRES DENGAN INSOMNIA PADA LANSIA DI DESA TAMBAK MERANG GIRIMARTO WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penyakit ini. Sejarah kasus dari penyakit dan serangkaian treatment atau

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. semua orang, hal ini disebabkan oleh tingginya angka kematian yang disebabkan

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. otak (Dipiro et.al, 2005). Epilepsi dapat dialami oleh setiap orang baik laki-laki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling banyak ditemui

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. selalu bergerak di luar sadar manusia. Artinya, manusia tidak sadar akan menderita

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan di berbagai bidang khususnya di bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. kardiovaskuler. Insiden dan mortalitas kanker terus meningkat. Jumlah penderita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. lansia meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. Jumlah penduduk pada

BAB IV LAPORAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai gangguan postpartum depression. Depresi postpartum keadaan emosi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adapun peningkatan tajam terjadi pada kelompok penduduk lanjut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Lanjut usia (lansia) adalah perkembangan terakhir dari siklus kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. pada wanita paruh baya. Kadar FSH dan LH yang sangat tinggi dan kadar

BAB I PENDAHULUAN. umum dan pola hidup. Penelitian Agoestina, (1982) di Bandung (dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. (Nugroho, 2008). Lanjut usia bukanlah suatu penyakit. Lanjut usia adalah

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk menjaga homeostatis dan kehidupan itu sendiri. Kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

tuntutan orang tua. Hal ini dapat menyebabkan anak mulai mengalami pengurangan minat dalam aktivitas sosial dan meningkatnya kesulitan dalam memenuhi

BAB 1 PENDAHULUAN. kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti. diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting. Untuk menilai tumbuh kembang anak banyak pilihan cara. Penilaian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. signifikan dengan perubahan sosial yang cepat dan stres negatif yang

BAB I PENDAHULUAN. Proses menua adalah proses alami yang dialami oleh mahluk hidup. Pada lanjut usia

BAB I PENDAHULUAN. Data demografi menunjukkan bahwa populasi remaja mendominasi jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. WHO akan mengalami peningkatan lebih dari 629 juta jiwa, dan pada tahun 2025

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia, sama seperti halnya dengan semua binatang

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

Modul ke: Pedologi. Cedera Otak dan Penyakit Kronis. Fakultas Psikologi. Yenny, M.Psi., Psikolog. Program Studi Psikologi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan. Rentang kehidupan manusia terbagi menjadi sepuluh tahapan

PENGARUH ELECTRO CONFULSIVE THERAPY TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. 1

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab yang sering disampaikan adalah stres subjektif atau biopsikososial

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Muti ah, 2016

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. PADA Sdr.W DENGAN HARGA DIRI RENDAH. DI RUANG X ( KRESNO ) RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. 1. Inisial : Sdr.

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. aktivitas sehari-hari. Sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. individu dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Pengalaman positif maupun negatif tidak dapat dilepaskan dalam. kehidupan seseorang. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan sumber kebahagiaan bagi sebagian besar keluarga sejak di

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan. Seseorang yang usia lanjut akan mengalami adanya perubahan yang. pada remaja, menstruasi dan menopause pada wanita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hipertensi merupakan suatu kondisi apabila individu memiliki tekanan

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. perannya dalam masyarakat dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, cakupan dari disabilitas terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan promotif dan preventif baik sehat maupun sakit.

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang. Namun tidak semua orang beruntung memiliki jiwa yang. sehat, adapula sebagian orang yang jiwanya terganggu atau dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa di masyarakat yang sangat tinggi, yakni satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehamilan dan kelahiran anak adalah proses fisiologis, namun wanita

BAB I PENDAHULUAN. menyerang perempuan. Di Indonesia, data Global Burden Of Center pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. definisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. bagi Negara-negara berkembang. Di negara miskin, Sekitar 20-50% kematian Wanita

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari. kesehatan dan Keadaan Sejahtera Badan, Jiwa dan Sosial yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dipungkiri bahwa dengan adanya perkembangan ini, masalah yang. manusia. Menurut National Institute of Mental Health, 20% populasi

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PADA WANITA LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WREDHA BUDI PERTIWI BANDUNG

Bagaimana menghadapi anak dengan kejang dan epilepsi ; Peran orangtua. dr. Setyo Handryastuti

Kata kunci: kualitas hidup, faktor yang terkait, orang dewasa, epilepsi, Nigeria

BAB I PENDAHULUAN. Definisi sehat sendiri ada beberapa macam. Menurut World Health. produktif secara sosial dan ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN. seseorang dapat dikatakan stres ketika seseorang tersebut mengalami suatu

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesuburan atau infertilitas (Agarwa et al, 2015). Infertil merupakan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan penyakit yang mengganggu saraf otak. Epilepsi ditandai dengan kejang berulang yang terjadi tanpa adanya stimulus (Anurogo & Usman, 2014, h. 66). Epilepsi adalah kelainan kronis yang terjadi di otak yang menyerang banyak penduduk di seluruh dunia. Penyakit ini ditandai dengan kejang yang berulang, terjadi episode gerakan spontan secara singkat yang melibatkan sebagian tubuh (parsial) atau seluruh bagian tubuh (umum), terkadang juga disertai dengan kehilangan kesadaran dan kehilangan kontrol dari kandung kemih (WHO, 2015). Selain mengalami kejang pada tubuh, ada gejala lain yang dapat dilihat seperti bengong sesaat, tidak merespon saat dipanggil, dan disertai mulut yang mengecap-ngecap (Anurogo & Usman, 2014, h. 67). World Health Organization (WHO) mencatat bahwa sekitar 50 juta penduduk dunia menderita penyakit epilepsi. Secara umum 2,4 juta penduduk dunia didiagnosa pertama kali memiliki penyakit epilepsi setiap tahunnya (WHO, 2015). Di Indonesia, sekitar 1,1-2,2 juta penduduk mengidap penyakit epilepsi (Anurogo & Usman, 2014, h. 67). Epilepsi ini dapat diderita oleh siapapun termasuk anak-anak, remaja, orang dewasa bahkan manula. Epilepsi merupakan salah satu 1

2 penyebab terbanyak morbiditas di bidang syaraf anak yang menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain kesulitan belajar, gangguan tumbuh kembang, dan menentukan kualitas hidup anak. Di Indonesia, terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan di perkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011, h. 124). Epilepsi adalah salah satu kelainan saraf yang paling sering terjadi pada masa anak-anak. Lima persen dari keseluruhan anak di dunia mengalami paling sedikit satu kali kejang dalam hidupnya. Dua puluh lima persen dari anak yang mengalami kejang tersebut, akan didiagnosa terkena penyakit epilepsi. Secara kognitif, anak-anak dengan penyakit epilepsi terlihat menunjukan kekurangan pada fungsi intelektual, ingatan, perhatian dan fungsi-fungsi utama pada tubuh (Christopher & Kiefel, 2012, h. 1). Peneliti melakukan wawancara pada M, ibu dari K (tujuh tahun). M mengaku mengetahui anaknya memiliki penyakit epilepsi ketika berusia lima tahun. M bercerita ketika K berusia lima tahun pernah mengalami benturan pada kepalanya. Semenjak saat itu K sering mengeluh pusing, tetapi ibu hanya mengira pusing biasa, sampai pada suatu malam saat tidur K mengalami sebuah bangkitan pada bagian tubuhnya yaitu mata yang berkedip-kedip selama 15 detik. M juga menceritakan bahwa K kurang dapat memfokuskan perhatian pada saat belajar dan harus didampingi secara privat oleh gurunya (M, 2015). Masyarakat sering menyebut penyakit epilepsi dengan sebutan ayan. Penyakit epilepsi bukanlah sebuah penyakit yang menular, tetapi

3 masyarakat masih sering mempunyai pandangan dan stigma yang keliru pada penderita epilepsi. Mereka cenderung menjauhi penderita epilepsi karena mereka menganggap bahwa epilepsi sama seperti penyakit jiwa, bahkan masyarakat meyakini bahwa penyakit ini bisa menular melalui air liur yang keluar pada saat penderita epilepsi mengalami kejang (Harsono, 2007, h. 11). Dampak sosial yang muncul bervariasi dari berbagai negara, tetapi diskriminasi dan stigma yang buruk pada penyakit epilepsi lebih sulit diatasi daripada mengobati penyakit epilepsi itu sendiri. Penderita epilepsi sering mendapat prasangka dan stigma yang buruk sehingga hal tersebut dapat memperlambat identifikasi dan pengobatan untuk penyakitnya, serta dapat menimbulkan dampak pada kualitas hidup orang dengan epilepsi dan keluarganya (WHO, 2015). Seseorang yang didiagnosis mempunyai penyakit epilepsi akan mengalami banyak kesulitan psikologis. Kesedihan yang sangat mendalam akibat penyakit epilepsi dimunculkan dalam bentuk syok, cemas, penolakan, depresi, kemarahan (Hills, 2007, h. 10). Yong, Chengye, dan Jiong (dalam Primardi & Hadjam, 2010, h. 124) menyatakan bahwa kualitas hidup yang rendah ditemukan pada anak-anak dengan epilepsi. Beberapa hal dapat memengaruhi kualitas hidup pada anak dengan epilepsi di antaranya adalah perkembangan mental, tingkat pendidikan, usia awal munculnya serangan dan frekuensi serangan. Sebuah penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa epilepsi pada anak memengaruhi secara langsung kehidupannya di masa dewasa. Dalam investigasi yang dilakukan pada

4 kelompok anak-anak yang mengidap epilepsi sejak masa anak-anak sampai 30 tahun, terbukti orang dengan epilepsi memiliki sejumlah masalah di berbagai sisi kehidupan, seperti kehidupan pernikahan, pekerjaan, pendapatan, status hidup mandiri dan kejiwaan. Permasalahan yang dihadapi selama masa dewasa tersebut dapat muncul karena pada masa anak-anak tidak ditangani secara baik (Christopher & Kiefel, 2012, h. 1). Epilepsi tidak hanya berdampak bagi penderita, namun juga berdampak pada keluarga atau ibunya. Keluarga penderita epilepsi cenderung mengalami disharmoni dalam keluarga, mengalami rasa cemas yang berlebihan, dan keluarga mengalami penurunan rasa percaya diri (Harsono, 2007, h. 10). Selain itu, konsekuensi ekonomi juga dapat dilihat dari banyaknya pengobatan yang harus dijalani oleh penderita epilepsi. Peneliti dalam penelitian ini melakukan wawancara dengan A, ibu dari anak dengan epilepsi. A adalah seorang ibu dari penderita epilepsi bernama C (delapan tahun), mengaku mengetahui anaknya memiliki penyakit epilepsi sejak anaknya berusia lima tahun. Keadaan tersebut membuat keluarga sangat terpukul karena selain memiliki penyakit epilepsi, C juga memiliki gangguan IDD (Intellectual Deficiency Disorder). C sempat menjalani pengobatan dua tahun, tetapi tidak berhasil karena sebulan kemudian C mengalami kejang lagi. Sekarang C sedang menjalani pengobatan lagi yang akan dijalani dua tahun lamanya. A mengaku sangat khawatir dengan anaknya apabila pengobatan kali ini tidak berhasil. A khawatir bagaimana jika C sudah

5 mengalami pubertas tetapenyakit epilepsinya belum sembuh (A, 2015). A juga menyatakan kekhawatirannya jika C sudah mengalami menstruasi kondisi C semakin memburuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Harsono (2007) yang menyatakan bahwa menstruasi, kehamilan, persalinan, laktasi, dan menopause adalah faktor khas yang dimiliki perempuan, dan dapat menimbulkan gejala epilepsi kembali. Pengetahuan tentang penyakit epilepsi yang tidak detail pada ibu akan menimbulkan berbagai permasalahan. A mengaku terkadang kurang sabar dalam menghadapi C dan sering menerima sindiran dari orang lain. Peristiwa di atas menunjukan banyak permasalahan yang akan dihadapi oleh ibu dalam merawat anak yang memiliki penyakit epilepsi, terutama seorang ibu. Ibu yang memiliki anak dengan epilepsi mempunyai stres yang lebih besar daripada ayah, hal tersebut dikarenakan ibu lebih mempunyai peran yang besar dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu tidak hanya dapat menerima keadaan anaknya, melainkan turut serta bertanggung jawab dalam setiap yang terjadi pada anaknya. Kejang yang terjadi pada anak dengan epilepsi membuat ibu mempunyai perasaan tertekan. hal tersebut menunjukan bahwa ibu yang memiliki anak dengan epilepsi lebih banyak mempunyai permasalahan psikologis (Hocaoglu & Koroglu, 2011, h. 153). Dalam menghadapi hal tersebut, perlu dilakukan koping untuk menghadapi permasahanpermasalahan yang muncul. Koping akan mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu untuk bertahan dari semua tuntutan yang penuh dengan tekanan dan membangkitkan emosi (Siswanto, 2007, h.

6 60). Ada beberapa jenis koping yang dapat dilakukan dalam menghadapi permasalahan, tetapi jika individu melakukan sebuah koping yang negatif mereka akan mengalami gagal dalam penyesuaian karena individu lebih memilih untuk mengingkari dan menghindar pada persoalan yang ada. Hal inilah yang menyebabkan peneliti ingin mengetahui lebih dalam tentang permasalahan apa saja yang dihadapi oleh ibu yang memiliki anak epilepsi serta koping yang dilakukan dalam situasi yang penuh tekanan tersebut. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengungkap permasalahan dan koping yang dilakukan oleh ibu yang memiliki anak penderita epilepsi. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memberikan tambahan wawasan bagi perkembangan psikologi kesehatan tentang permasalahan-permasalahan serta strategi koping yang dilakukan oleh ibu yang memiliki anak epilepsi. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi ibu yang memiliki anak epilepsi dalam memahami dan menghadapi permasalahan.