1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dahulu Indonesia dikenal sebagai negara agraris, sebutan tersebut didukung dengan kondisi wilayah Indonesia yang memiliki daratan luas, tanah yang subur dengan hasil yang juga melimpah tentunya, juga kaya akan sumber daya alam. Keberadaan tanah yang subur juga didukung dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, sehingga atas daratan luas yang subur tersebut dimanfaatkan secara maksimal untuk dapat menghasilkan produk-produk pertanian. Salah satu bukti dari sebutan negara agraris untuk Indonesia adalah pencapaian Indonesia untuk dapat mencukupi kebutuhan akan pangannya sendiri, tanpa bergantung pada pihak luar, atau dikenal dengan swasembada pangan, sebagaimana yang terjadi di tahun 1984, yang mana atas pencapaian akan kemampuan mencukupi kebutuhan akan beras secara mandiri tersebut, Indonesia memperoleh penghargaan dari Food and Agriculture Organization (FAO) 1. Kemampuan akan menghasilkan produk pertanian dengan jumlah banyak juga seharusnya dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian negara, yakni dengan menjadikan hasil-hasil pertanian sebagai sumber pendapatan bagi negara. 1 Kebijakan Pangan, http://www.suaramerdeka.com/harian/0802/04/nas04.htm diakses pada 25 November 2013, Pukul 21.34 1
2 Kenyataannya di tahun 2013 ini, berdasar pada data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik impor beras dalam kurun waktu Januari-Juni 2013 mencapai 239.000 ton 2, hal tersebut menunjukkan kemunduran akan kemampuan Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan akan pangannya sendiri. Keadaan tersebut seolah-olah bertolak belakang dengan keadaan alam Indonesia, yang mana seharusnya sektor pertanian dapat menjadi sektor yang strategis bagi negara. Memang banyak hal yang harus diperhatikan apabila suatu negara hendak mengembangkan potensi dalam bidang agraris. Pengembangan sektor agraris perlu dukungan berbagai faktor, seperti ilmu pengetahuan, teknologi yang memadai, ketersediaan infrastruktur, juga yang tidak kalah penting yakni modal bagi para pelaku usaha. Faktor-faktor tersebut menjadi bagian dari penentu dapat atau tidaknya sektor agraris berkembang. Seperti halnya yang dikatakan oleh Syahrul R. Sempurnajaya, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, Keberhasilan suatu bangsa dalam membangun sektor komoditi, terutama sektor komoditi pertanian/perkebunan sangat ditentukan oleh kemampuan negara itu sendiri dalam menyediakan akses pembiayaan yang efektif dan cepat bagi pelaku produksi dan perdagangan komoditi tersebut 3. 2 Sarjana Pertanian Terbanyak di Dunia, Indonesia Tetap Hobi Impor, http://www.merdeka.com/uang/sarjana-pertanian-terbanyak-di-dunia-indonesia-tetap-hobi-impor.html diakses pada 25 November 2011, Pukul 22.01 3 Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, 2013, Sistem Resi Gudang Memberdayakan Bangsa, hlm 3.
3 Nyatanya faktor ketersediaan modal menjadi kendala yang umumnya dirasakan oleh para pelaku usaha agribisnis, khususnya para petani kecil. Salah satu gambaran bagaimana modal menjadi permasalahan misalnya keadaan yang terjadi bagi para petani padi. Para petani ini cenderung memiliki pola tanam yang seragam, hal tersebut dilakukan agar semua pertanaman padi mendapat jatah pengairan yang cukup, meminimalkan serangan hama-penyakit, serta untuk mengejar musim tanam yang optimal 4. Masa tanam yang dilakukan secara bersamaan akan membawa konsekuensi dimana masa panen juga akan berlangsung dalam kurun waktu yang hampir bersamaan atau biasa dikenal dengan panen raya. Dengan banyaknya ketersediaan gabah yang dihasilkan dari panen raya menyebabkan para petani selalu dihadapkan dengan turunnya harga jual dari gabah-gabah yang dihasilkannya tersebut. Penundaan penjualan hasil tani tidak dapat menjadi solusi, dikarenakan pada saat yang sama para petani dihadapkan dengan kebutuhan akan biaya untuk masa tanam berikutnya, juga untuk kebutuhan sehari-hari akan rumah tangganya. Maka dari itu petani dihadapkan dengan tidak adanya pilihan selain dari menjual hasil panen walaupun harga di pasaran rendah dan tidak menguntungkan. Faktor lain yang juga turut melatarbelakangi terkait dengan tempat penyimpanan, karena hasil tani membutuhkan tempat yang relatif besar, 4 Iswi Hariyani, R.Serfianto. D.P., 2010, Resi Gudang Sebagai Jaminan Kredit dan Alat Perdagangan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 1.
4 juga yang dapat menjaga kualitas dikarenakan hasil tani merupakan jenis barang yang rentan mengalami kerusakan, misalnya disebabkan oleh hama. Berbicara mengenai akses pembiayaan, tentu tidak akan terlepas dari keberadaan lembaga perbankan. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang paling penting dan besar peranannya dalam kehidupan masyarakat 5. Sebagaimana arti luas dari lembaga keuangan yakni sebagai perantara dari pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of funds) 6, hal tersebut sejalan dengan definisi bank dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang menyebutkan : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dari definisi tersebut dapat tergambar bagaimana bank diarahkan untuk dapat berperan dalam menunjang kelancaran perkonomian, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-undang Perbankan, Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah satu bentuk nyata peranan 5 Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 106. 6 Ibid, hlm 101.
5 bank dalam kaitannya sebagai penunjang perekonomian negara, yakni pemberian kredit sebagai salah satu jasa perbankan yang dapat dilakukan oleh bank umum. Kredit merupakan hal yang sebenarnya tidak asing lagi, baik bagi masyarakat di perkotaan ataupun pedesaan. Dalam Pasal 1 angka 11 Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan definisi kredit sebagai berikut : Kredit adalah penyediaan uang atas tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak yang lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Keberadaan kredit sebagai salah satu jasa perbankan, tentu akan memberikan manfaat tersendiri bagi para pelaku usaha. Dengan kredit para pelaku usaha memiliki peluang untuk mengembangkan usahanya, meskipun secara pribadi dana yang dimilikinya sangat terbatas. Namun akses pembiayaan dari bank selama ini tidak dapat menjadi solusi bagi para pelaku usaha di sektor agribisnis, terlebih lagi bagi pihak yang tidak memiliki aset tetap untuk dijadikan jaminan utang. Rendahnya penyaluran kredit ke sektor pertanian disebabkan karena risiko usaha tani yang masih dianggap tinggi 7, sedangkan pemberian kredit kepada masyarakat harus dilaksanakan dengan hati-hati dikarenakan dana-dana yang disalurkan sebagian besar merupakan dana yang berasal dari pihak ketiga, pihak yang menyimpan dananya di bank. Pihak yang menyimpan dananya di bank memiliki hak apabila sewaktu-waktu hendak 7 Hermas E. Prabowo, 2009, Bank Pertanian : Petani Lebih Butuh Kepastian yang Riil, Koran Kompas, Rabu 13 Mei 2009, hlm 21.
6 mengambil dana yang telah disimpan tanpa terlebih dahulu memberitahukan kepada pihak bank. Sehingga bank harus memastikan bahwa bank mampu memenuhi keinginan para pihak yang hendak mengambil dana yang sebelumnya dipercayakan kepada pihak bank. Permasalahan mengenai ketersediaan modal tersebut akhirnya menemukan titik terang dengan disahkannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang pada tanggal 14 Juli 2006 melalui Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 59. Keberadaan undang-undang tersebut membuat para petani memiliki kesempatan untuk dapat memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan dengan menjadikan bukti kepemilikan hasil panen yang telah disimpan di gudang sebagai jaminan utang. Bukti kepemilikan yang dimaksud itu yang dinamakan Resi Gudang, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 9 Tahun 2006 bahwa Resi Gudang merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang. Dapat dijadikannya Resi Gudang sebagai jaminan utang mendasar pada ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Sistem Resi Gudang, yang menyebutkan : (1) Resi Gudang dapat dialihkan, dijadikan jaminan utang, atau digunakan sebagai dokumen penyerahan barang. (2) Resi Gudang sebagai dokumen kepemilikan dapat dijadikan jaminan utang sepenuhnya tanpa dipersyaratkan adanya agunan lainnya.
7 Melalui ketentuan tersebut timbul suatu jenis jaminan kebendaan baru yang sebelumnya tidak dikenal di Indonesia. Keberadaan jaminan tersebut ditujukan untuk dapat mengakomodir suatu komoditi pertanian agar dapat dijadikan jaminan utang tanpa mempersyaratkan ada agunan lainnya. Apabila dilihat penggolongan benda yang menjadi obyek jaminan, yakni benda bergerak dan penguasaan benda saat dijadikan jaminan utang yang tidak berada di bawah penguasaan kreditur, tentunya mengingatkan kita pada jenis jaminan kebendaan yang telah ada sebelumnya yakni fidusia. Namun tentu terdapat perbedaan akan keduanya sehingga pada saat resi gudang akan dijadikan jaminan utang tidak dapat dibebankan dengan jaminan kebendaan yang sebelumnya telah ada dalam pengaturan hukum positif Indonesia, sebagaimana hal tersebut juga disebutkan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa dan dengan memperhatikan sifatnya, Resi Gudang tidak dapat dijadikan objek yang dapat dibebani oleh satu di antara bentuk jaminan tersebut. Adanya jaminan kredit memiliki kegunaan salah satunya yakni sebagai upaya terakhir apabila debitur cedera janji, itu berarti harus ada kepastian mengenai kedudukan bank selaku kreditur penerima Hak Jaminan atas Resi Gudang. Sampai saat ini sendiri, memang belum semua bank yang ada di Indonesia dapat menerima Resi Gudang sebagai jaminan utang, mungkin saja hal tersebut dikarenakan bank menganggap dijadikannya Resi Gudang sebagai
8 jaminan utang belum menjadikan bank berada dalam posisi yang aman dari kemungkinan cedera janji debitur atau hanya karena belum ada pemahaman yang baik akan Sistem Resi Gudang sendiri sehingga belum dapat memastikan mengenai resiko yang akan ditanggung pada saat bank memberikan pembiayaan dengan jaminan Resi Gudang tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah penulis jelaskan, uraian tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan hukum, dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LEMBAGA PERBANKAN ATAS PENYALURAN KREDIT DENGAN JAMINAN RESI GUDANG (Studi Pada PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten dan PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah) B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana perlindungan hukum yang diperoleh oleh bank dalam hal berkedudukan selaku penerima Hak Jaminan atas Resi Gudang? 2. Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan penyaluran kredit dengan jaminan resi gudang? 3. Apa saja yang menjadi hambatan lembaga perbankan dalam penyaluran kredit dengan jaminan Resi Gudang
9 C. Tujuan Penelitian Penulisan Hukum ini mempunyai tujuan subyektif dan obyektif, yakni : a. Tujuan Obyektif 1. Untuk dapat mengetahui bagaimana perlindungan hukum yang diperoleh oleh lembaga perbankan dalam kedudukannya sebagai kreditur penerima hak jaminan Resi Gudang; 2. Untuk mengetahui penerapan prinsip kehati-hatian dalam hal dijadikannya Resi Gudang sebagai jaminan utang; 3. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang umumnya dirasakan oleh bank pada saat menyalurkan kredit dengan Resi Gudang sebagai jaminan utang. b. Tujuan Subyektif Penulisan Hukum ini dilakukan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan pencarian yang dilakukan oleh penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, penulis menemukan beberapa penulisan hukum yang membahas jaminan resi gudang, diantaranya adalah :
10 1. Perjanjian Kredit Modal Kerja dengan Resi Gudang sebagai Jaminan (Analisa Terhadap Collateral Management Agreement dan Perjanjian Hak Jaminan Atas Resi Gudang Study Pada Bank Ekspor Indonesia dengan Bank Rakyat Indonesia), tesis tersebut disusun oleh Naufi Ahmad Naufal, dengan Nomor Induk Mahasiswa 16306/PS/MK/05. Rumusan masalah dari tesis tersebut ialah : a. Bagaimanakah konstruksi yuridis pada perjanjian kredit modal kerja serta perjanjian hak jaminan atas resi gudang pada Bank Ekspor Indonesia dan Bank Rakyat Indonesia; dan b. Upaya apa yang dilakukan oleh pihak bank apabila debitur dari kredit modal kerja dengan resi gudang sebagai jaminan mengalami macet, sehingga dapat melindungi bank. 2. Pelaksanaan Perjanjian Kredit dengan Jaminan Resi Gudang di PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang Bantul D.I. Yogyakarta, skripsi ini ditulis oleh Alfitria Maharani dengan Nomor Induk Mahasiswa 08/264777/HK/17671. Rumusan masalah di dalam skripsi tersebut adalah : a. Bagaimana pelaksanaan pembebanan jaminan resi gudang di PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang Bantul D.I. Yogyakarta?
11 b. Bagaimana pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan resi gudang di PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang Bantul D.I. Yogyakarta? Sehingga dapat disimpulkan bahwa penulisan hukum berjudul Perlindungan Hukum Lembaga Perbankan dalam Penyaluran Kredit dengan Jaminan Resi Gudang (Studi Pada PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten dan PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah) belum pernah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Maka dapat penulis katakan bahwa penulisan hukum ini merupakan asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. E. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan Penulisan Hukum yang telah dikemukakan, penulis berharap bahwa Penulisan Hukum ini dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Bagi Penulis Melalui Penulisan Hukum ini, penulis dapat memperoleh manfaat dalam menambah wawasan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya. Khususnya terkait dengan lembaga jaminan kebendaan yang berlaku dalam Hukum Positif Indonesia. Selain itu melalui penulisan hukum ini juga memberikan pengalaman bagi penulis dalam melakukan penelitian hukum.
12 2. Bagi Ilmu Pengetahuan Melalui Penulisan Hukum ini, penulis berharap dapat memberikan sumbangan pikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, serta dapat dijadikan referensi tambahan untuk penulisan yang membahas mengenai kedudukan bank sebagai kreditur penerima hak jaminan. 3. Bagi Lembaga Perbankan Melalui Penulisan Hukum ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kepastian hukum yang diberikan oleh peraturan perundangundangan, pada saat bank memperoleh Resi Gudang sebagai jaminan utang.