BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BAB I PENDAHULUAN F. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting. dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, melalui proses pembuktian

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

PERAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

I. PENDAHULUAN. saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum merupakan pelindung bagi

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074)

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara yang sedang diperiksa diharapkan dapat menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benarbenar telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk mengetahui apakah memang telah terjadi suatu perbuatan pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. Keberadaan saksi untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 26 mengatakan bahwa: Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang 1

2 suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. Pada dasanya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum. Seeara normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak dan pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa dan hak terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian, seperti disebutkan dalam Pasal 66 KUHAP. Penggunaan saksi mahkota oleh Penuntut Umum selama ini jelas melanggar instrumen hak asasi manusia secara internasional. Istilah saksi mahkota tidak terdapat dalam KUHAP, tapi dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada. Di sini yang dimaksud saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan/atau diambil dan salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan

3 perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut. Dalam perkembangannya, ternyata muncul berbagai pendapat, baik yang berasal dan praktisi maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkana pidana. Sebagian pihak berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik. Namun sebagian berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota tidak dibolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan terdakwa. Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengambil judul dalam penelitian tentang KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA DALAM PROSES PERSIDANGAN PERKARA PIDANA (Study Kasus Perkara Nomor: 638/PID.B/2010.PN.Sbr Pada Pengadilan Negeri Sumber) B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis mengajukan perumusan masalah sebagai berikut:

4 1. Apakah yang dijadikan dasar pertimbangan dihadirkanya saksi mahkota dalam proses perisidangan perkara pidana Nomor: 638/PID.B/2010.PN.Sbr pada Pengadilan Negeri Sumber? 2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian saksi mahkota dalam proses persidangan perkara pidana Nomor: 638/PID.B/2010.PN.Sbr pada Pengadilan Negeri Sumber? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui Apakah yang dijadikan dasar pertimbangan dihadirkanya saksi mahkota dalam proses perisidangan perkara pidana Nomor: 638/PID.B/2010.PN.Sbr pada Pengadilan Negeri Sumber. 2. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian saksi mahkota dalam proses persidangan perkara pidana Nomor: 638/PID.B/2010.PN.Sbr pada Pengadilan Negeri Sumber. D. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis 1. Dapat digunakan sebagai bahan untuk mengetahui permasalahan tentang kekuatan pembuktian saksi mahkota berdasarkan teori hukum pidana dalam persidangan perkara pidana di Pengadilan.. 2. Memberikan studi tentang peranan saksi mahkota di persidangan.

5 3. Digunakan sebagai bahan-bahan dikalangan mahasiswa khususnya dan masyarakat pada umumnya. b. Secara Praktis 1. Memberikan kesempatan yang berharga untuk menambah pengetahuan serta memperluas wawasan bagi penulis melalui penelitian ini. 2. Untuk memenuhi tugas dalam seminar usulan penelitian guna dilanjutkan menjadi penulisan skripsi. E. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya hampir tidak ada perbedaan pemeriksaan saksi dengan tersangka. Baik mengenai tata cara pemanggilannya maupun cara pemeriksaan, bahkan pengaturannya dalam KUHAP hampir seluruhnya diatur dalam pasal-pasal yang bersamaan, tidak dipisah dalam aturan pasal yang berbeda. Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau the degree of evidence keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut: 1 1. Harus mengucapkan sumpah atau janji 2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti 1 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm 19.

6 3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan 4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup 5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti disebut dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: 1. Alat bukti yang sah ialah: 2 a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. 2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas 2 Ibid, hlm 39.

7 minimum kekuatan pembuktian atau bews kracht dan setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. 3 Suatu keterangan tentang perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, dimana kelerangan tersebut ada hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, maka dapat digunakan sebagai sangkaan adanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Penentuan perbuatan pidana didahului oleh timbulnya dugaan atau sangkaan tentang suatu perbuatan yang akan ditetapkan kebenarannya secara lengkap dengan mengadakan seleksi keadaan-keadaan dan merangkai kejadian-kejadian. 4 Dalam hal ini hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang. Penolakan saksi untuk diperiksa dan diminta keterangannya serta keterangan saksi yang berbeda dengan keterangan yang diberikan dalam berita acara pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik, merupakan hambatan bagi hakim guna menemukan kebenaran materiil dalam penyelesaian perkara pidana. Untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, hakim disamping mendengar keterangan dan saksi juga mendengarkan keterangan dari terdakwa. Keterangan yang diberikan terdakwa dapat ditarik suatu petunjuk, karena itulah keterangan saksi dan keterangan terdakwa mempunyai 3 Ibid, hlm 41. 4 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm 22.

8 kedudukan yang sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana dipersidangan. Alat bukti saksi mahkota pengaturannya tidak terdapat dalam KUHAP, walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai saksi mahkota namun dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada. Namun demikian, ketentuan Pasal 168 huruf e KUHAP merupakan dasar pengaturan terhadap eksistensi saksi mahkota. Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana dibolehkan. Jadi disini penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu: 5 1. Dalam perkara delik penyertaan, 2. Terdapat kekurangan alat bukti, 3. Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing). Terdakwa bergantian menjadi saksi atas perkara yang dia sendiri ikut serta didalamnya. Sebenarnya bertentangan dengan larangan mendakwa diri sendiri, karena dia sebagai saksi akan disumpah yang dia sendiri juga menjadi terdakwa atas perkara itu. Terdakwa tidak disumpah, berarti jika dia berbohong tidak melakukan delik sumpah palsu. Jika saksi berbohong dapat dikenai sumpah palsu. Jadi, bergantian menjadi saksi dari para terdakwa berarti mereka didorong untuk bersumpah palsu, karena pasti akan meringankan temannya, karena dia sendiri juga ikut serta melakukan delik itu, dan memberatkan terdakwa. Dengan adanya yurisprudensi Nomor 1174 5 Ibid, hlm 29.

9 K/Pid/1994 dan Nomor 1592 K/Pid 1994 tersebut, praktek saksi mahkota seharusnya diakhiri. 6 F. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, yakni penelitian dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut melalui media internet, juga sekaligus menggunakan penelitian hukum empiris atau sosiologis untuk mengungkap fakta lapangan. b. Jenis dan sumber data Sehubungan dengan penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif sekaligus penelitian hukum empiris, maka data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder, data sekunder yang dipergunakan meliputi bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang relefan dengan topik penelitian serta karya ilmiah para sarjana dalam bentuk buku, data primer bersumber dan hasil wawancara. 6 Ibid, hlm 33.

10 c. Metoda pengumpulan data. Metode pengumpulan data dilakukan melalui study kepustakaan terhadap data sekunder, baik yang berasal dan bahan hukum primer maupun hukum sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara dengan pihak-pihak terkait. d. Analisis data Data yang telah diperoleh, baik data primer maupun data sekunder akan diproses dengan menggunakan analisis normatif untuk memperoleh gambaran tentang bagaimana kekuatan pembuktian saksi mahkota berdasarkan teori hukum pidana dalam persidangan perkara pidana di Pengadilan. G. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian penulis lakukan pada Pengadilan Negeri Sumber, karena di lokasi tersebut sering kali ada persidangan dalam perkara pidana dengan menggunakan saksi mahkota sebagai alat bukti. H. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan yang merupakan dasar dari penulisan ini yang memuat tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, lokasi penelitian dan sistematika penulisan.

11 Bab II Tinjauan Pustaka yang menguraikan tentang Pengertian Pembuktian, Alat Bukti Yang Sah Dalam Pembuktian Hukum Acara Pidana, dan Pengertian Saksi Mahkota. Bab III Prosedur Penetapan Saksi Mahkota yang menguraikan tentang Gambaran Umum Kasus Perkara Nomor: 638/PID.B/2010.PN.Sbr Pengadilan Negeri Sumber, Saksi Mahkota dalam Perkara Nomor: 638/PID.B/2010.PN.Sbr pada Pengadilan Negeri Sumber dan peran saksi mahkota dalam Perkara Nomor: 638/PID.B/2010.PN.Sbr. Bab IV Kekuatan Pembuktian Saksi Mahkota Dalam Proses Persidangan Perkara Pidana (Study Kasus Perkara Nomor: 638/PID.B/2010.PN.Sbr Pada Pengadilan Negeri Sumber) yang menguraikan tentang Dasar Pertimbangan Dihadirkanya Saksi Mahkota Dalam Proses Perisidangan perkara pidana Nomor: 638/PID.B/2010.PN.Sbr pada Pengadilan Negeri Sumber dan Kekuatan Pembuktian Saksi Mahkota Dalam Proses Persidangan Perkara Pidana perkara pidana Nomor: 638/PID.B/2010.PN.Sbr pada Pengadilan Negeri Sumber. Bab V Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka